Silaturahmi ke Pak Dahlan




Persis setelah Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) KAMMI di Depok berakhir (29 November - 2 Desember 2012). Aku dan teman-teman peserta dari KAMMI DIY diajak senior kami, mbak Meicy, jalan-jalan ke Jakarta. Ia bermaksud mengajak kami bertemu Menteri BUMN, Dahlan Iskan.

Ajakan ini terjadi beberapa jam sebelum Mukernas ditutup. Aku menyambutnya dan mendukung. Aku kira jarang ada kesempatan emas seperti ini. Apalagi bertemu secara informal dengan seorang menteri yang akhir-akhir ini namanya sedang di atas angin. Lagipula, aku belum pernah menginjakkan kaki di kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri itu.


Teman-teman yang lebih senior seperti Teguh, Kharis, Vivit dan Dedi juga sepakat. Ajakan  itu aku kira  harus mereka penuhi, karena tiket kereta pulang ke Jogja yang kami dapat, baru akan berangkat hari Senin malam. Padahal sore ini, Ahad, Mukernas resmi ditutup. Kami sepakat berkumpul kembali setelah acara berakhir.

Suasana sore yang khidmat diselimuti oleh rintikan peluh air dari langit. Meskipun rintikan hujan agak sering, kami tetap berkumpul di Masjid kompleks Insan Cita. Masjid dimana  acara diselenggarakan. Aku dan beberapa teman berkumpul di tempat itu sesuai kesepakatan dengan mbak Meicy. Sebelum berangkat ke Jakarta.

Di masjid sudah  banyak kader KAMMI dari berbagai daerah ikut berkumpul. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ada yang ngobrol dengan teman sedaerahnya, ada yang keliling taarufan, ada yang syuro dan ada yang hanya duduk diam seribu bahasa. Seperti aku.

Teman-teman rombongan KAMMI DIY, sepakat untuk berkumpul di masjid ini sebelum berangkat. Tetapi tampaknya masih ada beberapa teman yang belum muncul. Kami memutuskan untuk menunggu. Duduk di tangga yang berhadapan persis dengan masjid.

Karena agak lama menunggu, aku putuskan untuk bertemu delegasi teman-teman dari Maluku Utara. Daerah dimana aku sekarang berdomisili. Aku memperkenalkan diri kepada mereka. Diantara mereka ada beberapa orang terlihat familiar. Aku mengenal mereka dari silaturahmi di Ternate bulan Ramadhan kemarin. Di tengah dialog dengan teman-teman Maluku Utara tersebut, ada kader PP KAMMI yang bergabung dengan kami. Namanya Pangi Syarwi. Mahasiswa asal Padang yang sedang kuliah pascasarjana ilmu Politik di UI. Menurutku, ia orang yang ramah dan cerdas dalam mendengar. Ia juga lucu dan tampak intelek. Ia memberiku kartu namannya. Sikapnya yang hangat dan ramah itu seperti orang Jogja.

Tidak beberapa lama kemudian, semua rombongan Jogja lengkap berkumpul. Tanpa basa-basi kami berangkat. Bergabung bersama kami, beberapa kader dari Malang. Seperti mas Wahyu Dani, mbak Nana dan seorang akhwat. Sedangkan dari Jogja: Syamsul, Vivit, Dedi, Kharis, Teguh, Ellya, Meicy, akhwat UAD dan saya sendiri. Juga bergabung bersama kami, Rudi, dari KAMMDA Magelang.


Sebenarnya sebelum mengajak kami, mbak Meicy juga mengajak teman-teman KAMMI dari daerah yang lain. Tetapi, banyak dari mereka tidak percaya. Bagaimana mungkin kader KAMMI , apalagi akhwat, punya jaringan sampai ke Menteri. Apalagi mbak Meicy dikenal –di kalangan teman-teman KAMMI DIY- berteman baik dengan beberapa menteri. Termasuk Dahlan Iskan dan mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. Belakangan, ketua PP KAMMI, Muhammad Ilyas, percaya dengan ajakan mbak Meicy.

Dari Depok, kami naik angkot ke Jakarta, pindah ke bus dan berhenti di tengah kota, dekat Bundaran HI. Saat itu Jakarta sudah sejuk. Bayangan gedung-gedung pencakar langit  jalan-jalan dibawanya.  Kami yang berdiri di trotoar termasuk menikmati efek positif itu.

Dari tempat tersebut, kami berjalan memasuki sebuah mall besar. Di dalam maal, berjalan berputar menyusuri koridor sampai ke pintu keluar. Ketika sudah diluar, tiba-tiba aku melihat seorang wartawan senior, Pimpinan Redaksi TV One, Karni Ilyas. Ia sedang asyik merokok. Ia berdiri persis di depan pintu masuk. Diatas anak tangga yang menghadap ke bahu jalan. Saat itu ia menggunakan ham putih dan celana jeans biru. Tidak lama, setelah dua kali menghisap tuhan 7 centi itu, ia bergegas masuk ke mobil sedan hitam yang terparkir rapi di lobi.

Saat itu aku gamang, sehingga tidak memberanikan diri untuk menyapanya. Padahal seorang  public figure seperti dirinya, aku kira  tidak akan keberatan untuk disapa dan diajak foto bersama. Padahal saat itu, salah satu teman di rombongan kami membawa kamera DSLR.  Betapa naifnya. 

Perjalanan kami berhenti di depan sebuah apartemen mewah tepat di depan mall dimana aku bertemu Pak Karni tadi. Mbak Meicy sibuk meng-sms dan menelepon seseorang. Belakangan kami mau diajaknya bertemu Menteri BUMN, Dahlan Iskan.

Kami menunggu sekitar satu jam di depan apartemen tersebut. Penantian pun berakhir ketika salah seorang security apartemen, meminta kami masuk ke dalam gedung itu.  Kami masuk dan menunggu di ruang tamu yang sejuk. Saat itu sudah masuk waktu Maghrib. Kami menunda sholat untuk di jamak bersama shalat Isya. 

Setengah jam kemudian Pak Dahlan muncul. Aku menyalami tangan bekas Dirut PLN itu dengan hangat. Pak Dahlan mengajak kami ke teras halaman belakang apartemen. Suasana teras itu sangat artistik. Dihiasi lampu teras kuning yang memberikan suasana reman-remang. Sangat tepat menjadi tempat diskusi.

Sebelum mulai berdiskusi dengannya. Pak Dahlan pertama-tama menanyakan nama, asal daerah dan kampus kami. Kami pun menjawab bergiliran dan berakhir padaku. Karena aku duduk persis di samping kirinya.

Dalam obrolan malam itu Pak Dahlan pertama-tama bercerita tentang amanah yang diberikan Negara kepadanya. Mulai sebagai Dirut PLN, sampai menjadi Menteri BUMN. Meskipun akhir-akhir ini, ia banyak disanjung dan dipuji oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dibalik itu, ternyata banyak hujatan dan kritik ketika ia pertama kali mengemban amanah-amanah tersebut. Misalnya, ketika diminta Presiden untuk menjadi Dirut PLN, ia di demo oleh karyawan perusahaan plat merah itu di hari pertamanya berkantor. Tetapi hal tersebut dianggapnya sebagai tantangan dan ujian dalam berjuang.
Dalam obrolan yang lain, Pak Dahlan banyak bercerita tentang kondisinya beberapa tahun terakhir yang sering jatuh sakit. Jantungya mengalami kerusakan kronis sehingga harus sering cuci darah. Akhirnya, setelah dirawat di Cina dan jantung yang rusak itu di tranplantasi, kondisinya berangsung-angsur membaik sampai sekarang. Tetapi, harus dijaga dengan gaya hidup yang sehat. Oleh sebab itu, setiap pagi Pak Dahlan selalu menyisihkan waktu untuk olahraga di Monas sebelum berkantor. Ada suatu hal yang unik darinya malam itu. Meskipun bukan berlatar pendidikan kesehatan, ia sangat fasih berbicara anatomi, fisiologi dan patofisiologi jantung. Persis seperti dalam  tutorial mahasiswa kesehatan.

Ada joke yang keluar darinya  merespon wawasan kesehatannya yang tinggi itu. Kira-kira berbunyi seperti ini, “saya ini nggak pernah kuliah kedokteran. Tapi kalau ikut ujian bersama mahasiswa kedokteran, saya tidak mustahil bisa lulus. Gimana nggak lulus, mbok buku-buku kedokteran yang tebal-tebal itu saya lahap. He he.” Aku kira pernyataan itu bisa saja benar.

