Pemilu dalam Timbangan Ulama
Prakondisi
Pada
pengajian Mocopat Syafa’at malam Selasa kemarin, banyak jamaah Maiyyah yang
menanyakan setumpuk masalah. Terutama yang paling membuncah perhatian, yakni
seputar
Pemilu 2014. Setelah Cak Nun membuka forum diskusi, muncul lima orang jamaah
yang bertanya. Ada yang menanyakan
integritas beberapa calon presiden yang telah lama menghiasi media massa, bagaimana memilih pemimpin yang tepat,
dan ada jamaah yang mengajak
untuk istikharah lebh dulu sebelum memilih.
Setelah
beberapa pertanyaan dari kelima penanya terkumpul, Cak Nun mempersilahkan kepada empat narasumber di
panggung,
yaitu Pak Musthafa W Hasyim, Kiai Ahmad Muzammil dan Mas Sabrang ‘Noe’ Letto
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Mas Sabrang menjawab dengan menyajikan hubungan politik
ekonomi yang melatarbelakangi momentum tersebut. Misalnya, bagaimana ia dengan
kritis menguraikan persaingan pengusaha pertelevisian meraup keuntungan dengan menyajikan sejumlah
tayangan televisi yang bisa dijual. Keresahan ia tumpahkan ketika ia bertanya,
kepada hampir setiap pemilik televisi yang ia temui, “bagaimana cara Anda
berhasil dalam bisnis ini?” Lalu dengan tenang hampir semua produser televisi
itu menjawab dengan poin yang sama, “kami mengambil keuntungan dari acara-acara yang
bisa dijual.” Nah, disinilah Mas Sabrang menghubungkan fenomena itu dengan
realitas politik hari ini yang mengambil jalan kesuksesan dengan cara relatif
sama:
pragmatisme.
Sayangnya, saya belum bisa berkomentar apa-apa mengenai
Pak Musthafa. Selain sindiran-sindiran khasnya
yang terbalut dalam untaian-untaian
puisi sarkastiknya.
Dalam
catatan singkat ini,
saya secara khusus akan
menguraikan
jawaban dari Kiai Ahmad Muzammil. Tidak
karena ekspresi kekaguman saya kepadanya. Tetapi alasannya
sederhana, karena jawaban dari beliau yang paling lengkap saya ikuti dan cerna
dengan baik.
Hukum
Pemilu
Seperti
pada pengajian-pengajian yang lain, Kiai Muzammil (sebagaimana Jamaah Maiyyah menyapanya) menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan dengan kitab. Pemimpin Pondok Pesantren Rohmatul
Umam Parangtritis ini,
dengan senyum rekahnya,
berdiri tegap dan melangkah
ke tepi panggung. Tangan kirinya menggenggam tablet berwarna putih. Benda itu lalu ia operasikan dengan gesekan jari-jemarinya.
“Baiklah
sekarang saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi dengan menggunakan
kitab. Jadi ini bukan pendapat saya ya? Ini pendapat kitab yang berjudul Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Kitab ini
dikarang oleh Syaikh Imam Al-Mawardi.”
“Jamaah.
Jadi kalau tadi banyak pertanyaan
tentang pemilu.
Maka saya ingin mengatakan bahwa pemilu
itu hukumnya, menurut kitab ini, adalah fardhu
kifayah. Seperti memandikan, mengafani sampai memakamkan mayit. Jadi, kalau
sudah ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakan, maka sebagian yang lain
gugur dari kewajiban tersebut.”
Ada
hal yang menarik disini, Pemilu hukumnya fardhu
kifayah. Atau wajib bagi sekelompok kaum muslimin. Kalimat itu serentak mengetuk dada ratusan
jamaah yang hadir malam itu. Pemilu yang hari ini gencar diberitakan media massa, mengajak masyarakat untuk memilih, difatwa haram jika meninggalkannya, rupanya
tidak sesakral itu bagi Kiai asal Madura itu.
Kalimat itu rupanya mendekonstruksi segala tetek bengek
tentang pemilu. Pemilu yang kerap didakwa wajib diikuti, diimingi-imingi uang
balas jasa dan seringkali memicu konflik horizontal tak terhenti, agaknya mulai
mendapat nuansa netralitasnya. Bahwa pemilu tidak melulu wajib bagi setiap
warga negara.
Ya,
saya kira kita semua tahu MUI beberapa tahun belakangan ini telah menggiring
partisipasi politik ke dalam pranata hukum agama. MUI dengan kekuatan otoritasnya, mengeluarkan fatwa yang mengharamkan golput. Sehingga seolah-olah tidak memilih pemimpin itu dianggap
sebuah kejahatan yang perlu mekanisme fatwa untuk melegalisasinya. Sehingga
tidak jauh berbeda dengan minuman keras yang membutuhkan instrumen serupa.
Meskipun kita patut berhusnudzan bahwa pada dasarnya MUI bermaksud baik. Tetapi
sayangnya maksud baik itu tidak mengacu
pada
dasar yang kuat disertai dengan
metodologi yang keliru.
Tetapi frasa diatas akan menyulut berlusi-lusin
pertanyaan. Mengapa fardhu
kifayah?
Nah, disinilah tugas Kiai Muzammil menjernihkan kekeruhan
itu.
Menurutnya, pemilu itu tidak wajib
karena tidak semua rakyat memiliki pemahaman yang baik terhadapnya. Tentu akan berbeda sikap
rakyat yang mengenal baik pemimpin yang ia pilih dengan rakyat yang tidak
mengenal pemimpinnya. Rakyat
yang
mengenal pemimpinnya –dari jejak rekam dan integritas yang dimilikinya- dengan
sadar akan memilih pemimpin itu karena ia tahu siapa pemimpin yang baik. Sedangkan, rakyat yang
tidak tahu, akan bingung dan cenderung keliru dalam memilih. Sehingga dengan kondisi bingung seperti itu, rakyat sangat
berpotensi menjadi korban penipuan
berkedok money politic.
Seyogianya
dalam pemilu tidak masalah sedikit atau banyak rakyat yang golput. Tidak peduli apakah sikap itu muncul karena kebodohan, ketidaktahuan atau masa bodoh
(apatis). Dalam hal ini,
rakyat
tidak berhak
dilarang. Keputusan tersebut adalah sikap mereka sebagai warga negara yang
diberikan kebebasan Negaranya
untuk menjadi A atau B. Pesimis atau optimis menyikapi keberadaan negara. Benar kata Alain Badio, bahwa golput itu adalah pilihan dalam
politik. Karena barangkali rakyat tidak merasakan kemanfaatan akan keberadaan Negara.
Sebaliknya, justru
dengan adanya Negara, rakyat merasa tambah susah dan sengsara. Saya ingat Cak
Nun pernah berpesan di pengajian
Kenduri Cinta beberapa waktu yang lalu, “semoga kamu suatu
saat punya Negara.”
Syarat
Peserta Pemilu
Dalam
Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Imam
Al-Mawardi membagi pemilih pemimpin (imam) ke dalam dua kategori: dewan pemilih (parlemen) dan dewan imam
(khalifah). Dewan pemilih adalah susunan beberapa orang yang mewakili rakyat, bertugas memilih
pemimpin. Sedangkan
dewan imam adalah beberapa orang yang
bertugas
mengangkat salah seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpin.
Kalau
kita mengamati sejarah Islam periode awal. Sejak masa kenabian sampai masa Khulafaur
Rasyidin. Kita
akan menemukan, kategori kedua
menjadi metode tunggal dalam memilih pemimpin saat itu. Sebaliknya di
masa modern, kategori pertama menjadi metode primer (pemilu) bagi mayoritas umat manusia di muka bumi ini, termasuk
kaum muslimin. Meskipun kategori tersebut
tidak persis sama dengan pemilu,
karena
ada perbedaan yang sangat fundamental.
Hal
inilah
yang kemudian dilanjutkan oleh Kiai Muzammil. Mengambil pendapat Al-Mawardi,
Kiai Muzammil menyampaikan bahwa setidaknya rakyat harus memenuhi tiga kriteria sebagai pemilih. Pertama,
keadilan. Maksudnya, dalam memilih pemimpin, seseorang harus berkepala dingin. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh
sentimen suku, agama dan politik. Sentimen suka atau tidak juga tidak boleh.
Karena bisa jadi calon pemimpin yang dibencinya secara pribadi bisa jadi adalah
pemimpin yang baik. Maka untuk mencapai keadilan ini, perlu dipenuhi syarat kedua yaitu ilmu. Setidaknya
untuk bisa disebut pemilih yang berilmu seorang pemilih mengenal siapa calon
pemimpinnya, riwayat hidupnya, jejak rekam kepemimpinannya, integritas
pribadinya dan visinya untuk Negara. Jika ada calon pemimpin sesuai dengan
kriteria yang diinginkan rakyat, visinya sesuai dengan kehendak mereka, maka silahkan dipilih. Tetapi
kalau rakyat tidak tahu,
apalagi tidak mengenalnya, maka jangan
dipilih.
Pada titik ini, Kiai Muzammil mengingatkan agar berhati-hati dalam memutuskan pilihan. Karena akan
panjang dampaknya bagi keberlangsungan Negara. “Jadi jamaah, kalau panjenengan tidak mengenal
calon-calon pemimpin tersebut, apalagi tadi sampai 0 koma sekian persen, maka panjenengan
haram memilih! Bahkan wajib golput! Mengapa? Karena kalau pemimpin tersebut
nantinya terpilih tetapi tidak amanah, bukan saja pemimpin tersebut yang berdosa, tapi
panjenengan semua juga ikut berdosa.”
Pesan Kiai Muzammil tersebut sangat
substansial. Tidak perlu memperpanjang
masalah memgambil sikap memilih atau golput. Kalau tahu ada pemimpin yang baik, maka
pilihlah. Kalau tahu semuanya buruk,
golput menjadi pilihan.
Sehingga, secara tidak langsung pesan Kiai Muzammil adalah kalau ingin menjadi
pemilih pada April dan Juli
nanti, maka sejak jauh-jauh hari perdalam pemahaman
terhadap politik dan para calon pemimpin
yang
terlibat dalam kompetisi tersebut. Kalau Rhoma Irama itu baik dan bisa memimpin, maka pilihlah. Kalau Jokowi mampu
kenapa tidak? Kalau Prabowo dengan latar belakang prestasi militernya yang mentereng mampu memperbaiki keadaan, percayakan suara padanya. Kalau Surya
Paloh yang disebut-sebut Soekarnois,
mampu melakukan restorasi perbaikan
kenapa tidak dipilih?
Jadi
soal tetek bengek pemilu tidak usah terus-menerus
diperpanjang. Soal golput atau tidak, tidak perlu diperuncing menjadi tugas
KPU atau Negara. Biarpun setiap tahun golput meningkat 10 persen, tetapi kalau nantinya kualitas
demokrasi semakin baik, akumulasi kesejahteraan meningkat signifikan, rasio angka
pengangguran terhadap ketersediaan lapangan
pekerjaan
ekulibirium, maka mengapa tidak golput?
Krisis
Political Will
Kiai Muzammil menuturkan kitab tersebut membagi
politik dibagi menjadi dua. Yaitu politik raja (siyasatul mulk) dan politik nabi (siyasatul anbiya). Kedua macam politik ini didasarkan pada kehendak
politik (political will) pemimpin di dalamnya.
Menurut
Kiai Muzammil, politik raja adalah sistem, perilaku dan metode politik yang
berorientasi kepada ghanimah dan kabilah. Yang dimaksud ghanimah adalah kehendak
politik untuk mencari kekayaan. Kalau ghanimah biasa diasosiasikan pada perang
dan harta musuh yang wajib disita, maka ghanimah dalam hal ini adalah
variabel
penting untuk memperkukuh kedudukan politik yaitu harta kekayaan. Sebagaimana
yang kita saksikan dalam sejarah umat manusia, perang seringkali terjadi karena
alasan tersebut. Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol, Portugis menjajah bangsa-bangsa
non Eropa tidak jauh karena alasan
untuk menumpuk
kekayaan.
Yang
dimaksud kabilah adalah orientasi memperkukuh kepemimpinan politik
dengan kekuasaan. Dulu struktur masyarakat Arab pra-Islam didomimasi oleh suku-suku yang dikenal dengan kabilah.
Suku-suku Arab saat itu seringkali berperang sehingga banyak diantara mereka
yang berkoalisi satu sama lain untuk melindungi diri dan menghadapi musuh. Semakin besar koalisi yang dibangun, maka semakin besar pula kekuatan kabilah tersebut. Oleh
karena itu, suatu kabilah yang besar biasanya punya kekuasaan yang juga
besar. Karena itu, bagi seorang raja, tidak ada jalan lain untuk memperkukuh
legitimasi politiknya,
selain dengan memperkukuh kabilah
yang mendukungnya. Dalam konteks demokrasi kita kekuasaan
tersebut adalah suara. Semakin besar suara yang diperoleh seorang pemimpin, maka
semakin besar pula kekuasaannya. Berangkat dari hal itulah, maka kekuasaan menjadi
penting untuk memenangkan kompetisi dalam politik raja.
Sedangkan
politik nabi adalah politik yang berdasar kepada nilai-nilai yang diajarkan
Nabi Muhammad SAW. Jenis politik ini bukan menitikberatkan kepada model atau
struktur politiknya. Bukan pada kemiripannya dengan demokrasi, kerajaan atau
khilafah sebagai sistem
politiknya. politik nabi mengambil cara nabi memimpin sebagai prototip. Yakni
menghadirkan keadilan (al-A’dalah),
musyarawah (syura), kebebasan (al-Hurriyah) dan persamaan (al-Musawwah).
Menurut
Kiai Muzammil, demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia hari ini adalah
demokrasi yang mempraktikkan politik raja. Ukurannya bisa dilihat, dimana-mana
para calon pemimpin dan partai politik berlomba-lomba merebut simpati dan suara
rakyat dengan menghalalkan segala cara. Pemimpin yang bermodal besar
menggunakan televisi dan media massa yang dimilikinya melancarkan propaganda
politik dan hitam. Sedangkan yang bermodal pas-pasan mengonsolidasikan pendukungnya,
meningkatkan volume interaksi kepada rakyat sembari tidak jarang mengampanye
hitamkan kompetitor-kompetitor politiknya. Tidak jarang mereka juga masih
menggunakan mitos politik aliran sebagai alat untuk mendorong jumlah dukungan,
padahal hampir semua pemimpin hari ini mempraktikkan dan percaya pada politik
populisme.
Ikhtitam
Ala kulli hal,
pemilu pada dasarnya adalah momentum politik yang baik. Pemilu adalah salah
satu metode terbaik dalam memilih pemimpin ditengah-tengah keraguan rakyat,
khususnya kaum muslimin terhadap berbagai metode politik yang dibayangkan mampu
menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran. Maka sebagai warga negara yang baik,
wajib berpartisipasi di dalamnya. Ketika rakyat masih optimis bahwa masih ada
calon pemimpin yang baik, masih ada tokoh yang pantas dipilih, maka selamanya kemungkinan
golput harus dihindari. Tentu saja perlu digarisbawahi dengan modal keadilan,
pengetahuan dan kebijaksanaan. Selain daripada itu maka sudah semestinya
sebagai manusia yang gandrung akan kebaikan, memilih lebih baik daripada golput.
Jangan sampai potensi kemenangan pemimpin yang baik berkurang hanya karena
tidak adanya rakyat yang memilih. Ketika hal itu telah terjadi, maka hanya
penyesalan dan kesiapan untuk menikmati penderitaan lebih lama yang tersisa. Allahumma arinil haqqa haqqan warzukni
tibaah, wa arinil batila batilan warzukni
tinabah.
Jadan, 19 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar