Politik Umat Islam Di Tengah Pluralitas*

https://covenantsoftheprophet.org/2017/05/23/responsibility-of-pluralism-in-islam/


Oleh: Zulfikhar

Sejujurnya kita menyaksikan di tengah-tengah masyarakat Indonesia hari ini sedang mengalami fenomena peningkatan spiritualitas. Dimana-mana kita menyaksikan pengajian di gelar. Forum habib dan kiai didatangi ratusan sampai ribuan jamaah. Kebanyakan di antara mereka adalah remaja usia belasan tahun. Ustadz-ustadz kondang juga ramai menghiasi layar televisi  kita dengan pesan-pesan moral yang menarik semua kalangan usia dari muda sampai tua. Sampai pengajian budayawan besar seperti Emha Ainun Nadjib dengan ribuan jamaahnya yang bertebaran di berbagai penjuru Nusantara.

Kalau hal itu kita rasakan, sebenarnya kita secara tak sadar sedang menyaksikan semangat Islam tengah bertumbuh pesat di negeri ini. Menopang kuantitas yang telah berada jauh sebelum negeri ini berada atau ditemukan oleh para founding parents. Juga akan kita saksikan betapa sebenarnya umat Islam begitu mencintai agamanya. Walaupun dengan ekspresi dan metodologi yang bermacam-macam. Dengan kreatifitas berbalut kesenian dan kebudayaan yang sudah menubuh dalam kehidupan masyarakat kita.

Satu hal lagi yang tidak boleh kita lupakan adalah jilbab. Ya, busana muslimah yang telah hadir sejak awal kelahiran Islam di jazirah Arab. Sebuah busana yang membedakan muslim dan kafir. Pakaian yang melindungi tubuh perempuan dari kejahatan internal dan eksternal. Tak heran dalam sejarah panjang umat manusia, martabat muslimah terjaga dan dimuliakan tidak hanya oleh umat Islam tapi juga orang-orang kafir.

Kita menyaksikan jilbab hari ini menjadi mode dan referensi utama berbusana perempuan di Indonesia. Terutama di kalangan anak muda dan para ibu yang mulai beranjak tua. Jilbab menjadi pelengkap utama dalam hidup mereka agar semakin dekat kepada Allah SWT. Membuat mereka tidak hanya terlindungi, tapi juga mampu melindungi orang lain.

Semangat keberagaman umat muslim di Indonesia itu perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Di tengah gempuran arus modernisasi dan globalisasi yang menggurita, mereka masih bertahan dengan pilihan yang di perintah Tuhannya. Sedangkan, di saat yang sama, saudara-saudara mereka yang lain masih terjebak dengan popularitas dan gemerlapnya modernitas dan konsumerisme yang diwarisi dari Barat. Orang-orang itu yang kebanyakan relative masih berusia muda lebih percaya dan bangga dengan gaya hidup bangsa-bangsa yang tengah maju tersebut.

Tentu mereka tidak dapat disalahkan begitu saja. Semua yang terjadi memiliki sebab dan prakondisi-prakondisi yang melatarbelakanginya. Tinggal kita sebagai yang lebih tahu dan para orang tua yang peduli, mengarahkan mereka pada jalan yang benar. Dengan semangat perdamaian, persaudaraan dan kasih sayang.


Dasar Politik Kita

Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, kita bangsa Indonesia telah bermufakat hidup bersama di dalam sebuah negara yang satu. Negara Indonesia. Negara yang memiliki 17.000 pulau dan kurang lebih 50 juta penduduknya. Negara yang didalamnya berada lima agama yang hidup berdampingan satu sama lain saling membantu dan bekerja sama. Menolak saling mengungguli antara satu dengan yang lain. Walaupun, Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh bangsa ini, tidak demikian menjadikannya sebagai yang nomor satu dan yang lain menjadi nomor dua.

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan kita oleh Bung Karno dan Hatta, maka kita telah sepakat menjadi bangsa yang bersatu hidup dalam pluralitas. Toleransi antara satu dan lain merupakan keniscayaan. Menghargai perbedaan keyakinan yang dimiliki oleh agama lain adalah keharusan. Menjaga keamanan dan ketenteraman antar agama ketika beribadah merupakan kebudayaan. Dengan saling silaturahmi dalam batas-batas yang dianjurkan oleh agama.

Atas dasar pluralitas itulah negara ini kemudian dibangun. Itulah mengapa Bhineka Tunggal Ika menjadi idiom dari falsafah kebangsaan kita. Pancasila adalah basis materialnya dan UUD 1945 sebagai manifesto kebangkitannya. Ketiganya disatukan oleh pidato Mohammad Natsir tahun 1950 tentang Mosi Integral. Yang kemudian melandasi lahirnya konsep NKRI sebagai bingkainya. Tidak heran keempatnya menjadi pilar-pilar bangunan kebangsaan kita. sebagaimana sholat menjadi pilar dari bangunan Islam.

Tidak heran etika politik kita berangkat dari falsafah tersebut. Maka, sistem politik kita bukanlah sekularisme atau liberalisme dan komunisme.  Karena secara konseptual keduanya tidak cocok dengan antropologi dan sosiologi manusia Indonesia. Walaupun ada beberapa konsep pada keduanya yang di adopsi di dalam Pancasila.  Sila kedua adalah semangat dari yang pertama dan sila ketiga dan keempat adalah semangat dari yang terakhir. Sisanya dan perekatnya ada pada sila pertama sekaligus merangkai semuanya ke dalam spirit universalitas.  Yang disebut Ibnu Arabi dengan konsepnya wihdatul wujud.

Karena itu orang-orang yang mengatakan Pancasila bertentangan dengan Islam sebenarnya belum memahami Pancasila dengan baik. Dengan mengekstrimkannya pasa sudut paling kiri sebagai Thagut. Mereka mengatakan falsafah ini terlampau normatif dan utopis. Dengan berpegang pada klaim-klaim regresif dan diakronik bahwa selama bangsa ini berdiri, Pancasila tidak pernah berhasil diejawantahkan dan oleh karenanya perlu direvisi. Padahal mereka lupa  melihat fenomena sinkronik yang beriring dengan perubahan dinamika politik, agama dan sosiologis masyarakat Indonesia. Seperti pecahnya Peristiwa G/30/S yang sebenarnya merupakan gerbang hadirnya arus de-Pancasila-isasi dan de-Sukarno-isasi.

Sebenarnya kalau kita, sebagai umat Islam, mau mengamati Pancasila dengan lebih jujur dan adil,  kita akan menemukan di dalamnya terpancar nilai dan semangat Islam. Sila pertama secara kasat mata akan mengingatkan kita pada konsep syahadatain. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh HAMKA. Sila kedua mengenai kemanusiaan akan kita temukan pada surat Al-Maa’uun, sila ketiga tertera dalam Al-Maidah ayat 8, sila keempat pada Ali-Imran ayat 159, dan sila kelima juga acap kali kita rapal yaitu surat Ali-Imran ayat 104.


Obyektifikasi Islam

Kuntowijoyo, salah satu tokoh intelektual muslim Indonesia, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah obyektifikasi dari Islam. Maksud Kunto, bukan teks-teks Alquran yang dijadikan dasar hukum, tetapi nilai dan semangatnya. Mengapa?

Kita sebagai muslim sudah memahami Islam adalah agama yang syamil (universal). Tak ada setiap jengkal urusan manusia yang diatur oleh Islam. mulai dari bangun tidur sampai kembali tidur ada hukum dan etika yang berlaku. Tetapi semua hal itu masih dalam wujud mentah. Belum menjadi bahan baku dan komoditas yang bisa dipergunakan manusia. Konsep-konsep syariat di dalam Alquran dan Sunnah masih berbentuk teologi. Ia masih berkutat pada matriks ontologi dalam filsafat. Tugas kaum muslimin seharusnya mengubahnya menjadi filsafat untuk selanjutnya di transformasikan ke dalam epistemologi atau teori.

Sayangnya, kaum muslimin di zaman modern belum mampu melakukan hal tersebut kata Kunto. Sehingga, dalam realitas kehidupan bermasyarakat, berpolitik hingga bernegara, kaum muslimin mengalami alienasi. Konsep yang mereka tawarkan ditolak karena membawa kecenderungan  pada primordialitas agama. Terutama ketika mengusulkan  syariat Islam sebagai sumber hukum. Dan disikapi berbeda bukan hanya oleh umat beragama yang lain tetapi oleh umat Islam itu sendiri. Sebab, syariat Islam dinilai akan memecah persatuan yang telah terjalin lama. Apalagi hukum-hukum di dalamnya terasa lebih banyak menguntungkan kaum muslimin. Belum lagi apakah perangkat hukum dalam bentuk yang mentah itu mampu menjelaskan dan menyelesaikan beragam problematika yang dialami bangsa ini. Dengan beragam variasi kerumitan dan kompleksitasnya.

