Pikiran-pikiran Tjokroaminoto[1]
Oleh Zulfikhar
“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni
tauhid, sepintar-pintar siasat”
-H.O.S. Tjokroaminoto
Saya kira
terlalu dangkal jika kita membaca sejarah kemerdekaan tanpa membicarakan
Soekarno. Dan rasa-rasanya mengkaji bapak bangsa itu terasa hambar tanpa
terlebih dahulu menilik perjalanan sejarah intelektualnya. Dimana akan berhenti
pada satu sosok yang kini tidak banyak lagi dikenal generasi muda: Hadji Oemar
Said Tjokroaminoto. Seorang intelektual muslim yang tinggi sekali pengaruhnya
bagi perjalanan intelektual Soekarno.
Hubungan
Tjokroaminoto dan Soekarno tidak saja sebatas hubungan kenalan biasa. Kendati
Soekarno indekos di rumah Tjokroaminoto, hubungan keduanya sangat erat layaknya
seorang ayah dan anaknya. Oleh Tjokroaminoto, Soekarno di didik menjadi seorang
pemuda yang kutu buku. Banyak buku-buku berpengaruh saat itu dilahap Soekarno.
Tidak hanya membaca, Soekarno ikut serta dalam diskusi bersama pemuda-pemuda lain
yang indekos disitu. Kartosuwiryo, Musso, Alimin, dan Darsono adalah sebagian
daripada pemuda-pemuda tersebut. Di bawah asuhan dan bimbingan Tjokroaminoto,
pemuda-pemuda itu tumbuh menjadi sosok intelek dan berani yang nantinya turut
berperan dalam dinamika perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini.
Kilas Hidup
Oemar Said
Tjokroaminoto dilahirkan di Desa Bukur yang masuk dalam Keresidenan Madiun
tanggal 16 Agustus 1882. Ia berasal dari kalangan keluarga priyayi dan santri.
Ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno adalah seorang wedana di Kawedana Kletjo
Madiun. Kakeknya dari ibu adalah ulama besar di Ponorogo bernama Kiai Bagoes
Kesan Besari, pemimpin sebuah pondok pesantren di Tegalsari, Ponorogo.
Sedangkan kakeknya dari ayah, Raden Mas Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai
bupati Ponorogo.
Sejak
kecil Tjokroaminoto belajar agama dan mengaji di rumah. Ia juga mendapat
pendidikan agama dari guru-guru di sekitar Madiun sampai Magelang. Setelah
beranjak dewasa, Tjokroaminoto melanjutkan studinya ke Opleidingsschool voor
Inlandsch Ambtenaren (O.S.V.I.A) di Magelang. Adalah sekolah yang didirikan
untuk mencetak pamong praja pemerintah kolonial, terutama bagi anak-anak
priyayi. Ia tamat dari sekolah itu tahun 1902.
Kabarnya,
kesadaran nasionalisme Tjokroaminoto lahir di sekolah ini. Hal ini terjadi
karena perlakuan diskriminatif yang berlaku di sekolah antara orang
Belanda totok dan pribumi (inlander). Tjokroaminoto sangat merasakan kuatnya
sentimen rasial saat itu.
Setelah
lulus, ia bekerja di Kepatihan Ngawi antara tahun 1902-1905. Ia bekerja sebagai
juru tulis (sekretaris). Ia termasuk pamong yang cukup berprestasi, sehingga ia
sempat menjabat sebagai patih. Namun, kesadaran nasionalisme terlalu kuat dalam
alam pikirannya, sehingga ia memutuskan untuk berhenti dan pindah ke
Semarang.
Dua tahun
di Semarang ia bekerja sebagai kuli di pelabuhan Semarang. Tidak lama kemudian
ia pindah ke Surabaya. Di kota itu ia bekerja pada sebuah firma bernama Kooy
dan Co. Antara tahun 1907-1910, sembari bekerja, ia melanjutkan pendidikannya di
sekolah sipil malam, Burgerlijke Avond School (B.A.S).
Lulus dari
BAS, tampaknya membuat Tjokroaminoto semakin tidak kerasan bekerja di firma.
Akhirnya ia keluar dan bekerja sebagai leerling machinist (pembantu
bagian mesin) di sebuah pabrik gula, Rogojampi Surabaya, dekat kota Surabaya.
Ia mulai bekerja dari tahun 1911 sampai 1912. Jabatan terakhirnya di pabrik itu
sebagai chemiker (bagian kimia)
Sembari
bekerja, Tjokroaminoto juga berminat pada dunia jurnalistik. Terhitung ia
pernah bekerja pada beberapa surat kabar seperti Bintang Soerabaya (Surabaya),
Utusan Hindia (Surabaya), dan direktur-hop redaktur Fajar Asia
(Jakarta).
Memimpin Sarekat Islam
Sarekat
Islam (SI) mengalami masa-masa sulit ketika memasuki dekade kedua abad 20.
Sebagai satu-satunya organisasi massa dengan anggota puluhan ribu orang, SI di
pandang pemerintah Hindia Belanda sangat berpotensi menumbuhkan kesadaran
nasionalisme yang luas kepada rakyat. Apalagi keberhasilan negara-negara di
Asia zaman itu mencapai kemerdekaannya, menandakan bahwa bangsa Asia, bangsa
kulit berwarna, punya kemampuan mengalahkan kulit putih.
Keberhasilan
dr. Sun Yat Sen menggulingkan dinasti Manchu pada tahun 1911 yang sudah berdiri
ratusan tahun, dengan bantuan Tionghoa muslim, merupakan manifestasinya.[2] Kemenangan Jepang dalam perang
melawan Rusia tahun 1904-1905 juga memberi pengaruh kuat yang menyebar sampai
ke Nusantara. Sehingga SI mulai –bahkan sejak tahun-tahun awal berdirinya-
dilemahkan dengan berbagai cara oleh pemerintah Hindia Belanda.
Menurut
Suryanegara (2012), tindakan pelemahan yang pertama kali dibuat Belanda adalah
dengan mendirikan organisasi tandingan yang serupa dengan SI. Yakni
Sarekat Dagang Islamiyah. Didirikan di Bogor pada tahun 1909 –satu tahun
setelah berdirinya Boedi Utomo- oleh seorang anggota Sarikat Prijaji bernama
Raden Mas Tirtoe Adhisoerjo. Tetapi SDI 1909 tidak bertahan lama, ketika Tirtoe
Adhisoeryo di penjara, organisasi ini tidak lagi jelas masa depannya.
SI yang
memusatkan agenda gerakannya pada pemberdayaan kesejahteraan pedagang, juga
dijadikan pemerintah Hindia Belanda sebagai obyek pelemahannya. Karena saat itu
persaingan antara pedagang pribumi dengan Tionghoa begitu panas, maka dibuatlah
konflik antara keduanya. Padahal sebelumnya sejak masa Sarekat Dagang Islam
(1905), sudah lama pedagang pribumi diajak melakukan kerja sama niaga (Kong
Sing) dengan pedagang Tionghoa.
Konspirasi
Belanda berhasil dilakukan dengan pecahnya insiden huru-hara anti-Cina (Anti-China
Riot). Laskar Mangkunegara, tentara bayaran Belanda, melakukan provokasi
kepada para pedagang untuk merusak toko-toko pedagang Tionghoa. Sentimen rasial
dan agama dimunculkan untuk menyulut kemarahan pedagang. Lalu, dibuatlah
tuduhan bahwa yang terlibat dibalik insiden tersebut adalah SI. SI kemudian di schorsing.
Tetapi anehnya, schorsing itu dicabut kembali empat belas hari kemudian.[3]
Tjokroaminoto
di angkat menjadi ketua SI sebelum insiden itu terjadi. Ketia ia memimpin SI,
organisasi itu malah bertambah kuat menghadapi upaya-upaya pelemahan yang tiada
surutnya itu. Kendati SI saat itu belum berbadan hukum. Padahal organisasi
tersebut sudah berdiri sejak tahun 1906.[4]
Pada tahun
1913, diselenggarakan Kongres SI pertama di Surabaya. Kongres ini menghasilkan
keputusan pembaruan organisasi SI dengan mendirikan Centraal Sjarikat Islam
(CSI). Dengan adanya CSI, maka SI tidak lagi hanya menjadi organisasi lokal di
Surakarta saja, tetapi meluas ke seluruh pelosok Nusantara.
Kongres
ini juga memutuskan tiga kota besar sebagai pusat kegiatan CSI. Yakni CSI
Surabaya yang mewakili Jawa Timur hingga Indonesia bagian Timur, CSI Yogyakarta
yang mewakili Jawa Tengah dan Indonesia bagian Tengah dan CSI cabang Bandung
membawahi Jawa Barat hingga wilayah Indonesia Barat.
Politik Kooperatif
Pada
tanggal 17-24 Juni 1916 di selenggarakan Kongres CSI yang pertama di Bandung.
Istilah ‘nasional’ pertama kali di sosialisasikan dalam kongres ini. Dalam
kogres ini SI sepakat menuntut ‘Indonesia Merdeka’ dengan istilah Zelf
Bestuur (Pemerintahan Sendiri). Dalam pidatonya, Tjokroaminoto mengatakan
agar para anggota CSI tidak usah takut di intimidasi pemerintah HIndia Belanda
karena istilah Zelf Bestuur terseebut. Karena istilah itu
konstitusional. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang 23 Juli 1903 tentang
Desentralisasi dari Pemerintahan Hindia Belanda. UU ini juga ditandatangani
sendiri oleh Ratu Wilhelmina.
Kongres di
Bandung dihadiri oleh 860.000 orang. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda
berpikir dua kali untuk terus melancarkan initimidasi kepada SI. People
power yang dimiliki SI tidak bisa dianggap sepele karena mempengaruhi
hampir seluruh pulau Jawa. Bahkan, pengaruhnya menyebar sampai keluar Jawa.
CSI juga
menuntut supaya diizinkan membangun Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia).
Agar Hindia punya pertahanan kokoh apabila Perang Dunia I (1914-1919) meluas ke
Nusantara. Indie Weerbaar berarti menyertakan pemuda pribumi sebagai
milisi pertahanan Hindia. Sehingga dengan harapan kelak dapat digunakan untuk
membantu perjuangan kemerdekaan.
Pemerintah
Hindia Belanda menolak Indie Weerbaar tetapi sebagai gantinya
didirikanlah Volksraad (Dewan Rakyat). Tuntutan SI akhirnya dikabulkan,
salah satunya atas dorongan parlemen Belanda pada tahun 1916. Volksraad mulai
bersidang pada tahun 1918. Sekilas lembaga ini mirip dengan parlemen, tetapi
sesungguhnya mempunyai fungsi yang berbeda. Volksraad hanya mempunyai
wewenang menasihati, sedangkan menyangkut masalah keuangan harus
dikonsultasikan kepada Gubernur Jenderal.[5]
Pada
mulanya lembaga ini terdiri atas sembilan belas orang anggota yang dipilih
(sepuluh orang diantaranya adalah bangsa Indonesia), dan sembilan belas orang
anggota yang ditunjuk (lima orang diantaranya adalah bangsa Indonesia),
ditambah dengan seorang ketua. Akan tetapi, lembaga yang berhak memilih terdiri
atas dewan-dewan lokal yang konservatif dan didominasi oleh kaum pegawai.
Orang-orang Indonesia yang lebih radikal dapat menjadi anggota Volksraad hanya
apabila Gubernur Jenderal mengangkat mereka.[6]
Di dalam Volksraad,
Tjokroaminoto dan Abdul Moeis duduk sebagai anggotanya. Dengan begitu, berarti
SI mengambil jalur kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda. Keputusan itu
di protes oleh anggota SI yang relatif berusia muda seperti Semaun, Musso,
Alimin, Darsono dan para anggota di SI Semarang. Bagi mereka, tidak ada gunanya
bekerja sama dengan penjajah untuk meraih kemerdekaan. Karena penjajah
dimana-mana mustahil memberikan kemerdekaan dengan cuma-cuma.
Protes itu
dijawab dengan pernyataan Tjokroaminoto yang pernah mengatakan ”..
bersama-sama pemerintah dan menyokong pemerintah menuju arah yang betul. Tujuan
kita adalah mempersatukan Hindia dengan Nederland, dan untuk menjadi rakyat
’Negara Hindia’ yang berpemerintahan sendiri.”
Pidato
Tjokro yang disebut-sebut netral itu menggembirakan kaum liberal Hindia. Tetapi
tidak dengan kelompok kiri. Hubungan Tjokroaminoto dan murid-muridnya dari SI
Semarang mulai semakin renggang. Bahkan pernah Darsono menuduhnya melakukan
korupsi. Yang ditentang Soekarno sebagai fitnah yang tidak berdasar.[7] Meskipun pada akhirnya Darsono
akhirnya meminta maaf. Sejak saat itu SI Semarang mulai memisahkan diri dari
CSI. Apalagi cabang SI ini sudah lama disusupi oleh ide-ide komunis dari Indische
Sociaal-Democratiche Vereeniging (ISDV) pimpinan Snevliet.
Namun
dengan fungsi yang terbatas, Volksraad tidak punya kekuatan yang bisa
mempengaruhi kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Pada Kongres CSI ketiga di
Surabaya tahun 1918, SI menuntut pemerintah Hindia Belanda merubah fungsi
lembaga tersebut serupa dengan parlemen. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Karena
pemerintah Hindia Belanda akan sangat dilemahkan dengan perubahan tersebut.
Lagipula kekuatan anggota dari pribumi hanya 25 orang, ketimbang Belanda yang
terdiri dari 30 orang dan Timur Asing 5 orang. Tentu saja akan kalah dalam voting,
yang meskipun menang, tidak mungkin dipenuhi oleh Gubernur Jenderal.[8] Sehingga Tjokroaminoto dan
Abdoel Moeis yang hanya berdua mewakili SI memutuskan beroposisi dalam Volksraad.[9]
Pada tahun
1919 pecahlah Peristiwa Cimareme di Garut yang disebut pemerintah Hindia
Belanda sebagai pemberontakan SI melalui gerakan Afdeeling B. Peristiwa
ini menyebabkan seorang kontrolir terbunuh karena diserang oleh masyarakat yang
marah atas terbunuhnya seorang Hadji oleh residen setempat. Hadji Hasan (86
tahun) dipaksa menyerahkan padinya oleh wedana berhubung saat itu Tanam Paksa
masih berlaku (1830-1919).[10]
Akibat
peristiwa itu, Tjokroaminoto dituduh bertanggungjawab dan dijebloskan ke
penjara. Ketika ia keluar pada Februari 1923, Belanda menawarkannya kembali
duduk di Volksraad. Namun, Tjokroaminoto menolaknya. Sejak saat itu SI
mengakhiri politik kooperatifnya.
Sosialisme Perspektif
Tjokroaminoto
Masa
dimana Tjokroaminoto hidup adalah masa dimana paham komunisme (sosialisme
ilmiah) berkembang pesat. Banyak tokoh-tokoh Indonesia saat itu mengaguminya.
Banyak juga yang tertarik dan bergabung. Karena komunisme dipercaya sebagai
ideologi alternatif atas kapitalisme dan imperialisme yang menciptakan
kesejahteraan palsu. Banyak orang-orang hidup bermandi kekayaan tetapi di
sekitar mereka terbentang wabah kemiskinan, eksploitasi manusia dan penindasan
yang tiada henti. Maka komunisme yang mengandaikan kehidupan yang adil
dipercaya mendatangkan keadilan dan kesejahteraan.
Kemenangan
komunisme di Rusia tahun 1917 menjadi prototip yang mampu menarik kepercayaan
tokoh-tokoh itu bahwa komunisme mampu memimpin. Kapitalisme mampu diakhiri dan
kehidupan yang sama rata sama rasa tercapai. Meskipun banyak rakyat tak berdosa
harus menjadi korban atas percobaan ideologi yang baru pertama kali dilakukan
oleh manusia di zaman modern itu.
Masuknya
komunisme di Indonesia yang dibawa Snevliet yang kemudian berkembang dalam
tubuh SI membuat para pemimpin seperti Tjokroaminoto, Soerjopranoto, Abdoel
Moeis, Agus Salim, Wondoamiseno mengeluarkan disiplin organisasi. Pada Kongres
yang di selenggarakan di Madiun tahun 1923, disiplin organisasi resmi di
berlakukan dan CSI pun berubah nama menjadi Partai Sjarikat Islam. SI semarang
-atau PKI- yang merupakan basis SI Merah dalam tubuh SI akhirnya memisahkan
diri. Pada tahun 1924 nama Perserikatan Kommunist di India (PKI tahun 1920)
berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.
Panasnya
pertentangan ideologi saat itu mendudukkan komunis di kutub kiri dan nasionalis
dan liberal di kanan. Fakta bahwa banyaknya tokoh-tokoh Islam –kebanyakan tokoh
dari SI seperti tokoh-tokoh SI Semarang, juga Hadji Misbach di Surakarta, Hadji
Batoeah dan Zainoeddin di Sumatra Barat- pindah ke PKI membuat ideologi
komunisme atau umumnya dikenal sosialisme menjadi popular di masyarakat.
Tokoh-tokoh itu melihat Islam sejalan dengan sosialisme yang mengandaikan
kehidupan yang adil, sejahtera tanpa penindasan, dan anti-penjajahan.
Hadji
Misbach dalam satu tulisannya menulis, “… orang yang mengakoe dirinja Islam
tetapi tidak setoejoe adanja kommunisme, saja berani mengatakan bahwa ia
boekan Islam sedjati, atau beloem mengerti betoel-betoel tentang
doedoeknja agama Islam.”[11] Hal ini berarti tidak ada
bedanya Islam dan sosialisme. Sehingga menurut Hadji Misbach, Islam dan
sosialisme seyogianyalah bersatu saling bekerja sama.
Melihat
fenomena seperti itu, Tjokroaminoto mengkoreksi pemahaman yang beredar dengan
menulis buku ‘Islam dan Sosialisme’ pada tahun 1924. Menurutnya Islam tidak
bisa di dudukkan setara dengan sosialisme. karena Islam sesungguhnya lebih
tinggi. Ia mengatakan, seorang muslim sejati dengan sendirinya menjadi
sosialis, dan kita kaum muslimin, jadi kita kaum sosialisten.
Cita-cita
Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dengan sosialisme pada dasarnya sama.
Menghendaki kehidupan yang adil tanpa apa kesenjangan sosial antara kaya dan
miskin. Mengatur agar uang tidak berputar di suatu tempat sehingga perputaran
ekonomi lebih merata. Islam juga mengupayakan agar masyarakat yang miskin
dijamin kehidupannya oleh Negara. Sehingga muncullah sedekah atau zakat dan
fidyah bagi non Islam. Hal ini hadir agar orang miskin punya kesempatan untuk
memperbaiki hidupnya.
Sosialisme
dalam timbangan Islam bukanlah ideologi yang muncul dari materialisme.
Sebagaimana yang dirumuskan Marx dengan materialisme historisnya. Kesejahteraan
bukanlah sesuatu yang datang dari bumi. Tetapi atas kehendak Allah dengan
ikhtiar dari manusia untuk mewujudkannya. Kendati begitu Islam juga tidak
terjebak pada idealisme Hegelian yang bersandar pada metafisika belaka. Unsur
praktis tentu saja menjadi variabel penting yang akan menentukan keberhasilan
implementasi sosialisme dalam Islam. Lebih lanjut Tjokroaminoto menulis; “sosialisme
yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang
lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.”[12] Sehingga sosialisme sebagai
instrumen ekonomi politik ditopang dengan Islam sebagai basisnya.
Dalam buku
itu juga, Tjokroaminoto melihat Nabi Muhammad SAW mengajarkan dua nilai
sosialisme kepada umatnya. Yakni prinsip ‘persamaan’ dan ‘persaudaraan.’
Prinsip persamaan merupakan nilai moral yang memandang kaum muslimin sebagai
umat yang satu. Umat yang tidak membedakan-bedakan suku, bangsa, ras dan warna
kulit. Misalnya, ia mencontohkan, Sholat Jumat di masjid dilakukan secara
berjamaah. Duduk di lantai yang sama. Ikhlas diimami siapapun dan tidak
sentimen memandang siapa yang menjadi khatib.
Kedua
prinsip itu juga terejawantahkan di dalam uraiannya mengenai ibadah Haji.
Dimana di tempat suci itu, manusia dari berbagai penjuru dunia berkumpul di
Mekah dengan pakaian yang sama, thawaf dan sholat di tempat yang sama.
Tjokroaminoto menulis, “Di dalam kumpulan besar ini, beribuan mereka yang
datang dari tempat yang dekat tempat yang jauh sama bertemuan disatu tempat
pusat, semuanya sama berpakaian satu rupa yang sangat sederhana, buka kepala
dan kaki telanjang, orang-orang yang tertinggi dan terendah derajatnya dari
rupa-rupa negeri dan tempat, rupa-rupa pula bangsa dan warna kulitnya; kumpulan
besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini adalah satu pertunjukan sosialisme
cara Islam dan ialah contoh besar dari pada “persamaan” dan “persaudaraan.”[13]
Tjokroaminoto
juga menguraikan bagaimana Islam memuliakan persaudaraan dalam Islam dengan
kehadiran sedekah. Sedekah yang memiliki nilai kemanusiaan sebagaimana
disunnahkan Nabi Muhammad SAW. Tjokroaminoto membagi sedekah menjadi dua;
pertama, yang bersifat sukarela (infak), tidak dibatasi jumlahnya dan yang
diwajibkan dikenal dengan zakat. Sehingga dengan sendirinya, secara alamiah,
sosialisme lahir. Ia menulis, “Adapun besarnya zakat adalah ditentukan
sekian, sehingga apabila segenap peri-kemanusiaan menurut hukum Islam tentang
zakat, ditambah pula dengan kedermawanan yang lain-lainnya sebagai yang
dikehendaki oleh Islam, maka di dunia kita akan datanglah peri-keadaan
sosialisme, peri-keadaan sama rata sama rasa, ialah peri-keadaan selamat.”
Menurut
Tjokroaminoto, sosialisme terbagi ke dalam tiga unsur yang saling berhubung
satu sama lain. Yaitu; kemerdekaan (virjheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality)
dan persaudaraan (broederschap-fraternity). Sebagaimana juga ketiga
unsur itu mengakar dalam tradisi Islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW.
Unsur
kemerdekaan (al-Hurriyah) ia uraikan terkandung dalam firman Allah, “Lahaula
wala kuwwata illa billah” (Tidak ada pertolongan dan kekuatan, melainkan
dari pada Allah belaka). “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanyalah
Tuhan saja yang kita sembah dan hanyalah Tuhan sendiri yang kita mintai
pertolongan). Unsur persamaan (al-Musawwah) terkandung dalam hadits
Nabi, “Segala orang Islam adalah sebagai satu orang. Apabila seorang-orang
merasa sakit dikepalanya, seluruh badannya merasa sakit juga, dan kalau matanya
sakit, segenap badannya pun merasa sakit juga”. “Segala orang Islam adalah
sebagai satu bina-bina, beberapa bahagian menguatkan bahagian yang
lain-lainnya, dengan laku yang demikian itu juga yang satu menguatkan yang
lainnya”. Dan persaudaraan (ukhuwah) yang ia sitir dari firman
Allah, “Peganglah kokoh tali Tuhan yang mengikat semuanya, janganlah
menimbulkan percerai-beraian, dan ingatlah akan kemurahan Tuhan kepada kamu,
ketika Tuhan menaruh kecintaan di dalam hatimu pada kalanya kamu bermusuhan
satu sama lain, dan sekarang kamu menjadi saudara karena karunia Tuhan.”[14]
Dengan
demikian, sosialisme perspektif Tjokroaminoto adalah sosialisme yang
mengandaikan tauhid sebagai basis dasarnya. Yang tidak hanya hadir untuk
memanusia manusia, tetapi juga membebaskan manusia dari kungkungan materi dan
hawa nafsu materi, serta mengajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Wallahu
alam bis shawab.
Jadan 1 Maret 2014
[1] Disampaikan dalam Diskusi
Malam Minggu KAMMI Wilayah Istimewa Yogyakarta. Sabtu, 1 Maret 2014
[2] Ahmad Mansyur Suryanegara, Api
Sejarah Jilid 1, Salamadani, Bandung, 2012, hlm. 361
[3] Ibid., hlm. 364
[5] M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 243
[6] Ibid, hlm. 244
[7] Suryanegara, Op.Cit, hlm. 415
[8] Ibid, hlm. 402
[9] Ibid, hlm. 403
[10] Ibid, hlm. 414
[11] Ibid, hlm. 420
[12] Lihat lebih lanjut dalam
Islam dan Sosialisme. Sosialisme Islam : Gagasan Politik
Kemanusiaan Tjokroaminoto. http://komunepustakaruwa.wordpress.com/2013/02/18/sosialisme-islam-gagasan-politik-kemanusiaan-tjokroaminoto/.
Diakses 27 Februari 2014
[13] HOS Tjokroaminoto. Islam dan
Sosialisme. http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/01/islam-sosialisme-hos-tjokroaminoto/.
Diakses 1 Maret 2014
[14] Ibid.
Komentar
Posting Komentar