Kesadaran Anti-Korupsi, mungkinkah?


Saya kira kita sudah bosan dan kesal dengan kasus korupsi yang marak terjadi di penjuru negeri ini. Tidak salah negeri ini dikenal sebagai salah satu negara di Asia yang terkorup. Indeks Persepsi Korupsi kita 3 -semakin tinggi nilainya, tingkat korupsi semakin rendah. Transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara juga tidak masif dilakukan. Ada beberapa lembaga negara -termasuk lembaga yudikatif- yang belum mau transparan. Kalau sudah begini, bagaimana mau menghadirkan kepastian hukum.

Negara Indonesia adalah negara yang menjunjung hukum sebagai pranata berkehidupanmya. Tidak heran, hukum diabadikan dalam pasal 1 UUD 1945. Namun miris, hukum hari ini baru sekedar nama an sich. Transformasi  menjadi nilai yang benar-benar tertanam dalam kesadaran berbangsa dan bernegara belum sepenuhnya terjadi. Hukum belum menjadi instrumen trias politika yang berdaulat.

Saya sejak dulu mempertanyakan paradoks seperti  ini. Mengapa kepala Akademi Kepolisian bisa menjadi tersangka korupsi? Padahal ia adalah cermin teladan calon pejabat kepolisian masa depan. Mengapa para jaksa rentan menerima suap dari lawannya? Padahal ia di amanatkan negara sebagai ksatria pengadilan. Kalau  para penegak hukum sudah begini jadinya, kemana rakyat mencari keadilan?  Apalagi kini rakyat kecil juga mempraktikkan korupsi. Tukang parkir, joki, dan calo bisa menjadi sampelnya. Apalagi kalau masuk
berbelanja di pasar.

Banalitas Budaya
Korupsi saya lihat sudah menjadi kebiasaan baru. Budaya baru. Kenapa saya sebut budaya? Bukankah budaya biasanya diasosiasikan kepada hal-hal yang positif? Ya, itu benar. Tapi ini adalah 'banalitas budaya'. 'Budaya' yang telah ditenggelamkan oleh perilaku-perilaku buruk yang merusak nilai-nilai yang terkandung dalam budaya.

Kenapa budaya dirusak? Karena, saat ini orang Indonesia dipengaruhi kebutuhan terhadap materi. Kebutuhan untuk mengkonsumsi. Kebutuhan ini terjadi mulai dari kebutuhan fisiologis (makan, minum) sampai aktualisasi diri (sekolah, fashion, politik, dll). Sehingga tidak keliru, beberapa waktu yang lalu ada penerima BLSM terlihat menggunakan Blackberry. Terlepas dari kontroversi ketidaktepatan penyalurannya, setidaknya hal tersebut menjadi potret besarnya hasrat konsumtif orang Indonesia. 

Terkhusus untuk kebutuhan aktualisasi diri. Orang Indonesia bisa dibilang menjadi target pasar internasional yang menggiurkan. Orang Indonesia dikenal oleh dunia sebagai pengkonsumsi Blacberry terbesar di dunia. Apalagi antara tahun 2010-2030 Indonesia sedang menikmati apa yang disebut 'bonus demografi'. Yaitu pertumbuhan usia produktif -pasca SMA-pensiun (17-55 tahu)- yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan kelas menengah sebanyak 7 juta orang per tahun. Tidak heran Air Asia, perusahaan pesawat komersil negeri jiran, memindahkan kantor pusatnya dari Kuala Lumpur ke Jakarta.
Budaya telah diarus balikkan dari kebiasaan-kebiasaan positif -atau yang dianggap baik dan benar- yang diwariskan, menjadi pembusukan terhadap budaya itu sendiri. Orang Indonesia saat ini tidak sadar mengalami pembusukan yang semakin parah dari hari ke hari. Kemapanan dalam kenyamanan dalam menikmati hasil korupsi membuat mereka menjadi, meminjam istilah Jean Baudrillard, 'manusia fatalis'. 

Manusia fatalis adalah manusia yang selalu menerima dengan rasa putus asa terhadap segala perubahan dan kondisi sekitar. Putus asa disini bermakna positif. Maksudnya mereka menerimanya dengan sadar tanpa protes, tanpa emosi.  Putus asa dianggap sebagai sebuah kewajaran, karena semua orang hampir melakukannya. Artinya, -kalau mau menghubungkannya dengan- budaya koruptif dilihat sebagai tren baru yang tidak merugikan. Oleh karena itu, didiamkan, dibiarkan dan diam-diam dipelihara untuk terus ada.

