12 JAM DI GUNUNG GAMALAMA
Ega dan Fajar, dua teman saya, sudah lama ingin mendaki gunung Gamalama. Ega mengatakan sudah meniatkannya usai mengikuti sebuah pelatihan di Sofifi pada tahun 2019. Sejak pertama kali tiba di Ternate, Fajar juga ingin sekali mendaki gunung Gamalama.
Setelah mengikuti kegiatan
di salah satu hotel di Ternate, kami merencanakan akan melakukan pendakian esok
harinya. Hari Minggu. Waktu mereka tidak banyak. Bukan tanpa alasan, malam
harinya mereka akan langsung meninggalkan Ternate. Ega balik ke Morotai,
sedangkan Fajar ke Tobelo. Jadi pendakian
ini akan dilakukan setelah shalat Subuh. Tanpa bermalam, jadi kami akan naik
dan langsung turun di hari yang sama. Untuk menghemat waktu, kami shalat di masjid
sekitar area pendakian di kelurahan Moya. Pukul setengah enam pagi lewat
sedikit, pendakian pun dimulai.
Buat Ega, pendakian ini adalah
pengalaman pendakiannya yang pertama. Kendati sering mendaki gunung di Jawa,
Fajar sudah berhenti sejak empat tahun terakhir. Melihat keadaan teman-teman
itu, saya akan menyesuaikan tempo perjalanan sesuai dengan kemampuan mereka.
Kami akan berjalan dengan santai saja. Targetnya: Pos 5.
***
Pada hari pendakian, saya
menjemput mereka di tempat menginap masing-masing. Langsung kami menuju
kelurahan Moya. Kebetulan di saat bersamaan adzan Shubuh sudah berkumandang. Kami
shalat di sebuah masjid yang tak jauh dari parkiran pendakian.
Setibanya parkiran, saya
melihat sudah berdiri beberapa tenda. Sekelompok pendaki tampak sedang duduk
bercengkerama di situ. Saya menghampiri dan menyapa mereka untuk melapor dan
meminta izin untuk pendakian. Seorang pria paruh baya mempersilahkan kami
mendaki. Saya bertanya berapa? Dia bilang naik saja, tidak ada pungutan. Syukurlah.
Salah seorang di antara pendaki
disitu saya kenal. Namanya Andi. Kami pernah bertemu di Gunung Gamkonora dan puncak
Gamalama. Rupanya, Andi dan teman-temannya sedang ada kegiatan pembersihan
gunung. Dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup. Kata Andi, teman-temannya
akan melakukan pembersihan sampah mulai dari Pos 3 lalu turun sampai basecamp.
Istirahat di Taman Love
Langkah jalan Ega dan Fajar
tidak lambat seperti perkiraan saya. Hanya saja mereka lebih banyak berhenti istirahat.
Itu sangat wajar. Saya tidak akan memaksa mereka berjalan setengah jam. Satu
jam berjalan menanjak, kami kemudian tiba di Taman Love. Saya mengajak untuk
singgah sebentar untuk berfoto-foto. Ini momen pertama kali buat dua teman saya
itu. Mereka senang dan takjub dengan keindahan pemandangan kota yang terlihat
dari sini. Panggung I Love You yang berdiri kokoh di depan taman dimanfaatkan
dengan baik. Pelbagai gaya fotografi dikeluarkan. Ega yang sangat bersemangat,
mengabadikannya melalui rekaman video dari handphone-nya.
Seperti biasanya, keadaan di
Taman Love di akhir pekan cukup ramai. Banyak muda-mudi berkamping ceria. Canda
dan tawa mengisi udara pagi yang sejuk.
Kami memulai pendakian sudah
agak terang, matahari sudah tinggi di Taman Love. Saya khawatir akan kesiangan nanti
saat sampai di Pos 5. Tidak mau berlama-lama, perjalanan harus kami teruskan. Di
tengah jalur pendakian, saya bilang kepada mereka, kalau sampai jam 11 kita belum
tiba di Pos 5, sebaiknya kita kembali turun. Ega dan Fajar hanya mengangguk.
Diserang Kram
Saya tidak tahu, mengapa setiap
kali mendaki gunung ini, muncul kekhawatiran saat melalui jalur tangga, jalur
pendakian yang merentang dari gerbang masuk pendakian hingga Pos 2. Jalur ini pernah
membuat perjalanan mendaki saya sedikit terganggu. Tahun lalu di Pos 3, dua
paha saya diserang kram yang memaksa saya untuk berhenti sejenak. Rasanya cukup
menyakitkan. Untungnya tidak sampai menunggu lama hingga reaksi dari balsem
yang saya oleskan bekerja dengan baik.
Ternyata serangan kram paling
parah menimpa saya lagi dalam pendakian ini. Tidak lama setelah melewati Pos 1.
Paha kanan saya mulai kaku. Perlahan, nyeri pelan-pelan merambat muncul. Tetapi
saya masih bisa menahan sakitnya meski tak bertahan lama. Kini giliran paha
kiri saya yang diserang. Rasanya untuk melangkah sudah sulit. Saya meminta Ega
dan Fajar untuk berhenti beristirahat sejenak.
Aksi pengobatan saya mulai
dengan menggulung kedua kaki celana hingga di atas lutut. Saya mengoleskan
balsem di area paha depan. Nyeri berangsur hilang. Tak sampai lima menit
beristirahat, perjalanan dilanjutkan. Belum satu kilo berjalan, kram itu kambuh
lagi. Kali ini yang diserang paha bagian kiri. Tetapi saya masih bisa
menahannya dan terus mencoba berjalan seperti biasa. Saya mengambil sebatang
kayu sebagai tongkat.
Rasa sakit tak bisa
disandirawakan lagi. Belum jauh berjalan, kedua kaki saya dari paha sampai
lutut lagi-lagi diserang kram. Kali ini makin parah. Sekarang, untuk berdiri saja saya
sudah tak mampu. Kami putuskan beristirahat lagi.
Fajar menawarkan diri untuk
membawakan carrier saya. Saya
berterima kasih sekali kepadanya. Ini adalah kali pertama saya mendaki gunung tanpa
menggendong carrier. Berjalan tanpa
beban di punggung menjadikan tubuh terasa ringan seperti terbang. Tetapi
setelah mendaki cukup jauh, rasa lelah makin terasa juga. Saya berjalan seolah hampir
tak ada bedanya antara menggendong carrier
atau tidak. Lagipula, serangan kram belum juga berhenti.
Wanita-Wanita Tua
Dalam perjalanan dari Pos 2 menuju
Pos 3, kami berpapasan dengan banyak pendaki yang berjalan turun. Di Pos 2 kami
bertemu sekelompok remaja dari Kastela yang sedang beristirahat. Mereka satu
kelurahan dengan saya. Saya menyalami mereka satu per satu. Mendekati kali mati
sebelum Pos 3, kami bertemu dengan rombongan pendaki dari kepolisian. Mereka
terlihat cukup energik, cadangan semangat mereka masih banyak. Salah seorang dari
mereka yang berjalan paling belakang berkata pada kami bahwa masih banyak
pendaki di belakang mereka. Di antaranya adalah beberapa wanita tua. Hah,
wanita-wanita tua? Apakah mereka sanggup naik gunung?
Benar saja. Saat melewati
jalur melipir yang akan menurun ke kali mati, saya bertemu dengan wanita yang pertama.
Dia didampingi dua orang pria. Saya piker mereka mungkin sanak keluarganya.
Saya menyapanya dan memberikannya dorongan semangat. Dia membalas dengan senyuman.
Tak jauh dari situ, saya
kembali berpapasan dengan wanita tua lagi. Kali ini dua orang. Mereka tergabung
dalam satu rombongan besar bersama petugas Basarnas. Saya menyapa mereka dan
dibalas dengan sapaan sama. Juga senyuman manis tentunya. Wah, ini momen yang
langka sekali kata saya membatin. Kapan lagi bisa ketemu nenek-nenek di gunung?
Meski sudah berumur, penampakan fisik mereka masih terlihat bugar. Postur tubuh
mereka ramping seperti wanita muda. Terlihat sekali, mereka suka berolahraga.
Makan di Pos 5
Serangan kram masih belum
juga mereda, kendati Pos 3 sudah di depan mata. Saya bilang kepada Ega dan
Fajar, dari sini Pos 4 sudah tak jauh lagi. Kami sepakat untuk terus berjalan.
Tentu saja setelah kegiatan foto-foto selesai.
Lima belas menit kemudian
Pos 4 sudah terlihat. Kami duduk-duduk sebentar mengambil nafas, menghilangkan
dahaga dan foto-foto. Terlihat banyak perubahan terjadi dengan pos ini.
Sekarang tampak lebih luas dari kemarin. Di belakangnnya, yang mana dulu
dipenuhi semak belukar, sekarang disulap menjadi tempat kamping. Saya kira dua tenda
bisa didirikan di situ.
Kami berjalan lagi,
menikmati udara hutan tropis yang segar, ditiupi semilir angin gunung yang
sejuk. Terlihat dari sini, mulai terjadi perubahan vegetasi hutan. Dari pepohonan
ke ilalang. Tanaman ilalang di sini tumbuh cukup tinggi hingga tiga meter.
Jalur pendakian yang membelah ditengahnya membuat ilalang disekitarnya merunduk
ke arah tanah sehingga membentuk sebuah terowongan alam. Di ujung terowongan
itulah area Pos 5.
Akhirnya, target kami untuk
sampai di Pos 5 tercapai sudah. Walaupun meleset dari target yang ditentukan.
Kami tiba di sana pukul setengah dua belas.
Perut saya sudah keroncongan.
Tak menunggu lama, seluruh makanan ringan dari carrier dikeluarkan. Roti, biskuit, dan makanan ringan, saya sikat.
Saya makan secukupnya untuk mengganjal perut yang kosong. Dengan maksud akan
memasak lagi di tempat peristirahatan berikutnya.
Adzan saya latunkan di depan
Pintu Suba, lalu kami berjalan meninggalkan Pos 5. Di area perkemahan saya
melihat di dua buah tenda. Ketika sampai di bukit, kami bertemu dua orang pendaki.
Mereka membawa sebuah tiang bendera Merah Putih. Ega meminjam bendera mereka
untuk berfoto. Di dekat mereka saya melihat tiga kantong plastik penuh dengan
irisan daun pandan. Saya tanya untuk apa, salah seorang dari mereka menjawab
untuk keperluan ziarah. Kata dia, ada makam di sana, sambil menunjuk ke arah
permukaan bukit yang paling tinggi. Di sana, katanya kalau diteruskan, akan
bertemu dengan sebuah Jere.
Beberapa gunung yang pernah
saya daki sering terdapat Jere. Itu adalah batu yang diyakini masyarakat muncul
sendiri dari dalam tanah pada sebuah makam atau petilasan. Sebagai pertanda
bahwa di situ pernah berada seorang alim.
Saat tiba di bukit sudah jam
dua belas. Saya tidak yakin akan mendaki lagi ke puncak dengan waktu pendakian
yang mepet ini, ditambah teror kram yang belum juga berakhir. Namun, Ega dan
Fajar belum juga puas dan ingin meneruskan pendakian sampai di puncak.
Sampai di Puncak Gunung Gamalama
Kram di paha saya belum juga
mereda. Kami kini sudah mulai menuruni bukit menuju jalur ke puncak. Jalur itu
sudah terlihat dari kejauhan. Di sekitarnya, terdapat banyak susunan batu sebagai
penunjuk arah ke puncak.
Dari kejauhan, asap yang
mengepul dari kawah belerang di Selatan sudah semakin dekat. Tetapi baunya yang
menyengat belum tercium juga. Jalur yang tadinya datar-datar saja segera menanjak
sehingga kram di paha saya kembali kambuh. Langkah kaki segera saya pendekkan.
Tangan kanan menggenggam kokoh tongkat bambu yang menjejak ke hamparan kerikil
tajam.
Ega dan Fajar tidak
henti-hentinya mengadabadikan perjalanan summit
attack itu dengan handphone
mereka. Berkali-kali rombongan kami berhenti di tengah
jalur. Cuaca siang itu amat cerah. Angin dingin bertiup sedang. Berkali-kali
kumpulan awan berarak datang silih berganti melintasi area puncak. Tidak terasa
jalur pendakian mulai membelok ke kanan. Itu tandanya puncak sudah di depan
mata. Fajar terlihat bersemangat dan tidak sabar untuk segera tiba di puncak.
Dia sampai berlari-lari kecil dan benar saja dialah yang sampai pertama.
Akhirnya, puncak Gunung
Gamalama berhasil kami capai. Suasana yang sepi, tetapi cerah dan sejuk, segera
mengobati kelelahan pada tubuh. Dan dalam sekejap menguap bersama kepulan
belerang yang keluar dari kawah gunung. Pemandangan kawah gunung siang itu tak
seperti biasanya. Subhanallah, sangat
cerah. Ini tidak seperti biasanya. Empat kali mendaki ke puncak, saya baru
pertama kali melihat kawah Gunung Gamalama secerah itu. Batuan dan lereng di
dalamnya terlihat amat jelas. Ternyata, ada undakan yang cukup panjang di
lereng sebelah Selatan. Warna tebing kawah hingga ke dasar membentuk gradasi
hitam, abu-abu dan putih. Terlihat sangat indah.
Air Gratis di Taman Love
Jam dua siang, kami kembali
tiba di atas bukit. Usai shalat Dzuhur, kami mulai berjalan pulang. Alhamdulillah, dalam perjalanan turun
ini, rasa kram di paha perlahan mulai menghilang. Langkah kaki saya mulai
mantap dan lincah. Perjalanan turun kami makin cepat.
Di Pos 2, kami bertemu
rombongan pendaki sedang beristirahat. Mereka terdiri dari pemuda dan pemudi. Kami
menyapa mereka, begitu pun mereka juga membalasnya dengan hangat. Ternyata
mereka bukan pendaki dari puncak. Mereka adalah anggota komunitas pecinta alam
yang sedang melakukan kegiatan pembersihan gunung. Betul kata Andi tadi pagi.
Mereka memulai kegiatan dari Pos 3. Saya mengucapkan apresiasi tinggi atas
kerja mulia mereka itu. Mereka inilah yang pantas disebut pecinta alam. Saya
cukuplah menjadi penikmatnya saja.
Di dekat tempat duduk mereka,
terlihat beberapa karung putih sudah penuh dengan sampah. Salah seorang dari
mereka yang sedang asyik membakar sampah organik menawari kami makanan. Tetapi Ega
menolaknya dengan ramah. Padahal sebenarnya, perut saya sudah minta diisi. Memang,
kalau belum makan nasi atau mie, terasa seperti belum makan.
Pukul lima lewat, kami sudah
tiba di Taman Love. Ega dan Fajar langsung berbaring melepas lelah di halaman rumput.
Saya berjalan menuju toilet umum mengambil air wudhu pada sebuah drum, lalu diikuti
Fajar dan Ega. Kami pun melaksanakan shalat Ashar. Setelah shalat, saya hendak
membayar air yang kami pakai tadi ke bapak pengelola taman. Dia menolak dengan
ramah. Katanya, shalat tidak perlu bayar.
Segelas Teh Panas
Kami melanjutkan perjalanan
turun pada jam setengah enam. Kini, saya sudah tidak memakai tongkat lagi.
Kekuatan kaki saya sudah pulih. Saya bilang kepada Ega, paling lambat, kita
akan tiba di tempat parkir dalam satu jam. Dalam perjalanan penghabisan ini,
kondisi fisik Ega dan Fajar mulai menurun. Langkah kaki mereka sudah tak
sekokoh saat mendaki.
Ega mengambil sebatang bambu
untuk tongkat berjalan. Wajar, dia baru pertama kali mendaki gunung. Saya juga
dulu seperti itu. Langkah kaki saya seperti biasa, tetapi jarak saya dengan dua
teman saya itu semakin jauh. Mendekati tempat parkir, mereka berdua memutuskan
beristirahat tanpa saya sadari. Ketika saya menoleh ke belakang, mereka sudah
tertinggal jauh. Saya bilang pada mereka dengan teriakan isyarat, akan berjalan
terus. Rencananya, saya akan menyiapkan mobil sehingga ketika mereka sudah tiba,
kami langsung meluncur kembali ke kota.
Saat mendekati tempat parkir
kendaraan, suasana di sana sudah sangat ramai. Banyak aktivitas di sekitar
tenda-tenda komunitas pecinta alam. Beberapa anggota senior duduk berhadapan di
selokan di pinggir jalur. Saya menyapa mereka. Mereka menawarkan minum teh
sembari menunjuk ke arah tenda. Dengan ramah saya menolaknya. Orang-orang di tenda
yang melihat kedatangan saya langsung mengajak saya bergabung. Di antara mereka
saya melihat Pak Ismad seorang pendaki senior. Kami pernah bertemu di Gunung
Gamkonora. Dia duduk di bangku panjang bersama Ibu Ina, pendaki senior lainnya.
Di sana juga ada Andi. Lantas, saya pun menghampiri dan duduk di samping Pak
Ismad, seraya menurunkan carrier
saya. Tak menunggu lama, Andi datang menghampiri saya dengan segelas teh panas.
Walaupun masih panas, air teh itu terasa sangat enak. Lebih enak daripada pelbagai
teh yang pernah saya minum. Padahal, teh itu rasanya mungkin sama saja. Namun,
saat diseruput dalam suasana baru melepas lelah sehabis mendaki gunung, itu
yang membuatnya spesial.
Belum lama mengobrol dengan
Pak Ismad, Ega dan Fajar pun muncul. Terlihat kepayahan dari raut wajah mereka.
Mereka pun ikut bergabung. Teman-teman Andi memberikan teh panas yang enak itu.
Menjelang Maghrib, jam
setengah enam, mobil kami pun meluncur ke arah kota.
Weda, 9 Juni 2022
Komentar
Posting Komentar