Plagiarisme di kalangan Mahasiswa sebagai akar perilaku Koruptif
Sering
kita banyak mendengar dan melihat tentang praktik plagiarisme (Baca: menyontek
atau meniru). Mungkin di kampus dan di lingkungan sekolah. Sehingga tidak heran
mayoritas peserta didik sekolah dasar sampai menegah atas tidak jarang
melakukan praktik tersebut.
Plagiarisme
di kalangan pelajar tidak hanya dilakukan oleh siswa sebagai peserta didik,
tetapi juga guru sebagai pengayom sekaligus pendidik juga mempraktikkan hal
yang sama. Telah banyak bukti yang mengungkap fenomena tersebut. Sebagai contoh, petengahan
tahun lalu dimuat di media massa dan elektronik. Yaitu mengenai berita ancaman kepada Siami,
Ibu dari siswa korban praktik contek massal yang mengkritik praktik yang
dilakukan oleh sekolah di Gadel,
Surabaya, Jawa Timur.
Plagiarisme merupakan salah
satu bentuk kecurangan akademik
(academic fraud) sekaligus melanggar hak atas kekayaan intelektual. Hal ini
secara tegas dijelaskan pada UU No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, pasal 72
ayat 1 dan 2. Ayat 2 menjelaskan,
”Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Praktik kecurangan akademik seperti ini pernah
dilakukan oleh Helen Keller
yang dituduh
pada 1892 menjiplak cerita pendek The Frost King dari
karya Margaret T. Canby The Frost Fairies (Helen Keller,
(1903) The Story of My
Life). Dan Mantan
presiden AS, Jimmy Carter
yang dituduh
oleh seorang mantan diplomat Timur Tengah Dennis Ross karena telah menerbitkan peta-peta Ross dalam buku
Carter, Palestine:
Peace, Not Apartheid tanpa izin atau memberi sumber (Melissa Drosjack (December 8). Jimmy Carter
Fires Back at Longtime Aide Over Book).
Menyontek sebagai praktik biasa di
kalangan Mahasiswa
Menyontek
kini menjadi pelanggaran yang dianggap biasa oleh banyak mahasiswa. Menyontek sebenarnya tidak akan terjadi jika saja
mahasiswa memahami dengan baik arti penting dari keberadaan pendidikan. Bahwa salah satu tujuan dasar
pendidikan adalah menyerap pengetahuan serta menerapkannya di dalam aktivitas
kehidupan. Itulah filosofi dari keberadaan Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian terhadap
masyarakat.
Perilaku menyontek sebagai masalah utama
pendidikan belum berubah sejak beberapa dekade terakhir. Dan masih menjadi
tradisi deintelektualisasi (Baca: pembodohan) bagi kebanyakan mahasiswa PT Indonesia. Sehingga,
sebenarnya yang mesti dilakukan para penyelenggara pendidikan (baca:
Universitas) bukan lagi menciptakan sistem pengawasan ketat tetapi menciptakan
kesadaran pentingnya menuntut ilmu di kalangan mahasiswanya.
Mahasiswa hasil didikan PT harus memiliki
karakter dan kesadaran untuk mau peduli dengan pentingnya menuntut ilmu.
Mahasiswa penting memiliki sikap ketakwaan, berakhlaq baik,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga yang demokratis dan
bertanggung jawab. Sebagaimana tercantum dalam pasal 3 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Menyoal
Hubungan Menyontek dan Korupsi
Menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 2 dijelaskan bahwa korupsi adalah setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian. Artinya, secara sederhana korupsi didefinisikan sebagai praktik
pencurian atau perampokan uang rakyat.
Praktik
korupsi di negeri ini sudah menjadi masalah yang hampir tidak dapat terbendung.
Pasalnya wabah ini kini menjamur mulai dari ibukota sampai ke pelosok-pelosok
nusantara. Tidak heran pada tahun 2011 kemarin, sebuah lembaga survei
internasional, Transparency International (TI) merilis Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) Indonesia. Lembaga yang berpusat di kota Berlin ini dalam surveinya
terhadap 183 negara di dunia tersebut, menulis Indonesia menempati skor IPK
sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Dalam indeks tersebut Indonesia berada di peringkat ke-100
bersama 11 negara lainnya. Sedangkan di kawasan ASEAN, skor Indonesia berada di
bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4).
Kita
kembali kepada motivasi mahasiswa melakukan praktik plagiarisme karya ilmiah. Sudah dijelaskan
dimuka bahwa hal itu dilakukan karena ketidakpahaman mereka terhadap pentingnya
pendidikan. Sehingga dengan kehendak pribadi mempergunakan karya intelektual
seseorang. dengan tanpa seizin
pemiliknya –baik disertai kutipan atau paraphrase pada karya mereka. Sehingga
yang mereka lakukan dapat digolongkan sebagai praktik pencurian. Maka plagiarisme adalah praktik korupsi.
Mahasiswa
yang sudah terbiasa melakukan praktik
plagiarisme akan merasa yang ia lakukan tersebut tidak termasuk tindakan
melanggar hukum. Sehingga, tidak heran ia akan melakukan aksi yang lebih besar
seperti praktik korupsi.
Menurut
penulis ada empat solusi yang bisa dilakukan
untuk menghilangkan praktik plagiarisme dengan efek
akutnya yaitu korupsi. Pertama, menggalakkan
pendidikan karakter. Program ini dimaksudkan untuk mengubah karakter atau
perilaku mahasiswa yang tadinya plagiat menjadi antiplagiat disertai dengan internalisasi nilai-nilai agama didalamnya.
Kedua,
memasifkan pelaksanaan
kuliah antikorupsi sebagai mata kuliah wajib di PT. Sehingga mahasiswa akan lebih paham akan arti penting memerangi
korupsi dan mengetahui praktik-praktik yang digolongkan sebagai praktik
korupsi.
Ketiga,
PT melakukan kegiatan-kegiatan rutin yang menyentuh sisi kepedulian social. Seperti
kunjungan ke pemukiman kumuh, panti asuhan, panti jompo atau anak jalanan,
sehingga membangkitkan naluri sosial
mahasiswa untuk lebih humanis. Dengan keberadaan kegiatan tersebut, diharapkan mahasiswa akan
terbiasa simpati dan peduli dengan kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
Keempat, melakukan publikasi karya ilmiah. Agar publik bisa menilai mana karya asli dan mana karya hasil plagiat. Sehingga secara bertahap upaya-upaya tersebut akan
mencerabut sikap koruptif dan
membangkitkan kesadaran akademis serta sosial di kalangan mahasiswa.
udah tradisi turun menurun tampaknya.
BalasHapusRumah Dijual