Refleksi 39 Tahun Malari
Tidak banyak bukti
sejarah yang bisa diungkap pada peristiwa tragis 39 tahun silam. Sebuah
demonstrasi besar yang melibatkan ratusan massa memenuhi jalan-jalan ibukota.
Peristiwa yang dikenal dengan Malapetaka 15 Januari (Malari) itu merupakan bagian
sejarah kelam negeri ini yang sampai sekarang masih terselimuti kabut
konspirasi.
Pada peristiwa tersebut
tercatat sedikitnya
11 orang meninggal, 300 luka-luka dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan
187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas
hilang dari sejumlah toko perhiasan (Kompas, 16 Januari 2003).
Peristiwa tersebut
terjadi berhubungan dengan kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta pada
tanggal 14-17 Januari 1974. Semula sejumlah kecil mahasiswa merencanakan untuk
menghadang kedatangan PM Tanaka di bandara Halim Perdanakusuma. Tetapi karena
dijaga ketat oleh aparat, aksi demonstrasi penghadangan itu tidak berhasil. Esok
harinya mahasiswa menggelar demonstrasi yang lebih besar sebagai kulminasi dari
aksi yang gagal kemarin.
Malari diberitakan oleh media massa saat itu sebagai puncak
perlawanan mahasiswa melawan proyek kapitalisasi di Indonesia. Indonesia yang
membatasi ketat investasi asing di zaman Orde Lama, berubah melunak pada
kepemimpinan Soeharto.
Arus modal asing yang mengalir deras ke dalam negeri diklaim
penguasa sebagai upaya perbaikan ekonomi dan
mendongkrak pembangunan. Proyek ini juga dilakukan sebagai langkah
preventif mencegah kembali masuknya komunisme. Apalagi saat itu sedang
berlangsung perang dingin antara blok barat dan timur.
Proyek kapitalisasi itu berakar dari ketidakbecusan Presiden
Soeharto untuk mengelola negerinya sendiri. Rayuan para kapitalis diterima
sebagai usaha untuk membangun negeri yang miskin. Padahal, tidak ada jaminan
kesejahteraan dengan pinjaman kapital dan investasi asing itu. Kalangan bumiputra
buktinya tetap hidup sulit. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, kebijakan
tersebut malah menyengsarakan hidup rakyat. Kontrak tambang di Freeport
misalnya, menimbulkan jatuhnya korban dari penduduk lokal yang menolak proyek
penambangan di wilayahnya, Irian.
Tabiat ekonomi kapitalis dengan modal besar yang populis
saat itu faktanya berjalan mulus. Investor-investor yang berhijrah melakukan
ekpansi ke ranah politik. Fenomena yang disebut Robert Reich sebagai gejala supercapitalism
(kapitalisme super) itu berhasil masuk sekaligus berperan dalam obsesi
pembangunan Orde Baru yang notabene berdiri diatas fondasi ekonomi yang rapuh.
Adanya kehadiran Intergovernmental
Group on Indonesia (IGGI) memberikan pengaruh cukup besar dalam proses kapitalisasi
di Indonesia. Organisasi kumpulan negara-negara pemenang Perang Dunia (PD) ke
II yang bergerak pada bidang asistensi (pertolongan), ekonomi dan kreditor ini
berhasil membujuk Indonesia (Metro Siang, 12 Januari 2013) menggunakan jasanya.
IGGI banyak mempengaruhi pengalihan sumberdaya Indonesia ke Barat. Seperti
Jepang –anggota IGGI- misalnya, berhasil mengambil lebih dari 53% jatah ekspor
(71% diantaranya berupa minyak) Indonesia dan memasok 29% jatah impor. Berkat
utang yang diberikan IGGI kepada Indonesia, dominasinya semakin lama semakin
kuat dan sistemik. Perekonomian yang belum stabil terus diupayakan untuk mengejar
target pertumbuhan tanpa mengupayakan pemerataan di akar rumput serta
mempertimbangkan kesejahteraan rakyat. Akhirnya, lusinan kiritik bermunculan menolak
kebijakan tersebut.
Kemarahan mahasiswa,
pelajar dan masyarakat yang memprotes kebijakan kontraproduktif pemerintah itu
dilancarkan dalam demonstrasi di halaman Universitas Trisakti. Aksi yang
dihadiri sekitar 5000 massa itu mengkampunyekan Tritura (tiga tuntutan rakyat).
Yaitu: turunkan harga, bubarkan Asisten Pribadi Presiden (Aspri) dan gantung
para koruptor.
Akibat ketidakkondusifan
dari demonstrasi hari itu. Massa yang semakin liar mulai bertindak anarkis dan
vandalis. Toko-toko di sekitar massa aksi dirusak dan dijarah, kendaraan
bermotor produksi Jepang dirusak, toko-toko kuliner asing seperti Coca-cola
dihantam warga. Aksi vandalisme itu merupakan wujud dari kebosanan masyarakat
merespon krisis saat itu.
Akhirnya, aksi massa
yang ganas itu direspon dengan tindakan tegas dari militer. Ratusan orang
ditangkap dan dijinakkan aparat. Yang melawan tidak segan-segan diamankan
dengan adu fisik. Dalam peristiwa tersebut, konon banyak penembak misterius
(Petrus) yang beraksi. Sejumlah demonstran yang luka-luka dan tewas, diduga adalah
korban Petrus.
