Pikiran-pikiran Tjokroaminoto[1]


Oleh Zulfikhar

“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”
-H.O.S. Tjokroaminoto

Saya kira terlalu dangkal jika kita membaca sejarah kemerdekaan tanpa membicarakan Soekarno. Dan rasa-rasanya mengkaji bapak bangsa itu terasa hambar tanpa terlebih dahulu menilik perjalanan sejarah intelektualnya. Dimana akan berhenti pada satu sosok yang kini tidak banyak lagi dikenal generasi muda: Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Seorang intelektual muslim yang tinggi sekali pengaruhnya bagi perjalanan intelektual Soekarno.

Hubungan Tjokroaminoto dan Soekarno tidak saja sebatas hubungan kenalan biasa. Kendati Soekarno indekos di rumah Tjokroaminoto, hubungan keduanya sangat erat layaknya seorang ayah dan anaknya. Oleh Tjokroaminoto, Soekarno di didik menjadi seorang pemuda yang kutu buku. Banyak buku-buku berpengaruh saat itu dilahap Soekarno. Tidak hanya membaca, Soekarno ikut serta dalam diskusi bersama pemuda-pemuda lain yang indekos disitu. Kartosuwiryo, Musso, Alimin, dan Darsono adalah sebagian daripada pemuda-pemuda tersebut. Di bawah asuhan dan bimbingan Tjokroaminoto, pemuda-pemuda itu tumbuh menjadi sosok intelek dan berani yang nantinya turut berperan dalam dinamika perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini.


Kilas Hidup
Oemar Said Tjokroaminoto dilahirkan di Desa Bukur yang masuk dalam Keresidenan Madiun tanggal 16 Agustus 1882. Ia berasal dari kalangan keluarga priyayi dan santri. Ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno adalah seorang wedana di Kawedana Kletjo Madiun. Kakeknya dari ibu adalah ulama besar di Ponorogo bernama Kiai Bagoes Kesan Besari, pemimpin sebuah pondok pesantren di Tegalsari, Ponorogo. Sedangkan kakeknya dari ayah, Raden Mas Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo.

Sejak kecil Tjokroaminoto belajar agama dan mengaji di rumah. Ia juga mendapat pendidikan agama dari guru-guru di sekitar Madiun sampai Magelang. Setelah beranjak dewasa, Tjokroaminoto melanjutkan studinya ke Opleidingsschool voor Inlandsch Ambtenaren (O.S.V.I.A) di Magelang. Adalah sekolah yang didirikan untuk mencetak pamong praja pemerintah kolonial, terutama bagi anak-anak priyayi. Ia tamat dari sekolah itu tahun 1902.

Kabarnya, kesadaran nasionalisme Tjokroaminoto lahir di sekolah ini. Hal ini terjadi karena  perlakuan diskriminatif yang berlaku di sekolah antara orang Belanda totok dan pribumi (inlander). Tjokroaminoto sangat merasakan kuatnya sentimen rasial saat itu.

Setelah lulus, ia bekerja di Kepatihan Ngawi antara tahun 1902-1905. Ia bekerja sebagai juru tulis (sekretaris). Ia termasuk pamong yang cukup berprestasi, sehingga ia sempat menjabat sebagai patih. Namun, kesadaran nasionalisme terlalu kuat dalam alam pikirannya, sehingga ia memutuskan untuk berhenti dan pindah ke  Semarang.

Dua tahun di Semarang ia bekerja sebagai kuli di pelabuhan Semarang. Tidak lama kemudian ia pindah ke Surabaya. Di kota itu ia bekerja pada sebuah firma bernama Kooy dan Co. Antara tahun 1907-1910, sembari bekerja, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah sipil malam, Burgerlijke Avond School (B.A.S).

Lulus dari BAS, tampaknya membuat Tjokroaminoto semakin tidak kerasan bekerja di firma. Akhirnya ia keluar dan bekerja sebagai leerling machinist (pembantu bagian mesin) di sebuah pabrik gula, Rogojampi Surabaya, dekat kota Surabaya. Ia mulai bekerja dari tahun 1911 sampai 1912. Jabatan terakhirnya di pabrik itu sebagai chemiker (bagian kimia)

Sembari bekerja, Tjokroaminoto juga berminat pada dunia jurnalistik. Terhitung ia pernah bekerja pada beberapa surat kabar seperti Bintang Soerabaya (Surabaya), Utusan Hindia (Surabaya), dan direktur-hop redaktur Fajar Asia (Jakarta).

Memimpin Sarekat Islam
Sarekat Islam (SI) mengalami masa-masa sulit ketika memasuki dekade kedua abad 20. Sebagai satu-satunya organisasi massa dengan anggota puluhan ribu orang, SI di pandang pemerintah Hindia Belanda sangat berpotensi menumbuhkan kesadaran nasionalisme yang luas kepada rakyat. Apalagi keberhasilan negara-negara di Asia zaman itu mencapai kemerdekaannya, menandakan bahwa bangsa Asia, bangsa kulit berwarna, punya kemampuan mengalahkan kulit putih.

Keberhasilan dr. Sun Yat Sen menggulingkan dinasti Manchu pada tahun 1911 yang sudah berdiri ratusan tahun, dengan bantuan Tionghoa muslim, merupakan manifestasinya.[2] Kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia tahun 1904-1905 juga memberi pengaruh kuat yang menyebar sampai ke Nusantara. Sehingga SI mulai –bahkan sejak tahun-tahun awal berdirinya- dilemahkan dengan berbagai cara oleh pemerintah Hindia Belanda.

Menurut Suryanegara (2012), tindakan pelemahan yang pertama kali dibuat Belanda adalah  dengan mendirikan organisasi tandingan yang serupa dengan SI. Yakni Sarekat Dagang Islamiyah. Didirikan di Bogor pada tahun 1909 –satu tahun setelah berdirinya Boedi Utomo- oleh seorang anggota Sarikat Prijaji bernama Raden Mas Tirtoe Adhisoerjo. Tetapi SDI 1909 tidak bertahan lama, ketika Tirtoe Adhisoeryo di penjara, organisasi ini tidak lagi jelas masa depannya.

SI yang memusatkan agenda gerakannya pada pemberdayaan kesejahteraan pedagang, juga dijadikan pemerintah Hindia Belanda sebagai obyek pelemahannya. Karena saat itu persaingan antara pedagang pribumi dengan Tionghoa begitu panas, maka dibuatlah konflik antara keduanya. Padahal sebelumnya sejak masa Sarekat Dagang Islam (1905), sudah lama pedagang pribumi diajak melakukan kerja sama niaga (Kong Sing) dengan pedagang Tionghoa.

Konspirasi Belanda berhasil dilakukan dengan pecahnya insiden huru-hara anti-Cina (Anti-China Riot). Laskar Mangkunegara, tentara bayaran Belanda, melakukan provokasi kepada para pedagang untuk merusak toko-toko pedagang Tionghoa. Sentimen rasial dan agama dimunculkan untuk menyulut kemarahan pedagang. Lalu, dibuatlah tuduhan bahwa yang terlibat dibalik insiden tersebut adalah SI. SI kemudian di schorsing. Tetapi anehnya, schorsing itu dicabut kembali empat belas hari kemudian.[3]

Tjokroaminoto di angkat menjadi ketua SI sebelum insiden itu terjadi. Ketia ia memimpin SI, organisasi itu malah bertambah kuat menghadapi upaya-upaya pelemahan yang tiada surutnya itu. Kendati SI saat itu belum berbadan hukum. Padahal organisasi tersebut sudah berdiri sejak tahun 1906.[4]

Pada tahun 1913, diselenggarakan Kongres SI pertama di Surabaya. Kongres ini menghasilkan keputusan pembaruan organisasi SI dengan mendirikan Centraal Sjarikat Islam (CSI). Dengan adanya CSI, maka SI tidak lagi hanya menjadi organisasi lokal di Surakarta saja, tetapi meluas ke seluruh pelosok Nusantara.

Kongres ini juga memutuskan tiga kota besar sebagai pusat kegiatan CSI. Yakni  CSI Surabaya yang mewakili Jawa Timur hingga Indonesia bagian Timur, CSI Yogyakarta yang mewakili Jawa Tengah dan Indonesia bagian Tengah dan CSI cabang Bandung membawahi Jawa Barat hingga wilayah Indonesia Barat.

Politik Kooperatif
Pada tanggal 17-24 Juni 1916 di selenggarakan Kongres CSI yang pertama di Bandung. Istilah ‘nasional’ pertama kali di sosialisasikan dalam kongres ini. Dalam kogres ini SI sepakat menuntut ‘Indonesia Merdeka’ dengan istilah Zelf Bestuur (Pemerintahan Sendiri). Dalam pidatonya, Tjokroaminoto mengatakan agar para anggota CSI tidak usah takut di intimidasi pemerintah HIndia Belanda karena istilah Zelf Bestuur terseebut. Karena istilah itu konstitusional. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang 23 Juli 1903 tentang Desentralisasi dari Pemerintahan Hindia Belanda. UU ini juga ditandatangani sendiri oleh Ratu Wilhelmina.

Kongres di Bandung dihadiri oleh 860.000 orang. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda berpikir dua kali untuk terus melancarkan initimidasi kepada SI. People power yang dimiliki SI tidak bisa dianggap sepele karena mempengaruhi hampir seluruh pulau Jawa. Bahkan, pengaruhnya menyebar sampai keluar Jawa.

CSI juga menuntut supaya diizinkan membangun Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia). Agar Hindia punya pertahanan kokoh apabila Perang Dunia I (1914-1919) meluas ke Nusantara. Indie Weerbaar berarti menyertakan pemuda pribumi sebagai milisi pertahanan Hindia. Sehingga dengan harapan kelak dapat digunakan untuk membantu perjuangan kemerdekaan.

Pemerintah Hindia Belanda menolak Indie Weerbaar tetapi sebagai gantinya didirikanlah Volksraad (Dewan Rakyat). Tuntutan SI akhirnya dikabulkan, salah satunya atas dorongan parlemen Belanda pada tahun 1916. Volksraad mulai bersidang pada tahun 1918. Sekilas lembaga ini mirip dengan parlemen, tetapi sesungguhnya mempunyai fungsi yang berbeda. Volksraad hanya mempunyai wewenang menasihati, sedangkan menyangkut masalah keuangan harus dikonsultasikan kepada Gubernur Jenderal.[5]

Pada mulanya lembaga ini terdiri atas sembilan belas orang anggota yang dipilih (sepuluh orang diantaranya adalah bangsa Indonesia), dan sembilan belas orang anggota yang ditunjuk (lima orang diantaranya adalah bangsa Indonesia), ditambah dengan seorang ketua. Akan tetapi, lembaga yang berhak memilih terdiri atas dewan-dewan lokal yang konservatif dan didominasi oleh kaum pegawai. Orang-orang Indonesia yang lebih radikal dapat menjadi anggota Volksraad hanya apabila Gubernur Jenderal mengangkat mereka.[6]

Di dalam Volksraad, Tjokroaminoto dan Abdul Moeis duduk sebagai anggotanya. Dengan begitu, berarti SI mengambil jalur kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda. Keputusan itu di protes oleh anggota SI yang relatif berusia muda seperti Semaun, Musso, Alimin, Darsono dan para anggota di SI Semarang. Bagi mereka, tidak ada gunanya bekerja sama dengan penjajah untuk meraih kemerdekaan. Karena penjajah dimana-mana mustahil memberikan kemerdekaan dengan cuma-cuma.

Protes itu dijawab dengan pernyataan Tjokroaminoto yang pernah mengatakan ”.. bersama-sama pemerintah dan menyokong pemerintah menuju arah yang betul. Tujuan kita adalah mempersatukan Hindia dengan Nederland, dan untuk menjadi rakyat ’Negara Hindia’ yang berpemerintahan sendiri.”

