Mengapa Kita harus Demonstrasi?
Demonstrasi
dalam sebuah negara modern, khususnya dalam negara yang mengadopsi demokrasi,
merupakan ekpresi rakyat untuk menunjukkan pandangannya terhadap suatu isu.
Menyangkut pro kontra kebijakan yang di ambil pemerintah, kasus korupsi yang
menyeret pejabat negara, ratifikasi RUU tidak pro rakyat, sampai kontrak
investor asing perusak alam.
Sebuah
negara yang menganut demokrasi harus menjamin rakyatnya menggelar demonstrasi
dengan bebas. Sebab demonstrasi adalah hak setiap warga negara. Sebagaimana negara menjamin
hak-hak yang lain seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan beragama. Bukankah negara
hadir untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya? Sehingga, tidak salah bagi
rakyat untuk menyampaikan pendapat, keluh kesah dan tuntutan mereka.
Dulu,
ketika kebebasan belum sebesar hari ini, demonstrasi tidak mudah digelar. Rezim
otoritarian ORBA melarangnya. Terutama demonstrasi yang bertendensi kiritik. Sebab,
Presiden Soeharto ingin seluruh kebijakannya didukung tanpa tedeng aling-aling. Agar tercapai
stabilisasi politik dan ekonomi. Sehingga pertumbuhan dan pemerataan ekonomi
dapat tercapai dengan sendirinya (Trilogi Pembangunan). Terlepas apakah
kebijakan itu menyejahterakan atau sebaliknya menindas rakyat.
Sebagaimana
dulu ketika rezim ORBA masih berkuasa, pembangunan dilakukan dimana-mana.
Banyak jalan, bendungan, berbagai infrastruktur dibangun. Agar mempermudah
distribusi sumber daya alam. Seperti produk-produk pertanian, yang sempat
membuat Indonesia mampu swasembada beras pada pertengahan tahun 80an.
Tetapi
iktikad baik pemerintah dilakukan dengan cara keliru. Kebijakan dan peraturan
dibuat lebih berpihak pada pemerintah. Akibatnya, pembangunan infrastruktur dilakukan
dengan mencampok tanah rakyat kesepakatan yang adil. Saat itu banyak terjadi penggusuran
dan relokasi atas pemukiman rakyat. Misalntya, penggusuran perkampungan
Kedungombo yang disulap menjadi danau buatan untuk irigasi.
Rakyat
pun mengambil jalan perlawanan. Bersama mahasiswa dan kaum intelektual banyak demonstrasi
digelar memprotes rencana itu. Sayangnya demonstrasi yang digelar alih-alih mau
didengar malah diberangus. Massa aksi dituduh anti pembangunan. Tidak pro
dengan rencana Swasembada. Sehingga perlu ditertibkan. Maka pecahlah kerusuhan
di berbagai daerah. Seperti di Talangsari, Lampung.
Mengadakan
demonstrasi di zaman ORBA memang sangat beresiko. Taruhannya nyawa. Sejak
Peristiwa Malari tahun 1974 sampai penyerangan kantor PDIP tahun 1996,
demonstrasi dan tetek bengeknya selalu dicegah. Cara ini benar-benar tidak populis
di mata pemerintah. Dianggap sebagai upaya untuk merusak citra pemerintah. Sebab,
didalamnya dianggap berisi kalimat fitnah beserta pesan-pesan kampanye hitam. Tidak
heran, massa aksi yang menyampaikan aspirasinya melalui orasi, yel-yel, poster
dan spanduk dituduh komunis.
Singkatnya,
demonstrasi dianggap tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Tidak memberikan
kontribusi konkrit bagi penyelesaian permasalahan bangsa. Malah semakin
memperkeruh suasana. Sebab, rakyat tidak dapat
beraktivitas karena terganggu dengan teriakan dan kemacetan yang
ditimbulkannya.
