Dilema Grasi Istana untuk Ola

Meirika Franola, atau biasa disapa Ola pada 11 September kemarin mendapat grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selusin kritik kemudian mengalir menanggapi keputusan tersebut. Pasalnya, perempuan separuh baya tersebut dinilai sejumlah pemerhati hukum, tidak layak dikasihani karena kasus hukum berat yang menyanderanya. 

Ola pada tahun 2000 tertangkap tangan di bandara Soekarno-Hatta hendak mengirimkan narkoba ke luar negeri. Narkoba jenis kokain dan heroin seberat 3,6 kg itu dibawa bersama dua rekannya yang sekaligus kerabatnya sendiri, Rani Andriani dan Deni Setia Maharwan. 

Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun yang sama memvonis ketiganya hukuman mati. Sampai pada grasi resmi dikeluarkan, vonis itu belum juga dilaksanakan. Grasi yang dikeluarkan tersebut meringankan hukuman Ola –dikabulkan melalui Keppres No. 35/G/2011- dan Deni –diberikan melalui Keppres No. 7/G/2012 tertanggal 25 Januari 2012 –sehingga vonis yang semula hukuman mati berubah menjadi seumur hidup. Anehnya, Rani tidak mendapatkan grasi dari presiden. Padahal vonis hukuman ketiganya sama-sama berat.
Praktik pengedaran narkoba yang dilakukan Ola sebagai otak pengedaran merupakan bentuk kejahatan yang tidak dapat ditolerir. Tindakannya tersebut secara tidak langsung telah merusak masa depan para pemakai yang rata-rata relatif berusia muda. Jangan lupa, setiap hari 50 orang mati karena narkoba.  


Ola sebelumnya dilaporkan oleh kuasa hukumnya, Farhat Abbas, telah insyaf setelah masuk bui. Belakangan, seperti yang diberitakan majalah Detik (edisi 19-25 November 2012), Ola sebaliknya melakukan aksi yang sangat berani. Darnawati, mantan rekan Ola di dalam  Lembaga Permasyarakatan (LP) Wanita Tangerang mengatakan pernah diajak Ola menjadi kurir. Tidak hanya itu, lanjut Darnawati, Ola disebut-sebut sebagai “Jenderal” –oleh para penghuni LP. Ola terindikasi mengendalikan peredaran narkoba di dalam rumah pesakitan itu. Menurut Darnawati, Ola dapat melakukan itu semua karena banyak duit.
Pengakuan Darnawati itu tidak sejalan dengan pengakuan petugas LP Wanita Tangerang. Menurut mereka, testimoni Darnawati tidak dapat dibuktikan.

Kini keputusan presiden sudah dikeluarkan. Ola akhirnya divonis lebih ringan dengan hukuman seumur hidup. Tetapi, menurut Farhat Abbas, vonis yang diberikan diminta diperingan menjadi 20 tahun. Menurut Farhat, permintaan peringanan itu diajukan karena Ola sudah berkelakuan baik di dalam LP, Ola bukan otak pengedaran narkoba –tetapi suaminya, mendiang Mouza Sulaiman, mafia narkoba kelas kakap asal Pantai Gading. Dan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan –karena Ola punya anak yang harus dinafkahi.


Grasi Seumur Hidup: Darimana?

Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) sebelum Amir Syarifuddin, Patrialis Akbar, pada tahun 2011 lalu pernah menyampaikan sikapnya mengenai kasus ini. Menurut beliau, Ola pada saat itu tidak  memenuhi persyaratan untuk diberikan grasi. Yaitu tidak berkelakuan baik selama masa penahanannya. Sehingga surat rekomendasi kepada Presiden, berbunyi penolakan. Hal yang senada juga keluar dari Mahkamah Agung yang sebelumnya merekomendasikan kepada Menkumham untuk menolak grasi Ola.

Kejanggalan pun mengemuka. Surat penolakan pengajuan grasi berubah menjadi persetujuan. Patrialis pun bingung bagaimana mungkin bisa berubah. Dalam diskusi di Indonesia Lawyer Club (ILC) TV One pada 13 November kemarin. Ahmad Yani, politikus dari PPP, menganilisa bahwa surat dari Kemenkumham tersebut diduga dipalsukan oleh oknum-oknum mafia narkoba di Istana Negara –sambil menunjukkan surat asli di tengah forum malam itu. Menurut Ahmad Yani, ada tiga orang yang wajib diperiksa seputar pengetahuannya mengenai surat tersebut. Yaitu: Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet, Dipo Alam dan Staf Khusus Presiden, khususnya bagian hukum. 

Sayangnya orang istana –meskipun belum bisa dipastikan- tidak ada yang mengaku merubah isi surat tersebut. Tetapi bisa saja ada intervensi dari luar istana yang mampu meyakinkan orang istana seperti disampaikan ketua MK, Mahfudz MD. Dan sekali lagi, orang istana pelindung mafia narkoba harus diungkap. 

Sulit dipercaya, surat grasi bisa berbeda bunyi. Padahal direkomendasikan dari institusi hukum yang sehari-hari mengawasi Ola. Apalagi kejahatan yang dilakukan terpidana merusak masa depan bangsa. Dan oleh karenanya tepat diganjar dengan hukuman mati. Lebih mengkhawatirkan lagi, Ola diisukan masih berinteraksi dengan narkoba. Dan disebut-sebut sebagai otak  yang mengendalikan perputaran barang haram itu di penjara. 

Langkah Berikutnya

Bagaimanapun juga keputusan presiden SBY untuk menghukum Ola seumur hidup sudah keluar. Keputusan tersebut merupakah hak prerogatif presiden sehingga tidak dapat ditarik. Maka yang menjadi critical point selanjutnya bukan lagi kepada putusan presiden, tetapi pada proses yang menyebabkan putusan tersebut keluar.

Struktur dibawah presiden patut dicurigai sebagai biang masalah. Suka atau tidak suka mereka harus diperiksa. Tidak layak struktur strategis tersebut dibiarkan cacat moral. Sebaliknya, seharusnya mereka legowo untuk diperiksa. Mafia narkoba di Istana sudah bisa dipastikan memang ada. Dan telah mengalami trasnformasi menjadi vonis politik. Vonis politik itu kini mulai menggelisahkan dan bergentayangan di atas opini masyarakat. Maka, sudah seharusnya institusi dan vonis hukum memusnahkan kegelisahan itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*