Pidato Tjokro yang disebut-sebut netral itu menggembirakan kaum liberal Hindia. Tetapi tidak dengan kelompok kiri. Hubungan Tjokroaminoto dan murid-muridnya dari SI Semarang mulai semakin renggang. Bahkan pernah Darsono menuduhnya melakukan korupsi. Yang ditentang Soekarno sebagai fitnah yang tidak berdasar.[7] Meskipun pada akhirnya Darsono akhirnya meminta maaf. Sejak saat itu SI Semarang mulai memisahkan diri dari CSI. Apalagi cabang SI ini sudah lama disusupi oleh ide-ide komunis dari Indische Sociaal-Democratiche  Vereeniging (ISDV) pimpinan Snevliet.

Namun dengan fungsi yang terbatas, Volksraad tidak punya kekuatan yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Pada Kongres CSI ketiga di Surabaya tahun 1918, SI menuntut pemerintah Hindia Belanda merubah fungsi lembaga tersebut serupa dengan parlemen. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Karena pemerintah Hindia Belanda akan sangat dilemahkan dengan perubahan tersebut. Lagipula kekuatan anggota dari pribumi hanya 25 orang, ketimbang Belanda yang terdiri dari 30 orang dan Timur Asing 5 orang. Tentu saja akan kalah dalam voting, yang meskipun menang, tidak mungkin dipenuhi oleh Gubernur Jenderal.[8] Sehingga Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis yang hanya berdua mewakili SI memutuskan beroposisi dalam Volksraad.[9]

Pada tahun 1919 pecahlah Peristiwa Cimareme di Garut yang disebut pemerintah Hindia Belanda sebagai pemberontakan  SI melalui gerakan Afdeeling B. Peristiwa ini menyebabkan seorang kontrolir terbunuh karena diserang oleh masyarakat yang marah atas terbunuhnya seorang Hadji oleh residen setempat. Hadji Hasan (86 tahun) dipaksa menyerahkan padinya oleh wedana berhubung saat itu Tanam Paksa masih berlaku (1830-1919).[10]

Akibat peristiwa itu, Tjokroaminoto dituduh bertanggungjawab dan dijebloskan ke penjara. Ketika ia keluar pada Februari 1923, Belanda menawarkannya kembali duduk di Volksraad. Namun, Tjokroaminoto menolaknya. Sejak saat itu SI mengakhiri politik kooperatifnya.

Sosialisme Perspektif  Tjokroaminoto
Masa dimana Tjokroaminoto hidup adalah masa dimana paham komunisme (sosialisme ilmiah) berkembang pesat. Banyak tokoh-tokoh Indonesia saat itu mengaguminya. Banyak juga yang tertarik dan bergabung. Karena komunisme dipercaya sebagai ideologi alternatif atas kapitalisme dan imperialisme yang menciptakan kesejahteraan palsu. Banyak orang-orang hidup bermandi kekayaan tetapi di sekitar mereka terbentang wabah kemiskinan, eksploitasi manusia dan penindasan yang tiada henti. Maka komunisme yang mengandaikan kehidupan yang adil dipercaya mendatangkan keadilan dan kesejahteraan.

Kemenangan komunisme di Rusia tahun 1917 menjadi prototip yang mampu menarik kepercayaan tokoh-tokoh itu bahwa komunisme mampu memimpin. Kapitalisme mampu diakhiri dan kehidupan yang sama rata sama rasa tercapai. Meskipun banyak rakyat tak berdosa harus menjadi korban atas percobaan ideologi yang baru pertama kali dilakukan oleh manusia di zaman modern itu.

Masuknya komunisme di Indonesia yang dibawa Snevliet yang kemudian berkembang dalam tubuh SI membuat para pemimpin seperti Tjokroaminoto, Soerjopranoto, Abdoel Moeis, Agus Salim, Wondoamiseno mengeluarkan disiplin organisasi. Pada Kongres yang di selenggarakan di Madiun tahun 1923, disiplin organisasi resmi di berlakukan dan CSI pun berubah nama menjadi Partai Sjarikat Islam. SI semarang -atau PKI- yang merupakan basis SI Merah dalam tubuh SI akhirnya memisahkan diri. Pada tahun 1924 nama Perserikatan Kommunist di India (PKI tahun 1920) berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.