Mirisnya, peristiwa
Malari konon merupakan tragedi yang sengaja diseting oleh sebuah konspirasi
besar di belakang panggung. Massa yang melakukan aksi anarkis dan vandalis
diduga merupakan perbuatan kelompok Islam Masyumi. Tetapi, tidak ada bukti yang
cukup kuat. Malah pihak yang kuat berada di balik peristiwa tersebut adalah Asisten
Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto dan
Kepala Operasi Khusus (Opsus), Ali Moertopo. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono,
Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau
justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya
yang mendalangi peristiwa Malari (Wikipedia, dikutip dari situs Swaramuslim).
Manuver tersebut
dilakukan untuk memberangus aksi damai mahasiswa yang diam-diam didukung Panglima
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkomkamtib), Jenderal Soemitro. Soemitro
yang diduga menggalang massa di kampus-kampus untuk menarik dukungan menggulingkan
Orde Baru harus membayar mahal. Melalui informasi dari dokumen Ramadi, mobilisasinya
itu digagalkan oleh Aspri dan pecahlah Malari.
Perang yang diam-diam
dilakukan di belakang Soeharto itu kemudian diakhiri dengan perombakan
besar-besaran. Aspri akhirnya dibubarkan dan Pangkomkamtib Jenderal Soemitro
digantikan Yoga Sugama. Soeharto kebakaran jenggot oleh peristiwa tersebut. Apalagi
berlangsung di sela-sela kunjungan PM Jepang.
Pecahnya Malari mensyaratkan
dengan jelas bahwa pemerintah Orde Baru tidak mentolerir kritikan dalam bentuk
apapun. Kritikan menurut pemerintah dapat mempengaruhi kredibilitas pemimpin
dan institusi sehingga perlu dikendalikan dan dijauhkan dari konsumsi publik.
Setelah Malari mereda,
aksi-aksi mahasiswa mulai mengalami penurunan –kecuali menjelang Pemilu tahun
1977. Pemerintah Orde Baru rupanya telah mengkondisikan intensitas dinamika
mahasiswa. Vonis hukuman kurungan penjara kepada aktor intelektual Malari
seperti Hariman Siregar dan Syahrir dimaksudkan pemerintah untuk menekan
semangat aksi mahasiswa.
Aksi-aksi besar
mahasiswa –di dalam kampus- yang terjadi pada tahun 1978 dan ini merupakan yang
terakhir pada dasawarsa 70-an sampai tahun 1998. Pada tahun itu mungkin
merupakan aksi yang besar setelah Malari. Mahasiswa waktu itu berkumpul di
kampus ITB menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari kursi kepresidenan. Aksi
yang berani itu berbuah dengan masuknya militer ke dalam kampus. mahasiswa
terlibat dalam aksi ditangkap dan lembaganya dibubarkan. Dewan Mahasiswa (DM)
termasuk lembaga yang dibubarkan saat itu. DM diganti namanya dengan Senat
Mahasiswa (SM). Tetapi SM kemudian dikendalikan oleh birokrat kampus. Kebijakan
tersebut terjadi berhubungan dengan dikeluarkan SK No.0156/U/1978 Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef tentang Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Aksi mahasiswa menyusul
dikeluarkannya NKK/BKK nyaris musnah. Untuk tahun-tahun berikutnya tidak
terlihat lagi kekompakan untuk aksi memperjuangkan isu bersama. Menurut
penulis, peralihan dominasi pemerintah dengan menggunakan apparatus (baca: alat)
militer kepada apparatus akademis (birokrat kampus) berhasil untuk meredam
aktivisme mahasiswa. Dan langkah ini merupakan transformasi dari zaman revolusi
menuju pembangunan –dalam konteks budaya intelektual mahasiswa.
Mahasiswa tidak lagi
memusatkan aktivitasnya dengan demonstrasi di jalanan. Organisasi intrakampus
beralih dalam kegiatan-kegiatan akademis dan intelektual di dalam kampus.
Organisasi ekstrakampus berfokus kepada diskusi-diskusi, kelompok studi dan
kegiatan-kegiatan sosial. Karena kebebasan berpendapat dilarang, maka mereka
lebih memusatkan untuk menyusun kekuatan dan proyek ideologisasi gerakan.
Peralihan aktivisme itu
barangkali sudah dibaca dan dimaklumi mahasiswa sebagai periode zaman yang
harus mereka lewati. Dan suatu langkah tepat mengisinya dengan agenda
konsolidasi gerakan. Sehingga, akhirnya berbuah pada reformasi 1998.
Peristiwa Malari
faktanya telah membuka pandangan mahasiswa untuk kembali berkaca dan membaca peristiwa
sejarah. Manipulasi dan konspirasi dalam demonstrasi di jalanan sudah mereka
pahami sebagai apparatus untuk mennyabotase perlawanan mereka. Meskipun akan
menjadi PR besar yang terus terjadi –walaupun dapat ditekan- dalam
demonstrasi-demonstrasi yang terjadi kemudian. Tetapi untuk keberanian dan
kesadaran untuk melawan barangkali tidak akan pernah surut. Mahasiswa selamanya
akan terus melancarkan protes dan kritik kepada biang kontradiksi-kontrasiksi
kehidupan. Semoga selalu begitu.
Yogya,
19 Januari 2013
pembahasan yang bagus
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus