Kondisi Budaya Literasi di Maluku Utara[*]
Oleh:
Zulfikhar
Diambil dari http://statis.dakwatuna.com
Mukadimah
Literasi atau kemampuan membaca dan menulis tidak
dipungkiri sudah menjadi satu kebutuhan primer bagi manusia modern. Urgensinya
dalam beberapa hal, telah disejajarkan dengan kebutuhan primer lainnya seperti pangan
dan sandang. Di zaman yang serba digital seperti sekarang ini, dengan arus
gerak komoditas ke dalam dan ke luar negeri dengan begitu bebas dan cepatnya,
literasi menjadi suatu keniscayaan bagi setiap negara. Jika ingin menang atau
setidaknya bertahan dari gempuran kompetisi internasional pada setiap aspek
kehidupan. Terutama dalam aspek politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikondisikan oleh globalisasi.
Indonesia sebagai bangsa yang besar, setelah merdeka
selama lebih dari 70 tahun masih menyisakan 5,96 juta jiwa warga buta aksara atau
3,7 persen dari 250 juta penduduknya. Kendati hal demikian tidak lagi menjadi
masalah yang besar mengingat penurunannya yang cukup signifikan dari tahun ke
tahun. Masalahnya sekarang justru bagaimana dengan potensi 94,3 juta penduduk lainnya
yang melek aksara. Apakah anugerah keberaksaraan yang mereka miliki sudah
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pembangunan manusia Indonesia seutuhnya atau
belum? Hal ini penting mengingat tujuan bangsa kita sebagaimana tercantum dalam
preambule UUD 1945, bukanlah berhenti pada pemberantasan buta aksara saja. Tapi
mencerdaskan kehidupan bangsanya.
Pada 2010 kemarin, Programme for International Student Assessment (PISA) merilis
hasil survei tentang budaya literasi masyarakat Indonesia dimana dari 65 negara
yang dilakukan survei, Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara yang di
survei. Mirisnya, Vietnam, negara yang tak jauh lebih sejahtera dari Indonesia
justru menempati peringkat 20 besar.
Hal ini diperparah dengan adanya rilis UNESCO pada 2012
lalu yang menjelaskan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya mencapai
0,001. Ini berarti, dari setiap 1000
orang dewasa, hanya 1 orang dewasa saja yang menjadikan membaca sebagai
rutinitas kesehariannya.
Fakta ini
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari buku. Buku sejauh ini baru
dipandang sebagai pengisi waktu luang bukan kebutuhan yang mesti terjadwalkan. Urgensi
literasi masih menjadi kebutuhan tersier alih-alih sekunder, apalagi primer.
Amat berbeda dengan negara-negara tetangga yang telah lebih dulu maju. UNDP
misalnya pernah mengeluarkan rilis bahwa angka melek huruf orang dewasa di
Indonesia hanya 65,5 persen. Jauh tertinggal dari Malaysia yang sudah mencapai
86,4 persen.
Situasi literasi di Maluku Utara sesungguhnya
mencerminkan krisis literasi yang dialami negara kita secara nasional. Jika
setiap tahun rata-rata masyarakat Indonesia mampu membaca nol hingga satu buku.
Jauh tertinggal dari negara-negara Asean lainnya yang mampu mencapai dua hingga
tiga buku, masyarakat Maluku Utara barangkali belum tentu sampai menghabiskan
satu buku. Anggapan ini bukan mengada-ada, mengingat situasi perbukuan di Maluku
Utara, dimana kota Ternate sebagai representasi wajah pendidikannya, masih amat
memprihatinkan.
Tiga Masalah Mendasar
Mula-mula jika kita hendak menelusuri budaya
literasi masyarakat Maluku Utara yang memprihatinkan itu, terlebih dahulu yang perlu
kita telusuri adalah situasi institusi pendidikannya saat ini, yakni sekolah. Hal
ini penting mengingat output dari dunia pendidikan seperti mahasiswa di
perguruan tinggi atau masyarakat secara umum; dari pegawai pemerintah, swasta
hingga pekerja-pekerja di sektor informal, bermula dari sini.
Lalu apa yang terjadi di sekolah? Sejujurnya, sejak
dulu ada tiga masalah mendasar yang menjangkiti sekolah sebagai soko guru sistem
pendidikan di Maluku Utara.
