Akar Kemunculan Aliran-aliran Keagamaan dalam Islam

Oleh: Zulfikhar[1]

Iftitah
Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin merupakan masa kejayaan Islam yang tidak dapat terlupakan. Betapa pada periode ini merupakan permulaan kejayaan Islam di luar Arab. Penyebaran Islam pada periode ini meluas. Tidak saja di Mekkah dan sekitarnya. Islam kini telah menyebar luas ke penjuru semenanjung Arabia, Persia dan Afrika.

Periode ini tepatnya muncul pada peristiwa Saqifah Bani Saidah. Adalah musyawarah umum yang dilakukan persis ketika wafatnya Nabi pada tahun 632 M. Semula musyawarah ini hanya ekslusif dihadiri oleh kaum Anshar. Tetapi, karena bocor dan sampai ke telinga para sahabat, maka para  sahabat pun pergi bergabung ke forum yang diselenggarakan di pemukiman Bani Saidah ini.

Sahabat yang bergabung saat itu diantaranya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Ketika keduanya hadir di Saqifah, sebenarnya sudah terpilih pemimpin peganti Nabi. Namun, keputusan itu diralat, karena musyawarah dilakukan sepihak. Tidak menghadirkan kaum muslimin yang lain, Muhajirin. Para sahabat disitu akhirnya sepakat dengan lobi Abu Bakar untuk kembali mempertimbangkan memilih pemimpin sekali lagi.


Umar tanpa membuang waktu segera menunjuk Abu Bakar untuk menjadi pemimpin. Kedekatan orang yang lebih tua darinya itu dengan Rasul, sekaligus sebagai sahabat dekat mendiang, menjadi factor penentu yang membuat musyawarah tidak berjalan lama. Semua sahabat yang hadir akhirnya mufakat memilih Abu Bakar sebagai pemimpin –yang kemudian banyak oleh kaum muslimin disebut Khalifah- komunitas besar itu.

Peristiwa di Saqifah saat itu tidak dihadiri oleh Ali. Karena, Ali saat itu sedang mengurus pemakaman Rasul. Sehingga, belakangan menjadi cerita -yang beredar di umat- yang melahirkan alasan Ali tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar. Hal ini kemudian menjadi klaim beberapa kelompok Islam –seperti Syi’ah misalnya- untuk memberikan klaim bahwa posisi kekhalifahan seharusnya diberikan kepada Ali. Menurut mereka, Ali adalah orang yang paling dekat dengan Rasul dan oleh karenanya pantas menjadi Khalifah. Tetapi, -Syi’ah lupa atau barangkali sengaja  lupa- tidak berapa lama Ali memberikan baiatnya. 

Kepemimpinan Abu Bakar disibukkan untuk menkondisikan kaum muslimin yang mulai mengalami perpecahan. Saat itu mulai banyak orang-orang yang tidak membayar zakat. Juga banyak muncul Nabi-Nabi palsu. Ketidakstabilan ini bagi Abu Bakar  harus segera dibereskan. Akibatnya, muncul perang-perang kecil (Perang Riddah) –setelah langkah persuasif gagal- untuk menertibkan keadaan tersebut.

Perluasan dakwah juga berjalan di masa itu. Meskipun mendapat serangan-serangan dari kekaisaran Byzantium di Barat. Hal ini bahkan akan menjadi titik balik bagi kaum muslimin.
Di masa kepemimpinan Umar, tahun 13 Hijriah, Masjidil Aqsha di Syam dapat dibebaskan. Damaskus dan Mesir juga ditaklukkan. Pada masa yang sama, kaum  muslimin berhasil menaklukan kekaisaran Sassania di Persia. Dengan takluknya Sassania, maka takluklah imperium Persia yang sudah berdiri selama ribuan tahun. Benturan budaya tidak terhindarkan terjadi antara Majusi dan Islam. Barangkali pertumbuhan dan eksistensi Syi’ah di wilayah ini merupakan kompromi.

