Manusia Menurut Lacan: Respon atas Kuliah Robertus Robet

Oleh: Zulfikhar[1]

 Menarik apa yang disampaikan oleh dosen Filsafat dari UNJ, Robertus Robert, dalam kuliah di Salihara tadi (saat ini di Youtube). Bahwa manusia menurutnya harus berkonfrontasi jika ingin mendapatkan identitasnya sebagai manusia. Khususnya perempuan –yang mendapat penekanan disini karena diskusi membahas tentang ‘seksualitas’ perspektif Jacques Lacan, seorang Psikoanalisa Marxis dari Prancis. Tetapi dalam tulisan singkat ini saya tidak akan banyak membahas mengenai seksualitas. Berikut respon saya terhadap kuliah tersebut.

***

Dalam Islam manusia disebut manusia jika ia melandaskan apa yang ia lakukan dalam hidup untuk beribadah kepada Tuhan. Dalam setiap niat untuk melakukan sesuatu, selalu ia luruskan untuk mendapatkan ridho Tuhan. Maka, manusia melakukan sholat, puasa, sedekah, berhaji, membantu kaum papa, menegakkan hukum dan memberantas kejahatan.
Perbuatan-perbuatan manusia itu kemudian menimbulkan pemisahan nilai (oposisi benar). Sekularisasi atas sesuatu yang dilakukan manusia menurut standar sosiologis, moral dan etika tertentu. Kalau ia sholat dengan khusyuk, maka ia mendapat pahala. Sebaliknya, jika meninggalkan sholat, maka berdosa. Dan oleh karenanya, ia distigmakan sebagai sesuatu yang buruk, dekaden, salah dan negatif.


Begitu pula, menurut standar sosiologis. Jika manusia membunuh manusia yang lain maka ia salah. Bahkan, dalam Islam, ia seperti membunuh semua  manusia. Apapun dan bagaimanapun alasan pembelaan (pledoi) yang ia utarakan. Tidak bisa menunda kekuatan standar moral masyarakat bahwa pembunuhan adalah suatu tindakan yang buruk dan merupakan aib. Oleh karena itu, tindakan itu harus diredakan, dijinakkan, dideterminasi sedimikian rupa, sehingga sesuai dengan standar hukum yang shahih atau positif. Meskipun dalam aplikasinya, hukum berjalan dalam absurditas (paradoks dan tidak masuk akal).
Dalam hukum positif kontemporer dan agama apapun, akan menolak perbuatan membunuh. Akibatnya, hukumanlah yang harus diterima dari para pelanggar tersebut. 

Mengikuti alur pembahasan Robet, apakah membunuh itu bisa dibenarkan? Dalam alasan apapun. Apakah itu karena, alasan utang, dendam, judi, dan cinta. Lalu apakah seseorang yang melakukan itu bisa disebut manusia ideal. Sehingga, berkat keidealannya itu, ia tidak bisa dihukum.

Disini penulis akan mengajak mempertanyakan tentang  apa sebenarnya nilai itu? Bagaimana ia lahir? Apakah ia baik atau buruk? Apakah ia –dalam bentuk yang kontemporer- harus diikuti, ataukah  ditinggalkan?

The Real dan The Symbolic
Perspektif positif diatas akan berbeda ketika dibenturkan dengan respon Lacan terhadap kisah cinta Medea dan Jason dalam mitologi Yunani pra masehi. Kisah ini singkatnya berawal dari hasrat cinta Medea dan Jason yang sangat kuat. Saking kuatnya, sehingga Medea harus meninggalkan keluarganya untuk hidup bersama Jason. Bahkan, ia membunuh ayahnya untuk membuktikan cintanya itu. 

Singkatnya, akhirnya mereka menikah, mempunyai anak, dan hidup dalam pengasingan di Korintias. Oleh karena struktur sosial masyarakat Yunani saat itu yang tidak mentoleransi perbuatan tersebut. 

Medea dan Jason akhirnya hidup bahagia. Tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Karena, Jason selanjutnya mencintai Putri Kreon dan berniat menikahinya. Ia meminta izin kepada isterinya, Medea, namun ditolak. Medea menganggap dengan adanya pernikahan itu, maka Jason telah mengkhianati cintanya. Cintanya yang eksis dan mengorbankan darah. Tetapi akhirnya Julian tetap menikahi Kreon.

Medea sakit hati dan menyesal atas semua yang telah ia lakukan. Dendam amarahnya membuatnya harus membalas Jason dengan kesakitan yang sama. Membunuh Jason, menurutnya, bukan jalan yang terbaik, karena hanya merupakan kesakitan sesaat dan terlampau sederhana. Medea memutuskan untuk membunuh Kreon dan anak-anaknya sendiri. Karena dengan hal itulah, Jason akan merasakan kesakitan yang sama. Pada akhirnya, Medea membunuh anak-anaknya.

Kisah ini sekilas akan membuat orang menganggap Medea sebagai perempuan yang sadis dan gila. Tetapi, menurut Lacan, itulah ekspresi dari nilai cinta yang hakiki. Ia positif dan menunda serta melampaui hukum, tambah Robert. Karena dengan cara itulah, cinta bisa ada dan eksis dalam sejarah kemanusiaan. Oleh karena itu, cinta hakikatnya adalah melawan struktur palsu ‘simbolik’ (the symbolic) yang mewarnainya dan kembali kepada’ yang nyata’ (the real). Dengan jalan itulah, Lacan menafsir, “dengan tindakan itu Medea keluar dari registrasi simbolik”. Akhirnya, ia kembali ke dunia ‘yang nyata’ (the real) dan  menjadi subyek.

‘Yang nyata’ yang dimaksud disini, menurut Robet, adalah dunia sebelum kata-kata atau bahasa. Maksudnya, dunia yang belum terdefinisikan dengan fonem (bunyi) atau ujaran yang melahirkan definisi, kalimat dan akhirnya, bahasa. Seperti kata laki-laki dan perempuan. Sebenarnya, menurut Robert, dua kata atau penamaan itu merupakan karangan manusia yang mengkategorikan dirinya dengan standar biologis. Mirip dengan kategori Freud tentang manusia. Bahwa manusia itu adalah laki-laki atau perempuan. Padahal Lacan mengkategorikannya berbeda, dengan konstruksi social, karena kata-kata itu juga adalah konstruksi sosial. Lacan ingin mengembalikannya kepada nilai idelanya sebelum kata-kata.

Keberadaan kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual (LGBT) oleh karenanya benar dan harus didukung. Ia merupakan representasi dari nilai ‘yang nyata’. Yang meniadakan berbagai bentuk oposisi biner –seperti pemisahan dosa dan pahala, baik dan benar, laki-laki dan perempuan- kembali ke bentuk asalnya. Karena, oposisi itu mungkin ada dan belum tentu ada dalam masa ‘yang nyata’ dulu. 

Realitas itu –dalam ‘yang nyata- hilang karena lahirnya bahasa yang kemudian mendefinisikan hal itu sebagaimana konstruksi sosial dimana fonemena itu ditemukan. Sesuai dengan standar moral, agama dan etika masyarakat setempat. Sehingga, fenomena yang berlainan, ditindas dan dipenjarakan.

Akhirnya lahirlah zaman ‘simbolik’, yang gemar dan berminat untuk memisahkan obyek secara berbeda (laki-laki dan perempuan) menjadi simbol-simbol beserta nilai-nilainya. Sehingga, laki-laki harus bersikap mengikuti standar hidup ideal seorang lak-laki, yang diapologikan sebagai fitrah laki-laki dan perintah Tuhan. Begitu juga perempuan, menjadi makhluk yang dianggap lemah dan oleh karenanya, mendapat pekerjaan yang remeh dan upah yang kecil. 