Pertama,
rendahnya kualitas guru. Sejak dulu, masyarakat Maluku Utara yang hidup di
kota-kota besar seperti Ternate misalnya, tidak terlalu memandang pendidikan keguruan
sebagai profesi yang menarik. Umumnya mereka lebih memilih bidang studi yang kelak
dapat mendatangkan pekerjaan dengan penghasilan lebih besar disertai masa depan
yang menjanjikan. Ilmu teknik, kesehatan, administrasi dan pemerintahan oleh
karena itu menjadi tujuan utama mereka. Padahal, kualitas pendidikan yang diterima
pelajar di Ternate lebih baik dan berkualitas dari pada sembilan kabupaten/kota
lainnya. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bertugas waktu itu datang
dari daerah dengan kualitas pendidikan lebih maju seperti Ambon -kendati
guru-guru Ambon juga tersebar di beberapa daerah di luar Ternate, disertai jumlah
guru yang memadai dan fasilitasi pendidikan yang bisa dikatakan lebih layak.
Sebaliknya, para pelajar dari luar yang datang ke
Ternate, dengan kapasitas keilmuan yang umumnya pas-pasan, lebih banyak memilih
ilmu keguruan sebagai bidang ilmu yang mereka geluti. Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) yang dibuka di Ternate waktu itu di penuhi oleh para pelajar-pelajar ini.
Setelah menamatkan masa pendidikannya, para
guru-guru muda ini kemudian kembali ke kampung halamannya dan mulai mengajar.
Namun, tentu dapat kita bayangkan bagaimana guru-guru itu nantinya dapat
mengajar jika sedari awal, sejak masa sekolah dulu, kualitas pendidikan yang
mereka terima belum memadai. Dari sini, nantinya ada semacam mata rantai yang
berkait kelindan yang pada akhirnya menentukan peserta didik yang mereka cetak
dan hasilkan kelak di masa depan.
Fenomena ini telah berlangsung sejak masa Orde Baru
dan barangkali sudah dari masa rezim Sukarno, dan masih berlangsung hingga kini. Hari ini kita bisa melihat hasilnya. Khususnya dalam kemampuan literasi, para pelajar hasil
didikan para guru di masa itu kini mengalami masalah literasi khususnya dalam kemampuan
menulis. Dimana umumnya mahasiswa yang berkuliah di kampus-kampus besar di
Ternate seperti Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Universitas
Khairun (UNKHAIR), Sekolah Tinggi Keguruan dan Pendidikan (STKIP) Kie Raha dan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, mengalami kesulitan dalam menulis
kata-kata sesuai kaidah Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) -pengganti Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD).
Banyak mahasiswa hampir selalu salah dalam memilih
atau menempatkan huruf ketika menuliskan sebuah kata. Formasi huruf dalam satu
kata kadang ditempatkan berlebih atau berkurang dari susunan seharusnya. Semisal
kata tubuh
yang mestinya tersusun lima huruf, malah ditulis tubu, atau sebaliknya, kata sejahtera
ditulis sejahterah. Yang amat memprihatinkan,
masih ditemukan beberapa wartawan surat kabar lokal belum khatam soal ini.
Kedua,
minimnya jumlah tenaga pengajar. Kebanyakan para guru jebolan perguruan tinggi di
Maluku Utara saat ini lebih banyak berkumpul di kota-kota besar atau paling
tidak di ibukota kabupaten yang tersebar di seluruh pelosok Maluku Utara. Di
Ternate sendiri, banyak dijumpai para sarjana ini menganggur dan beralih pada profesi
non formal sembari menunggu pembukaan tes CPNS.
Menjadi PNS memang cita-cita pokok para guru,
sehingga tawaran menjadi guru honorer kebanyakan ditolak oleh para guru muda
ini. Apalagi sedari awal mereka telah dipengaruhi oleh kebutuhan konsumtif yang
meninggi. Hanya bagi mereka yang memiliki idealisme “pahlawan tanpa tanda jasa”
saja barangkali siap menerimanya. Akibatnya, banyak sekolah-sekolah di pelosok-pelosok
daerah kekurangan stok guru.
Tidak jarang ditemukan, seorang kepala sekolah yang
seharusnya memimpin dan memantau kinerja para guru, justru terpaksa menjadi guru
dadakan. Sementara para guru honorer
yang tak tahan dengan gaji di bawah standar kelayakan -bahkan kadang tak digaji
selama sekian bulan- menghilang ke kota atau beralih profesi. Dengan terbatasnya
jumlah guru, tentu saja kualitas pengajaran yang diberikan kepada peserta didik juga ikut terbatas. Dengan
begitu, kualitas pendidikan yang dihasilkan juga suka tidak suka ikut terbatas.
Umumnya stok pengajar dalam bidang ilmu pengetahuan
alam cukup tersedia di Maluku Utara. Yang menjadi masalah adalah bidang ilmu
pengetahuan sosial dan bahasa. Khususnya untuk bahasa Inggris, ketersediaan
jumlah tenaga pengajarnya masih sangat terbatas. Lebih sedikit dari mata
pelajaran apapun. Tak heran banyak mahasiswa dari luar Ternate kebanyakan belum
mampu berbahasa Inggris sama sekali.
Ketiga,
minimnya jumlah perpustakaan. Urgensi perpustakaan masih ditempatkan pada urutan
terakhir setelah pekerjaan rumah mengenai kelangkaan tenaga pengajar dapat
diakhiri. Hal ini ditandai dengan hanya berdiri satu perpustakaan umum di
Ternate sementara sisanya berbasis di sekolah dan universitas. Sementara itu
ada beberapa LSM yang bergerak di bidang literasi memiliki perpustakaan.
Seperti Corner Library, Garasi Genta, Independensia dan Pilas. Namun, koleksi
buku milik beberapa LSM ini belum
disediakan untuk dipinjamkan kepada masyarakat umum.
Jika jumlah perpustakaan masih terbatas, nasib
perbukuan tidak jauh berbeda. Masyarakat Maluku Utara masih kesulitan
memperoleh buku yang mereka butuhkan. Khususnya mahasiswa. Sedikitnya jumlah
toko buku memang jadi kendala. Juga koleksi buku dari toko-toko tersebut yang
terbatas. Hal ini belum ditambah sederet fakta tentang harga buku di Maluku
Utara yang rata-rata mahal. Mahasiswa dan pelajar yang rata-rata datang dari
keluarga menengah ke bawah karena itu sulit menjangkaunya.
Kondisi Literasi Saat Ini
Saat ini, tiga masalah mendasar tadi berimbas pada
kelemahan literasi di Maluku Utara. Ada anggapan yang muncul bahwa tidak perlu
dulu jauh-jauh mendidik masyarakat menjadi pembaca dan penulis handal. Sementara
menulis kata dan kalimat dengan baik dan benar saja, banyak masyarakat masih
belum bisa. Dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang masih amat rendah memang
dibutuhkan kerja ekstra keras untuk mengakhirinya.
Jika sejarah pendidikan di Maluku Utara di masa lalu
telah lama tersandera oleh rendahnya kualitas guru, dan sampai sekarang masalah
ini belum benar-benar dapat diakhiri. Lantaran secara bersamaan sejak dulu pula sistem pendidikan
di Maluku Utara telah tersandera oleh sikap indisipliner para guru.
Banyak fakta menunjukkan bahwa realitas pendidikan
dari SD hingga SMA dipengaruhi oleh sentimen primordialitas dan motif belah
kasihan terhadap kelulusan proses pembelajaran peserta didik. Tidak heran,
banyak siswa yang sebenarnya tidak lulus ujian, dapat diluluskan atas pengaruh
oknum guru yang tidak bertanggung jawab. Hal ini termasuk ketika berlangsungnya
ujian nasional. Di sini peran sekolah untuk membantu para siswanya mencontek sudah
jadi rahasia umum. Bahkan dalam beberapa kasus di atur secara sistematis dalam
pertemuan terbatas bersama orang tua/wali murid sebelum penyelenggaraan ujian.
Mirisnya, fenomena ini juga sedikit banyak menyebar hingga ke tingkat perguruan
tinggi.
Kendati begitu, adanya realitas budaya pendidikan
yang bobrok seperti ini seharusnya tidak
mengakhiri upaya pembangunan budaya literasi di Maluku Utara. Biasanya
kesadaran keberaksaraan akan berangsur-angsur muncul tatkala para pelajar berubah
status menjadi mahasiswa. Transformasi model pembelajaran dari pedagogi menjadi
andragogi yang terskematisasi dalam kurikulum perguruan tinggi sedikit banyak membantu
mempercepat proses perubahan ini. Kendati, efek buruk yang tak dapat dihindari
dari proses ini adalah menjamurnya praktek plagiarisme di kalangan
mahasiswa.
Namun, jika dibandingkan dengan dekade 2000-an lalu,
tampak budaya literasi masyarakat Maluku Utara hari ini tampak semakin membaik.