Hal yang penting pada masa kepemimpinan Umar adalah keberhasilannya melakukan kodifikasi (pembukuan) Al-Qur’an. Lembaran-lembaran mushaf yang semula tersusun terpisah dikumpulkan. Umar membentuk tim kodifikasi yang terdiri dari beberapa sahabat. Meskipun sebelumnya sudah ada pembandingnya di tangan Aisyah.

Setelah 10 tahun memimpin, Umar dibunuh oleh seorang Majusi dari Persia, Abu Lulu’ah. Banyak ulama berpendapat bahwa pembunuhan itu adalah hasil persengkongkolan (conspiration) orang Yahudi, Majusi dan Zindiq. Karena tidak mungkin, pembunuhan itu hanya bermotif ketidakpuasan pribadi yang bersangkutan.

Sebelum meninggal, Umar menunjuk beberapa sahabat untuk memilih Khalifah sepeninggal dirinya. Diantaranya; Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidilah dan Zubair bin Awwam. Para sahabat ini disebut Ahli Syura. Dalam musyawarah kecil tersebut, terpilihlah Utsman sebagai Khalifah yang baru.

Akar Kemunculan
Utsman memimpin sebagai khalifah pada tahun 24 Hijriah. Pada zaman kepemimpinannya umat Islam berhasil menaklukkan negeri Rayyi. Negeri-negeri Khurasan juga ditaklukkan pada tahun 30 Hijriah sehingga banyak  memberikan income penghasilan kepada kaum muslimin. Utsman juga melakukan perluasan terhadap Masjidil Haram. 

Sayangnya keberhasilan yang dicapainya, tidak lantas menunjukkan Utsman tidak adalah pemimpin yang kuat. Di balik integritasnya itu, ia memiliki kelemahan. Ia mengangkat para kerabatnya untuk menduduki berbagai jabatan strategis di pemerintahan. Hal itu ia lakukan karena tidak mampu membendung pengaruh dari para kerabatnya yang cerdas. Jangan lupa, Utsman berasal dari keluarga pedagang terpandang yang ahli dalam ilmu administrasi. Tidak hanya cerdas mereka memiliki pengaruh karena profesi mereka itu. Akibatnya, banyak para pejabat yang diangkat di masa Umar, diganti dengan kerabat Utsman.

Kebijakan tersebut  banyak dikritik oleh kaum muslimin. Apalagi Khalifah sebelumnya, Umar, sangat membenci hal ini (Politik Dinasti). Kebijakannya itu lantas memprovokasi terjadinya fitnah yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya, orang-orang munafik. Disinilah kemudian lahir kelompok-kelompok pemberontak yang berniat membunuh Utsman.

Fitnah semakin membesar sampai ketika muncul surat palsu untuk menghentikan rombongan utusan Khalifah ke Mesir. Kepergian rombongan ini untuk memecat gubernur Mesir, Ibnu Abi Sarh –diganti dengan Muhammad bin Abu Bakar. Surat yang dibawa pembantu Utsman itu rupanya adalah rekayasa Marwan bin Hakam untuk menghentikan eksekusi itu.  Akhirnya, rombongan tersebut kembali ke Madinah dan mengklarifikasi surat itu kepada Utsman. Setelah tahu bahwa surat itu bukan dari Utsman. Maka para sahabat yang ada di rumah Utsman itu, memintanya untuk menyerahkan Marwan kepada mereka. Untuk diadili. Namun, permintaan itu ditolak Utsman dan menjadi aib yang menyebar kemana-mana.

Mendengar aib itu, banyak kaum muslimin yang datang ke ibukota menuntut penyerahan Marwan. Saat itu muncul desas-desus mengenai orang-orang yang akan membunuh Utsman. Gelombang massa yang bertangan itu akhirnya mengepung rumah Utsman. Meskipun dalam penjagaan ketat oleh para sahabat, Utsman akhirnya terbunuh.

Pada hari yang sama dengan peristiwa pembunuhan Utsman, Ali dibaiat sebagai Khalifah yang baru. Keterpilihannya itu segera ditimpa dengan tugas-tugas berat. Salah satunya yang terbesar adalah permintaan sebagaian besar kaum muslimin untuk segera mengusut dalang dibalik pembunuhan Utsman. Namun, hal itu tidak Ali lakukan. Ia lebih memprioritaskan untuk mempersatukan kondisi umat yang terpecah. Sehingga dengan itu akan lebih mudah menyelesaikan skandal pembunuhan Utsman.

Namun, ikhtiar Ali itu tidak pernah terlaksana. Ia tidak didukung. Banyak para sahabat yang tidak tahan dengan sikap Khalifah dan mulai main hakim sendiri. Maka pecahlah perang Jamal –vis a vis Aisyah, Thalhah dan Zubair -yang sebenarnya tidak sengaja terjadi. Tetapi akibat konspirasi oleh orang-orang munafik  perang itu pecah dengan sendirinya.

Setelah perang Jamal berakhir, Ali meminta Muawiyah di Syam untuk ke ibukota membaiatnya. Namun, Muwawiyah menolak permintaan itu sebelum pengusutan terhadap pembunuhan Utsman selesai dilakukan. Karena Muawiyah adalah kerabat dekat Utsman. Akhirnya, ketegangan terjadi dan pecahlah perang Shiffin. 

Setelah Muawiyah mulai terdesak, ia mengajak Ali berunding. Muncullah peristiwa Tahkim (Arbitrase) di Daumatul Jandal antara kedua pasukan. Maka saat itu pasukan Ali terpecah. Sebagian pasukan Ali memisahkan diri dari pasukan. Dan mengkafirkan Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengecam tahkim tersebut karena tidak sesuai dengan syariat. Kelompok ini kemudian disebut Khawarij. 

Ekspresi  ketidakterimaan kaum Khawarij terhadap peristiwa itu dengan melancarkan sejumlah serangan terhadap keum muslimin yang lain. Mereka melakukan pengrusakan, pembunuhan, pemerkosaaan, dan lain-lain. 

Segera Ali menghimbau kaum Khawarij untuk menghentikan aksi-aksi itu. Namun kaum Khawrij tidak peduli. Akhirnya Ali memerangi mereka di Nahrawan, pusat aktivitas Khawarij. Tidak semua kaum Khawarij dibunuh Ali saat itu. Sebagian dari mereka memisahkan diri dari pasukan –karena kemurahan hati Ali- dan bersembunyi di Kufah dan Mada’in. Akibatnya, Ali dibunuh oleh kaum Khawarij yang masih hidup. Oleh Muhammad bin Muljim pada tahun 40 Hijriah.

Klasifikasi
Kronologi peristiwa pembunuhan Utsman sampai Ali mengakibatkan konstelasi kaum muslimin berubah. Konsep kekhalifahan berubah menjadi kerajaan –meskipun tidak ada hadis dari Nabi yang menganjurkan salah satunya. Kaum muslimin terpecah menjadi tiga golongan. Yang setia kepada kekhalifahan –kemudian bisa disebut Sunni, setia –cenderung mengkultuskan- kepada Ali (Syi’ah) dan kaum muslimin yang oposisi dan mengkafirkan keduanya (Khawarij). 

Ketiga aliran yang muncul diatas merupakan ekses dari rangkaian peristiwa di zaman Khulafaur Rasyidin. Dua dari ketiga aliran tersebut bertahan sampai sekarang. Namun, ada beberapa aliran lain yang muncul setelahnya. Berikut penulis akan menjelaskan semua alira-aliran tersebut.

A.    Khawarij
Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Mereka dinamai dengan nama itu karena telah keluar dari barisan Ali. Setelah keluar, mereka memilih Abdullah bin Abi Wahb Al-Rasidi sebagai imam mereka dan berdomisili di Nahrawan.

Orang-orang Khawarij berpandangan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang tergolong dosa besar, maka orang tersebut telah keluar dari Islam (murtad). Maka orang ini mereka kafirkan. Bahkan, mereka sampai pada tindakan mengkafirkan sahabat Rasulullah SAW seperti Ali dan para pembelanya yang sudah dijamin masuk surga.

Di dalam tubuh Khawarij sendiri terbagi lagi menjadi banyak aliran (subsekste). Menurut Al-Baghdadi, Khawarij terbagi menjadi dua puluh subsekte. Namun, yang terbesar adalah Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-Ajaridah, Al-Sufriah dan Al-Ibadiyah. 

Tidak hanya mengkafirkan kaum muslimin diluar mereka, diantara subsekte dalam Khawarij, juga saling mengkafirkan. Bahkan mereka saling membunuh. Meskipun kaum Khawarij dikenal sebagai kaum muslimin yang sangat baik ibadahnya. 

B.     Syi’ah
Syi’ah menurut Tamim Anshari adalah partisan. Menurut Taib Thahir Syi’ah berarti sahabat dan pengikut. Singkatnya Syi’ah adalah kelompok kaum muslimin yang mengikuti dan  mengangung-agungkan keturunan Nabi (ahlul bait). Umumnya mereka mendahulukan keturunan Nabi untuk menjadi khalifah.

Seperti pada penjelasan di atas, pasca wafatnya Nabi, kaum muslimin sepakat memilih Abu Bakar sebagai Khalifah. Tetapi hal ini ditentang oleh orang-orang Syi’ah. Menurut mereka yang pantas menjadi Khalifah adalah Ali. 

Menurut mereka, Ali harus menjadi khalifah, karena ia termasuk keluarga terdekat Nabi –anak Abu Thalib, paman Nabi. Tidak hanya itu, menurut kaum Syi’ah, pada kesempatan haji wada’, pada tanggal 18 bulan Dzul Hijjah tahun 10 H, di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum dan secara resmi, Rasulullah mengangkat dan menunjuk Ali sebagai pemimpin kaum muslimin dan meminta mereka semua agar membaiat kepadanya.

C.     Murji’ah
Murji’ah berarti menunda atau mengembalikan. Mereka berpendapat, bahwa orang-orang yang melakukan dosa besar, hingga mati, yang belum juga bertaubat tidak dapat dihukum sekarang. Mereka memilih mengembalikannya kepada Tuhan.

Kaum Murji’ah adalah kaum muslimin yang tidak ingin terlibat di dalam praktek kafir-mengkafirkan dalam pertentangan yang terjadi antara masa pembunuhan Utsman sampai Ali. Menurut mereka, vonis terhadap kafir atau mukmin bukan hak manusia. 

Murji’ah terbagi menjadi dua golongan: moderat dan ekstrem. Golongan moderat mewakili pendapat Murji’ah secara umum. Yaitu menganggap perbuatan dosa besar oleh manusia sebagai perbuatan fasiq.

Golongan ekstrem memiliki pendapat yang bisa dikatakan berlebihan. Orang yang melakukan dosa besar tetap mereka anggap sebagai orang mukmin. Meskipun mereka menyembah berhala, beribadah di Gereja. Perbuatan-perbuatan itu tidak bisa divonis sebagai perbuatan murtad atau syirik. Karena yang berhak memvonis itu adalah Tuhan. Maka orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dihukum di dalam Neraka. Golongan ekstrem ini berpendapat ibadah itu adalah iman. Maka, meskipun seseorang sengaja menyembah berhala, namun di dalam hatinya masih beriman kepada Tuhan, maka ia tidak bisa divonis kafir.

D.    Jabariyah dan Qadariyah
Faham Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham mereka, manusia mempunyai kekuatan dan kebebasan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Kaum Jabariyah berpendapat sebaliknya. Manusia, bagi mereka, tidak mempunyai kemerdekaan untuk menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. 

Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Karena dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa (fatalism). Manusia tidak dapat menghindarkan diri (bebas) dari semua yang ia lakukan. Karena hal itu sudah ditentukan Tuhan dalam qada dan qadar-Nya.

