Membiasakan Berpikir dan Menolak Taklid

Dalam acara pengajian Maiyyah (Mocopat Syafaat) di Tamantirto, 17 Desember kemarin, Cak Nun mengajak jamaah untuk membudayakan kebiasaan berpikir. Berpikir secara mendalam dan memutuskan dengan beragam pertimbangan. Tidak hanya menggunakan wahyu sebagai sumber absolut pengkajian ilmu Islam. Sebab wahyu tidak selalu dapat dipahami manusia. 
 
Hal itu ia kembali singgung karena banyak umat Islam saat ini terburu-buru berespon terhadap suatu masalah. Mereka cenderung terlalu cepat untuk menjawab dan membenarkan pendapatnya. Dan menghakimi orang-orang yang berbeda –karena mencerna dengan pikiran- sebagai salah, bid’ah, haram, kafir. Mereka selalu memperkuatnya dengan dalil naqli (baca: Al-Qur’an dan hadits). Padahal mereka lupa Al-Qur’an punya tafsiran dan pengkajian atas maknanya. 

 
Cak Nun memberi contoh filosofi memakan makanan. “Berpikir itu seperti mulut yang memakan makanan padat (singkong, pisang, dll) dengan mengunyahnya terlebih dahulu. Bukan langsung menelannya utuh.” Ia melanjutkan ketika makanan padat yang masuk ke mulut tanpa dikunyah dahulu, seketika akan membuat orang tersebut langsung menyerang orang yang tidak seide dengannya. Seolah-olah ia paling tahu dan paling benar mengenai ilmu atau ajaran Islam. 
 
Pada saat seorang guru memberikan ilmu kepada muridnya. Seharusnya, guru tersebut mengajarkan agar ilmu yang diberikannya itu dipikirkan dan dipahami dahulu dengan baik. Bukan, mewanti-wanti murid untuk menerimanya mentah-mentah. Itu yang dinamakan taklid -yaitu meniru atau mengambil pendapat ulama tanpa mengetahui dalil naqli (Al-Qur'am dan Hadits) tentang pendapat tersebut- (antitesis ittiba kepada Rasululullah) dan dilarang oleh Allah dalam Al-Qur'an 17: 36 dan 16:43. Padahal Islam memberikan porsi yang proporsional kepada manusia untuk berpikir dan menganalisa dengan pertimbangan syar’i dan ilmiah. Sudah berkali-kali Allah dalam Al-Qur’an memfirmankan,“afala ta’qilun“, “afala yatadabbarun“, “afala tatafakkarun“, yang berarti, apakah kalian tak memakai akal, apakah kalian tak menelaah, apakah kalian tak berpikir. 
 
Di dalam Al-Qur’an 3:190-191, Allah mengajak manusia untuk memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Mengapa di langit ada bulan dan bintang, sedangkan di bumi ada gunung, sungai, lautan, lembah?. Apa pendapat manusia tentang realitas natural seperti itu? Benarkah muncul dengan sendirinya melalui fenomena ketidaksengajaan menjadi atom dan melalui evolusi material berjuta tahun lamanya? Atau ada kekuatan yang menghadirkan fenomena itu?

Berpikir merupakan sunnatullah dalam proses mengilmui sesuatu, bahkan Tuhan sekalipun. Ia juga merupakan kebutuhan dasar –yaitu level tertinggi piramid Kebutuhan Dasar Manusia menurut Abraham Maslow- manusia untuk mengaktualisasikan keberadaan dirinya. Tidak seharusnya ilmu itu membatasi manusia untuk memikirkan kebenaran dan kebohongan ilmu pengetahuan. Sebab pikiran itu harus bebas, radikal (menajam ke akar masalah) dan berada di dalam makna. Juga membawa kesejahteraan dan kedamaian hati. Itulah yang dinamakan filsafat Islam.

Filsafat (baca: filsafat Islam) itu kemudian menemukan hakikat dibalik makna ahli tafsir Al-Qur’an, hadits dan lain-lain. Tetapi sekali lagi filsafat bersifat spekulatif –maka tidak absolut mewakili kebenaran universal- sehingga diperlukan jalan lain yang mampu mendamaikan gagasan kebenaran universal dan relatif itu. Maka, menurut Musa Asy’arie (2001) proses perolehan ilmu melalui filsafat mungkin diperoleh melalui jalan –yang pada mulanya terbagi dua yaitu: jalan kasbi atau khusuli dan ladunni atau khuduri- khuduri. Yaitu memperoleh ilmu tidak didahulukan dengan proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, tetapi melalui proses pencerahan melaui hadirnya cahaya Ilahi dalam qalb. Sehingga, semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca jelas dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. (Yazdi dalam Asy’Arie, 2001).

Cak Nun dalam pengajian malam itu mengatakan puncak ibadah (baca: sholat) adalah keindahan. Ini merupakan konsekuensi dari kesadaran pikir manusia. Karena pikir itu menginginkan metode sholat yang baik dan benar sesuai perintah Allah. Hal ini disebabkan karena ibadah manusia kepada Allah tidak dapat dilihat dan diprediksi dengan niat ikhlas atau tidak. Banyak motif dalam aktivitas transenden itu. “Sholat yang baik itu dilakukan dengan khusyu’ (ikhlas dan konsentrasi penuh) bukan niat untuk dilihat orang supaya dibilang sholeh,” lanjutnya. Karena keindahan itu harus memenuhi syarat materi (rukun, syarat, tata cara) dan immateri (niat, ikhlas dan khusyu) maka sholat yang khusyu secara langsung telah memenuhinya. 
 
Manusia sebagai makhluk berakal seharusnya memakai pikirannya dalam menghadapi kehidupan, apalagi ilmu pengetahun. Sebab itu merupakan wujud dari rasa syukur atas karunia Allah. Manusia pasti tahu segala sesuatu yang diberikan mempunyai manfaat dan hikmah. Sehingga, memanfaatkan karunia itu merupakan konsekuensi hidup untuk mendapatkan tempat keberadaan di tengah konstelasi hidup manusia. Seperti kata Rene Descartes, “dubito ergo cogito, cogito ergo sum, saya ragu maka saya berpikir, saya berpikir maka saya ada”. Sehingga, mengilmui sesuatu tanpa berpikir merupakan musibah kecacatan dan tanpa dilandasi wahyu adalah kehancuran. Maka, menghadirkan kebiasaan untuk selalu memikirkan dalam mengarungi hidup merupakan keniscayaan dan sunnatullah kehidupan. Wallahu alam bis shawab.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*