SIKAP UNTUK KAMMI: OTOKRITIK KADER INGUSAN




Beberapa waktu yang lalu di Yogya diselenggarakan diskusi kultural KAMMI. Agenda yang bertajuk Serasehan Inteligensia KAMMI itu dilaksanakan selama dua hari di komplek Balai Kota Yogyakarta. Agenda yang berisi diskusi-diskusi sarat dialektika, dekonstruksi, ekletik itu ditujukan untuk mendiskursuskan KAMMI secara lebih kritis-konstruktif. Diskusi ini hadir untuk meluruskan garis perjuangan organisasi yang sudah lama berjalan zig-zag. Dan oleh karenanya perlu diluruskan dengan forma-forma (bentuk) baru atau penegasan dari forma lama.  Karena itu, diskusi tersebut menghadirkan kader-kader senior yang sudah pensiun dari KAMMI dan juga kader aktif dalam kepengurusan. Diskusi yang mengupas KAMMI dari sudut kesejarahan dan keorisinalitas ini bersambung bulan depan di Jakarta.

Tulisan ini adalah inisiatif penulis untuk mencoba  memberikan pendapat dan sikap mengenai kondisi KAMMI sekarang. Dilihat dari sudut pandang formal-substansial dan nilai-realitas. Juga tentang keberadaan diskusi diatas yang diasosiasikan sebagai gerakan kultural (progresif) berhadapan dengan struktur dan suprastruktur (konservatif) di tubuh KAMMI.


KAMMI yang lahir pada 29 Maret 1998, didirikan pada saat itu untuk berkontribusi dalam agenda perubahan bangsa. Terutama atmosfer panas yang melanda Indonesia karena krisis multidimensi pada tahun 1997. Integritas Orde Baru yang buruk akibat  korupsi dan  aksi kekerasan serta penghilangan orang melahirkan kebosanan rakyat terhadap pemerintah. Sebagai efek kronis, gerakan-gerakan mahasiswa akibatnya berhamburan berdemo di jalanan. Forum Kota (FORKOT), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) –tiga gerakan mahasiswa/ormas yang pertama kali menduduki gedung DPR/MPR tanggal 18 Mei 1998 (Alam, 2011), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Front Jakarta dan organisasi yang lain yang terlibat sejak semula memberikan sinyalemen kepada gerakan yang lain untuk terjun ke jalan. Tidak terkecuali KAMMI yang saat itu baru berusia beberapa bulan.

Terinspirasi dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, KAMMI pun lahir. Hal itu terlaksana dengan keberadaan agenda (Forum Silaturahmi Lembaga dakwah Kampus Nasional) FSLDKN yang dilaksanakan di Malang, Maret tahun 1998. Kelahiran KAMMI konon merupakan settingan kader dakwah saat itu untuk menyongsong peralihan zaman –berkaitan dengan isu-isu penurunan Soeharto. KAMMI yang pada awalnya banyak diisi oleh kader-kader Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan HMI-mpo (baca: kader dakwah) akhirnya muncul ke permukaan dan segera memegang posisi sentral dalam agenda penggulingan Soeharto pada 21 Mei 1998 –meskipun isu yang beredar saat itu dan sampai sekarang, menyebut KAMMI merebut momentum yang dipercikkan sebelumnya oleh gerakan-gerakan yang lain.

Pada agenda FSLDKN itu terpilih Fahri Hamzah sebagai ketua terpilih. Tetapi kepemimpinan Fahri hanya bertahan satu tahun karena isu kedekatannya dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dimanifestasikan dengan pencalonannya sebagai calon legislatif dari partai Ka’bah tersebut.  Akibatnya, ia segera diberhentikan dan digantikan dengan Fitra Arsil. Keduanya dari almamater yang sama, Universitas Indonesia.
Kepemimpinan dalam tubuh KAMMI terus bergulir dengan perubahan-perubahan internal yang terus berdinamika. Terutama proyek melahirkan corak gerakan,  ideologi, manifesto gerakan, dll. Sehingga, banyak terjadi pengayaan-pengayaan pada periode awal tahun 2000 an untuk mensukseskan proyek tersebut. Pada tahun-tahun tersebut lahir konsep tentang ideologi dan  kredo gerakan.

Perkembangan kuantitas kader yang terus meruncing naik pasca Reformasi memang memberikan tempat yang strategis bagi KAMMI di dalam konstelasi pergerakan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Mulai saat itu, dinasti politik di kampus-kampus besar –perebutan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)- bergeser ke kanan dan mulai beralih dikuasai oleh kader-kader KAMMI. Terutama di kampus-kampus negeri, seperti; UGM, UNPAD, UNDIP, UB, dll. Lantas dengan kepemimpinan politik yang menajam kuat itu, KAMMI selanjutnya mampu mendirikan lembaga yang mewadahi beberapa BEM yang dikuasainya dan berfusi didalam wadah BEM Seluruh Indonesia (BEM SI).

Pergolakan Internal

Sebenarnya perlu definisi baku tentang istilah (term) ‘pergolakan’ yang penulis angkat disini. Karena term ini belum diakui –oleh kader KAMMI sendiri- sebagai bagian sejarah perjalanan KAMMI selama 14 tahun.  Tetapi, barangkali untuk mempermudah kategorisasi sejarah, biarlah penulis pakai term itu disini.

Pada saat penulis masih menjadi ketua Komsat –sekitar akhir tahun 2010, beredar isu tentang pergolakan di tubuh KAMMI –yang sebenarnya sudah beredar luas beberapa tahun sebelumnya. Yang menarik, isu ini penulis dengar dari eksternal organisasi, yaitu langsung dari ketua Korkom IMM di kampus.

Isu itu menguak tentang terpecahnya dua faksi di dalam tubuh organisasi. Yaitu faksi konservatif dan progresif. Telisik lebih lanjut konon pergolakan ini berasal dari penggulingan ketua KAMMI terpilih pada Muktamar ke VI tahun 2008 di Makassar, AG –atau berangkali bermula dari kasus ATK. Mirisnya, peristiwa  itu terjadi di sela-sela agenda Mukernas KAMMI.

Isu yang beredar menyebut AG dan rombongannya saat itu menghadiri agenda yang diselenggarakan oleh tokoh parpol nasional, PS. Tidak ada yang tahu maksud kedatangan ketua KAMMI itu –kecuali mereka sendiri. Tetapi gosip yang menguat, AG diduga mengumpulkan pundi-pundi keuangan –dengan melancarkan manuver ke lembaga lain- untuk pembiayaan agenda-agenda organisasi, terutama Mukernas. Sebab, tidak ada talangan yang berarti dari wajihah induk dan tokoh-tokoh kondangnya.

Pada waktu yang sama di lokasi Mukernas datanglah beberapa tokoh wajihah induk. Mereka mengabarkan tentang keberadaan ketua KAMMI dan dimana serta apa yang sedang ia lakukan sekarang. Rupanya kepergian rombongan ketua KAMMI bocor dan merembes ke wajihah induk. Pada saat itu juga dua tokoh yang hadir saat itu, AM dan MA –keduanya merupakan politisi di Senayan- melakukan intervensi. Seluruh peserta digerakkan untuk melakukan Musyawarah/Muktamar Luar Biasa (MUSLUB) dengan memilih ketua KAMMI yang baru tanpa sepengetahuan ketua KAMMI saat itu. Hasil MUSLUB akhirnya memilih Rijalul Imam menjadi ketua KAMMI.

Peristiwa subversif itu barangkali merupakan simbol dari kecacatan idealisme kader. Peristiwa itu sangat terang memberitakan kepada seluruh kader bahwa intervensi eskternal organisasi memang ada dan dipaksakan menjadi faktisitas organisasi. Apalagi intervensi itu datang dari parpol –yang selama ini dikampanyekan oleh kader tidak bisa mempengaruhi sikap organisasi- yang meskipun seideologi dengan organisasi, tetapi tidak mampu dibendung dengan keindependensian kader. KAMMI yang disebut-sebut sebagai Gerakan Sosial Independen yang diasosiasikan tidak memiliki ketergantungan pada hegemoni kekuasaan politik-ekonomi yang membatasi (GBHO KAMMI, pasal 4), faktanya hanya isapan jempol belaka.

Faksi progresif yang muncul akibat ketidaksepahaman dengan penggulingan tersebut muncul dengan format gerakan yang rapi. Diam-diam koordinasi dibangun dengan pemimpin-pemimpin di KAMMI Wilayah (KAMMWIL) dan KAMMI Daerah (KAMMDA). Gerak faksi ini lantas mencapai titik kulminasinya pada Muktamar di Aceh tahun 2011 kemarin. Fikri Aziz yang diusung sebagai calon ketua sedikit banyak mulai mendapatkan kans kemenangan. Konsolidasi yang dibangun kuat jauh-jauh hari memberikan harapan kepada peserta Muktamar bahwa mereka memang harus memilih Fikri. Tetapi, intervensi yang sama tampak muncul seperti dua tahun lalu –Fikri ditemui seorang ustadz kondang wajihah - dan berakhir dengan tidak terpilih.

Telah jelas terlihat bahwa KAMMI saat ini belum jujur dengan ucapannya sendiri. Ideologi KAMMI yang menjadi kebanggaan kader-kader di akar rumput masih menjadi symbol an  sich. Tren underbouw gerakan mahasiswa telah membawa KAMMI duduk dalam dekapan kekuasaan. Ramalan tentang pengetahuan yang dijajah kuasa oleh Michel Foucault dan Teori Catch All Party nya Otto Kircheimer yang diimani partai-partai politik di Indonesia faktanya telah menggerakaan pragmatisme elektoral parpol –parpol kanan bergerak ke kiri (tengah), partai kiri bergerak ke kanan (tengah), menjadi partai tengah- untuk membangun organisasi underbouw dan mengapit organisasi almamater milik kader parpol –seperti HMI, IMM, PMII, GMNI dan tentu saja KAMMI.

Menurut penulis, fenonema kontraproduktif itu harus segera diakhiri. Kekronisannya tampak telah membuat beberapa kader muak dan berujung pada agenda diskusi Serasehan kemarin. Obsesi untuk merekonstruksi dan mereformulasi ideologi organisasi yang menjadi catatan pada diskusi tersebut segera harus menjadi agenda vital. Manifesto organisasi yang sampai saat ini belum ada –dan menjadi rekomendasi diskusi, barangkali akan menjadi pekerjaan rumah selanjutnya. Atau tidak perlu diadakan karena fokus penertibannya tidak harus direpresentasikan dengan manifesto –mungkin karena terinspirasi dari gerakan-gerakan lain seperti HMI dan PMII, tetapi sebenarnya tidak selalu memberikan signifikansi keberhasilan organisasi, lebih identik dengan konsumsi simbolnya Baudrillard, apalagi dilakukan tanpa epoche (baca: penundaan fenonemologis) nya Edmund Husserl.

Posisi KAMMI dan parpol yang mengunderbouwnya harus ditegaskan seradikal mungkin. Tidak etis ekses orkestra kontraproduktif di Mukernas (Lokakarya Nasional) kemarin terulang kembali –yaitu aksi kampanye politik praktis di ruang rapat komisi oleh salah satu kader senior, ia mengenakan kaus Gubernur incumbent pilihannya yang akan bertarung, mirisnya seluruh peserta mengamini dengan tepuk tangan meriah. Apalagi saat ini banyak terlihat kader KAMMI yang tidak mampu menempatkan posisinya sebagai kader organisasi dan kader parpol. Sehingga menjadi pembenar atas segala prasangka orang diluar untuk memukul kredibilitas organisasi. Kultur kedekatan beberapa pengurus KAMMI di wilayah dan daerah dengan parpol barangkali harus diprofesionalkan –meskipun sudah mengakar dan menjadi aksioma organisasi.

Dan sekali lagi rekonstruksi dan reformulasi ideologi organisasi wajib dilakukan –sebagai pesan untuk Muktamar dan Mukernas besok. Silahkan tren pewarnaan pada penekanan nuansa intelektualitas di dalam tubuh organisasi digencarkan. Seperti pemikiran radikal Quthb, gagasan Sosial Profetiknya Kuntowijoyo, Kiri Islamnya Hassan Hanafi, idealismenya Soe Hok Gie, Islam Modernisnya Nurcholish Madjid, pemberontakan kritik Ahmad Wahib, ekletik kesufian Emha Ainun Nadjib, kritik estetiknya Rendra, dll. Tetapi, sekali lagi identitas organisasi yang menjadikan Ikwanul Muslimin (IM) sebagai referensi gerakan tidak boleh dilupakan. Dan referensi dari Majmuatul Rasail –disebut-sebut dikalangan Ikhwan sebagai kitab suci ketiga setelah Qur’an dan Hadits- selalu menjadi pondasi awal KAMMI untuk bersikap.

Menurut penulis –dengan ikhtiar kenetralan, KAMMI dan wajihah induk sampai kapan pun tidak dapat dipisahkan –jika masih ingin disebut IM. Terutama secara kultural.  Sebab, identitas IM di dalam tubuh organisasi tidak dapat dipisahkan atau dikategorisasikan berbeda dengan wajihah induk. Representasi IM di Indonesia secara legal-formal adalah wajihah induk itu. Sehingga kalaupun organisasi berobsesi untuk memisahkan diri dari wajihah secara struktural-kultural maka organisasi akan berubah menjadi avatar (baca: reinkarnasi) organisasi, bukan organisasi.

Sejarah gerakan mahasiswa yang teguh menjaga manifesto organisasinya –dengan memisahkan diri (struktural-kultural) dari wajihah (organisasi) induk- dengan idealisme mengakar kini sudah menjadi sejarah. Dengan obsesi untuk mengislamisasi parpol –Golkar dan PDIP- oleh kader-kader HMI misalnya, malah menjadi boomerang bagi mereka. Kader HMI yang awalnya memiliki idealisme tinggi di organisasi, malah terwarnai dengan Golkar dan PDIP. Oknum partai yang korup akhirnya menyeret aktivis yang idealis menjadi koruptor. Kasus yang sama juga terjadi di Malaysia. Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) yang dekat dengan IM Malaysia. Dengan tokohnya Anwar Ibrahim bergabung ke partai berkuasa, UMNO. Kepergiannya menyeberang ideologi, dilakukan untuk mewarnai partai tersebut dengan semangat keIslaman ABIM. Dampaknya, Anwar gagal dan difitnah serta akhirnya keluar dan membuat partai sendiri (Partai Keadilan Rakyat/PKR). Kuasa faktanya menjadi kekuatan untuk menggerus idealisme dan kebenaran. Mungkin benar kata Milan Kundera, “perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah melawan lupa.”

Idealisme HMI yang dulu dekat dengan Masyumi dan ABIM yang dekat dengan IM tidak serta merta membuat mereka konsisten menjaga nilainya itu. Pemisahan hubungan kultural –meskipun masih perlu dipastikan langsung-tidak langsungnya hubungan itu- ternyata membuat mereka lupa dengan obsesi besar mereka. Sehingga, menurut penulis ikatan kultural antara KAMMI (organisasi) dengan wajihah induk (parpol) adalah sunnatullah era ini. Tidak terpisahkan dan absurditas untuk memisahkan keduanya merupakan tindakan kontraproduktif. Sebab, melemahkan ekspansi dakwah dan tabiat transisi mihwar muassasi-dauli. Imam Syahid Hasan al-Banna berkata dalam muktamar mahasiswa Ikhwanul Muslimin: “Telah sekian lama kita menghabiskan waktu dengan hanya sebagai tukang pidato dan ahli bicara, sementara zaman telah menuntut kita untuk segera mempersembahkan amal-amal nyata yang professional dan produktif. Dunia kini tengah berlomba membangun unsur-unsur kekuatan dan mematangkan persiapan, sementara kita masih berada di dunia kata-kata dan mimpi-mimpi”  (Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, 2009).

Pergolakan dalam gagasan memang akan terus dan selalu terjadi, tetapi seyogyanya tidak mempengaruhi kinerja praksis organisasi. Sehingga, selagi perbaikan terus di rekonstruksi dan direformulasi, tidak secara gradual merevolusi forma organisasi. Sebab ‘yang ushul’(kultural) dari organisasi sudah final dan ‘yang furu’ (struktural) selalu berdinamika di dalam kerelatifan masanya.

Das Sollen: kultur perbaikan terus dilakukan dan menjadi sunnatullah organisasi. Sehingga perbaikan kemudian bermuara menjadi tradisi perjuangan KAMMI. Das Sein: ijtihad untuk kritik dan otokritik menjadi karakter kader sebagai implikasi dari bunyi kredo; “Kami adalah ilmuwan yang tajam analisisnya, pemuda yang kritis terhadap kebatilan” (GBHO KAMMI, pasal 4). Wallahu alam bis shawab.















Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*