Jika pada paruh pertama dekade 2000-an hanya ada dua surat kabar yang beredar,
hari ini lebih dari enam surat kabar diproduksi setiap hari dan menyebar hingga
ke sepuluh kabupaten/kota. Selain itu, sekarang kita tidak sulit lagi menemukan
penulis kolom opini datang dari mahasiswa lokal. Hal ini tentu sangat berbeda
dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu. Walau pun kemajuan seperti ini saja
belum cukup, sebab hingga sekarang tidak ada insentif dari redaksi surat kabar yang berguna
memotivasi peningkatan publikasi karya-karya mereka. Sehingga dorongan terhadap
aksi-aksi kreatif tersebut hingga kini masih belum berjalan maksimal. Masih baru
sebatas pada kesadaran individu para penulis yang melampaui persoalan upah atau
tidak diupah.
Namun, berbagai upaya sebenarnya sudah sering dilakukan
oleh beberapa instansi seperti Kantor Bahasa Maluku Utara. Setiap tahun instansi
milik pemerintah pusat ini secara rutin melakukan berbagai macam agenda-agenda
pembangunan budaya literasi. Sebut saja lomba cerpen tingkat mahasiswa,
artikel, puisi, karya tulis ilmiah yang terangkum dalam gerakan literasi
nasional. Selain itu, berbagai lomba yang diperuntukkan bagi kalangan jurnalis
dan masyarakat umum juga rutin diselenggarakan. Perpustakaan Daerah Kota
Ternate juga tidak ketinggalan. Kendati masih dalam intensitas yang lebih
rendah.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pembangunan budaya literasi menurut saya tidak dapat
dilakukan jika tak ada kesadaran dari pemerintah dan dari masyarakat itu
sendiri. Tentunya terutama sekali atas dorongan dari gerakan-gerakan yang
dibangun oleh pegiat literasi.
Upaya pemerintah melalui ratifikasi Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 dan 23 Tahun 2015 menjadi pelopor
yang sangat bermanfaat. Program wajib baca 15 menit sebelum berlangsungnya
proses belajar mengajar menjadi pendorong yang dapat menciptakan perubahan yang
signifikan. Kendati proyek ini sebatas dilakukan pada siswa sekolah dasar, namun
dampaknya di masa depan tentu akan dapat berubah banyak hal.
Tapi, upaya semacam itu saja tidak cukup. Perlu ada
pembudayaan literasi yang berlangsung pada lingkungan keluarga. Sebab, keluarga
merupakan sekolah pertama dan utama dalam proses tumbuh kembang manusia. Olehnya
itu faktor orang tua sebagai pendorong dan motivator terhadap anggota keluarga
yang lain untuk meminati literasi sangat dibutuhkan. Tanpa hal ini, ekspektasi
terhadap peningkatan budaya literasi mustahil berjalan maksimal.
Upaya berikutnya yang dapat menjadi penentu dan perawat budaya
literasi adalah pembudayaan literasi berbasis komunitas. Dengan misalnya menyediakan
rumah baca dan perpustakaan kampung di tengah-tengah lingkungan masyarakat.
Sebab di dalam lingkungan masyarakat inilah orang bergaul satu sama lain dan
amatlah baik apabila potensi sosial semacam ini sembari dimanfaatkan dengan pembudayaan
literasi. Saya pikir jika hal ini mampu dilakukan, minat literasi masyarakat
sangat dimungkinkan beranjak naik.
Di Ternate, upaya ini telah dilakukan oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang
literasi –seperti Komunitas Garasi Genta, UMMU Press, Independensia, Pilas,
Garda Nuku dan Janglaha- dengan menyelenggarakan Ternate Book Fair selama dua
hari dari 24-26 Juni kemarin. Sekitar 3000 judul buku yang dipinjamkan oleh
individu maupun lembaga dipamerkan untuk dibaca oleh masyarakat yang datang ke
acara ini. Memang, pengunjung yang datang tidak sebanyak pengujung di Mall
Ternate misalnya yang pada beberapa hari belakangan ini sedang sibuk berbelanja
demi merayakan lebaran. Akan tetapi, adanya acara ini sudah merupakan satu
bentuk sikap dan kampanye panitia kepada masyarakat akan urgensi peningkatan
budaya keberaksaraan di Maluku Utara. Dan yang paling penting, kampanye ini
telah didukung penuh oleh Wali Kota Ternate dan disepakati menjadi program
tahunan pemerintah kota ke depan.
Kondisi literasi di Maluku Utara memang masih amat
memprihatinkan. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat sebagai subjek
perubahannya masih perlu dibangun secara berkesinambungan tanpa henti. Ditambah
dengan berbagai upaya yang kini sedang dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah kota, para pegiat literasi dan instansi pendidikan, saya optimis ke
depan meningkatnya budaya literasi di Maluku Utara hanya tinggal menunggu waktu
saja. Semoga.
Ternate, 29 Juni 2016
Komentar
Posting Komentar