Membaca Manuver Penyelamatan Partai Demokrat dan Sikap Anas

Minggu malam kemarin 33 ketua DPD Partai Demokrat dari seluruh Indonesia berkumpul di rumah ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kedatangan mereka untuk mengucap sumpah untuk tidak melakukan korupsi. Sumpah itu tertuang dalam pakta integritas yang mereka tanda tangani beserta konsiderans dari ketua Majelis Tinggi.

Beberapa waktu yang lalu muncul isu kudeta’ Majelis Tinggi terhadap Anas Urbaningrum, ketua umum Partai Demokrat. Berhubungan dengan pemanggilan sejumlah anggota majelis tinggi di Cikeas pada beberapa hari sebelumnya. Dan respon SBY menyikapi status Anas yang akhir-akhir ini dihubungkan dengan kasus korupsi Wisma Atlet dan Hambalang.

SBY dalam pidatonya saat itu secara implisit memerintahkan Anas untuk fokus pada kasus yang menyanderanya –meskipun belum tersangka, tetapi sudah diisukan terlibat. Artinya, secara tidak langsung, Anas diminta menyerahkan kursi kepemimpinan kepada Majelis Tinggi. Anas rupanya bersikap berbeda dengan menyebut pidato itu bukan sugesti yang ditujukan untuknya. Malah menurutnya, kalau keberadaannya menurunkan elektabilitas partai itu keliru. Ia berpendapat menurunnya elektabilitas partai itu juga karena tidak maksimalnya kinerja kabinet.


Menurunnya elektabilitas Demokrat yang semakin menurun drastis diduga sebagai latar belakang dari sikap Majelis Tinggi untuk mengganti Anas. Elektabilitas Demokrat yang pernah mencapai 20% pasca Pemilu 2009 itu kini menurun sampai 8,3% -melalui survei  Saiful Mujani Research and Consulting pada tanggal 6-20 Desember 2012- pada tahun ini. Padahal hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2-11 juni tahun lalu baru 11,3%. Hal ini merupakan preseden terburuk sejak kemenangan partai itu tahun 2004. Menurut Sutan Batoegana, menurunnya elektabilitas partainya karena kasus korupsi Nazaruddin dan menjalar ke tokoh-tokoh lain seperti Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng.

Partai yang mengusung jargon “Katakan Tidak Pada Korupsi” pada kampanye di televisi pada pemilu 2009 itu telah mengkhianati umbaran janjinya. Bahwa alih-alih mau melawan korupsi, beberapa kader PD yang tampil dalam video berdurasi 50 detik itu –seperti Angelina Sondakh dan Andi Malarangenng- kini malah menjadi tahanan KPK. 

Bermula sejak penangkapan Nazaruddin di Bogota, Kolombia pada 2011 lalu. Tingkat kepercayaan publik kepada partai berlogo mercy biru ini secara gradual menurun. Apalagi dalam testimoni Nazaruddin melalui media Skype menjelang penangkapannya, mengatakan Anas berada dibalik korupsi dana proyek wisma atlet Rp 30 miliar dan 5 juta dollar di Palembang –yang digunakan untuk memenangkan dirinya dalam bursa pemilihan ketua PD pada Kongres tahun 2010 di Bandung. Sontak semua orang ramai membicarakan skandal tersebut. Apalagi pengakuan Nazaruddin yang menyebut Angelina Sondakh terlibat dalam kasus tersebut akhirnya terbukti. Elektabilitas Demokrat pun meluncur ke bawah.

Kini setelah ditangkapnya Andi Malarangeng sebagai tersangka korupsi pembangunan sekolah atlit di Hambalang, pengurus Demokrat mulai berkoordinasi mencegah hal terburuk terjadi. Pembenahan mulai dilakukan oleh Majelis Tinggi untuk menuntaskan masalah ini agar tidak berlarut. Sementara fokus kepada 2014 ditunda dahulu.


Manuver Penyelamatan Partai

SBY sebagai figur kharismatik Demokrat sudah menjadi aksioma bahwa ia satu-satunya tokoh yang dapat menyelamatkan karamnya partai itu. Sosoknya tampak merupakan penyelamat dan masa depan partai. Sikap dan karakternya menjadi prototip kader ideal Demokrat. Sehingga Demokrat sangat bergantung kepadanya. Semua gonjang-ganjing yang kini menerpa partai tidak bisa dihilangkan tanpa peran sentral SBY. Ketergantungan itu pun akhirnya membuat partai itu tidak bisa hidup tanpa SBY. 

Sistem koordinasi dan konsolidasi pada level atas di Dewan Pembina, Majelis Tinggi, tidak terlihat menampilkan peran yang signifikan dalam strategi perjalanan partai. Demokrat sudah terlanjur nyaman menjadikan SBY sebagai obat dan solusi. Tidak seperti partai-partai lain yang lebih menekankan kepada kerja sistem organisasi daripada figur. Sayangnya, kharisma SBY itu diam-diam dikhianati oleh kader-kadernya.

Pesan-pesan SBY supaya menjalankan politik yang bersih, cerdas dan santun banyak tidak dipatuhi. Sehingga, upaya pembenahan dengan melakukan komitmen kembali (pakta integritas) harus dilaksanakan. Padahal, pakta integritas ini pernah dibuat dan ditandatangani Juni tahun kemarin.

Manuver tersebut barangkali terlihat cukup efektif untuk setidaknya memberikan tanda kepada kader bahwa situasi partai sedang darurat. Penyakit yang melemahkan partai sudah mulai kronis. Bahwa persatuan kini harus dilakukan dan menjadi prioritas utama. 

Tetapi manuver itu akan terdengar sumbang jika di kemudian hari pakta integritas kembali dilanggar. Akibat dari keberadaan faksi-faksi di dalam partai yang mempunyai kepentingan dan tokoh-tokoh panutan sendiri. Anas misalnya, yang akhir-akhir ini akan diisukan ditarik dari posisi sebagai ketua umum tidak akan dibiarkan oleh para pendukungnya. Anas yang mendapat dukungan lebih dari 60% DPD di daerah akan sulit diturunkan.

Pidato implisit SBY yang tidak to the point untuk meminta Anas supaya fokus kepada kasus yang sedang ia jalani diduga merupakan tanda bahwa Anas diminta SBY -sebagai representasi Majelis Tinggi- untuk mundur. Dan secara tidak langsung ini merupakan sebuah kudeta oleh majelis tinggi. Sebab di dalam AD/ART Demokrat tidak menyebutkan bahwa Majelis Tinggi berwenang untuk memberhentikan ketua umum

Langkah SBY untuk mempersatukan Demokrat dengan menurunkan Anas menurut penulis akan kontraproduktif. SBY belum bisa menjadi Akbar Tandjung yang berhasil mempersatukan Golkar pasca kasus korupsi yang menderanya. 

SBY yang menurut pengamat politik Gun Gun Heryanto ingin memosisikan Anas sebagai ketua umum de jure tetapi secara de facto diambil alih Majelis Tinggi akan semakin memperumit masalah. Dan manuver kedua penyelamatan partai itu akan menjadi pemantik bencana yang sebaliknya akan bertambah besar.
Anas sebagai tokoh yang sudah familiar dengan pergulatan politik sejak mahasiswa tidak membiarkan dirinya kalah. Langkah Majelis Tinggi untuk memberhentikan karir politiknya merupakan langkah keliru dan prematur untuk menjatuhkan mantan ketua PB HMI itu. Apalagi status Anas yang saat ini masih menjadi saksi. 

Jaringan alumni HMI (HMI Channel) di dalam tubuh Demokrat dari DPC sampai DPP akan mendukung Anas. Apalagi melihat posisi Anas yang terlihat terzalimi dan diwacanakan untuk berhenti padahal tidak ada konstitusi partai yang membenarkan wacana inkonstitusional tersebut. 

Keringat dan materi yang sudah dikeluarkan Anas untuk mendapatkan posisi ketua umum tidak akan dengan mudah diserahkan. Apalagi dari pengakuan Nazaruddin, kemenangan itu karena politik uang –hasil korupsi proyek Wisma Atlet- yang dilancarkan Anas untuk memenangkan dirinya. Artinya, –kalau pengakuan Nazaruddin itu benar- disini Anas telah mempertaruhkan karir politiknya dalam kompetisi itu. 

Anas akan melawan dan tidak akan membiarkan wacana tersebut menghancurkan dirinya. Kalau ia kalah, maka karir politiknya akan tamat. Anas kemungkinan besar juga akan menjadi tersangka. Sebab dia sudah kehilangan kekuatan dan bargaining position politiknya. Usaha untuk menurunkan Anas akan menguras kekuatan partai dan berpretensi memunculkan konflik antar faksi di internal Demokrat. 

SBY sebagai ketua Dewan Pembina telah berulang-ulang mengkampanyekan agar kader Demokrat untuk menjalankan politik yang santun. Tetapi, kalau melihat perkembangan pidato-pidatonya beberapa tahun terakhir. SBY banyak melantunkan kalimat yang secara sepihak meminta kader-kadernya yang tidak menjalankan sarannya untuk keluar dari partai. Seperti yang disampaikannya pada pidato di Hotel Sahid, juni 2012 lalu, "bagi kader Partai Demokrat yang merasa tidak sanggup untuk menjalankan apa yang saya sampaikan, politik bersih, cerdas dan santun, lebih baik keluar (dari Partai Demokrat) sekarang juga."

Statemen SBY untuk menyelematkan partainya itu merupakan suatu terobosan yang baik. Tetapi, tidak tepat dilakukan dalam sebuah organisasi politik apalagi yang hidup matinya ditentukan oleh keberadaan kader. Seharusnya, sebagai pimpinan partai, ia tidak boleh mewanti-wanti kader dengan ancaman sepihak seperti itu. Partai harus melakukan pengkaderan politik yang tersistem. Tidak tepat menerima kader baru tanpa proses seleksi dan pendidikan politik yang paripurna. Apalagi tidak ada sarana ideologisasi yang membuat kader mencintai partai dan bersedia mengabdi dan menjunjung nilai-nilai moral partai. Tidak heran kalau banyak kader Demokrat yang tidak menghormati pemimpin dan mekanisme yang berlaku, seperti menjadikan partai sebagai sarana untuk mencapai kepentingannya, dan memecat kader-kader yang tidak patuh tanda ada mekanisme musyawarah –dipecat sepihak oleh pimpinan, seperti pemecatan Ruhut Sitompul oleh Anas karena selalu mengkritik.

Asas praduga tidak bersalah yang seharusnya dijunjung oleh setiap warga negara tampaknya kini mulai ditinggalkan SBY. Berdalih untuk menyelamatkan partai, SBY malah mencederai asas hukum yang seharusnya dijunjung oleh setiap orang. Apalagi posisi beliau sebagai negarawan, sebagai presiden Republik Indonesia.

Proses pengkaderan partai seharusnya berjenjang. Tidak ujuk-ujuk kader baru seketika mendapat jabatan strategis di DPD dalam waktu yang singkat. Hanya karena materi, kepopuleran dan massa yang dimiliki, karir politik mereka dalam partai melesat cepat. Apalagi biaya untuk menjadi caleg dari partai sangat mahal dan sudah banyak dari mereka yang tidak berasal dari partai (kader dadakan) menjadi anggota legislatif (aleg). Sedangkan kader partai sendiri tidak memiliki integritas dan jiwa kenegarawanan. Akibat biaya kampanye yang mahal –karena menggunakan materi untuk menarik suara dan upah tim sukses- maka ketika berhasil menjadi aleg (pejabat), mereka menggunakan power politiknya untuk melakukan praktik balik modal (baca: korupsi).

Konflik di Demokrat tidak akan berakhir tanpa ada kesadaran dari setiap kadernya untuk berbenah. SBY sebagai ketua Majelis Tinggi harus menunjukkan dirinya sebagai figur partai yang berintegritas. Tidak etis untuk membenah partai dengan melanggar konstitusi partai. SBY harus bersabar untuk mengamati perkembangan kasus yang dijalani Anas. Saat status Anas meningkat menjadi tersangka tentu tepat Majelis Tinggi untuk menurunkan sekaligus menonaktifkan Anas. Pada saat itu tidak ada apologi yang dapat dikeluarkan Anas untuk meyakinkan ketidakbersalahannya.

Sebaliknya, bisa saja Anas tidak akan mundur meskipun statusnya sudah tersangka. Sebab tidak saja karir politiknya akan berakhir, ia juga akan kehilangan integritas kenegarawanannya bahkan sebagai manusia. Jangan lupa ia pernah mengatakan, “kalau Anas korupsi, gantung Anas di Monas.” Hal ini mengindasikan tanda bahwa Anas akan sulit dimejahijaukan. Ia tidak membiarkan dirinya menjadi tersangka korupsi –terlepas dari bersalah atau tidaknya. Kalaupun saja menjadi tersangka, ia tidak akan menjadi terdakwa dan terpidana. Anas akan melancarkan kekuatan politiknya semaksimal mungkin dan membuktikan bahwa ia adalah seorang politisi handal dan berkelas.

Referensi:
Berita Malam Tv One, 12 Februari 2013
Kompas, 11 Februari 2013
Kompas, 9 Februari 2013
Kompas.com, 3 Februari 2012
Kompas.com, 17 Juni 2012
Okezone.com, 13 Juni 2012
saifulmujani.com, 14 Februari 2013


Zulfikhar
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Aktivis KAMMI DIY

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*