Pembaharuan Islam di Turki
Pembaharuan pada mulanya merupakan sebuah gejala endemik
yang berawal dari Eropa. Momentum ini lahir dari pikiran dan aliran para ilmuan
serta kaum inteligensia Barat yang menganggap bahwa sistem yang rigid (kaku) dalam
penyelenggaraan Negara adalah merupakan sebuah gejala kemunduran peradaban dan
phobia terhadap perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi
mutakhir. Sehingga dengan menerima pembaharuan dalam sistem pemerintahan –yang
pada saat itu masih berbentuk Negara agama- Teokrasi yang dipimpin dewan gereja
di Barat sebelum zaman renaissans pada abad 15 dapat menyelamatkan kehidupan serta eksistensi
Negara dan bangsa.
Di
Barat pembaharuan dikenal dengan sebutan modernisme. Modernisme ini bertujuan untuk
menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Khatolik dan Protestan
dengan disintesiskan bersama ilmu pengetahuan dan filsafat. Aliran modernisme
ini pada akhirnya membawa kepada timbulnya sekulerisme di masyarakat Barat.
Modernisme
-atau yang lebih dikenal di dunia Islam dengan nama pembaharuan (Baca:
Ijtihad)- juga terjadi tidak hanya di Barat tetapi menyebar di dalam kehidupan
umat Islam. Khususnya di Timur Tengah yang pada awalnya mulai mencicipi aliran
baru ini. Terutama di Turki yang pada saat itu masih menjadi imperium
kekaisaran besar di Timur, Kesultanan Turki Usmani.
Kesultanan
Turki Usmani yang pada saat itu masih menjadi penguasa besar di asia mulai
merasakan hangatnya nuansa pembaharuan di Barat. Selain itu, Kerajaan Mesir
juga merasakan hal yang sama dan lebih dulu merasakannya dibanding Turki.
Pembaharuan
di Turki dimulai bukan dari kalangan ulama ataupun kaum inteligensia tetapi
dari kalangan bangsawan Usmani sendiri yaitu Sultan Mahmud II. setelah sibuk
berperang mempertahankan kedaulatan Negara dengan Rusia sampai berakhir pada
tahun 1812 dan berhasil memperkuat posisi negaranya. Sultan Mahmud kemudian
melihat bahwa sudah tiba saatnya untuk memulai usaha-usaha pembaruan yang
sebenarnya telah lama menjadi obsesi pribadinya.
Di
tahun 1826 ia mulai memulai usaha pembaharuan di bidang militer dengan
membentuk suatu korp tentara baru yang dilatih oleh pelatih-pelatih kiriman
Raja Mesir, Muhammad Ali Pasya. Obsesinya itu diterima oleh kalangan perwira
tinggi Yeniseri –pasukan militer khusus kesultanan yang tentaranya berasal dari
ras kaukasoid Eropa- tetapi tidak menular ke perwira-perwira bawahan. Sehingga
akhirnya Yeniseri melakukan pemberontakan. Pemberontakan dari Yeniseri kemudian
direspon oleh Sultan dengan pembersihan sampai dengan pembubaran Yeniseri
beserta dengan Tarekat Bektasyi sebagai pendukung utama gerakan ini.
Sultan
Mahmud II dikenal sebagai pemimpin yang tidak mau terikat dengan tradisi dan
tidak segan melanggar adat kebiasaan lama. Berbeda dengan sultan-sultan sebelumnya
yang menjauh dan mengasingkan diri dari rakyat.
Tradisi
aristokrasi ini dilanggar oleh Mahmud II dengan mengambil sikap demokrastis dan
selalu muncul di muka umum untuk berdialog dengan rakyat. Pakaian kerajaan sultan
yang terfragmentasi dengan pakaian menteri dan pembesar-pembesar kesultanan
ditukar dengan pakaian yang lebih sederhana. Begitu juga dengan simbol-simbol
kebesaran dihilangkan serta menganjurkan rakyatnya untuk meninggalkan pakaian
tradisional dan menggantinya dengan pakaian Barat.
Kekuasan
absolut yang dimiliki oleh penguasa Usmani dibatasi dan dikurangi. Kewenangan
Pasya atau Gubernur untuk menjatuhkan hukuman mati dengan isyarat tangan diganti
dengan kewenangan penuh dari hakim.
Dalam
pelaksanaan kekuasaan (eksekutif), Sultan dibantu oleh oleh dua wakilnya yang
mengepalai urusan pemerintahan yang dipimpin oleh Sahrazam dan urusan keagamaan oleh Syaikh Al-Islam. Padahal awalnya keduanya tersentral menjadi fungsi
tunggal dari sultan. Keduanya tidak mempunyai suara dalam soal pemerintahan dan
hanya melaksanakan perintah sultan. Dan menggantikan sultan pada saat sultan berhalangan
atau bepergian.
Pembaharuan
juga dilakukan pada bidang pendidikan dengan merubah kurikulum madrasah yang
umumnya adalah lembaga resmi pendidikan Usmani. Madrasah yang umumnya
mengajarkan ilmu-ilmu agama dimasukkan oleh sultan dengan pengetahuan-pengetahuan
umum meskipun masih sulit untuk diterapkan. Disamping berdirinya madrasah
sebagai lembaga pendidikan formal, sultan juga mendirikan dua sekolah umum,
yaitu Sekolah Pengetahuan Umum dan Sekolah Sastra. Di kedua sekolah ini
diajarkan bahasa Perancis , ilmu bumi, ilmu ukur, sejarah dan ilmu politik
disamping bahasa Arab. Sekolah pengetahuan umum didirikan untuk mendidik para
siswa untuk menjadi pegawai-pegawai administrasi sedangkan sekolah sastra
didirikan dengan tujuan melahirkan penerjemah-penerjemah untuk keperluan
Pemerintah.
Tidak
lama sesudah itu Sultan Mahmud II kemudian mendirikan Sekolah Militer, Sekolah
Teknik, Sekolah Kedokteran, dan Sekolah Pembedahan. Siswa lulusan madrasah
banyak meneruskan studi mereka di sekolah yang baru didirikan ini. Di tahun
1838, Sekolah Kedokteran dan Sekolah Pembedahan digabung menjadi satu sekolah
dengan nama Dar-ul Ulum-u Hikemiye ve
Mekteb-I Tibbiye-I Sahane. Bahasa pengantar yang dipakai di sekolah ini
adalah bahasa Perancis.
Selain
mendirikan sekolah, Sultan Mahmud II juga mengirim pelajar Usmani belajar ke
Eropa. Para pelajar yang kirimkan tersebut diharapkan setelah kembali ke tanah air mempunyai pengaruh dalam
penyebaran ide-ide baru kedalam khazanah keilmuan Usmani.
Tidak
lama kemudian di Usmani banyak bermunculan buku-buku dalam bahasa Turki yang
menulis mengenai ide-ide modern Barat. Institusi yang paling berjasa dalam
kemajuan ini adalah Biro Penterjemahan yang pada mulanya didirikan untuk menerjemahkan
korespondensi internasional pemerintah. Pada tahun 1831 Sultan Mahmud II
mengeluarkan surat kabar resmi Takvim-I
Vekayi seperti yang sudah dimulai oleh Muhammad Ali di Mesir pada tahun
1828.
Ide
pembaharuan di Turki selanjutnya berjalan seiring dengan perkembangan zaman
yang semakin modern. Setelah pembaharuan yang dilakukan Sultan Mahmud II
berakhir dengan kematian beliau, ide tentang pembaharuan dilanjutkan oleh kaum
inteligensia Turki bersama dengan beberapa sultan yang kompromi dengan gerakan
pembaharuan. Sehingga melahirkan gerakan pembaharuan (Tanzimat) yang dilakukan
oleh masyarakat sipil yang dipelopori oleh Mustafa Rasyid Pasya. Menurutnya Usmani
harus mereformasi bentuk pemerintahannya mengikuti Barat –khususnya
Negara-negara Eropa yang pada saat itu tumbuh sebagai peradaban yang besar dan
moderen. Barat lanjut beliau mengalami
kemajuan karena dihasilkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan
Tanzimat semakin menunjukkan titik terang ketika pada tahun 1839 Sultan Abdul
Majid mengeluarkan sebuah undang-undang yang dinamakan Piagam Gulhane (Hatt-i Syerif Gulhane). Piagam ini
mengatur tentang hukum pidana dan perdata –seperti terjaminnya ketenteraman
hidup, harta dan kehormatan warga Negara, peraturan tentang pemungutan pajak,
peraturan tentang kewajiban dan lama dinas militer serta mekanisme hukuman orang-orang
terpidana. Kemudian pada tahun 1856 diumumkan lagi suatu piagam baru yang
dinamakan Piagam Humayun (Hatt-i Humayun).
Piagam ini sebenarnya merupakan bentuk intervensi dari Negara-negara Eropa pada
kesultanan yang semakin lemah dan selalu kalah perang. Piagam ini bertujuan
untuk menegaskan dan memperkuat jaminan-jaminan yang tercantum dalam Piagam
Gulhane.
Gerakan
ini pada perkembangannya kemudian melahirkan gerakan-gerakan yang mengkritik
keabsolutan Sultan –mulai dari Abdul Aziz, Abdul Hamid, Wahid Al-Din dan Sultan
Abdul Majid- dan menekan kesultanan untuk merubah sistem pemerintahan yang lebih
demokratis serta meninggalkan kultur aristokrasi yang mengakar kuat selama
berabad-abad. Meskipun pada akhirnya belum menunjukkan suatu perubahan yang
signifikan di tubuh kesultanan.
Tanzimat
selanjutnya melahirkan gerakan Usmani Muda (Young Ottoman). Salah satu pemikir
terkemuka dari Usmani Muda adalah Namik Kemal. Ide-ide Barat tidak tidak ia
terima begitu saja. Namik mencoba meyesuaikannya dengan ajaran-ajaran Islam. Dan tidak
segan-segan Namik mengkritik pembaruan Tanzimat yang menegasikan/meminggirkan
Islam. Sehingga Usmani Muda sebenarnya merupakan gerakan pembaharuan yang tidak
seliberal gerakan-gerakan Tanzimat lain yang lahir kemudian. Menurut Namik
Kemal penyebab yang membawa kemuduran kesultanan Usmani terletak pada keadaan
ekonomi dan politik yang tidak beres. Jalan pertama yang harus ditempuh untuk
mengatasi masalah tersebut adalah merubah sistem pemerintahan absolut menjadi
pemerintahan konstitusional. Kontribusi dari Namik Kemal dengan ide-idenya
tersebut selanjutnya menjadi pedoman dasar bagi penyusunan Undang-Undang Dasar
1876 –atau yang kemudian dikenal dengan konstitusi 1876- yang ditandatangani oleh
sultan Abdul Hamid. Konstitusi ini dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan
sultan dan pejabat Negara dan kewenangan lain yang lebih di demokratisasikan.
Tetapi sampai akhir perjuangannya, Usmani Muda belum berhasil merubah kultur
pemerintahan kesultanan yang tetap monarki.
Perjuangan
Usmani Muda kemudian dilanjutkan oleh Turki Muda dengan tokohnya yang terkenal
yakni Ahmed Riza, Mehmed Murad dan Pangeran Sabahuddin –yang merupakan cucu
dari sultan Mahmud II. Ahmed Riza yang menonjol dengan pikiran-pikirannya
tentang masa depan Usmani menyerukan kesultanan untuk membangun kultur
pendidikan dan ilmu pengetahuan positif. Karena ia melihat penerapan kedua pilar
tersebut terbukti berhasil di Perancis dan Negara-negara Barat pada umumnya. Maka
tidak heran kalau sekarang Turki menjadi salah satu Negara yang maju diantara
Negara-negara muslim dengan total penduduk yang melek huruf mencapai 85% dari
jumlah penduduknya.
Pemikiran
Ahmed Riza banyak dipengaruhi oleh filsafat positivisme dari Auguste Comte yang
berkembang luas pada saat itu. Menurut Ahmed Riza, teologi (agama Islam) dan
metafisik tidak bisa menyelamatkan kemunduran kesultanan. Oleh karena itu
bentuk pemerintahan kesultanan harus dirubah menjadi bentuk konstitusional.
Menurutnya pemerintahan konstitusional tidak bertentangan dengan Islam, karena
dalam Islam terdapat ajaran musyawarah (Syura) dan musyawarah merupakan dasar
pemerintahan konstitusional.
Pada
awal tahun 1900 an lahir sebuah perkumpulan politik yang juga merepresentasikan
gerakan Tanzimat. Yaitu Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan (Ittihad ve Terekki)
yang banyak diisi oleh anggota Turki Muda. Perkumpulan ini menuntut pemerintah
untuk meninggalkan simbol-simbol tiranik dan menawarkan demokrasi sebagai
solusi primer. Organisasi ini melihat
bahwa kesultanan sudah tidak lagi cocok dengan kebutuhan zaman modern. Sehingga
tertinggal dengan Negara-negara Barat. Oleh karena itu, kesultanan harus meniru
Barat. Ahmed Riza merupakan ketua umum pertama dari organisasi ini.
Gerakan
Tanzimat mencapai masa kejayaannya dengan jatuhnya kesultanan Turki Usmani pada
tahun 1924 oleh Majelis Nasional Agung –yang merupakan mandat dari amandemen
konstitusi 1921- yang didirikan oleh Mustafa Kemal Pasya dan teman-temannya. Pada
mulanya Turki dipimpin oleh dua pemimpin yaitu sultan Abdul Majid dan Presiden
yaitu Kemal sendiri. Tetapi karena merasa terganggu dengan kewenangan sultan
yang masih diakui oleh rakyat maka Kemal berniat untuk menyingkirkan sultan.
Akhirnya ia membicarakannya dengan Majelis Nasional Agung dan berakhir pada
tanggal 3 maret 1924 dengan kepuutusan Majelis untuk menghapuskan jabatan
sultan. Setelah itu sultan Abdul Majid bersama keluarganya diminta meninggalkan
Turki oleh Kemal.
Turki
berubah bentuk menjadi Negara republik dan mengalami revolusi kebudayaan dan
keagamaan secara radikal dibawah kepemimpinan Kemal. Terutama setelah prinsip
sekulerisme dimasukkan ke dalam konstitusi 1937 yang meresmikan Turki sebagai
Negara sekuler. Tetapi sebelum legal manjadi Negara sekuler, Kemal sudah mulai
membersihkan institusi keagamaan yang ada di dalam pemerintahan. Di tahun yang
sama, Biro Syaikh Al-Islam dan Kementerian Syari’at dihapuskan. Dan hukum
syariat yang mengatur masalah pernikahan digantikan dengan hukum Swiss.
Kemal
menolak masa lalu Usmani dan segala hal yang pernah dicapai oleh Kesultanan.
Wilayah territorial Turki yang diakuinya hanya meliputi Asia kecil –seperti
wilayah Turki pada zaman sekarang yang berbatasan dengan Iran di timur dan
Bulgaria di barat- bukan wilayah Kesultanan Usmani yang jauh lebih luas
membentang dari Persia sampai Afrika Barat. Kemudian status kewarnegaraan orang
Turki dipersempit dengan mengakui bahwa
masyarakat Turki hanyalah masyarakat yang berbahasa dan beretnis Turki.
Sedangkan Islam yang dijadikan standar kewarganegaraan di masa lalu tidak lagi
digunakan. Di Negara yang baru dibentuk ini, Islam sebagai agama Negara
dikucilkan dari peran apapun dalam kebijakan publik dan dibatasi hanya
mengurusi ruang-ruang privat –seperti agama, khususnya Islam. Dan Islam hanya
dibolehkan untuk berkembang sebagai agama yang hanya mengurus kebutuhannya
sendiri serta dilarang mengganggu atau mengatur penganut agama lain –seperti Kristen
dan Yahudi. Pada dasarnya Kemal tidak menghapuskan Islam dari Turki tetapi
mengkerdilkannya dari ruang publik –agama hanya mengurus dirinya sendiri dan
harus menerima intervensi Negara- dan meneggelamkannya dibawah arus kebudayaan
Barat yang sekuler. Wallahu alam bis
shawab
Referensi:
·
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1987.
·
Sayyid Al-Wakil, Dr. Muhammad, Wajah Dunia Islam: Dari Bani Umayyah Hingga
Imperialisme Moderen, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
·
Ansary, Tamim, Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Zaman,
2012
·
Dzakirin, Ahmad, Kebangkitan Pos-Islamisme, Jakarta: Era Intermedia, 2012
Komentar
Posting Komentar