Sambil serius menyimak ceritanya, makan malam datang.  Kami melanjutkan menyimak cerita Pak Dahlan sambil makan. Saat itu ketua PP KAMMI, Muhammad Ilyas bergabung bersama kami. Ia ditemani seorang pria keturunan Tionghoa. Belakangan, mas Ilyas memperkenalkan bahwa pria itu adalah putera dari Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Anton Medan. 

Sambil makan, Pak Dahlan meneruskan ceritanya. Ia mulai bercerita kisah hidupnya dari kecil sampai seperti sekarang. Ia dilahirkan dalam keluarga petani di Jawa Timur. Ketika duduk di bangku SMA, ia aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII). Di PII inilah beliau mulai bersentuhan dengan dunia pergerakan dan politik. Dalam suatu demonstrasi oleh PII kepada pemerintah Orde Baru saat itu, banyak teman-temannya yang ditangkap aparat. Pak Dahlan saat itu, untuk menyelamatkan nyawanya, lari ke Kalimantan, tempat kakaknya berdomisili.

Di Kalimantan ia meneruskan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Ia sekolah di sebuah kampus Islam milik Muhammadiyah. Ia mengambil jurusan Tarbiyah. Di kampus itu, Pak Dahlan bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tetapi tidak terlalu aktif, karena ia lebih aktif di UKM jurnalistik di kampus tersebut. Dari minatnya di jurnalistik  inilah yang kemudian mengubah hidupnya. Setelah dari kampus ia memutuskan untuk menjadi wartawan. Dari profesi sebagai wartawan inilah, ia kemudian mendirikan media massa terbesar di Jawa, Jawa Pos.

Setelah mengobrol cukup lama, kira-kira sampai jam 21.00, Pak Dahlan menyuruh kami beristirahat di rumah dinasnya. Karena ia ada rapat malam itu. Rumah dinas tersebut tidak ia tempati. Hal ini sebagai manifestasi komitmennya kepada Presiden sejak diamanahi sebagai pejabat Negara, Dirut PLN. Bahwa dalam bekerja mengabdi kepada Negara, Pak Dahlan tidak bersedia diupah. Termasuk fasilitas mobil dan rumah dinas. Komitmen yang sungguh idealis, mulia dan aku kira tidak salah ditiru. 

Kami diantar ke rumah dinas Pak Dahlan dengan mobil Fortuner milik anak Anton Medan. Perlu dua kali memuat, sampai semua anggota rombongan lengkap tiba di rumah dinas. Kami turun dari mobil, setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.

Rumah dinas Pak Dahlan terletak persis depan pintu masuk perumahan kementerian. Rumah bergaya tahun 80-an ini terlihat asri dan terawat dengan baik. Padahal tidak dihuni. Rumah ini ditempati beberapa ajudan Pak Dahlan.

Aku dan teman-teman ikhwan tidur di mushalla, sedangkan akhwat tidur di kamar lantai satu rumah tersebut. Malam itu, mas Wibi datang, diskusi dan tidur bersama kami. Aku tidur sekitar jam 24.00 setelah capek bermain laptop dan membaca buku Filsafat Islam milik Syamsul. Sebenarnya aku agak teledor, karena sebelumnya Pak Dahlan meminta kami untuk olahraga bersama dirinya di Monas jam 5 pagi. Akibatnya, aku dan juga beberapa teman bangun di atas jam 5.

Setelah sholat Shubuh berjamaah, kami diantar supir Pak Dahlan menuju Monas. Menggunakan Toyota Alphard milik Bu Dahlan. Seingatku, dalam hidup, baru pertama kali aku menaiki mobil mewah, apalagi milik Menteri. Sungguh beruntung, kedatangan pertamaku ke Jakarta bisa ketemu , tidur dan naik mobil Menteri.

Ketika tiba di Monas, Pak Dahlan sudah olahraga duluan. Setelah jogging keliling Monas beberapa putaran, ia lantas bergabung dengan beberapa lansia yang bersenam di pinggir Monas. Kebanyakan orang-orang Tionghoa yang senam disitu. Menurut seorang pemuda yang duduk menonton senam itu. Untuk sekali senam, perlu merogoh uang sampai tiga ratus ribu rupiah. 

