PERTAMA KALI IKUT LOMBA HALF MARATHON
![]() |
Bertahun-tahun saya menjalani hobi berlari kini terpikirkan untuk melakukan satu pengalaman berlari yang baru. Kalau dulu saya mengikuti lomba 10 kilometer pada IKH-FH Unkhair Fun Run 2025, sekarang saya mau mencoba Half Marathon (21,0967 kilometer). Saya mau membuktikan -setidaknya pada diri sendiri- bahwa kemampuan berlari saya ada progress-nya. Saya kira sudah waktunya untuk melakukannya sekarang.
Jadilah saya mendaftar di Bhayangkara Kie Raha Run 2025 untuk nomor 21 kilometer dua bulan lalu. Sebelum mengikuti perlombaan saya menyiapkan diri dengan melakukan beberapa latihan. Fokus latihannya hanya pada daya tahan (endurance). Bukan kecepatan (pace). Tujuan saya cuma ingin finis dengan selamat saja. Tanpa cidera. Tidak lebih.
Masalahnya sekarang adalah saya selama ini belum pernah berlari melebihi jarak tempuh 15 kilometer. Apalagi pada saat itu saya mengalami pengalaman buruk diserang rasa lapar parah, kelelahan (fatigue) dan tidak mampu lagi melangkah. Pada persendian kaki saya terasa sakit sekali seperti mau copot saja. Pengalaman buruk itu cukup menghantui saya untuk mencobanya lagi.
Setelah dievaluasi, kesalahan saya waktu itu adalah tidak melakukan hidrasi. Saya berlari tanpa minum sama sekali. Pada saat berlari tubuh membutuhkan asupan air maksimal satu jam sekali jika tidak mau diserang dehindrasi. Dan itu tidak saya lakukan selama kurang lebih tiga jam berlari. Ya, tidak heran seperti itu jadinya.
Memulai Latihan
Sebelum mengikuti Half Marathon saya pikir perlu mengetahui bagaimana rasanya berlari sejauh 21 kilometer itu. Pastinya akan sangat melelahkan. Saya merencanakan untuk melakukannya dengan bertahap.
Latihan pertama saya lakukan dengan berlari sejauh 18 kilometer dengan membawa sebotol minuman elektrolit dan dua buah pisang mas. Botol minuman elektrolit itu saya genggam selama berlari dan airnya saya teguk setiap 25 menit. Saya makan satu buah pisang setiap 35 menit dan begitu seterusnya.
Saya mulai berlari dari depan Hotel Tiara Desa Were ke arah utara menuju Kilometer Tiga. Sesampainya di perempatan Kilometer Tiga, saya memutuskan terus berlari menuju komplek perkantoran lalu balik lagi ke selatan. Di depan Kodim Weda sudah menunjukkan waktu 35 menit. Laju lari saya perlambat dan saya makan satu buah pisang. Saya berlari menuju pasar lalu belok ke barat menuju Desa Nurweda. Terus berlari ke utara lagi menuju Patung Suba Meuw. Balik lagi ke timur melalui depan Rutan Weda, terus ke Masjid Raya Weda. Belok lagi ke utara menuju Perumahan ASN Kilometer Tiga. Tetapi sebelum sampai Perumahan, saya putar balik ke selatan menuju pasar lanjut belok ke barat menuju Koramil. Tepat di depan Pendopo Falcino, target jarak tempuh 18 kilometer sudah tercapai. Rasanya saya masih mampu berlari lebih jauh lagi tetapi saya merasa ini sudah cukup. Strategi hidrasi ini sangat berguna. Saya masih bisa berjalan kaki untuk pendinginan lebih dari satu kilometer. Tetapi malamnya persendian lutut saya pegal luar biasa. Rasanya sebelas dua belas dengan turun dari gunung Gamalama. Saya melangkah seperti robot.
Pada latihan berikutnya, saya optimis mampu. Tidak tanggung-tanggung, saya ingin berlari sampai 21 km. Saya memakai tas lari diisi dua botol minuman elektrolit dan empat energy gel. Kali ini saya berlari di Ternate. Saya mulai berlari dari depan Masjid Raya Al-Munawwar yang ramai dipadati warga yang sibuk berolahraga. Saya berlari ke arah selatan menuju ke Perikanan, menyusuri Pasar Bastiong, sampai di depan Masjid Al-Ikhlas saya belok ke barat melewati Kelurahan Ubo-Ubo. Saya lalu belok berlari sejauh tujuh kilometer ke utara, melewati Kedaton, melalui jalur menanjak Taman Makam Pahlawan Banau, sampai mentok di gerbang masuk Bandara Sultan Baabullah. Saya lalu putar balik lagi ke selatan, belok ke timur membelah Kelurahan Akehuda, belok kiri ke utara mengitari Kelurahan Tafure. Lalu kembali lagi ke selatan dan sampai di Masjid Raya lagi. Saya memutuskan belok ke barat menuju perempatan Lampu Merah Plaza Gamalama lalu belok ke utara menuju Benteng Oranje. Pada saat mendekati Plaza Gamalama target 21 km sudah tercapai. Tetapi saya memutuskan untuk terus berlari. Pada menit-menit terakhir ini saya memutuskan untuk menghabiskan tenaga yang masih tersisa. Pelan-pelan saya menambah kecepatan berlari. Mendekati tujuan, ketika saya melewati sebuah tanjakan kecil, tiba-tiba otot betis (gastrocnemius) saya mengalami seragan kram. Cukup sakit rasanya yang memaksa saya menghentikan langkah. Dan saya memutuskan berhenti di sini.
Di Weda, satu minggu jelang lomba Bhayangkara Kie Raha Run 2025, saya melanjutkan latihan berlari 21 kilometer . Pada latihan ini kedua kaki saya terasa amat gerah. Sepertinya kaos kakinya tidak cocok. Mungkin sepatunya juga. Kedua kuku jempol kaki saya tampak makin gelap. Saya melakukan recovery run beberapa hari kemudian dan beristirahat sampai hari H tiba.
Infografis lari 21 kilometer via Garmin
Terlambat Start
Minggu 29 Juni 2025, saya dibangunkan isteri saya lewat telepon jam setengah empat. Lalu saya menyiapkan sarapan telur rebus, buah pir tak ketinggalan sepotong black forest. Seperti saat lomba, saya membawa dua botol berisi air elektrolit dan empat energy gel. Pada lomba kali ini saya memakai sepatu yang saya pakai waktu mengikuti IKH-FH Unkhair Fun Run 2025 10 Kilometer.
Dan ternyata saya terlambat tiba di Land Mark tempat perlombaan diselenggarakan. Pukul 05.45 WIT Nomor 21 Kilometer adalah yang pertama memulai lomba (flag off). Baru saja memarkir motor, memakai sepatu dan mengenakan tas lari, sirine tanda start mulai untuk nomor Half Marathon meraung-raung di udara. Tersentak, saya langsung berhamburan berlari mengikuti puluhan pelari yang sudah berlari jauh di depan. Suasana hati saya masih diliputi ketegangan sehingga ketika melewati garis start saya lupa mengaktifkan mode lari pada jam saya. Saya baru menyadarinya saat berlari beberapa ratus meter dua menit kemudian.
Berlari tidak lama setelah start
Menit demi menit Half Marathon dimulai subuh itu rasanya pace lari saya terasa seperti pada saat latihan. Ternyata saya berlari lebih cepat: pace 6. Hal yang sama juga saya rasakan pada saat lomba 10 Kilometer kemarin. Iya, suasana (vibe) dalam perlombaan memang mendorong para pelari untuk berlari lebih cepat. Tanpa kita sadari.
Beberapa kilometer pertama saya merasa tidak ada masalah. Nafas saya masih teratur. Saya berlari seperti biasa. Melewati depan Perikanan, saya perhatikan mulai banyak pelari di depan saya memperlambat langkahnya. Di sini saya melihat dua orang pelari wanita berlari dengan penuh percaya diri. Salah satunya memakai tas lari seperti saya.
Di Kelurahan Kayu Merah saya mulai melihat para atlet berlari berlawanan arah menuju Bandara Sultan Baabullah. Mereka berlari seperti dikejar kuntilanak. Tiba di ujung selatan rute, pada Jembatan Enam Kelurahan Kalumata, terlihat semakin banyak pelari menumpuk di depan saya. Di situ tersedia water station. Selain berlusin botol air mineral tersedua disitu, tidak terlihat satu botol pun air isotonik seperti dijelaskan panitia akan tersedia di sana.
Di pertigaan Perikanan saya mulai melihat rombongan pelari nomor 10 Kilometer. Puluhan pelari berbaju ungu itu berlari kencang melewati saya. Di kelurahan Stadion sampai Sangaji, ratusan pelari nomor 5 Kilometer memadati sisi kiri dan kanan jalan. Mereka banyak yang berjalan.
Memasuki kilometer tujuh, jumlah pelari 21 Kilometer di jalur semakin jarang terlihat. Satu dua orang peserta mulai berjalan. Beberapa kali saya mendahului para pelari di depan dan beberapa kali juga saya didahului dari belakang. Makin krusial ketika memasuki kilometer sepuluh ke atas. Terutama saat memasuki tanjakan Kelurahan Tubo depan Taman Makam Pahlawan Banau. Sudah terlihat beberapa pelari mulai berjalan. Di situ tersedia water station dan dua mobil ambulance. Seorang paramedis wanita sempat berjalan mendekati saya melontarkan pertanyaan apakah saya masih mampu. Yang saya balas saja dengan sebuah senyuman dan isyarat tangan “aman”.
Jalur menanjak ini belum berakhir sampai perempatan depan Kampus AIKOM. Lalu perlahan mulai landai dan menurun hingga tiba di jalan masuk kawasan Bandara Sultan Baabullah yang lurus itu. Jalur menurun ini saya manfaatkan untuk menaikkan sedikit kecepatan lari saya.
Di depan SMK 2, sudah terlihat arus balik rombongan pelari di barisan terdepan. Tetapi rombongan para atlet sudah tidak terlihat lagi. Ya, pastinya mereka sudah sejak tadi kembali dari Bandara Sultan Baabullah dan belok kiri menurun ke timur melewati Pasar Dufa-Dufa.
Jalur menanjak berlanjut lagi di jalan lurus menuju gerbang Bandara. Saya berlari makin berat meskipun bisa mendahului beberapa pelari yang mulai melambat. Di sini terlihat lagi pelari yang memutuskan berjalan kaki. Mulai dari sini pace lari saya perlahan mulai melambat. Saya didahului dua orang yang sebelumnya saya dahului di Kelurahan Gamalama. “Semangat Pak!” Kata mereka sembari menyalip saya dari kiri dan kanan.
Saya berputar kembali lagi ke selatan, dan mulai terengah-engah meniti langkah menanjak ke arah SMK 2. Di sini mulai terlihat rombongan para pelari di barisan belakang. Seorang pelari wanita terlihat berlari dengan semangat. Oh iya, dalam perlombaan di nomor 21 kilometer ini tidak banyak terlihat pelari wanita. Saya kira tidak sampai sepuluh orang.
Diserang Sesak Dada
Memasuki Kelurahan Sangaji ada water station persis di depan Benteng Tolokko. Ada tanjakan kecil setelah itu yang pernah saya lewati juga pada saat latihan. Tidak lama berlari saya sudah sampai di markas Korem Baabullah. Saya berlari terus sepanjang Kelurahan Sangaji, Salero sampai tiba di Lapangan Salero.
Saat berlari di sepanjang jalan itu, tiba-tiba saja dada kiri saya mulai terasa seperti tertekan. Seperti sesak dada. Pikiran saya mulai tidak karuan. “Apa yang terjadi?” tanya saya dalam hati. Rasanya dada ini terasa berat seperti sedang lari sprint. Dan ini sudah kali ketiga. Melihat ke arah jam, denyut jantung saya masih aman jauh di bawah 180 bpm. Kecepatan lari langsung saya turunkan.
Dalam hati saya menguatkan diri agar jangan sampai berhenti di sini. Pada latihan kemarin tidak pernah terjadi kok malah sekarang di saat penting seperti ini. Alhamdulillah, beberapa detik berlalu dan tekanan itu langsung mereda dan perlahan menghilang. Saya kembali berlari seperti biasa.
Sampai di pertigaan jalan masuk Lapangan Salero saya bingung apakah belok kanan ke barat atau belok kiri ke selatan. Tidak ada panitia yang memandu di situ. Marka pun tidak ada. Syukurlah ada orang di pinggir jalan membantu mengarahkan saya. Saya diarahkannya belok kiri terus berlari menuju Hypermart. Sebelum pertigaan, pada sayap selatan lapangan, seperti biasa di hari minggu diramaikan dengan aktivitas senam yang diikuti puluhan warga. Saya kembali lagi bertanya kepada warga yang berada di pinggir jalan. “Lurus terus atau belok ke kanan Bu?” Seketika mereka mengarahkan saya membelok ke kanan menuju Tugu Adipura. Di pertigaan jalan saya melihat beberapa orang panitia menunggu peserta yang lewat. Mereka mengarahkan saya belok kiri. “Oi jaga di lao!” teriak saya sembari melambai-lambaikan tangan mengarahkan mereka untuk beredar ke lokasi senam. Berlari sembari bertanya-tanya arah jalur sungguh merepotkan.
Di depan Toko Makmur Utama, saya kembali melewati water station. Di situ ada seorang anggota polisi tetangga saya. Dia menawarkan kepada saya semprotan pereda nyeri namun saya tolak. Saya bilang padanya bahwa garis finis sudah dekat.
Memasuki kawasan pasar Gamalama, 1 kilometer menjelang finis saya didatangi Kaka Ibnu yang berjalan berlawanan arah dengan isterinya. Senior saya itu mendekati saya, merangkul saya dan meminta isterinya mengambil gambar kami. Dia dan isterinya mengikuti lomba nomor 5 kilometer.
Tak lama kemudian, di depan perempatan Plaza Gamalama saya didahului seorang pelari yang sebelumnya saya dahului di Kalumata. “Ini belok kiri atau lurus?” tanya dia. “Lurus. Lurus saja Pak” jawab saya.
Makin mendekat garis finis, saya mulai menambah kecamatan. Bayang-bayang cidera di masa lalu seketika muncul di kepala. Saya putuskan tidak menambah kecepatan lagi. Sayup-sayup terdengar obrolan beberapa pelari di belakang saya. Dan alhamdulillah, saya berhasil finis.
Suasana di sekitar garis finis tidak lagi terlihat panitia. Pusat keramaian sudah bergeser ke panggung acara. Masih banyak pelari terlihat mengambil gambar. Di situ saya menyapa beberapa senior aktivis yang baru saja selesai mengambil gambar. Mereka ikut nomor 10 kilometer. Saya lalu menuju meja pengambilan medali kemudian mengambil makan minum. Tak sengaja saya melihat ke arah jam saya. Astaga, saya lupa mematikan mode lari saya lagi.
Tak lama kemudian Isteri saya menelepon menanyakan kabar saya. Di ujung handphone dia mengucapkan selamat atas keberhasilan saya. “Terima kasih yang” kata saya.
Infografis lomba half marathon via Garmin
Melihat infografik lari pada handphone saya, membuat dahi saya jadi mengkerut. Kok total jaraknya 19,65 kilometer? Apakah karena saya tadi terlambat menyalakan mode larinya ya? Belakangan setelah melihat postingan peserta lain, saya baru sadar ternyata total jarak rute lari dalam perlombaan ini tidak sampai 21 kilometer. Astaga.
Were, 6 Juli 2025.
Komentar
Posting Komentar