Pada
tahun 1978 muncul Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed
Joesoef, tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus
(NKK/BKK). Melalui SK tersebut, mahasiswa sebagai elemen rakyat yang kritis dibonsai.
Aktivitas politik mulai dari diskusi
sampai demontrasi dilarang. Organisasi ekstrakampus yang kerap sebagai
organisastor aksi ilegal. Dewan Mahasiswa (DEMA) sebagai corong aspirasi
masyarakat kampus dibubarkan. Padahal, DEMA
awalnya pernah bersama Soeharto dan TNI meruntuhkan rezim Soekarno.
Pada
akhirnya, mahasiswa dipaksa kembali masuk kampus sibuk dengan aktivitas
akademik. Aktualisasi berorganisasi hanya dibolehkan sebatas organisasi
intrakampus. Maka, terhitung sejak tahun 1978 sampai dekade 1990an demonstrasi tiba-tiba
lenyap. Gerakan mahasiswa tiarap tanpa perlawanan. Apalagi sejak tahun 1986
diberlakukan pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi massa
termasuk organisasi mahasiswa ekstrakampus. Yang semakin memperlemah eksistensi
gerakan mahasiswa.
Keberhasilan Angkatan
1998
Bulan
Maret 16 tahun silam, menjelang Presiden Soeharto dan BJ Habibie dilantik
sebagai presiden dan wakil presiden pada Sidang Umum MPR pada tanggal 11 Maret
1998, 20 mahasiswa UI turun ke jalan menggelar demonstrasi, memboikot agenda
tersebut. Hasil Pemilu 1997 yang mengantarkan Soeharto sekali lagi menjabat
sebagai Presiden RI dituduh mahasiswa tidak sah.
Soeharto
tetap dilantik dan demonstrasi yang digelar dibubarkan. Mahasiswa di
kejar-kejar, di tuduh Komunis. Ditangkap tanpa surat penangkapan. Di penjara
tanpa di adili. Sebagaimana yang dilakukan terhadap beberapa aktivis pro demokrasi yang
diculik satu tahun sebelumnya.
Tindakan
yang tidak manusiawi itu rupanya cukup ampuh menakut-nakuti sebagian besar
mahasiswa. Tapi tidak pada sebagian kecil yang lain. Diskusi dan rapat bawah
tanah tetap di gelar. Gagasan penggulingan rezim tetap bersememayam dalam dada mereka.
Semakin lama semakin membesar dan akhirnya, melarutkan ketakutan dan memaksa
mereka kembali ke jalan.
Tanggal
12 Mei demonstrasi besar digelar di depan kampus Trisakti. Ratusan mahasiswa
mengusung spanduk dan bendera menuntut Soeharto harus turun. Puluhan aparat
dari Polri dan TNI di kirim mengamankan aksi siang itu. Mereka memerintahkan
mahasiswa membubarkan diri. Tetapi mahasiswa menolak.
Terjadilah
ketegangan dan aparat mulai tidak sabar dengan kegigihan mahasiswa bertahan. Mereka
mulai naik pitam dan menyerang barisan mahasiswa. Demontrasi yang semula berjalan
damai tiba-tiba berubah chaos (kacau).
Sehingga, memaksa mahasiswa berlindung masuk ke dalam kampus. Saat itu mulai
terjadi penembakan. Yang akhirnya merenggut nyawa empat orang mahasiwa
Trisakti. Hari berdarah yang kelak dikenal dengan Peristiwa Trisakti.
Peristiwa
berdarah hari itu membuat rakyat marah. Kesabaran mereka sudah mencapai
batasnya. Pembunuhan terhadap empat mahasiswa sama sekali tidak bisa ditolerir.
Keesokan harinya ratusan warga Jakarta turun ke jalan. Begitu juga di berbagai
daerah. Mereka melakukan kekakacauan dimana-mana. Merusak infrastruktur,
menghancurkan kendaraan bermotor yang mereka temui di jalan. Toko-toko dan mall
juga dirusak dan isinya dijarah.
Di
saat yang sama ratusan mahasiswa mulai kembali turun ke jalan. Menggelar demonstrasi
di beberapa sudut ibukota. Presiden Soeharto menyuruh mereka kembali ke kampus.
Tapi mereka menolak. Mahasiswa berketetapan, tanpa reformasi politik, mereka
tidak akan membubarkan diri. Yang artinya, Soeharto dan kroni-kroninya harus
turun.
Semakin
lama gelombang demonstrasi semakin membesar. Berbagai macam aliansi mahasiswa
berduyun-duyun muncul membawa ratusan massa. Mahasiswa dari luar kota juga ikut
menggabungkan diri. Mahasiswa yang semula penakut atau apatis dengan
sendirinya menggabungkan diri.
Pada
tanggal 18 Mei, aliansi mahasiswa dari Forum Kota (Forkot) dan Forum Komunikasi
Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Meskipun gedung
rakyat tersebut masih dalam penjagaan ketat aparat. Aliansi mahasiswa yang lain
akhirnya juga menyusul. Sehingga pada malam hari gedung DPR/MPR sudah disesaki
ribuan mahasiswa.
Tetapi
pendudukan itu membuat Soeharto bergeming. Ia bersikukuh tetap bertahan sebagai
presiden. Begitu juga mahasiswa menolak meninggalkan gedung DPR/MPR sebelum
Soeharto mundur. Sehingga mahasiswa memutuskan tetap bertahan. Berhari-hari
mereka bermalam dengan logistik seadanya.
Aksi
pendudukan itu membuat sejumlah tokoh politik ragu Soeharto akan bertahan lama.
Mereka diam-diam mulai menunjukkan keberpihakan kepada mahasiswa. Ketua DPR RI
waktu itu, Harmoko, bekas tangan kanan Soeharto, termasuk di dalamnya. Lewat
layar televisi ia mengumumkan agar Presiden Soeharto sebaiknya turun. Pidato
itu membuat mahasiswa bersorak. Dengan adanya pidato tersebut, tujuan mereka
sebentar lagi bakal tercapai. Pada saat itu beberapa menteri keuangan juga mengundurkan diri. Beberapa cendekiawan
Islam yang di undang Presiden Soeharto ke istana juga membawa pesan yang sama.
Akhirnya,
pada tanggal 21 Mei, pukul 09.05 WIB di Istana Kepresidenan, Presiden Soeharto
berpidato. Dalam pidato itu secara resmi ia mengumumkan pengunduran dirinya
sebagai Presiden RI. Dan menunjuk BJ Habibie sebagai presiden sementara sampai
pemilu berikutnya diselenggarakan. Pidato itu menjadi penanda berakhirnya
kekuasaan Soeharto yang telah bertahan selama tiga dekade. Dan menjadi momentum
lahirnya Orde Reformasi sebagaimana yang kita nikmati hari ini.
Pandangan Miring
Rakyat
sudah banyak mengetahui, bahwa demonstrasi adalah instrumen tepat untuk merealisasikan
kepentingan mereka. Terutama jika berbagai cara yang telah ditempuh berujung
kegagalan. Mengorbankan harta dan waktu untuk berhimpun di dalam massa aksi
jadi pilihan yang rasional. Demi keadilan dan hak yang seharusnya mereka
nikmati.
Tetapi
dalam setiap masa, demonstrasi tidak sedikit dipandang negatif oleh rakyat. Alih-alih
demonstrasi dipandang bermanfaat, malah lebih banyak merugikan. Misalnya,
mengganggu arus transportasi kendaraan, kekerasan (anarchism) chaos, aksi
pengrusakan (vandalism) terhadap infrastruktur
dan properti milik rakyat.
Adanya
chaos yang kerap mengiringi massa
aksi sering menjadi sumber ketidaksimpatian rakyat. Akibatnya, demonstrasi lama
kelamaan tidak populis. Fenomena ini dialami oleh hampir semua massa aksi. Padahal,
hanya karena satu atau dua massa yang melakukan kerusakan, yang lain menjadi
korban.
Di
kampus, demonstrasi mahasiswa juga mengalami nasib yang sama. Terutama ketika
mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus. Lebih parah lagi kalau demonstrasi tersebut
diwarnai aksi pembakaran dan penyegelan fasilitas kampus. Sebagaimana sering
kita saksikan di beberapa kampus di wilayah timur Indonesia.
Hal
ini membuat kampus mulai berbenah. Sayagnya dengan cara yang keliru. Dengan mendidik
mahasiswa agar menjauhi demonstrasi. Kampus yakin dengan cara itulah efek buruk demonstrasi dapat dihindari.
Kelirunya,
kampus menjadikan demonstrasi sebagai obyek bukan subyek masalah. Padahal,
demonstrasi digerakkan oleh mahasiswa yang sadar ingin meluruskan kesalahan kampus
itu sendiri. Mahasiswa mencoba ingin membangun komunikasi atas kekeliruan yang
terjadi. Tetapi seringkali dihiraukan, karena kampus terlanjur menganggap
dirinya adalah sumber kebenaran.
Birokrasi
kampus serta para dosen hari ini menganggap demonstrasi adalah tindakan
negatif. Suatu aktivitas yang merugikan. Oleh karena itu, banyak diantara
mereka menghimbau mahasiswa agar menjauhinya. Juga bagi organisasi mahasiswa
yang kerap terlibat di dalamnya, mereka minta dijauhi. Dan mengalihkan
aktivitas kemahasiswaan kepada hal-hal yang bersifat akademik atau sebatas
aktif di organisasi jurusan atau intrakampus.
Imbasnya,
hari ini organisasi pergerakan mahasiswa tidak mendapat sambutan di kalangan
mahasiswa. Mahasiswa yang aktif didalamnya semakin sedikit. Padahal, pasca 1998
pergerakan mahasiswa sempat sangat dihormati. Banyak mahasiswa yang bergabung hanya
sekedar ingin dikenal sebagai aktivis. Sebab, status aktivis merupakan kebanggaan
mereka waktu itu. Tidak lain karena
keberhasilan gerakan mahasiswa menurunkan Presiden Soeharto, BJ Habibie dan
Abdurrahman Wahid. Yang kemudian menjadikan mahasiswa salah satu aktor dalam
politik yang paling diperhitungkan.
Demontrasi
memang mulai tidak banyak mendapat simpati hari ini. Satu penyebabnya karena
zaman telah berubah. Otoritarianisme telah tumbang berganti dengan kebebasan
berdemokrasi. Menggelar demonstrasi tidak lagi dilarang. Aparat yang mengawal
tidak sebanyak dulu dan tidak pula bersenjata. Gedung pemerintahan terbuka
untuk didatangi. Akibatnya, hari ini tidak lagi hanya mahasiswa yang mampu
berani berdemontrasi. Buruh, petani, nelayan dan pedagang pasar juga bisa.
Hal
ini terjadi karena demontrasi merupakan instrumen paling efektif untuk
menyampaikan tuntutan mereka. Semakin banyak massa yang hadir, maka semakin
besar kesempatan tuntutan tersebut diterima. Inilah yang membedakan demonstrasi
dengan metode komunikasi massa yang lain. Dengan sifatnya yang aktif, membuat
pemerintah terdorong untuk lebih memprioritaskannya dibanding yang lain.
Ada
beberapa hal yang menyebabkan demonstrasi lebih unggul daripada metode yang
lain. Pertama, tuntutan demonstrasi
lebih cepat didengar. Sebab disampaikan secara aktif dengan bertemu langsung
dengan pemerintah atau pihak terkait. Kedua,
setiap kali digelar demonstrasi selalu diliput media massa. Membuat tuntutan
massa diwartakan ke rakyat. Ketiga, demonstrasi memungkinkan rakyat
tahu mengenai isu tuntutan massa aksi sehingga terjadi pewacanaan di akar
rumput. Yang dengan sendirinya melakukan fungsi pengawasan secara tidak
langsung.