Senam akhirnya berakhir, Pak Dahlan lantas mengajak kami ke kantornya, Kementerian BUMN. Pak Dahlan bersama mbak Meicy, Ellya dan akhwat UAD dan Malang –yang saya tidak terlalu kenal- menggunakan mobil listrik berwarna hijau menuju ke kantor. Sedangkan saya dan teman-teman ikhwan yang lain jalan kaki bersama dua karyawan Pak Dahlan. Rupanya kantor Kementerian tidak jauh dari Monas. Gedung itu berdiri kokoh tepat di depan Monas.

Kami diajak naik ke lantai 19. Lantai dimana Pak Dahlan sehari-hari bersemayam. Saat masuk ke dalam kantor Pak Dahlan, disana sudah hadir mbak Meicy dan teman-teman yang naik mobil listrik. Mereka duduk di meja rapat bersama dengan beberapa karyawan Pak Dahlan. Tampaknya mereka adalah para Dirut BUMN. Dari penampilan dan karakter mereka –seperti dalam cara berbicara, makan dan melayani Pak Dahlan- saya kira mereka adalah orang-orang penting yang berjasa merawat perusahaan-perusahaan plat merah itu. Tidak lama, Pak Dahlan bergabung dan kami makan bersama. 

Setelah makan kami kembali ke rumah dinas. Diantar mobil plat merah berwarna putih. Tetapi, sebelum pulang, mbak Meicy meminta Pak supir untuk mengantar ke Stasiun Pasar Senen. Memesan tiket kereta untuk teman dari Rudi. Setelah itu kami pulang, shalat, makan dan tidur siang.

***

Mataku terbuka bangun dari tidur. Di sudut mushalla ada seorang wanita sedang sholat. Tidak jauh dari belakang wanita itu, ada pria yang tidur menghadap ke dinding mushalla. Sehingga hanya terlihat kakinya yang dibuat gaya memangku. Di sisi yang lain, sudah hadir mbak Meicy dan teman yang lain. Duduk mereka terlihat aneh. Sopan dan formalistis.
Aku pun bangun dan duduk. Tiba-tiba wanita separuh baya yang baru selesai shalat itu bergerak ke arahku dan menyalamiku. Dia tersenyum padaku. Tiba-tiba mbak Meicy menyela, “ini isteri Pak Dahlan akh.” Aku langsung tersentak kaget. Pantas saja mengapa teman-teman duduk sangat sopan. Lalu pria yang tidur di sudut mushalla juga bangun. Rupanya pria itu adalah Pak Dahlan. Tampaknya ia kelelahan sehingga berbaring sebentar.

Dengan sopan , Pak Dahlan meminta kami untuk meninggalkan rumah. Karena, ia punya tamu yang akan bertemu di rumah itu. Ternyata rumah dinas itu sering dipakai untuk rapat. Maka, datanglah tamu Pak Dahlan tersebut. Tiga orang pria yang dari penampilannya adalah orang-orang berada. Benar saja, ketika mereka dikenalkan kepada kami. Salah satu diantara mereka adalah mantan bupati, sisanya adalah pengusaha.

Aku bergegas membersihkan diri di kamar mandi. Lalu berkemas dan berpindah ke ruang keluarga dimana teman-teman yang lain sudah berkumpul. Setelah pamit dengan Pak Dahlan dan isterinya, kami meninggalkan rumah. 

Mobil Marcedez hitam mengantar kami ke Stasiun Pasar Senen. Saat itu jumlah kami tidak sebanyak pertama kali tiba di rumah itu. Karena teman-teman yang lain sebelumnya sudah pulang. Suasana di dalam mobil begitu meriah. Supir Pak Dahlan rupanya sangat lucu dan kocak. Kami diajaknya mengobrol tentang berbagai hal. Mulai dari persoalan pacaran, kemacetan ibukota, dan lain-lain. 

Marcedez sampai di Pasar Senen menjelang maghrib. Sebelum berpisah, kami diajak Pak supir untuk makan malam. Kami makan di warung cepat saji dalam stasiun. Selesai makan rupanya semua uang makan dibayar oleh supir tersebut. Orang yang baik. Sayangnya, beberapa bulan kemudian ia meninggal. Semoga mendapat tempat terbaik disisi Tuhan. 

Kereta Progo tiba di Senen jam 20.30 dan berangkat sekitar jam 21.00. Aku duduk di gerbong terakhir bersama tiga teman yang lain, sedangkan mbak Meicy berada di gerbong yang lain. Selamat tinggal ibukota. Sampai jumpa kembali Jakarta. 

Kasihan, 13 Juni 2013









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*