E.     Mu’tazilah
Kaum ini didirikan oleh Washil bin Atha, murid Hasan Basri. Dinamakan Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri. Maksudnya adalah menjauhkan diri dari Hasan Basri, guru mereka. 

Kaum Mu’tazilah banyak menggunakan akal dalam mencari kebenaran, termasuk beribadah. Sehingga mereka disebut sebagai “kaum rasionalis Islam.”

Menurut paham Mu’tazilah, orang yang melakukan dosa besar bukanlah mukmin atau kafir. Tetapi menempati posisi diantara keduanya. Mereka juga menolak hadits ahad dalam masalah aqidah. Karena hadits ahad -menurut mereka- tidak bisa memberikan manfaat yang signifikan. Karena hadis tersebut sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sehingga dengan sikap ini, maka gugurlah sekian banyak hadits ahad dalam masalah aqidah.

Kaum Mu’tazilah juga mengatakan Al-Qur’an sebagai mahluk. Karena Qur’an diciptakan oleh Tuhan. Tuhan berfirman awalnya melalui suara-suara sehingga divisualisasikan oleh Nabi dan sahabat dalam tulisan. Suara adalah indera yang umumnya dimiliki mahluk. Suara mempunyai sifat menciptakan sesuatu yang abstrak. 

Pendapat Mu’tazilah yang mengatakan Qur’an sebagai mahluk ditolak oleh aliran Asy’ariah (Sunni) dan Maturidiah. Menurut kedua aliran Sunni ini, kalau Qur’an dikatakan mahluk maka ia bisa benar dan salah –sebagaimana sifat mahluk. Qur’an menurut Asy’ariah bersifat qadim (kekal). 

F.      Ahlusunnah Wal Jamaah
Kemunculan Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja), menurut Harun Nasution, sebenarnya merupakan respon dari kemunculan kaum Mu’tazilah. Sebagaimana yang dijelaskan diatas, orang Mu’tazilah dikenal dengan kepercayaan mereka yang tinggi terhadap akal. Sehingga mereka meragukan wahyu dan hadis. Meskipun tidak semua mereka tolak. 

Hadits umumnya tidak mereka percaya. Terutama hadits ahad. Sehingga mereka menjauhi kecenderungan untuk menggunakan hadits.  Hal ini bertolak belakang dengan mayoritas kaum muslimin. 

Mayoritas kaum muslimin percaya dengan hadits dan mengamalkannya. Karena hadits lebih mudah dipahami dan diamalkan. Sedangkan, ajaran Mu’tazilah begitu rumit dan pelik. 

Golongan kaum muslimin yang percaya dengan hadits (sunnah) dan jumlah mereka yang banyak dalam Islam (Jamaah) inilah yang kemudian dinamakan Ahlusunnah wal Jamaah (Sunni).

Sunni dibedakan menjadi dua: Asy’ariah dan Maturidiah. Kedua nama berasal dari masing-masing nama para pendirinya. 

Keduanya umumnya merupakan antitesis terhadap Mu’tazilah. Perbedaan diantara mereka terpusat pada watak alirannya. Asy’ariah lebih tradisional sedangkan Maturidiah lebih rasional. Maturidiah lebih kompromi terhadap sebagian ajaran-ajaran Mu’tazilah daripada aliran Asy’ariah yang umumnya menolak.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith-Thariq

Referensi
Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 2012.
Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta: UI-Press, 2011.
Prof. K. H. M. Taib Thahir Abd. Mu’in. Ilmu Kalam. Jakarta: Penerbit Widjaya, 1981.
Tamim Ansary. Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman, 2009.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Robbani Press, 2009.
Adi Setyawan Palanakan. Pemikiran Politik Syakikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang Etika Politik Islam dan Perbandingannya dengan Realitas Etika Politik Indonesia (Skripsi). Yogyakarta: Fisipol-UMY, 2007.





[1] Disampaikan dalam diskusi STIPOLIS KAMMI UMBY 12 Juni 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*