Panasnya pertentangan ideologi saat itu mendudukkan komunis di kutub kiri dan nasionalis dan liberal di kanan. Fakta bahwa banyaknya tokoh-tokoh Islam –kebanyakan tokoh dari SI seperti tokoh-tokoh SI Semarang, juga Hadji Misbach di Surakarta, Hadji Batoeah dan Zainoeddin di Sumatra Barat- pindah ke PKI membuat ideologi komunisme atau umumnya  dikenal sosialisme menjadi popular di masyarakat. Tokoh-tokoh itu melihat Islam sejalan dengan sosialisme yang mengandaikan kehidupan yang adil, sejahtera tanpa penindasan, dan anti-penjajahan.

Hadji Misbach dalam satu tulisannya menulis, “… orang yang mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoejoe adanja kommunisme, saja berani  mengatakan bahwa ia boekan Islam sedjati, atau  beloem mengerti betoel-betoel tentang doedoeknja agama Islam.”[11] Hal ini berarti tidak ada bedanya Islam dan sosialisme. Sehingga menurut Hadji Misbach, Islam dan sosialisme seyogianyalah bersatu saling bekerja sama.

Melihat fenomena seperti itu, Tjokroaminoto mengkoreksi pemahaman yang beredar dengan menulis buku ‘Islam dan Sosialisme’ pada tahun 1924. Menurutnya Islam tidak bisa di dudukkan setara dengan sosialisme. karena Islam sesungguhnya lebih tinggi. Ia mengatakan, seorang muslim sejati dengan sendirinya menjadi sosialis, dan kita kaum muslimin, jadi kita kaum sosialisten.

Cita-cita Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dengan sosialisme pada dasarnya sama. Menghendaki kehidupan yang adil tanpa apa kesenjangan sosial antara kaya dan miskin. Mengatur agar uang tidak berputar di suatu tempat sehingga perputaran ekonomi lebih merata. Islam juga mengupayakan agar masyarakat yang miskin dijamin kehidupannya oleh Negara. Sehingga muncullah sedekah atau zakat dan fidyah bagi non Islam. Hal ini hadir agar orang miskin punya kesempatan untuk memperbaiki hidupnya.

Sosialisme dalam timbangan Islam bukanlah ideologi yang muncul dari materialisme. Sebagaimana yang dirumuskan Marx dengan materialisme historisnya. Kesejahteraan bukanlah sesuatu yang datang dari bumi. Tetapi atas kehendak Allah dengan ikhtiar dari manusia untuk mewujudkannya. Kendati begitu Islam juga tidak terjebak pada idealisme Hegelian yang bersandar pada metafisika belaka. Unsur praktis tentu saja menjadi  variabel penting yang akan menentukan keberhasilan implementasi sosialisme dalam Islam. Lebih lanjut Tjokroaminoto menulis; “sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.[12] Sehingga sosialisme sebagai instrumen ekonomi politik ditopang dengan Islam sebagai basisnya.

Dalam buku itu juga, Tjokroaminoto melihat Nabi Muhammad SAW mengajarkan dua nilai sosialisme kepada umatnya. Yakni prinsip ‘persamaan’ dan ‘persaudaraan.’ Prinsip persamaan merupakan nilai moral yang memandang kaum muslimin sebagai umat yang satu. Umat yang tidak membedakan-bedakan suku, bangsa, ras dan warna kulit. Misalnya, ia mencontohkan, Sholat Jumat di masjid dilakukan secara berjamaah. Duduk di lantai yang sama. Ikhlas diimami siapapun dan tidak sentimen memandang siapa yang menjadi khatib.

Kedua prinsip itu juga terejawantahkan di dalam uraiannya mengenai ibadah Haji. Dimana di tempat suci itu, manusia dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Mekah dengan pakaian yang sama, thawaf dan sholat di tempat yang sama. Tjokroaminoto menulis, “Di dalam kumpulan besar ini, beribuan mereka yang datang dari tempat yang dekat tempat yang jauh sama bertemuan disatu tempat pusat, semuanya sama berpakaian satu rupa yang sangat sederhana, buka kepala dan kaki telanjang, orang-orang yang tertinggi dan terendah derajatnya dari rupa-rupa negeri dan tempat, rupa-rupa pula bangsa dan warna kulitnya; kumpulan besar yang kejadian pada tiap-tiap tahun ini adalah satu pertunjukan sosialisme cara Islam dan ialah contoh besar dari pada “persamaan” dan “persaudaraan.”[13]

Tjokroaminoto juga menguraikan bagaimana Islam memuliakan persaudaraan dalam Islam dengan kehadiran sedekah. Sedekah yang memiliki nilai kemanusiaan sebagaimana disunnahkan Nabi Muhammad SAW. Tjokroaminoto membagi sedekah menjadi dua; pertama, yang bersifat sukarela (infak), tidak dibatasi jumlahnya dan yang diwajibkan dikenal dengan zakat. Sehingga dengan sendirinya, secara alamiah, sosialisme lahir. Ia menulis, “Adapun besarnya zakat adalah ditentukan sekian, sehingga apabila segenap peri-kemanusiaan menurut hukum Islam tentang zakat, ditambah pula dengan kedermawanan yang lain-lainnya sebagai yang dikehendaki oleh Islam, maka di dunia kita akan datanglah peri-keadaan sosialisme, peri-keadaan sama rata sama rasa, ialah peri-keadaan selamat.”

Menurut Tjokroaminoto, sosialisme terbagi ke dalam tiga unsur yang saling berhubung satu sama lain. Yaitu; kemerdekaan (virjheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan (broederschap-fraternity). Sebagaimana juga ketiga unsur itu mengakar dalam tradisi Islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Unsur kemerdekaan (al-Hurriyah) ia uraikan terkandung dalam firman Allah, “Lahaula wala kuwwata illa billah” (Tidak ada pertolongan dan kekuatan, melainkan dari pada Allah belaka). “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanyalah Tuhan saja yang kita sembah dan hanyalah Tuhan sendiri yang kita mintai pertolongan). Unsur persamaan (al-Musawwah) terkandung dalam hadits Nabi, “Segala orang Islam adalah sebagai satu orang. Apabila seorang-orang merasa sakit dikepalanya, seluruh badannya merasa sakit juga, dan kalau matanya sakit, segenap badannya pun merasa sakit juga”. “Segala orang Islam adalah sebagai satu bina-bina, beberapa bahagian menguatkan bahagian yang lain-lainnya, dengan laku yang demikian itu juga yang satu menguatkan yang lainnya”. Dan persaudaraan (ukhuwah) yang ia sitir dari firman Allah, “Peganglah kokoh tali Tuhan yang mengikat semuanya, janganlah menimbulkan percerai-beraian, dan ingatlah akan kemurahan Tuhan kepada kamu, ketika Tuhan menaruh kecintaan di dalam hatimu pada kalanya kamu bermusuhan satu sama lain, dan sekarang kamu menjadi saudara karena karunia Tuhan.”[14]

Dengan demikian, sosialisme perspektif Tjokroaminoto adalah sosialisme yang mengandaikan tauhid sebagai basis dasarnya. Yang tidak hanya hadir untuk memanusia manusia, tetapi juga membebaskan manusia dari kungkungan materi dan hawa nafsu materi, serta mengajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Wallahu alam bis shawab.


Jadan 1 Maret 2014


[1] Disampaikan dalam Diskusi Malam Minggu KAMMI Wilayah Istimewa Yogyakarta. Sabtu, 1 Maret 2014
[2] Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 1, Salamadani, Bandung, 2012, hlm. 361
[3] Ibid., hlm. 364
[5] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 243
[6] Ibid, hlm. 244
[7] Suryanegara, Op.Cit, hlm. 415
[8] Ibid, hlm. 402
[9] Ibid, hlm. 403
[10] Ibid, hlm. 414
[11] Ibid, hlm. 420
[12] Lihat lebih lanjut dalam Islam dan Sosialisme. Sosialisme Islam : Gagasan Politik Kemanusiaan Tjokroaminoto. http://komunepustakaruwa.wordpress.com/2013/02/18/sosialisme-islam-gagasan-politik-kemanusiaan-tjokroaminoto/. Diakses 27 Februari 2014
[13] HOS Tjokroaminoto. Islam dan Sosialisme. http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/01/islam-sosialisme-hos-tjokroaminoto/. Diakses 1 Maret 2014
[14] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*