Di zaman ‘simbolik’, perempuan, misalnya, sengaja dibuat menjadi obyek. Direpresi dan dihegemoni fisik dan psikisnya –seperti direkontruksi menjadi ibu rumah tangga, upah yang rendah, tenaga nomor dua, obyek pelecahan dan pemerkosaan. Pendeknya, kesadaran manusia di zaman ‘simbolik’, dikonstruksi oleh ketidaksadaran –terhadap ‘yang nyata’. Persis seperti kata Freud. 

Ego dan The Other
Kembali ke asal-usul manusia (archia), sebagai salah satu akar kemunculan konflik. Seperti kategorisasi manusia menurut Lacan dalam periode cermin. Yang menjadi masa manusia (bayi) mengenal dirinya. Berbeda dengan masa sebelumnya, pre-oedipal, dimana bayi sangat tergantung dengan  ibunya. Ia sangat manja dan tergantung secara kultural. 

Pada masa cermin, balita pertama-tama melihat gambar dirinya di cermin. Ia mengenal rambutnya, tangan, wajahnya, dll, dengan menggunakan tangannya sebagai instrument pengenalan. Berangsur-angsur dari proses pengenalan itu, balita tahu dan sadar bahwa dirinya lemah dan serba berkekurangan (lackness). ia mulai sadar bahwa cinta ibunya ternyata terbagi kepada sang ayah (the other). Sehingga muncul kecemburuan dan keterasingan (alienation) atas kekurangan (lack) tersebut. Maka, lahirlah hasrat (desire) untuk menghilangkan itu. Nah, disinilah kesadaran manusia itu kemudian muncul. Dan kemudian melahirkan ego yang membentuk dirinya. 

Ego dalam tradisi Cartesian merupakan refleksi atas alasan keberadaan manusia. Manusia ada karena berpikir (cogito ergo sum). Sehingga dari berpikir itulah ia membenarkan adanya Tuhan, agama, dan yang lain. Maka, semangat Zaman Pencerahan (Aufklarung) adalah semangat rasionalisme, modernisme, logosentrisme dan oleh karena itu, mengakui oposisi biner.

Psikoanalisis dalam tradisi pencerahan, atau dalam Freudian, dipakai untuk membantu mengobati masalah-masalah manusia. Manusia berobat ke psikoanalisis supaya resiko atau gangguan jiwa yang mereka alami dapat diobati. 

Hal ini berbeda dalam tradisi Lacanian. Yang meniscayakan kerelatifan, kelampauan dan semangat postmodern. Sehingga, dalam psikoanalisisnya, menurut Robert, bukan merupakan istrumen untuk mengobati pasien, seperti Freud. Tetapi, memprovokasi pasien untuk konfrontasi. Melawan struktur sosial yang merepresi dan mencerabut kebebasan pasien tersebut.

Manusia menurut Lacan adalah individu-individu yang melawan ketertindasan yang mengurung dirinya.  Disitulah psikoanalisanya bekerja membantu manusia menjaga eksistensinya, agar selalu ada dan bertahan terhadap mainstream simbol-simbol yang berusaha memagarnya dan menjadi obyek dalam dua ceruk yang terpisah: baik dan buruk. Barangkali seperti perkataan filsuf Eksistensialis, Albert Camus, “aku melawan maka aku ada”.

Pendapat-pendapat diatas banyak penulis tentang. Tidak benar dan absurdis jika di dalam hidup manusia tidak mempunyai stadar moral. Bagaimana bisa, manusia hidup, membangun peradaban, tanpa rujukan kebenaran untuk membentuk peradaban itu sendiri. Apalagi, bagi orang Islam. Sangat absurdis jika hidup tanpa oposisi biner, tanpa pahala dan dosa.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith-Tharieq




[1] Penggemar Psikoanalisa

Komentar

  1. Salam pergerakan.. :)
    By. PMII rayon Febi UIN Raden intan Lampung

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*