Kuantitas Suara Mahasiswa adalah Kualitas Pemira

Tidak terasa pusaran dinamika mahasiswa akan kembali mengemuka. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, momentum hangat ini selalu menggiring perhatian mahasiswa. Betapa tidak, kehadirannya membawa banyak harapan bagi mahasiswa yang mendamba kehidupan kampus yang lebih baik. Kedatangannya mencoba menawarkan dua pilihan kepada mahasiswa untuk tetap komitmen kepada status quo (pemimpin lama) atau berevolusi bersama kepemimpinan baru.

Saatnya kembali merenungi kondisi sekarang menjelang perhelatan Pemilihan Umum Raya (Pemira). Sebuah even yang konon dianggap prestisius bagi seluruh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Tidak saja menjadi ajang mengamati geliat gerak politik mahasiswa di kampus, tetapi lebih dari itu adalah mengfungsionalkan partisipasi mahasiswa (pemilih) didalamnya.

Sebenarnya urgensi (arti penting) dari pemira adalah sarana untuk mengajak mahasiswa berpartisipasi peduli pada kampus. Dengan menggunakan hak suara mereka untuk memilih pemimpin yang berintegritas (kesempurnaan moral dan kinerja). Sehingga kepemimpinan politik mahasiswa tidak lagi stagnan pada gagasan atau kepemimpinan lama yang barangkali tidak lagi produktif. Tetapi mencoba menggantinya dengan kepemimpinan baru dengan gagasan yang sebaliknya –meskipun tetap dengan penguasa yang sama.

Langkah itu kini masih dierami oleh mitos. Belum ada yang bersedia menetaskannya menjadi kenyataan. Usaha itu sampai kini masih dalam pencarian oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) sebagai stakeholder (pemeran strategis) yang bertanggungjawab dan tentunya kita sebagai rakyatnya. Apalagi dalam ikhtiar pencarian itu dirusak oleh isu kampanye hitam dan kekerasan. 

Didalam al-Qur’an surah ar-Ra’du ayat 11 Allah telah memfirmankan jauh-jauh hari bahwa Dia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang memulai untuk merubahnya. Islam tidak akan masuk ke Indonesia tanpa semangat dari saudagar-saudagar Arab untuk mendakwahkan Islam. Begitupun rezim orde baru tidak akan jatuh tanpa semangat kebersamaan dari mahasiswa Indonesia untuk menurunkannya.

Bercermin dari sejarah pemira pada tahun-tahun sebelumnya. Presentase pemilih yang menggunakan hak suaranya tidak lebih 30% -sekitar 4500 mahasiswa- dari total 15.000 mahasiswa UMY. Pemira Fisipol yang dilaksanakan Mei kemarin hanya melibatkan sedikitnya 30% partisipasi pemilihnya. Sedangkan pemira universitas tahun 2011 lebih menyedihkan, hanya 12% atau 1800 pemilih. Sehingga pemilih UMY masih dikategorisasikan apatis (kurang peduli) -meminjam kategorisasi partisipasi pemilih oleh Milbrath dan Goel. Masih banyak pemilih yang belum paham urgensi pemira. Sehingga secara statistik para pemilih yang sedikit belum mewakili kehendak mayoritas untuk memilih pemimpin yang benar-benar berintegritas. Karena kualitas demokrasi direpresentasikan oleh kuantitas partisipasi pemilih. Maka tidak heran berdasar hasil jejak pendapat yang dilakukan Mei kemarin menyebut 80% mahasiswa UMY tidak tahu nama presidennya sendiri. 

Akhirnya, menjadi fardhu ‘ain bahwa hak suara mahasiswa wajib digunakan. Tidak bermaksud untuk mengkritik tetapi mengajak mahasiswa untuk peduli. Sehingga dengan meningkatnya  kuantitas (jumlah) pemilih yang menggunakan hak suaranya, insya Allah akan menghasilkan pemimpin yang juga teruji kualitasnya. Selamat berpemira. Maju mahasiswa UMY!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*