Subsidi Energi: Kebijakan Populis daripada Strategis

Lagi-lagi isu penarikan subsidi energi kembali mengemuka. Setelah beberapa bulan lalu memanas pasca diplenokan di DPR. Putusan untuk tidak menaikkan harga BBM (menarik subsidi) oleh pemerintah dinilai sebagai sejumlah pengamat sebagai langkah populis. Wacana yang paling banyak muncul di permukaan menghubungkan kebijakan tersebut berhubungan dengan Pemilu 2014.
.
Kini, pemerintah berencana untuk menambah subsidi energi (BBM dan listrik) yang akan dianggarkan pada RAPBN tahun 2013. Tidak tanggung-tanggung anggaran subsidi tersebut  diusulkan naik sekitar Rp 103,5 triliun. Inisiatif tersebut keluar setelah mengevaluasi APBN-P 2012 yaitu Rp 202,4 triliun yang dinilai masih belum cukup mencegah resiko kelangkaan energi. 



Keputusan itu keluar dari mulut Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu. Sehingga jika subsidi tersebut digolkan, maka total subsidi energi tahun 2013 akan naik mencapai Rp 305,9 triliun atau 20 persen dari volume belanja APBN (Kompas, 22 Oktober 2012).

Lusinan kritik pun keluar dari berbagai kalangan. Kritik itu ditujukan kepada langkah penaikan subsidi yang diduga akan semakin memperumit masalah –karena jika tidak dirubah akan semakin menguras APBN dan berdampak pada kenaikan target PDB atau lumbung anggaran APBN. Kebijakan rutin tersebut akan menggerus kemandirian masyarakat. Beberapa pakar bahkan meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan blunder tersebut. Mereka meminta sebaliknya pemerintah seharusnya melakukan efisiensi bukan subsidi. Karena kebutuhan masyarakat semakin meningkat sehingga tidak mungkin dimanjakan terus-menerus. 

Padahal kalau pemerintah mau mencabut subsidi BBM sehingga harga naik Rp 500 - Rp 1000 per liter dapat menghemat subsidi energi sampai 15 persen. Dan perlu dicatat, volume anggaran sebesar itu bisa digunakan untuk membangun jalan raya sepanjang 10.000 kilometer. Lagipula seperti BBM bersubsidi yang sudah menjadi program setiap tahun tidak terserap secara proporsional ke bawah (masyarakat kecil). Menteri perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh orang yang tidak berhak –yaitu  kelompok kaya dan elit. Seperti pemilik mobil pribadi yang menikmati subsidi BBM hingga Rp 120.000 per hari.

Isu kenaikan subsidi energi ini diduga sejumlah pengamat bermuatan politis. Bisa kita lihat pada sidang pleno DPR –yang membahas isu pencabutan subsidi BBM- Mei kemarin. Mayoritas partai penguasa setuju dengan usulan pemerintah untuk menyetop subsidi BBM, sebaliknya partai oposisi memveto. Tetapi yang kini justeru sebaliknya. Pemerintah memutuskan menambah subsidi.

Pemerintahan Presiden SBY seolah-olah mulai menunjukkan kebaikan hatinya kepada rakyat dengan menaikkan subsidi energi. Mirisnya, mayoritas  rakyat tidak paham dengan langkah kontroversi ini. Sehingga terkesan terlihat sebagai kebijakan seksi dan populis. 

Kemurahan hati pemerintah menurut penulis merupakan manuver perdana menjelang pemilu tahun 2014. Meskipun Presiden SBY tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden. Tetapi langkah tersebut merupakan salah satu bentuk dari politik pencitraan dan insentif untuk mendorong elektabilitas partai. 

Padahal kalau anggaran subsidi itu digunakan untuk perbaikan infrastruktur dan pengadaan transportasi massal yang nyaman. Dampak jangka panjangnya dapat mengurangi minat rakyat mengkonsumsi energi -karena dengan mahalnya biaya energi (BBM) membuat rakyat akan beralih melakukan penghematan . Karena dengan infrasutruktur dan transportasi yang baik -akibat alih anggaran energi ke transportasi- serta nyaman akan meningkatkan kepuasan dan mengalihkan minat konsumerisme mereka –dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Secara tidak langsung akan terjadi pengurangan demand (permintaan) energi sehingga supply (persediaan) mencukupi. Secara bertahap pemakaian kendaraan pribadi dapat ditekan. Akhirnya bermuara pada pengurangan kemacetan. Wallahu alam bis shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*