Menyoal Keputusan Grasi Terhadap Corby


Lagi-lagi pemerintah kita melakukan tindakan yang kontroversial. Khususnya, Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) sebagai pelaksana keputusan prerogatif presiden dalam hal pembebasan Schapelle Leight Corby. Berhubungan dengan dikeluarkannya grasi (pengampunan resmi presiden) oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap ratu mariyuana asal Australia tersebut.
Hak yang digunakan presiden tersebut konstitusional sesuai dengan UUD 1945 pasal 14. Sehingga sebenarnya tidak menjadi persoalan yang patut dikritisi masyakarakat umum. Tetapi yang menjadi kontroversi dari keputusan tersebut adalah apakah tepat hak tersebut digunakan untuk membebaskan penjahat seperti Corby? Lalu motivasi apa yang melatarbelakangi keputusan tersebut? Benarkah terjadi pertukaran antara Corby dengan tiga narapidana Indonesia yang mendekam dipenjara Australia?
Corby mendekam di penjara sejak 9 Oktober 2004 lalu. Ia tertangkap tangan memiliki 4,2 kg ganja di Bali. Atas keputusan Pengadilan Negeri Denpasar tertanggal 27 Mei 2005, Corby resmi dibuikan dengan vonis hukuman 20 tahun penjara.
Sampai dengan surat grasi resmi dikeluarkan oleh presiden Yudhoyono, Corby sudah menjalani masa hukuman selama 10 tahun lebih 4 bulan. Jika tidak ada perubahan terkait dengan kuputusan tersebut, maka bisa dipastikan pada September 2017 Corby sudah bisa menghirup udara bebas. Corby bebas lebih cepat dari jadwal semula pembebasannya jika tanpa grasi, yaitu September 2022. Selama menjalani masa pidananya, ia telah mengumpulkan remisi atau potongan hukuman sebanyak 25 bulan atau dua tahun satu bulan.
Kurang lebih lima tahun kedepan Corby sudah akan bebas dari masa pidananya. Bahkan tahun ini ia kemungkinan akan bebas jika Kemenkumham menyetujui Pembebasan Bersyarat (PB) untuknya. Karena Corby sudah hampir masuk dua pertiga masa pidana sehingga setelah terpenuhi ia berhak untuk mengajukan PB. Tiga pertiga masa pidananya jatuh pada tanggal 3 September 2012 mendatang.
Apa yang bisa kita lihat dari fenomena tersebut adalah tidak berdayanya komitmen hukum Negara kita. Betapapun sekarang Negara kita sedang mengkampanyekan peperangan terhadap korupsi, narkotika dan terorisme. Tetapi yang kita lihat dilapangan nyatanya justeru pemerintah kita sendiri yang menganulir komitmen perang tersebut. Modal sosial yang sudah mulai tumbuh dan bergerak merata terkikis dengan manuver malpraktik kebijakan dari presiden dan jajarannya.
Di media massa dan elektronik muncul wacana yang membingungkan banyak orang. Arus wacana tersebut menghembuskan isu pertukaran tawanan Indonesia-Australia sebagai motivasi dasar kebijakan grasi tersebut. Sehingga ujuk-ujuk pemerintah meresponnya terlalu dini, padahal secara politik belum ada kejelasan respon pemerintah Australia terhadap hal tersebut. Menurut Menlu Marty Natalegawa, Indonesia tidak mempunyai kesepakatan tukar-menukar tahanan seperti biasa terjadi dalam kondisi perang (exchange of prisoner of war). Marty melanjutkan, memang ada istilah yang umum dikenal, yaitu transfer orang terhukum (transfer of sentenced person) antar negara. Akan tetapi Indonesia tidak pernah punya atau membuat kesepakatan semacam itu dengan negara manapun sampai sekarang. Meskipun penerapan TSP biasanya dilakukan dan disepakati dengan pertimbangan kemanusiaan dan diputuskan oleh pengadilan berdasarkan permintaan yang bersangkutan (terpidana). Tetapi yang terjadi sekarang belum memenuhi pertimbangan tersebut. Sehingga pemerintah tidak mempunyai legitimasi yang kuat untuk mengambil jalan itu.
Menurut anggota DPR-RI Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aboe Bakar Al Habsy. Ia mengatakan Presiden harus menjelaskan langsung alasan pemberian grasi itu. Menurutnya, ada perbedaan penjelasan dari pejabat pemerintah. Pasalnya lanjut beliau, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menjelaskan bahwa alasan pemberian grasi untuk memberikan pesan kepada Pemerintah Australia agar melakukan hal serupa terhadap tahanan asal Indonesia. Sedangkan menurut staf khusus presiden itu murni kemanusiaan. Akhirnya menimbulkan kesimpangsiuran di tengah publik karena menciptakan banyak tafsiran pemerintah terhadap isu tersebut. Sedangkan menurut Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, yang menegaskan respon dari Aboe Bakar dengan mengatakan pemberian grasi selama 5 tahun terhadap terpidana kasus narkotika Corby menambah catatan hitam pemerintahan Indonesia. Disamping kebijakan tersebut tidak transparan, juga menurut beliau ada upaya dari pemerintah Australia untuk menyelamatkan warga negaranya yang terjerat kasus hukum di luar negeri.
Sudah sedikit terang yang bisa kita lihat dari isu tersebut. Bahwa pemerintah belum menunjukkan kebijakan politik yang memuaskan. Disamping itu sebab-musabab keputusan tersebut diambil masih simpang siur. Sehingga terlihat jelas ada hal-hal yang janggal dan kontroversial. Maka untuk menyelesaikan masalah seperti ini, penulis perlu menyampaikan tawaran untuk menyikapinya;
Pertama, presiden dan pejabat pemerintah yang erat berkaitan dengan isu ini harus mengevaluasi ulang kebijakan yang telah dikeluarkan. Meskipun keputusan pengeluaran grasi terhadap Corby konstitusional dengan kewenangan presiden sesuai dengan UU, tetapi apakah selaras dengan semangat memerangi narkoba yang sedang digalakkan sekarang. Dan jelas terlihat sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kepancasilaan yang menjamin keberadaan kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena mengorbankan kepentingan yang lebih besar yaitu melindungi rakyat dari racun  narkotika dengan dipinggirkan oleh keputusan meringankan hukuman penjahat narkoba internasional.
Kedua, presiden Yudhoyono harus menjelaskan kepada rakyat Indonesia motivasi dari kebijakan yang diambilnya itu. Atas dasar apa presiden meringankan masa hukuman Corby? Apalagi negeri ini sedang gencar mengkampanyekan perang terhadap narkoba. Meskipun keputusan tersebut mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA). Tetapi perlu dicatat pertimbangan tersebut hanya sebatas melihat dari teks hukumnya saja, bukan konteks hukumnya. Sehingga tidak benar jika hanya sudah mendapat pertimbangan dari MA, presiden kemudian mengikutinya secara langsung tanpa menyaringnya dengan mempertimbangkan konteks hukum isu tersebut, yaitu perang melawan narkoba.
Ketiga, pemerintah harus paham terhadap TSP, jika saja terjadi. Karena kita tahu setiap Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Meskipun mereka melakukan kejahatan besar sekalipun. Paling tidak dihukum di negeri sendiri sehingga perlakuan dan perhatian terhadap mereka (Baca: terpidana) terkontrol dan manusiawi. Maka, pemerintah harus mempertimbangkan bahwa tidak bisa dipastikan Australia akan melakukan hal yang sama dengan kita. Karena tidak bisa berbicara kasihan-mengasihani dalam ranah politik. Semua Negara mempunyai kepentingan dan motivasi masing-masing untuk menjadi pihak yang diuntungkan.
Masalah krusial ini harus segera diselesaikan dengan partisipasi dari seluruh pihak, tidak saja presiden. Opini dari masyarakat perlu ditampung oleh pemerintah sebagai masukan terhadap kebijakan grasi tersebut. Sehingga tidak sepihak, subyektif dan bertanggung jawab terhadap keputusan bersama untuk memerangi narkotika.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*