Apatisme sebagai Dualisme Partisipasi Politik Mahasiswa: Studi Kasus Pemira Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pergerakan mahasiswa dewasa ini merupakan benih reformasi di masa depan. Sebab kepemimpinan Indonesia dua atau tiga dekade lagi akan dipegang oleh mahasiswa generasi sekarang. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan untuk mempersiapkan kecakapan personal mahasiswa sejak dini. Anis Baswedan pernah mengatakan, mendidik mahasiswa untuk memiliki kapasitas kepemimpinan, kecerdasan intelektual dan integritas personal (akhlaqul kharimah) merupakan modal utama.  

Mahasiswa harus belajar dari kesalahan generasi dulu. Terutama keterlibatan mereka dengan agenda penyelewengan kekuasaan (abuse of power), seperti; korupsi, ketidakadilan dan perilaku konsumerisme (pemborosan). Juga pola pikir yang transaksional dan political will (kemauan politik) melakukan perbaikan yang rendah.

Salah satu bentuk gerak itu adalah melibatkan mahasiswa di dalam partisipasi dan kompetisi agenda perpolitikan kampus. Berpolitik di kampus sebagai wahana pembelajaran mahasiswa dulu dan kini masih sangat penting –yaitu terlibat dalam dinamika Pemilu Raya Mahasiswa (Pemira), seperti mendirikan partai politik, terlibat dalam tim sukses calon presiden, memilih presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), terlibat dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Dengan keterlibatan mahasiswa dalam aktivitas tersebut secara langsung dapat menambah wawasan (insight) mahasiswa –khususnya dalam bidang kepemimpinan, manajerial dan sosial politik. Sehingga mahasiswa kini tidak lagi berotasi di dalam ruang lingkup ilmunya saja. Tetapi mulai meluas ke disiplin ilmu yang dibutuhkan di dalam pergaulan sosial nantinya. 

Faktanya, Pemira sebagai wujud dari animo kepedulian mahasiswa terhadap nasib mereka masih kecil. Tercatat partisipasi pemira tahun lalu, hanya disuarakan oleh sedikitnya voter turnout -pemilih yang terlibat langsung dalam pemira- yaitu 12 persen atau 1440 mahasiswa dari 12.000 mahasiswa UMY. Bahkan pemira DPM pada Oktober kemarin hanya diikuti 1457 mahasiswa –sekitar 10 persen-(Departemen Litbang dan Propaganda Partai Kubah, 2012). Sehingga kalau menganalisis tingkat partisipasi politik menggunakan piramida partisipasi politik –berdasarkan kuantitas pemilih- oleh Roth dan Wilson, maka mahasiswa UMY dapat dikelompokkan di dalam kelompok apatis (apathetic).

Apatis adalah Positif

Perbedaan pendapat terjadi di kalangan para sarjana ilmu politik. Yaitu perdebatan antara menyikapi fenomena kelompok apatis dalam Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai gejala positif atau negatif. Terutama antara Herbert McClosky yang memandang apatis sebagai gejala positif berhadapan dengan mayoritas sarjana yang menolak. Menurut McClosky kelompok apatis itu tidak perlu dirisaukan. Lebih lanjut dalam tulisannya ia mengemukakan bahwa sikap apatis ini malahan dapat diartikan sebagai hal yang positif karena memberi fleksibilitas kepada sistem politik, dibanding dengan masyarakat yang mengalami partisipasi berlebih-lebihan dan dimana warganya terlalu “aktif”, sehingga menjurus ke pertikaian, fragmentasi (perpecahan), dan instabilitas sebagai manifestasi ketidakpuasan (Budiarjo, 2009).

Banyaknya mahasiswa yang memutuskan tidak ikut memilih barangkali disebabkan karena calon yang dipilih menurut mereka tidak akan membawa perubahan atau setidaknya mengubah keadaan menjadi lebih baik. Misalnya, keberadaan BEM dan DPM yang tidak dirasakan banyak mahasiswa. Ditambah  sosialisasi pemira yang penulis lihat tidak dilaksanakan oleh KPU. 

Momentum sekarang bukan saat yang tepat bagi mahasiswa untuk tidak memilih. Karena sebenarnya mahasiswa masih mempunyai kesempatan besar untuk melakukan perubahan itu. Jangan lupa, iklim politik mahasiswa tidak sepanas dan seganas iklim politik nasional. Sehingga tidak berdampak pada terjadinya pertikaian, fragmentasi dan instabilitas seperti yang diramalkan McClosky.

Semakin banyak partisipasi politik yang mahasiswa berikan akan melahirkan iklim politik kampus yang semakin positif. Karena jika semua mahasiswa memilih, maka calon presiden yang terpilih tidak saja lagi datang dari amanat sekelompok mahasiswa –seperti rekanan, kelompok atau simpatisan dari masing-masing calon- sehingga tidak lagi merupakan aspirasi subyektif (sepihak) tetapi obyektif (banyak pihak). Dampaknya, calon yang terpilih dapat dipertanggungjawabkan kecakapannya. Karena dipilih oleh semua mahasiswa, bukan segelintir mahasiswa. 

Mari menjadi Pemilih

Pemira selanjutnya tidak saja menjadi rutinitas politik mahasiswa. Tetapi sebenarnya merupakan sarana pendidikan politik bagi mahasiswa. Yaitu masa persiapan sebelum mahasiswa terlibat dalam partisipasi politik (Pemilu) di kehidupan nyata. Pemira melatih mahasiswa menjadi pemilih yang baik. Yaitu pemilih yang menjungjung asas pemilu; langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil). Mahasiswa dilatih menjadi pemilih yang mengedepankan moral sebagai alasan memilih bukan materi –seperti transaksi politik uang, proyek, dan lain-lain.

Pada momentum itu  mahasiswa diajarkan betapa penting menggunakan hak suara yang mereka miliki. Khususnya, bagaimana cara memilih calon yang tepat. Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah calon itu mengusung mandat perbaikan kampus atau melanjutkan status quo rezim lama yang stagnan derevolusioner. Mahasiswa kedepannya harus sadar siapa calon pemimpin yang harus mereka pilih. Dengan menggunakan hati nurani sebagai alat, bukan iming-iming materi (traktir makan, rokok, dan lain-lain)

Zulfikhar
Presiden Partai Kubah

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*