Politik Umat Islam Di Tengah Pluralitas*
Oleh: Zulfikhar
Sejujurnya
kita menyaksikan di tengah-tengah masyarakat Indonesia hari ini sedang
mengalami fenomena peningkatan spiritualitas. Dimana-mana kita menyaksikan
pengajian di gelar. Forum habib dan kiai didatangi ratusan sampai ribuan
jamaah. Kebanyakan di antara mereka adalah remaja usia belasan tahun.
Ustadz-ustadz kondang juga ramai menghiasi layar televisi kita dengan pesan-pesan moral yang menarik
semua kalangan usia dari muda sampai tua. Sampai pengajian budayawan besar
seperti Emha Ainun Nadjib dengan ribuan jamaahnya yang bertebaran di berbagai
penjuru Nusantara.
Kalau
hal itu kita rasakan, sebenarnya kita secara tak sadar sedang menyaksikan
semangat Islam tengah bertumbuh pesat di negeri ini. Menopang kuantitas yang
telah berada jauh sebelum negeri ini berada atau ditemukan oleh para founding parents. Juga akan kita
saksikan betapa sebenarnya umat Islam begitu mencintai agamanya. Walaupun
dengan ekspresi dan metodologi yang bermacam-macam. Dengan kreatifitas berbalut
kesenian dan kebudayaan yang sudah menubuh dalam kehidupan masyarakat kita.
Satu
hal lagi yang tidak boleh kita lupakan adalah jilbab. Ya, busana muslimah yang
telah hadir sejak awal kelahiran Islam di jazirah Arab. Sebuah busana yang membedakan
muslim dan kafir. Pakaian yang melindungi tubuh perempuan dari kejahatan
internal dan eksternal. Tak heran dalam sejarah panjang umat manusia, martabat
muslimah terjaga dan dimuliakan tidak hanya oleh umat Islam tapi juga
orang-orang kafir.
Kita
menyaksikan jilbab hari ini menjadi mode dan referensi utama berbusana
perempuan di Indonesia. Terutama di kalangan anak muda dan para ibu yang mulai
beranjak tua. Jilbab menjadi pelengkap utama dalam hidup mereka agar semakin
dekat kepada Allah SWT. Membuat mereka tidak hanya terlindungi, tapi juga mampu
melindungi orang lain.
Semangat
keberagaman umat muslim di Indonesia itu perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Di
tengah gempuran arus modernisasi dan globalisasi yang menggurita, mereka masih bertahan
dengan pilihan yang di perintah Tuhannya. Sedangkan, di saat yang sama,
saudara-saudara mereka yang lain masih terjebak dengan popularitas dan
gemerlapnya modernitas dan konsumerisme yang diwarisi dari Barat. Orang-orang
itu yang kebanyakan relative masih berusia muda lebih percaya dan bangga dengan
gaya hidup bangsa-bangsa yang tengah maju tersebut.
Tentu
mereka tidak dapat disalahkan begitu saja. Semua yang terjadi memiliki sebab
dan prakondisi-prakondisi yang melatarbelakanginya. Tinggal kita sebagai yang
lebih tahu dan para orang tua yang peduli, mengarahkan mereka pada jalan yang
benar. Dengan semangat perdamaian, persaudaraan dan kasih sayang.
Dasar Politik Kita
Sejak
proklamasi 17 Agustus 1945, kita bangsa Indonesia telah bermufakat hidup
bersama di dalam sebuah negara yang satu. Negara Indonesia. Negara yang
memiliki 17.000 pulau dan kurang lebih 50 juta penduduknya. Negara yang
didalamnya berada lima agama yang hidup berdampingan satu sama lain saling
membantu dan bekerja sama. Menolak saling mengungguli antara satu dengan yang
lain. Walaupun, Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh bangsa ini,
tidak demikian menjadikannya sebagai yang nomor satu dan yang lain menjadi nomor
dua.
Dengan
diproklamasikannya kemerdekaan kita oleh Bung Karno dan Hatta, maka kita telah
sepakat menjadi bangsa yang bersatu hidup dalam pluralitas. Toleransi antara
satu dan lain merupakan keniscayaan. Menghargai perbedaan keyakinan yang
dimiliki oleh agama lain adalah keharusan. Menjaga keamanan dan ketenteraman
antar agama ketika beribadah merupakan kebudayaan. Dengan saling silaturahmi
dalam batas-batas yang dianjurkan oleh agama.
Atas
dasar pluralitas itulah negara ini kemudian dibangun. Itulah mengapa Bhineka Tunggal Ika menjadi idiom dari
falsafah kebangsaan kita. Pancasila adalah basis materialnya dan UUD 1945
sebagai manifesto kebangkitannya. Ketiganya disatukan oleh pidato Mohammad
Natsir tahun 1950 tentang Mosi Integral. Yang kemudian melandasi lahirnya
konsep NKRI sebagai bingkainya. Tidak heran keempatnya menjadi pilar-pilar
bangunan kebangsaan kita. sebagaimana sholat menjadi pilar dari bangunan Islam.
Tidak
heran etika politik kita berangkat dari falsafah tersebut. Maka, sistem politik
kita bukanlah sekularisme atau liberalisme dan komunisme. Karena secara konseptual keduanya tidak cocok
dengan antropologi dan sosiologi manusia Indonesia. Walaupun ada beberapa
konsep pada keduanya yang di adopsi di dalam Pancasila. Sila kedua adalah semangat dari yang pertama
dan sila ketiga dan keempat adalah semangat dari yang terakhir. Sisanya dan
perekatnya ada pada sila pertama sekaligus merangkai semuanya ke dalam spirit universalitas.
Yang disebut Ibnu Arabi dengan konsepnya
wihdatul wujud.
Karena
itu orang-orang yang mengatakan Pancasila bertentangan dengan Islam sebenarnya
belum memahami Pancasila dengan baik. Dengan mengekstrimkannya pasa sudut
paling kiri sebagai Thagut. Mereka mengatakan
falsafah ini terlampau normatif dan utopis. Dengan berpegang pada klaim-klaim
regresif dan diakronik bahwa selama bangsa ini berdiri, Pancasila tidak pernah
berhasil diejawantahkan dan oleh karenanya perlu direvisi. Padahal mereka lupa melihat fenomena sinkronik yang beriring
dengan perubahan dinamika politik, agama dan sosiologis masyarakat Indonesia. Seperti
pecahnya Peristiwa G/30/S yang sebenarnya merupakan gerbang hadirnya arus de-Pancasila-isasi
dan de-Sukarno-isasi.
Sebenarnya
kalau kita, sebagai umat Islam, mau mengamati Pancasila dengan lebih jujur dan
adil, kita akan menemukan di dalamnya
terpancar nilai dan semangat Islam. Sila pertama secara kasat mata akan mengingatkan
kita pada konsep syahadatain.
Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh HAMKA. Sila kedua mengenai kemanusiaan
akan kita temukan pada surat Al-Maa’uun, sila ketiga tertera dalam Al-Maidah
ayat 8, sila keempat pada Ali-Imran ayat 159, dan sila kelima juga acap kali
kita rapal yaitu surat Ali-Imran ayat 104.
Obyektifikasi Islam
Kuntowijoyo,
salah satu tokoh intelektual muslim Indonesia, pernah mengatakan bahwa
Pancasila adalah obyektifikasi dari Islam. Maksud Kunto, bukan teks-teks
Alquran yang dijadikan dasar hukum, tetapi nilai dan semangatnya. Mengapa?
Kita
sebagai muslim sudah memahami Islam adalah agama yang syamil (universal). Tak ada setiap jengkal urusan manusia yang
diatur oleh Islam. mulai dari bangun tidur sampai kembali tidur ada hukum dan
etika yang berlaku. Tetapi semua hal itu masih dalam wujud mentah. Belum
menjadi bahan baku dan komoditas yang bisa dipergunakan manusia. Konsep-konsep
syariat di dalam Alquran dan Sunnah masih berbentuk teologi. Ia masih berkutat
pada matriks ontologi dalam filsafat. Tugas kaum muslimin seharusnya
mengubahnya menjadi filsafat untuk selanjutnya di transformasikan ke dalam
epistemologi atau teori.
Sayangnya,
kaum muslimin di zaman modern belum mampu melakukan hal tersebut kata Kunto.
Sehingga, dalam realitas kehidupan bermasyarakat, berpolitik hingga bernegara,
kaum muslimin mengalami alienasi. Konsep yang mereka tawarkan ditolak karena
membawa kecenderungan pada primordialitas
agama. Terutama ketika mengusulkan syariat
Islam sebagai sumber hukum. Dan disikapi berbeda bukan hanya oleh umat beragama
yang lain tetapi oleh umat Islam itu sendiri. Sebab, syariat Islam dinilai akan
memecah persatuan yang telah terjalin lama. Apalagi hukum-hukum di dalamnya terasa
lebih banyak menguntungkan kaum muslimin. Belum lagi apakah perangkat hukum
dalam bentuk yang mentah itu mampu menjelaskan dan menyelesaikan beragam
problematika yang dialami bangsa ini. Dengan beragam variasi kerumitan dan
kompleksitasnya.
Oleh
karena itu perangkat hukum yang ditawarkan umat Islam seharusnya adalah konsep
yang tidak saja diterima dan dirasakan manfaatnya oleh umatnya sendiri, tetapi
juga umat yang lain. Seperti pelarangan minuman keras dan perjudian yang semua
umat beragama menolaknya. Atau penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya kemarin yang
juga disepakati oleh semua.
Obyektifikasi
Islam muncul untuk menangani beragam problematika, dari yang paling privat
sampai publik dengan metodologi yang inklusif. Sehingga, umat mayoritas yakni
umat Islam dan minoritas seperti umat Hindu dan Buddha dapat merasakan
manfaatnya. Walaupun berasal dari ide dan usulan umat Islam, keberadaan solusi
itu tidak membuat mereka teralienasi, termaginalkan, tetapi sebaliknya terasa
dilindungi dan dimuliakan. Nah, dalam kehidupan bernegara seperti sekarang,
seharusnya keran-keran semacam itulah yang seyogianya dibuka oleh umat Islam.
Bukan lagi berbicara konsepsi yang bersifat makro yang belum saja muncul sudah
menimbulkan perdebatan, kontroversi dan kepanikan.
Dalam
konteks ini saya tidak sedang mengatakan bahwa syariat Islam itu tidak perlu.
Tidak. Syariat Islam itu justru paling penting dan utama. Karena keberadaannya
menjamin keberlansungan umat Islam hari ini dan di masa depan. Ialah yang
berfungsi menjaga agama, martabat, harta, dan keturunan umat Islam. Namun, yang
perlu diperhatikan adalah keperluan untuk mengembangkan dan menyegarkannya agar
dapat diterima oleh semua.
Pandangan KAMMI
Kehadiran
KAMMI ke Indonesia sebenarnya cuma membawa satu tujuan. Yaitu menciptakan
masyarakat Indonesia yang islami. Bukan menciptakan negara Islam (Daulah Islamiyah) atau Khilafah Islamiyah. Walaupun
kedua-duanya tentu boleh diperjuangkan oleh umat Islam yang percaya akan ke-adihulung-annya.
Sebab, yang memperjuangkannya adalah umat Islam yang sebenarnya ingin memajukan
Islam.
KAMMI
percaya bahwa tidak ada sistem politik yang terberi (given) bagi umat Islam. Apakah
itu berbentuk, khilafah, kerajaan, imamah, atau republik. Semuanya bisa
saja cocok dan pantas untuk diperjuangkan. Dan bisa saja ditolak. Selama
berbagai instrumen itu mampu menjamin keberadaan umat Islam di dalamnya dan
memastikan agar syariat dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, maka sejauh
itu sistem tersebut tidak ada masalah.
Begitu
juga dengan umat beragama yang lain. Hak dan kewajiban mereka harus dijamin dan
dimuliakan oleh umat Islam. Posisi mereka yang inferior di tengah bangsa ini
tidak berarti membuat mereka menjadi masyarakat kelas dua. Begitulah yang
diajarkan Rasulullah ketika mendirikan masyarakat Madinah. Terutama ketika
Piagam Madinah disusun dan dijalankan. Waktu itu, tidak ada satu umat pun yang
dianggap berbeda dan oleh karenanya di marginalkan. Perbedaan tidak seharusnya
dipersoalkan tetapi justru harus dirayakan. Oleh karena itu, kebebasan,
keadilan, permusyarawatan dan persamaan harus terus didipupuk dan dijaga kelestariannya.
Indonesia
sebagai negara republik yang mengadopsi demokrasi sebagai sistem politiknya,
KAMMI dukung dengan antusias. Cita-cita
bangsa ini yang terurai dalam preambule
UUD 1945 adalah juga cita-cita yang KAMMI anut. Semangat keberagaman dan
persatuan adalah semangat yang juga KAMMI percayai dan ejawantahkan dalam
gerakan yang kami lakukan. Hal itu tercermin di dalam prinsip gerakan KAMMI
yang keenam yakni; “persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI.” Hal itu tidak
lain karena KAMMI lahir dari rahim bangsa ini dan berjuang menjaganya agar
tetap kokoh.
Bagi
KAMMI, Indonesia akan tetap menjadi negara dimana rakyatnya hidup dengan
sejahtera selama keempat pilarnya masih dipegang teguh. Pluralitas sebagai basis
materialisnya terus dipupuk. Toleransi antara umat Islam dengan dirinya sendiri
dan umat lain terus ditumbuhkan dan dijaga kemesraannya. Sehingga cita-cita
para founding parents kita dapat
tercapai dan negara Indonesia yang islami tidak lagi hanya sebatas mimpi. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.
Jadan, 24 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar