ISLAMISASI PENGETAHUAN ATAU DEMISTIFIKASI ISLAM: TELAAH KRITIS GAGASAN KUNTOWIJOYO, NAQUIB AL-ATTAS, DAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI MENYIKAPI ILMU PENGETAHUAN
Dalam kehidupan alamiah
manusia barangkali sering menemukan ketidaksesuaian ilmu pengetahuan sebagai teori
profane (baca: orientasi keduniawian)
dengan agama (Islam) yang merupakan derivasi (penjabaran) firman Allah kepada
makhluknya yang menjadi landasan sacral
(baca: metafisik) sebagai sumber pengetahuan yang paling benar. Misalnya
filsafat (mantiq/kalam) sebagai ilmu pengetahuan, banyak diperbincangkan
sebagai sumber utama keraguan orang muslim terhadap Islam atau mungkin pendapat
Freud dalam Psikologinya yang menganggap agama sebagai ilusi yang harus
dimusnahkan dari peradaban. Tidak hanya itu ilmu Biologi, sejarah, politik, seni,
dan lain-lain sebenarnya pada prinsipnya (era renaissance-modern) menolak peran
agama dalam aktivitas keilmuannya. Maka lahirlah sekularisme ilmu dan agama.
Filsafat yang dianggap
menggunakan nalar manusia an sich
sebagai metode (kritisisme, empirisisme, rasionalisme, dialektis) dalam proses
pencarian kebenarannya dianggap sebagai bentuk aktivitas mendekati penyesatan.
Lebih lanjut kelompok Islam (ahlusunnah
wal jamaah) yang mengilmui Islam secara ad
verbatim menyarankan untuk tidak mengkaji alam kefilsafatan sebagai ilmu.
Seperti yang disampaikan oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-kalam `an al-mantiq wa Fann al-kalam.
Selanjutnya Psikologi
dalam analisis Sigmund Freud (baca: Ilmu tentang kejiwaan, wikipedia) dalam
aplikasi penjabaran keilmuannya, melihat fenonema kesakitan jiwa manusia
sebagai efek ketidakmampuan psikis manusia ketika berbenturan dengan sesuatu
yang menyedihkan, merugikan, atau dibenci (koping), sehingga lanjut Freud jika
manusia menempatkan benturan tersebut dalam alam bawah sadarnya (unconscious mind) maka akan terjadi
stress dan berujung pada ketidakmampuan manusia dalam memahami dirinya
(psikotik, waham, skizoprenia). Maka pada akhirnya segala hal metafisik dalam
psikologi sebenarnya tidak mempunyai peran sama sekali. Maka, agama itu adalah
ilusi.
Islam
sebagai Sistem Universal (Syumuliyatul Islam)
Hasan al-Banna dalam
kitabnya Majmuatur Rasail (Risalah
Pergerakan Ikhwanul Muslimin jilid 2, buku dalam bahasa Indonesia) menjelaskan,
“Islam adalah system menyeluruh yang menyentuh
seluruh aspek kehidupan. Dia adalah bangsa dan tanah air, akhlaq dan kekuatan,
kasih sayang dan undang-undang, ilmu dan sumber daya alam, sebagaimana ia
adalah aqidah yang bersih dan ibadah yang benar tidak kurang dan tidak lebih”. Dengan
melihat manifesto al-Banna tersebut maka jelaslah pengakuan terhadap Islam itu
bukan lagi sebagai agama an sich namun lebih luas dan lengkap. Maka tren
idealisme kalangan Islam saat ini adalah pemahaman mereka terhadap Islam yang
menyeluruh (universalitas Islam).
Manifesto al-Banna
tersebut akhirnya semakin meluas dan bahkan konsisten dilakukan oleh umat
muslim di seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Pemahaman terhadap ilmu pun
sudah mulai diperspektifkan dengan Islam. Akhirnya terjadi proses islamisasi ilmu pengetahuan yang
massif terjadi di Indonesia, khususnya di kelompok Islam revivalis (Ikhwanul
Muslimin, Jama’at Islami, PAS, PKS, Hizbut Tahrir).
Islamisasi
Pengetahuan
Naquib al-Attas pada
pertengahan tahun 70’an sudah memulai teoritisasi dan aktivitasi islamisasi
ilmu pengetahuan dalam makalahnya, “Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of
Education.” Kemudian gagasan
yang sama juga disampaikan oleh seorang peneliti dari International Institute of Islamic Thought Amerika, Ismail Raji al-Faruqi
pada awal tahun 80’an dalam makalahnya, “Islamicizing social science”.
Gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul
karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu
pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free)
akan tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu yang tersebar
sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai
corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah
pengetahuan yang diwarnai dengan watak dan kepribadian peradaban Barat.
Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu dan
dilebur secara halus dengan yang asli (the real) sehingga manusia yang
mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.
Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk
dikonsumsi sebelum disterilkan terlebih dahulu.
Sedangkan alasan al-Faruqi memandang perlunya islamisasi
ilmu pengetahuan adalah karena keadaan umat muslim di era modern yang miskin
akan pengetahuan dalam menghadapi fenomena kompleks dalam menyelesaikan masalah
aktual keduniawiannya. Dengan melihat kemajuan pesat yang dialami oleh Barat,
akhirnya umat muslim tertarik belajar pengetahuan Barat yang sudah terbaratkan
sejak semula. Menurut al-Faruqi pengetahuan dari Barat boleh di pelajari
asalkan sudah dirubah yaitu pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan
asimilasi pengetahuan agar tekstual dengan ajaran tauhid.
Demistifikasi Islam
Demistifikasi islam atau pengilmuan islam (baca:
objektifikasi Islam) barangkali merupakan satu gagasan baru yang populer disampaikan oleh
Kuntowijoyo untuk membaca hakikat pengetahuan yang dimaksudkan melihat dalam
kerangka objektif. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sebenarnya teori Islamisasi
pengetahuan yang disampaikan oleh al-Attas dan al-Faruqi pada hakikatnya adalah
gerakan dari konteks ke teks. Artinya Islam sebagai sistem terkesan dimuatkan
ke dalam dimensi pengetahuan tanpa menghilangkan kekhasan Islam. Sehingga
gagasan ini dimaksudkan mewarnai ilmu dengan warna Islam yang holistik. Mirip
dengan klausul “ideologi komprehensif” dari John Rawls. Gagasan tersebut
diformulasikan untuk mengadaptasikan pengetahuan kepada nilai-nilai filosofis
Islam untuk menarik dua polar subjek pengelolaan dan konsumen pengetahuan
yakni; muslim dan non-muslim.
Sebenarnya dengan menggunakan metode diatas akan menimbulkan
dualisme hasil aplikasi pengetahuan sehingga semakin akut digunakan maka secara
gradual akan menghilangkan kekhasan dan kedudukan pengetahuan akibat teredusir
oleh mistisisme. Sehingga objektifikasi dari pengetahuan tersebut terkikis dan
menjadi hanya sekedar perangkat yang tidak lagi ekletis. Padahal pada saat itu,
pengetahuan belum membutuhkan Islamisasi karena tidak semuanya memerlukan karena
masih objektif. Pengetahuan perlu dilakukan Islamisasi hanya jika sudah menjadi
semakin egoistik dan melampaui batas-batasnya sehingga tidak lagi semata-mata
pengetahuan. Sehingga pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu
diIslamkan, karena Islam mengakui objektivitas. Suatu teknologi akan tetap sama
saja, baik di tangan orang Islam maupun orang kafir (Kuntowijoyo, 2006).
Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya berangkat dari domain
prinsipil bagaimana pengetahuan itu dianalisis. Artinya aspek ontologis yang
harus diIslamisasikan. Menurut Kuntowijoyo, untuk ilmu yang benar-benar
objektif kiranya sangat tergantung dari niat individu, maka niat itulah yang memerlukan
Islamisasi, bukan ilmunya. Sehingga Islamisasi pengetahuan menjadi terkesan mubazir (berlebihan) dipraktikkan pada
saat ilmu tersebut tidak butuh untuk diIslamkan.
Pada aplikasinya Islamisasi pengetahuan belum dibutuhkan
ketika biologi –penulis ambil sebagai contoh kasus- sebagai pengetahuan
diderivasikan sebagai ilmu yang mempelajari makhluk hidup, struktur
biologisnya, tumbuh-kembangnya dan reproduksi. Sehingga biologi akan semakin
berdikari/independen dengan konsep objektifnya. Tetapi semakin independen,
biologi akan semakin pride (baca: bangga)
dengan keobjektifannya itu sehingga perlahan semakin fanatik dan mencari privilege –hak istimewa untuk
mengokohkan kedudukannya- sebagai representasi keunggulannya terhadap
pengetahuan lain bahkan kepada manusia. Sehingga biologi mengeluarkan
manifestonya melalui Darwin bahwa manusia berasal dari kera –sebelumnya dari
atom menurut Demokritus- dan terus berubah menuju bentuk yang semakin sempurna
(baca: teori evolusi). Sehingga biologi pada saat itu menjadi egoistik dan cenderung
predatoris sehingga meracuni nilai
objektif ontologisnya menjadi semakin subjektif. Maka pada saat itulah Islamisasi
pengetahuan dibutuhkan sebagai penyadar dan penjaga koridor keobjektifan
pengetahuan biologi.
Kesimpulan
Menurut penulis, sebenarnya Islamisasi pengetahuan dan
demistifikasi Islam adalah dua pisau analisis yang saling melengkapi. Sehingga
keduanya bersama menjadi penopang idealisme pengetahuan sebagai pembentuk akademisi-akademisi
produktif. Nilai sintetik pengetahuan yang digunakan untuk mencari kebenaran,
bukan sebagai the will to power –epistemologi
FW Nietszsche sebagai kehendak untuk berkuasa- dengan membenarkan semua metode
yang ada untuk berkuasa (Santoso, 2010). Tetapi digunakan sebagai parameter
serta penjaga trayek perkembangan pengetahuan. Sehingga meskipun pengetahuan
dinalar dengan metode deduksi atau induksi, nilai keobjektivannya tidak
teredusir meskipun ditambah dengan metode penalaran yang lain.
Maka menjadi tugas bersama keduanya untuk menjaga puritanitas
objektivitas pengetahuan. Demistifikasi Islam sebagai perangkat adaptasi
pengetahuan, mengubah pemahaman terhadap
pengetahuan dari teks ke konteks sedang Islamisasi pengetahuan menjaga trayek
pengetahuan supaya tidak kembali premature
(baca: menjadi tidak matang) menjadi teks yang subjektif.
Referensi
§ Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007)
§ Listiyono
Santoso, dkk, Epistemologi Kiri
(Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010)
§ Hasan
Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin jilid 2 (Solo: Era Intermedia)
Komentar
Posting Komentar