Oleh karena itu perangkat hukum yang ditawarkan umat Islam seharusnya adalah konsep yang tidak saja diterima dan dirasakan manfaatnya oleh umatnya sendiri, tetapi juga umat yang lain. Seperti pelarangan minuman keras dan perjudian yang semua umat beragama menolaknya. Atau penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya kemarin yang juga disepakati oleh semua.

Obyektifikasi Islam muncul untuk menangani beragam problematika, dari yang paling privat sampai publik dengan metodologi yang inklusif. Sehingga, umat mayoritas yakni umat Islam dan minoritas seperti umat Hindu dan Buddha dapat merasakan manfaatnya. Walaupun berasal dari ide dan usulan umat Islam, keberadaan solusi itu tidak membuat mereka teralienasi, termaginalkan, tetapi sebaliknya terasa dilindungi dan dimuliakan. Nah, dalam kehidupan bernegara seperti sekarang, seharusnya keran-keran semacam itulah yang seyogianya dibuka oleh umat Islam. Bukan lagi berbicara konsepsi yang bersifat makro yang belum saja muncul sudah menimbulkan perdebatan, kontroversi dan kepanikan.

Dalam konteks ini saya tidak sedang mengatakan bahwa syariat Islam itu tidak perlu. Tidak. Syariat Islam itu justru paling penting dan utama. Karena keberadaannya menjamin keberlansungan umat Islam hari ini dan di masa depan. Ialah yang berfungsi menjaga agama, martabat, harta, dan keturunan umat Islam. Namun, yang perlu diperhatikan adalah keperluan untuk mengembangkan dan menyegarkannya agar dapat diterima oleh semua.


Pandangan KAMMI

Kehadiran KAMMI ke Indonesia sebenarnya cuma membawa satu tujuan. Yaitu menciptakan masyarakat Indonesia yang islami. Bukan menciptakan negara Islam (Daulah Islamiyah) atau Khilafah Islamiyah. Walaupun kedua-duanya tentu boleh diperjuangkan oleh umat Islam yang percaya akan ke-adihulung-annya. Sebab, yang memperjuangkannya adalah umat Islam yang sebenarnya ingin memajukan Islam.

KAMMI percaya bahwa tidak ada sistem politik yang terberi (given) bagi umat Islam. Apakah  itu berbentuk, khilafah, kerajaan, imamah, atau republik. Semuanya bisa saja cocok dan pantas untuk diperjuangkan. Dan bisa saja ditolak. Selama berbagai instrumen itu mampu menjamin keberadaan umat Islam di dalamnya dan memastikan agar syariat dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, maka sejauh itu sistem tersebut tidak ada masalah.

Begitu juga dengan umat beragama yang lain. Hak dan kewajiban mereka harus dijamin dan dimuliakan oleh umat Islam. Posisi mereka yang inferior di tengah bangsa ini tidak berarti membuat mereka menjadi masyarakat kelas dua. Begitulah yang diajarkan Rasulullah ketika mendirikan masyarakat Madinah. Terutama ketika Piagam Madinah disusun dan dijalankan. Waktu itu, tidak ada satu umat pun yang dianggap berbeda dan oleh karenanya di marginalkan. Perbedaan tidak seharusnya dipersoalkan tetapi justru harus dirayakan. Oleh karena itu, kebebasan, keadilan, permusyarawatan dan persamaan harus terus didipupuk dan dijaga kelestariannya.

Indonesia sebagai negara republik yang mengadopsi demokrasi sebagai sistem politiknya, KAMMI dukung dengan antusias.  Cita-cita bangsa ini yang terurai dalam preambule UUD 1945 adalah juga cita-cita yang KAMMI anut. Semangat keberagaman dan persatuan adalah semangat yang juga KAMMI percayai dan ejawantahkan dalam gerakan yang kami lakukan. Hal itu tercermin di dalam prinsip gerakan KAMMI yang keenam yakni; “persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI.” Hal itu tidak lain karena KAMMI lahir dari rahim bangsa ini dan berjuang menjaganya agar tetap kokoh.

Bagi KAMMI, Indonesia akan tetap menjadi negara dimana rakyatnya hidup dengan sejahtera selama keempat pilarnya masih dipegang teguh. Pluralitas sebagai basis materialisnya terus dipupuk. Toleransi antara umat Islam dengan dirinya sendiri dan umat lain terus ditumbuhkan dan dijaga kemesraannya. Sehingga cita-cita para founding parents kita dapat tercapai dan negara Indonesia yang islami tidak lagi hanya sebatas mimpi. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.


Jadan, 24 Juni 2014













[1] Anggota Biasa III KAMMI




* Disampaikan dalam Dialog terbuka, “Islam dan Politik” di STEI Hamfara, 24 Juni 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*