Seorang peserta seleksi masuk kepolisian, misalnya, akan menganggap suap yang diberikannya kepada petugas panitia seleksi  sebagai imbalan bantuan. Keberhasilannya menjadi polisi nantinya, sudah selayaknya di syukuri dengan membalas budi. Tetapi kalau uang balas budi itu tidak meloloskannya menjadi polisi, apakah bisa disebut balas budi? Apakah dinamakan balas budi jika diberikan di muka dan nominalnya ditentukan? Sayangnya, peserta seleksi yang tidak lulus menganggap itu sebagai sebuah kewajaran. Mereka berpendapat mungkin nominal suapnya kurang banyak atau karena mereka salah memilih calo (petugas yang membantu kelulusan). Sayangnya, persoalan kapasitas -oleh para peserta ini- tidak diperhatikan dibanding dengan urusan suap. Terutama kapasitas personal (kognitif dan psikomotor) peserta yang barangkali belum qualified

Permainan Bahasa
Di Jepang, terjadi perbedaan tradisi kaum muslimin dalam melaksanakan sholat. Kalau di negeri ini, jamaah yang membawa barang berharga biasanya menyimpan barangnya di depan shaf sholat. Di Jepang terjadi sebaliknya. Di sana jamaah sholat menaruh barangnya di belakang shaf. Mereka tidak khawatir kehilangan. Karena memang barang-barang tersebut tidak akan hilang. Keamanannya terjamin bukan oleh sistem keamanan yang canggih tetapi oleh moralitas personal.

Orang Jepang dikenal sebagai bangsa yang memiliki moral baik. Mereka terkenal dengan sifat kejujurannya. Di Jepang, barang berharga yang tercecer atau hilang di jalan sudah bisa dipastikan akan ditemukan. Mengapa? Karena mereka sangat menghargai  kerja keras. Menurut mereka, sangat buruk menikmati hasil jerih payah orang lain yang bekerja siang-malam. Rupanya dengan itu mereka tidak hanya menghargai orang lain, tetapi sekaligus menghargai diri mereka sendiri yang juga pekerja keras. 

Hampir kita tidak akan mengira, kalau orang Jepang berlaku jujur karena mereka mengenal konsep pahala-dosa. Padahal sebenanarnya tidak. Mereka tidak bersandar kepada etika agama, tetapi memanusiakan manusia, humanisme. Jangan lupa, banyak orang Jepang menganut ajaran sinkretisme dan ateisme. Banyak di antara mereka mengabaikan keberadaan agama. Saking tingginya penghargaan orang jepang terhadap kejujuran, banyak pejabat negaranya yang sering mengundurkan diri karena diasumsikan sebagai koruptor.
Berbeda dengan Jepang, di Indonesia kejujuran hampir menjadi artefak sejarah. Langka dan sulit ditemui. Gaya hidupnya hampir dipengaruhi urusan perut. Padahal dulu Indonesia dikenal dengan filsafat moralnya yang sangat tinggi: gotong-royong. 

Konsep pahala-dosa yang  jelas tertera dalam Al-Qur'an, faktanya tidak berbanding lurus dengan aplikasi praksisnya.  Orang Indonesia –dalam hal ini kaum muslimin- lebih takut perut mereka kekosongan daripada  iman mereka sendiri. Mereka lebih takut hidup miskin dengan kejujuran daripada dengan kemunafikan. Sehingga praktik suap-menyuap dan pencurian dianggap wajar. Kemaslahatan ekonomi keluarga lebih diutamakan daripada kemaslahatan iman. Karena, beberapa di antara mereka berpendapat hal-hal yang darurat itu oleh agama boleh dilakukan. 

Fenomena seperti ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa sedang terjadi proses pemelintiran kebenaran. Kebenaran bahwa korupsi merugikan orang lain, dipelintir sedemikian rupa menjadi kebenaran. Korupsi yang buruk dihiasi dengan nilai balas-budi yang positif. Sehingga kepositifan itu menutupan kenegatifan. Meskipun sebenarnya mereka  tahu bahwa praktik tersebut salah. 

Fenomena ini disebut oleh Ludwig Wittgenstein sebagai permainan bahasa. Definisi korupsi yang dipandang orang di dunia pada umumnya  haram dan  merugikan orang lain, dianggap sebagai kebenaran oleh orang di Indonesia. Karena motif dan niatnya yang baik –bernilai balas budi, sehingga perilaku tersebut adalah baik. Apalagi hal tersebut dilakukan oleh banyak orang sehingga akhirnya menjadi fakta sosial. Sehingga menjadikan orang yang menolaknya terasing, represi dan terintimidasi.

Alam Bawah Sadar
Sigmund Freud membagi alam sadar manusia menjadi tiga bagian. Alam sadar, alam setengah sadar dan alam bawah sadar. Sifat seseorang yang sulit berubah biasanya sudah berada di alam bawah sadar. Kesadarannya dipengaruhi dan diarahkan oleh alam sadar paling bawah ini. 

Misalnya, seorang  feminis yang mengatakan bahwa menikah adalah racun. Itu boleh-boleh saja karena pemikirannya mengenai hal tersebut sudah tersimpan di alam bawah sadar dan menjelma menjadi karakternya. Hal ini terjadi karena seorang feminis terbiasa didoktrin bahwa institusi pernikahan itu akan membelenggu dirinya sebagai perempuan bebas. 

Setinggi apapun pendidikan seorang perempuan, setelah menikah, ia harus mengikuti kehendak suaminya -kehendak yang baik sampai terkadang kehendak yang buruk. Ia harus  bersedia bekerja di dapur, mendidik anak, mencuci pakaian dan lain-lain. Feminis tersebut lupa, bahwa perempuan  dikodratkan dengan naluri seperti itu. Meskipun kebutuhan pendidikan, berkarir dan berkarya tidak boleh dilupakan.

Karena terbiasa dididik untuk menjadi bebas, menemukan rekan yang melakukan hal sama dan mendapatkan fakta akan keberhasilan pemikiran tersebut, maka seorang  feminis pun percaya dengan ajarannya. Ia akan berani mengkritik yang berbeda, termasuk agama. Apalagi pemikirannya itu ia ajarkan ke orang lain. 

Alam bawah sadar para koruptor biasanya mengatakan bahwa korupsi adalah hal yang wajar –berbeda dengan nurani. Tidak ada salahnya melakukan korupsi jika -menurutnya- mendatangkan efek positif bagi dirinya ataupun juga orang lain. Akhirnya, meskipun rajin sholat dan mengikuti pengajian keagamaan, korupsi tetap dilakukan. Karena koruptor tersebut mengalami ekstase (tercandu) yang mendatangkan kesakitan jika menghentikannya.  Sama seperti pecandu narkotik, minuman dan rokok.

Saya kira tidak ada yang mustahil jika manusia bisa berubah kalau ia berniat dan termotivasi untuk melakukannya. Bahkan Fir'aun pun yang di masa hidupnya menyebut dirinya sebagai Tuhan, akhirnya bertobat juga -meskipun sudah terlambat- ketika laut merah menelan jasadnya.  Itulah mengapa di dalam Al-Qur'an (13:11) Allah berfirman tidak akan merubah nasib  suatu kaum (manusia) jika mereka yang mau mengubahnya sendiri. 

Menurut para ahli, kebiasaan baik manusia dapat dibentuk  jika dilakukan berulang-ulang sampai 40-50 kali. Misalnya, jika ingin membiasakan hidup jujur (anti korupsi). Hal tersebut tinggal dilakukan berulang-ulang. Kebiasaan jujur perlahan akan terbiasa dilakukan dan terbentuk  menjadi kebiasaan. 

Pengetahuan terhadap konsekuensi dan dampak korupsi penting dilakukan. Untuk orang Indonesia yang beragama tidak cukup dengan informasi dari agama (Al-Qur'an). Bahwa korupsi itu bisa divonis dengan qisas sampai hukuman salib (mati). Hal ini juga tidak cukup dengan pemahaman terhadap konsekuensi negatif dari korupsi, seperti kemiskinan, kelaparan, diskriminasi dan lain-lain. Tetapi, juga konsekuensi positifnya, seperti, keadilan, kesejahteraan, kedaulatan negara, pendidikan dan kesehatan cuma-cuma dan lain-lain. 

Konsekuensi positif dan negatif itu pada akhirnya akan menjadi pranata dan standar etika pribadi orang Indonesia. Sehingga, konsekuensi tersebut menjadi hukum pribadi dan tumbuh menjadi tradisi. Dalam psikoanalisis Freud, hal ini dinamakan superego. Hukum dari kepribadian manusia yang mengontrol dan mempengaruhi manusia agar hidup sesuai dengan pranata sosial dan hukum. 

Superego selanjutnya akan mempengaruhi ego -perilaku manusia yang dipengaruhi lingkungan dan realitas hidup- manusia yang koruptif untuk bertindak anti korupsi. Karena kesadaran terhadap perintah superego -yang mengkristal karena selalu dibiasakan dengan niat dan motivasi untuk hidup anti korupsi. Sehingga ego yang tadinya konsumtif, cenderung fetis (mensakralkan) terhadap materi dan koruptif dapat dikendalikan dan hilang. Dengan demikian, kesadaran untuk hidup anti korupsi bukan hal  mustahil.  Wallahu alam bis shawab.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq


Kasihan, 6 Agustus 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*