SINGA TUA YANG MENOLAK TAKLUK
Lion
of the Desert diproduksi tahun 1980 mengambil genre biografi perang. Disutradarai
oleh Mustapha Akkad, film ini menceritakan kisah perjuangan pahlawan Libya,
Umar Mukhtar, melawan penjajah fasis Italia. Film ini dilarang edar di Italia.
Judul :
Lion of the Desert
Sutradara :
Mustapha Akkad
Skenario : H.
A. L. Craig
Pemeran :
Anthony Quinn, Oliver Reed, Raf Vallone
Tahun :
1980
Lion
of the Desert diangkat dari kisah nyata Umar Mukhtar memimpin
gerakan Tarekat Sanusiyyah melawan penjajah Italia. Perang selama 20 tahun dia
lakoni sejak Italia pertama kali menginvasi Libya pada tahun 1911. Berjubah putih
dengan mengendarai kuda dan bersenjatakan senapan ringan, guru ngaji itu
memimpin pasukannya yang juga berjubah putih bergerilya di gurun pasir Sahara.
Umar adalah seorang jenius. Dia tak pernah belajar di
akademi militer, tetapi strategi dan taktik militernya teruji di pelbagai
palagan pertempuran. Berkali-kali gerilyawan pimpinannya berhasil menghancurkan
kendaran tempur Italia, tidak sedikit pula serdadu fasis yang meregang nyawa. Gerakan
perlawanannya membuat anggaran kolonial Italia terkuras banyak. Terbukti, berkali-kali
gubernur Italia dicopot gara-gara gagal menghentikan perlawanan gerilyawan.
Film dimulai dengan adegan diktator Italia, Mussolini
(Rod Steiger), sedang berbicara empat mata dengan Jenderal Rudolfo Graziani
(Oliver Reed). Mereka membicarakan tentang kondisi dan masa depan Italia di
Libya. Negeri itu penting bagi Mussolini. Karena menjadi bagian dari rencana besarnya
mengembalikan kejayaan Romawi masa silam. Graziani ditunjuk untuk menjadi
gubernur militer baru di Libya, tepatnya, provinsi Cyrenaica. Misinya cuma satu:
menangkap Umar Mukhtar hidup atau mati.
Graziani adalah gubernur keenam yang ditugaskan di negeri
suku Berber itu. Tak mau mengulangi kesalahan para pendahulunya mendorongnya
mengambil kebijakan militer yang lebih keras. Apalagi kedatagannya sempat disambut
dengan berita terbunuhnya tentara Italia. Intensitas patroli ditingkatkan.
Semua potensi ancaman terhadap pemerintah kolonial dihentikan. Penduduk
laki-laki ditangkap untuk mengurangi potensi kekuatan cadangan gerilyawan
Sanusiyyah. Tak sedikit wanita-wanita muda dipaksa menjadi pemuas nafsu bejat
serdadu Italia. Graziani mengatakan musuhnya tidak hanya para gerilyawan,
tetapi juga seluruh rakyat Libya.
Umar Mukhtar (Anthony Quinn) tidak tinggal diam. Pasukan
Italia di bawah Mayor Tomelli yang baru melakukan pembunuhan di sebuah desa,
menjadi target serangannya. Taktik Umar dengan meninggalkan jejak kuda di
tengah gurun segera dimakan Tomelli yang membuat pasukannya dicegat dan membuat
dirinya terbunuh.
Di lain pertempuran, pasukan Umar berhasil menghentikan
sepasukan tentara yang membawa penduduk desa ke kamp konsentrasi. Rencana ini
merupakan ide gila Graziani untuk membatasi pergerakan penduduk secara ekstrim. Di
mana di kemudian hari ditiru Hitler di Eropa.
Terus menerus digempur membuat kekuatan tentara Italia
tergerus. Graziani sampai harus melakukan perundingan dengan Umar Mukhtar untuk
mengulur waktu sembari menunggu datangnya pasukan bantuan. Tetapi Umar dengan
informasi intelijen yang handal dapat membaca taktik itu dan mengungkapnya di
atas meja perundingan.
Armada pasukan Italia yang baru datang ternyata tidak
dapat berbuat banyak melawan gerilyawan Sanusiyyah yang bergerak cepat dan
gesit. Buktinya, benteng Italia yang berisi gudang senjata dan kendaraan tempur
berhasil dijarah dan dibom. Bantuan kendaraan lapis baja baru seperti Lancia
Ansaldo 1Z, atau pun tank-tank pabrikan Fiat, dengan taktik perang yang ciamik,
berhasil dihancurkan gerilyawan dengan menggunakan bom rakitan dan dinamit.
Graziani hampir kehabisan akal. Atas izin Mussolini dia
mendapatkan anggaran jumbo untuk membangun ribuan kilometer pagar kawat berduri.
Pagar ini akan dibangun vertikal di timur Libya. Tujuannya untuk mencegat
bantuan logistik dan senjata gerilyawan yang selama ini diselundupkan dari
Mesir. Pagar ini juga membatasi pergerakan gerilyawan. dan terbukti berhasil.
Umar dan pasukannya perlahan-lahan kehabisan makanan dan amunisi. Sampai-sampai
penduduk yang mendekam di kamp konsentrasi, memberikan simpanan gandum mereka.
Gas beracun yang dilarang oleh Konvensi Jenewa ditiupkan
di pegunungan di mana para gerilyawan bersembunyi. Itu membuat banyak pejuang tewas.
Terjangan artileri yang tanpa henti selama berhari-hari memaksa Umar Mukhtar
dan pasukannya bersembunyi di dalam gua-gua. Tak menunggu lama, tentara Italia dalam
jumlah besar bergerak dari segala arah, mendaki pegunungan dan mengadakan
pengepungan terakhir.
Lion
of the desert dikemas dengan aransemen instrumen yang
baik. Tata pencahayaannya tidak diragukan lagi. Padahal sebagian besar
adegannya berlangsung di gurun yang kering dan panas. Adegan pertempuran yang
sebagian besar dilakukan di gurun, dengan pasukan berkudanya dan deru mesin
perang, membawa kita ikut merasakan peristiwa itu secara langsung.
Film ini padat dengan aksi-aksi pertempuran. Adegan demi
adegan seolah tidak mau berhenti. Dengan durasi hampir tiga jam, film ini sangat
sulit untuk membuat penonton menguap kantuk di bioskop. Suasana ketegangan yang
dirasakan penonton terus menerus dirawat oleh Akkad dengan klimaks konflik yang
berganti-ganti. Belum puas penonton dibuat gembira dengan adegan kemenangan
gerilyawan, Akkad tiba-tiba menampilkan serangan balik tentara Italia yang
efektif.
Sebagai dokumentasi sejarah, film ini sangat membantu
penonton memahami Perang Italo-Sanusi Kedua itu secara populer. Adu strategi
perang antara tentara professional vis a
vis pejuang gerilya adalah suguhan yang istimewa. Jarak ilmu pengetahuan
dan teknologi keduanya memang jomplang,
tetapi aplikasinya di medan pertempuran bisa
jadi berbeda.
Yang menarik, sepanjang film ini adalah sorotan Akkad pada
tekad juang Umar Mukhtar. Meski sudah berusia senja, 73 tahun, dan mulai
sakit-sakitan, dia teguh menolak tunduk. Bujukan kawan kecilnya Sharif Al Gariani
(John Gielgud) yang memilih berkhianat kepada musuh, tidak menggoyahkan
idealismenya. Ketika diadili di depan pengadilan militer yang telah memvonisnya
hukuman gantung, dia tetap tenang, tegar dengan berkata; “Kami tak akan pernah
menyerah. Kami menang atau mati syahid. Saya tidak merasa perjuangan ini akan
berhenti di sini. Kami punya generasi berikut yang akan bertempur. Dan setelah itu ada generasi
berikutnya. Begitu seterusnya. Umur saya
lebih panjang dari pada orang yang menggantung saya.”
Akkad ingin menampilkan sosok Umar Mukhtar sebagai
pejuang yang gagah berani di film ini. Sehingga kepiawaiannya dalam meracik
strategi taktik tempur dan retorika mendapat banyak porsi dalam durasi film ini.
Terlihat ramai dan padat memang, tetapi itulah tujuan film ini. Tak lain tak
bukan, menunjukkan kepada penonton seperti apa sebenarnya Singa Gurun Pasir itu.
Komentar
Posting Komentar