Menyikapi Perda Aceh, Pelarangan Duduk ‘Ngangkang’ terhadap Perempuan


Kemarin santer terdengar di seluruh saluran televisi swasta dan nasional tentang pemberitaan  pengeluaran surat edaran oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe tentang pelarangan duduk mengangkang (duek phang) saat berkendara dengan sepeda motor –yaitu duduk dengan membuka paha/kaki. Surat edaran yang rencananya akan dijadikan Peraturan Daerah (Perda) tersebut resmi dikeluarkan tertanggal 2 Januari 2013. Surat  ini ditandatangani Wali Kota Lhokseumawe, Suaidi Yahya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK), Saifuddin Yunus, Ketua Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU), Tengku Asnawi Abdullah, dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Tengku Usman Budiman. Dalam tiga bulan ke depan, pemberlakuan surat edaran itu rencananya akan dievaluasi, kemudian direncanakan menjadi perda.

Secara frontal lusinan kritik dan opini pun berhamburan menyikapi pengeluaran surat edaran tersebut. Terutama ketidakjelasan maksud pelarangan perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor. Apalagi tidak ada referensi legal-formal yang mengatur masalah tersebut atau setidaknya menyinggung. Apalagi dilihat dari perpekstif Islam (syariah) tidak memiliki illat (sebab) yang kuat untuk dilabelisasi sebagai perbuatan buruk (bathil).


Menurut aktivis perempuan, Neng Dara Affiah, Qanun (undang-undang) syariah di Aceh –kalau mau dijadikan referensi- tidak pernah mengatur masalah seperti itu. Sebaliknya, terkesan bertentangan dengan beberapa pasal di dalam Qanun yang menjamin kebebasan perempuan dalam  beraktivitas. 

Tidak ada alasan yang cukup kuat –yang diwacanakan pemerintah- berkenaan dengan  pengeluaran surat edaran tersebut. Meskipun beberapa opini dari masyarakat setempat (Aceh), tidak keberatan dengan kebijakan tersebut. Beberapa responden perempuan yang diwawancarai oleh beberapa stasiun Televisi juga memberikan jawaban yang kurang lebih sama. Adanya pelarangan tersebut bagi mereka,  untuk mendatangkan kemaslahatan dan keamanan bagi perempuan Aceh.

Kans surat edaran untuk diterima masyarakat Aceh barangkali cukup besar. Sebab, sejauh ini tidak ada upaya kritik yang berarti dari masyarakat tentang legalitas hukum positif-syariah kebijakan tersebut. Artinya, surat edaran ini berpeluang besar untuk diterima meskipun memantik api protes dan kritik dari sejumlah pihak, terutama para akademisi, pejabat di luar Aceh -yang menilai wacana perda tersebut kontraproduktif. Menurut ketua fraksi PKS di DPR, Hidayat Nurwahid, seharusnya peraturan tersebut lebih menegaskan asas prioritas. Yaitu pembenahan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Menurut penulis, alasan yang membuat pemerintah Lhokseumawe mantap dengan kebijakannya tersebut disebabkan karena mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, perspektif budaya. Duduk mengangkang identik dengan ketidaksopanan. Masyarakat Lhokseumawe dan juga masyarakat Aceh, semula terbiasa duduk menyamping. Menurut, walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya, duduk mengangkang bertentangan dengan norma kesopanan orang Aceh. Kedua, perspektif syariah. Untuk mengurangi kans terjadinya fitnah. Duduk mengangkang menunjukkan kedekatan emosional orang yang berkendara. Apalagi dilengkapi dengan pelukan erat. Hal ini berpeluang besar menimbulkan fitnah. Duduk mengangkang terkadang memberikan label negatif bagi perempuan, terutama yang berpakaian –celana atau rok- ketat. Berbeda dengan duduk menyamping yang diasosiasikan dengan penghormatan terhadap pembonceng dan juga masyarakat yang melihat. Di beberapa tempat bahkan duduk seperti ini dianggap tidak dilarang (baca: berdosa) –sebab berdua-duaan (khalwat) dan bersentuhan dengan non muhrim- oleh umat Islam. Sebab, mengandung aspek kedaruratan untuk menolak bahaya yang mengancam jiwanya. Sebab bahaya adalah kondisi yang bertentangan dengan maqashidu-sy-syariah (tujuan syariah).

Oleh karena itu, kebijakan seperti itu memang membawa pesan kebenaran dan pengamalan ajaran Islam. Untuk menjaga agama (hifdz ad Dien), menjaga akal pikiran (hifdz al Aql), menjaga kehormatan (hifdz al ‘Ard). Sebagaimana termuat dalam al Kulliyat al Khams (lima/enam tujuan pokok) maqashidu-sy-syariah. Tetapi, akan sia-sia jika tidak ditopang dengan kesadaran dan kesiapan masyarakat untuk menjalankannya –melalui syiar dan dakwah. Sebab, kebijakan seperti itu akan menambah pekerjaan rumah pemerintah yang sibuk mengupayakan kesejahteraan untuk rakyatnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*