Mensukseskan Demonstrasi
Alam
demokrasi yang kita rasakan hari ini tidak akan pernah tercapai kalau tidak ada
gelombang demonstrasi mahasiswa waktu itu. Kesadaran politik yang dibangun bertahun-tahun
sebelumnya, rupanya berhasil menyadarkan mahasiswa. Yang kemudian tergabung
dalam massa aksi berhadapan dengan aparat-aparat rezim.
Setelah
turun ke jalan, belakangan massa aksi baru sadar kalau militer tidak sekejam
yang dibayangkan. Mereka tidak mudah melepas tembakan sebagaimana pada
kasus-kasus lalu. Kendati, pada akhirnya mereka mengambil tindakan tegas. Sebab aparat juga punya akal dan hati nurani.
Bukan mesin seperti yang dikatakan banyak orang. Yang selalu patuh dan taat
pada perintah komandan.
Meskipun
tidak menutup kemungkinan aparat akan mengambil tindakan tegas. Tetapi perlu
dicatat, hal itu akan terjadi jika mereka merasa terancam. Apalagi jika massa
aksi sejak awal memancing penyerangan terlebih dahulu. Barangkali seperti yang
terjadi saat Peristiwa Trisakti. Walaupun kita tahu itu adalah perbuatan provokator.
Oleh sebab itu, barisan massa harus solid. Jangan biarkan orang asing
bergabung. Bisa jadi mereka adalah provokator yang ingin mengacaukan keadaan.
Demonstrasi
akan berpotensi berhasil jika massa aksi membawa misi perdamaian. Meramaikan
demonstrasi dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Tidak berorasi dengan kalimat-kalimat
fitnah. Pandang aparat sebagai kawan bukan lawan. Sebab, mereka adalah alat rezim
yang tidak bersalah. Mereka adalah apa yang disebut Hannah Arendt, manusia yang
inability to think.
Aparat
seyogianya dirangkul dengan pesan-pesan perdamaian. Berikan mereka bunga, surat
cinta atau apapun yang mampu menyemai nuansa perdamaian di hati mereka. Hal ini
akan berpotensi membuat mereka berpihak kepada massa aksi. Sebagaimana revolusi
damai berhasil di lakukan massa aksi (people
power) di Filipina. Sehingga tidak terjadi bentrokan yang merugikan kedua
belah pihak.
Syarat
kesuksesan demonstrasi adalah menghadirkan nuansa perdamaian dan persaudaraan.
Massa aksi harus bisa menghadirkan nuansa itu dalam setiap demonstrasi. Hal ini
akan berdampak pada diterimanya tuntutan. Massa aksi akan lebih mudah bertemu
dengan pemerintah tanpa perlu berususah payah. Sebab, pemerintah sebenarnya
lebih terbuka pada massa aksi yang tenang. Yang datang dengan rona perdamaian.
Ini adalah kunci mengapa angkatan 1998 berhasil menumbangkan rezim ORBA. Tanpa
perlu mengangkat senjata sebagaimana yang terjadi di Libya dan Suriah.
Dengan
pesan perdamaian, tujuan demonstrasi akan lebih mudah tercapai. Tuntutan yang
disampaikan juga lebih mudah diwartakan media dan didengar rakyat. Penyimpangan
terhadap tujuan demonstrasi dengan sendirinya tidak terjadi. Begitu pula
bentrokan dan chaos sebagai eksesnya.
Saya pikir inilah yang belum dilakukan massa aksi yang kerap merusak demonstrasi
dengan anarkisme dan vandalisme. Sebab mereka sudah terlebih dahulu menganggap
aparat dan pemerintah sebagai musuh yang harus dilawan. Maka, pada tahap ini
perubahan paradigma merupakan agenda
mendesak untuk dilakukan. Wallahu alam
bis shawab.
Jadan, 12 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar