JANGAN JUAL LAUT KAMI
Diambil dari: https://wonderful.pulaumorotaikab.go.id/aktifitas/mengayuh-perahu-di-birunya-laut-morotai
Oleh
Zulfikhar
Dengan terengah-engah
Saleh mendayung perahunya menuju daratan. Angin Barat yang bertiup semilir
subuh itu mengusap-usap tubuhnya yang kurus berotot. Iwan, keponakannya yang
berusia belasan, terlelap tidur di buritan. Sesekali kakinya yang dekil
menendang tumpukan ikan di lambung
perahu.
Pagi itu Saleh berhasil
menangkap banyak ikan. Sejak membuang sauh kemarin sore, ia merasa sangat mudah
menangkap ikan. Tidak seperti sebelumnya. Begitu juga Iwan, meski pun anak itu masih
pemancing amatir. Mereka beruntung, cahaya bulan yang menerangi laut sepanjang
malam itu, menarik banyak ikan naik ke permukaan.
Sinar mentari mulai
menampakkan wajahnya di ufuk timur. Semakin mendekati daratan semakin banyak
perahu-perahu nelayan berdatangan dari segala penjuru. Pendaran lampu yang
menerangi pasar ikan semakin kelihatan.
Sesampainya di
pelabuhan, Saleh menambatkan tali perahunya di pelabuhan pasar. Sementara Iwan
sibuk memindahkan tumpukan ikan ke dalam beberapa baskom hitam berinisial “SH.”
Inisial nama Saleh.
Beberapa orang pedagang
Ikan yang sejak tadi menunggu kedatangan para nelayan, bergegas menghampiri
perahu Saleh.
“Berapa harga ikan
Bubara itu Le,” tanya perempuan paruh baya berjilbab hitam.
“Sepuluh ekor 20 ribu Ibu.”
“Le, ikan Dolosi itu
berapa harganya?” tanya seorang pria berbadan gemuk sambil mengarahkan
telunjuknya ke arah baskom hitam dekat kaki Saleh.
“Yang ini sepuluh ekor
20 ribu Pak,” jawab Saleh
“Le, bisa turunkan
sedikit boleh? 15 ribu begitu,” tawar perempuan berjilbab hitam.
Saleh
mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda setuju.
Tidak memakan waktu
lama bagi Saleh untuk menjual puluhan ikan yang ditangkapnya semalam. Ia tidak
memasang harga yang tinggi, wajar saja, dengan cepat puluhan ikan itu habis
terjual. Baginya, tidak perlu mematok harga tinggi, asalkan dapat mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya selama lima hari ke depan.
Setelah di beri upah
beberapa puluh ribu rupiah, Iwan disuruhnya
pulang untuk mempersiapkan diri ke sekolah. Saleh lalu bergegas menuju warung
makan yang berjejer di depan area parkir
pelabuhan kapal motor.
Dari luar tampak
beberapa kawannya tengah asyik mengobrol. Tampak tema obrolan mereka agak
serius, meski pun hari masih pagi.
Kepulan asap rokok
memenuhi ruangan warung ketika Saleh melangkah masuk.
“Halo, apa kabar
saudara-saudara? Sedang mengobrolkan apa? Kok kelihatannya serius sekali?” Sapa
Saleh dengan wajah semringah.
Serentak kawan-kawannya
yang kebanyakan nelayan itu menoleh pada Saleh. Tidak tergurat sama sekali
ekspresi keceriaan pada wajah-wajah mereka. Atau pun menunjukkan ekspresi kehangatan
sekedar untuk membalas sapaan hangat dari kawan mereka yang baru saja pulang melaut.
Air muka kawan-kawan
Saleh begitu dingin. Namun, bukan berarti merusak ekspresi mereka dalam
menyulut rokok. Seorang yang berkumis tebal mempersilahkan Saleh duduk. Tanpa
basa-basi mereka melanjutkan obrolan yang semakin lama diperhatikan Saleh
semakin serius, tampak seperti diskusi.
“Begini Le,” ujar pria
bertopi hitam menyambung obrolan.
“Kamu sudah tahu belum,
alasan di gusurnya kampung nelayan minggu kemarin?”
“Bukankah untuk di
bangun galangan kapal? Semua orang tahu itu,” jawab Saleh.
“Kamu dapat informasi
dari mana Le? Kok bisa bilang begitu? Tanya pria berkepala botak sembari
mengernyitkan dahinya yang berminyak.
“Adik isteriku yang
bilang. Dia juga ikut membantu kepindahan kawannya yang rumahnya di gusur waktu
itu.”
“Berarti kamu salah
informasi Le,” ujar kawannya yang beropi hitam.
“Masa, kamu enggak
merasa aneh, kan sudah ada galangan kapal 100 meter dari sini? Mengapa harus di
buat lagi?” tambah pria berkepala botak.
“Lalu mau di bangun
apa?”
“Sebenarnya penggusuran
itu untuk membangun pabrik ikan kaleng,” tambah kawan Saleh yang memakai
peci.
“Wah, kedengarannya bagus
juga itu,” ujar Saleh.
“Bagus bagaimana Om? Om
sendiri nanti yang akan rugi,” ujar salah seorang pemuda yang sedang duduk
menyantap sarapan di sudut warung. Pemuda
itu lantas berdiri dan berpindah tempat mendekati Saleh.
“Dik, kamu siapa? Kok tiba-tiba memotong?” sergah
Saleh sembari mengernyitkan dahi.
“Saya Misno Pak. Pemuda
dari kampung nelayan.”
“Misno itu benar Saleh.
Keberadaan pabrik itu akan merugikan kita para nelayan,” ujar pria bertopi
hitam.
Tangan kanan Saleh
tiba-tiba saja di ayunkan mengelus-elus dagunya yang dipenuhi janggut. Ia
kebingungan, apa yang di maksud dengan keberadaan pabrik ikan itu akan
mendatangkan kerugian?
“Hmm, bukankah
keberadaan pabrik ikan itu akan menaikkan penghasilan kota kita ini? Kan,
pastinya ikan-ikan yang dihasilkan akan di kirim ke luar daerah. Bahkan,
biasanya juga di kirim ke luar negeri,” ujar Saleh dengan nada berceramah.
“Bukankah pemerintah kita
sedang merencanakan daerah ini akan dijadikan lumbung ikan nasional? Artinya,
perusahaan-perusahaan ikan akan masuk ke sini dan pastinya akan mengurangi jumlah
pengangguran. Saya kira tak ada yang salah. Apa lagi warga miskin seperti kita
ini tidak mengalami perubahan nasib sejak dulu. Dulu, bapak kita nelayan,
sekarang kita yang menggantikan mereka menjadi nelayan.”
Menyaksikan pendapat
Saleh, pria berpeci hanya mengangguk. Sementara pria berkumis menghisap rokoknya
dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
“Om Saleh, apa yang Om
bilang memang benar. Tetapi ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan
sebelum menerima dengan suka rela pembangunan pabrik ikan itu Om,” ujar Misno
yang pernah mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi.
“Begini Om, penggusuran
kampung kami kemarin menyisakan banyak masalah. Ada cukup banyak rumah di sana
yang bersertifikat. Tidak seperti berita yang beredar selama ini yang menyebut tanah kampungku itu milik pemerintah
kota. Termasuk rumahku Om. Meskipun setelah itu kami di beri tanah di pinggiran
kota. Asal Om tahu saja, kepala kampung dan perangkatnya diam-diam berkongsi
dengan pemerintah kota. Mereka di minta untuk mengkondisikan masyarakat agar
tidak memprotes. Makanya, tidak ada perlawanan dari warga saat penggusuran
kemarin,” ujar Misno dengan serius.
“Lalu Om, pembangunan
pabrik ikan itu memang benar mendatangkan lapangan kerja baru bagi warga di
sekitar sini. Juga mendatangkan pendapatan bagi pemerintah kota. Tetapi perlu
di catat, mau dikemanakan nasib nelayan-nelayan seperti Om nantinya? Asal Om
tahu, biasanya ketika pabrik didirikan, kapal-kapal pencari ikan milik pabrik
akan beroperasi di kawasan laut sekitar di mana para nelayan selama ini mencari
ikan. Mereka akan mengambil ikan secara massal sehingga dampak jangka
panjangnya, akan mempengaruhi hasil
tangkapan nelayan. Dan mendorong para nelayan lebih jauh lagi mencari ikan.”
“Selain itu Om, kita
juga perlu tahu, selain berproduksi, pabrik juga menghasilkan limbah. Kemana
limbah itu di buang? Tidak lain dan tidak bukan pasti ke laut kan? Saya kira
kita semua tahu apa dampaknya jika limbah pembuangan pabrik di buang ke laut, tentu
saja mengakibatkan rusaknya ekosistem biota laut. Sehingga mengusir mereka
pergi semakin jauh ke lautan lepas. Tidakkah itu juga merugikan nelayan?”
Semakin lama mendengar penjelasan
Misno, Saleh semakin menyadari kalau pendapatnya memang lemah. Apa lagi setelah
ia tahu Misno pernah selama lima tahun bekerja sebagai buruh pada pabrik ikan
di pulau seberang. Saleh memang tidak paham, bagaimana proses produksi yang
berlangsung di dalam pabrik ikan. Apa lagi, setelah Misno memperluas penjelasannya
dengan menambahkan bahaya polusi yang datang dari pabrik. Terutama bau yang
ditimbulkannya dan pengaruhnya pada kenyamanan masyarakat sekitar dalam
beraktivitas sehari-hari.
Saleh baru sadar, hampir semua kawan-kawannya yang
sejak tadi berada di warung sudah mendiskusikan hal itu bersama Misno sejak
kemarin. Mereka semua sepakat, rencana pembangunan pabrik ikan itu mesti di
tolak. Mereka tidak ingin kerusakan laut yang pernah menimpa kawasan laut pulau
seberang, menimpa mereka.
Apa lagi mereka
sama-sama tahu, masyarakat kota dimana mereka tinggal adalah masyarakat yang sangat tergantung
dengan hasil laut. Di mana ikan adalah
makanan utama yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari pada kehidupan mereka. Ikan,
sudah menjadi makanan utama yang telah membudaya sejak dulu kala. Di olah
menjadi pelbagai jenis masakan dan diwariskan secara turun temurun, dari
generasi ke generasi.
Akhirnya, Saleh, Misno
dan kawan-kawannya memutuskan untuk
bertemu dengan pemerintah kota. Mereka sepakat menuntut pemerintah kota untuk
menghentikan pembangunan pabrik ikan. Mereka berencana mengajak seluruh
nelayan, pedagang ikan dan seluruh pekerja di pasar ikan untuk bergabung
bersama.
Mereka akan berusaha
meyakinkan pemerintah kota tentang bahaya keberadaan pabrik ikan. Terlebih,
keberadaan pabrik ikan itu ditengarai belum di sertai oleh uji analisis dampak
lingkungan yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum pembangunan
dimulai. Padahal, pembangunan pabrik
ikan sudah berlangsung, yang diawali dengan penggusuran kampung nelayan.
Selain itu, pembangunan
pabrik ikan juga di duga menyalahi rancangan tata ruang dan wilayah kota.
Sebagaimana yang dimiliki oleh Misno dan kawan-kawannya. Rupanya, di dalam
dokumen tersebut tidak ada sama sekali rancangan pembangunan pabrik ikan di
kawasan kota. Mengingat infrastruktur kota belum siap dan mendukung keberadaan
pabrik dengan produksi berskala besar itu.
Adanya pelbagai masalah
itu membuat Saleh, Misno dan kawan-kawannya yakin, tuntutan mereka akan didengar
pemerintah. Meski pun sebelumnya Misno dan kawan-kawannya menduga pemerintah
kota secara diam-diam telah menandatangani kontrak perizinan pendirian pabrik dengan
pengelola pabrik tanpa sepengetahuan warga kota. Kini, Saleh, Misno dan para nelayan di pasar ikan hanya berharap
semoga pemerintah kota mendengar tuntutan mereka dan menyelamatkan masa depan ekosistem
laut mereka. Hanya satu harapan mereka: “jangan jual laut kami.”
Komentar
Posting Komentar