JANGAN JUAL LAUT
KAMI*
Oleh Zulfikhar
Diambil dari http://1.bp.blogspot.com
Dengan terengah-engah Saleh mendayung
perahunya menuju daratan. Angin Barat yang bertiup semilir subuh itu
mengusap-usap tubuhnya yang kurus berotot. Iwan, keponakannya yang berusia
belasan, terlelap tidur di buritan. Sesekali kakinya yang dekil menendang tumpukan ikan di lambung perahu.
Pagi itu Saleh berhasil menangkap banyak
ikan. Sejak membuang sauh kemarin sore, ia merasa sangat mudah menangkap ikan. Tidak
seperti sebelumnya. Begitu juga Iwan, meski pun anak itu masih pemancing amatir.
Mereka beruntung, cahaya bulan yang menerangi laut sepanjang malam itu, menarik
banyak ikan naik ke permukaan.
Sinar mentari mulai menampakkan wajahnya
di ufuk timur. Semakin mendekati daratan semakin banyak perahu-perahu nelayan berdatangan
dari segala penjuru. Pendaran lampu yang menerangi pasar ikan semakin
kelihatan.
Sesampainya di pelabuhan, Saleh
menambatkan tali perahunya di pelabuhan pasar. Sementara Iwan sibuk memindahkan
tumpukan ikan ke dalam beberapa baskom hitam berinisial “SH.” Inisial nama
Saleh.
Beberapa orang pedagang Ikan yang sejak
tadi menunggu kedatangan para nelayan, bergegas menghampiri perahu Saleh.
“Berapa harga ikan Bubara itu Le,” tanya
perempuan paruh baya berjilbab hitam.
“Sepuluh ekor 20 ribu Ibu.”
“Le, ikan Dolosi itu berapa harganya?”
tanya seorang pria berbadan gemuk sambil mengarahkan telunjuknya ke arah baskom
hitam dekat kaki Saleh.
“Yang ini sepuluh ekor 20 ribu Pak,”
jawab Saleh.
“Le, bisa turunkan sedikit boleh? 15
ribu begitu,” tawar perempuan berjilbab hitam.
Saleh mengangguk-anggukkan kepalanya,
tanda setuju.
Tidak memakan waktu lama bagi Saleh untuk
menjual puluhan ikan yang ditangkapnya semalam. Ia tidak memasang harga yang
tinggi, wajar saja, dengan cepat puluhan ikan itu habis terjual. Baginya, tidak
perlu mematok harga tinggi, asalkan dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya
selama lima hari ke depan.
Setelah di beri upah beberapa puluh ribu
rupiah, Iwan disuruhnya pulang untuk
mempersiapkan diri ke sekolah. Saleh lalu bergegas menuju warung makan yang
berjejer di depan area parkir pelabuhan kapal
motor.
Dari luar tampak beberapa kawannya tengah
asyik mengobrol. Tampak tema obrolan mereka agak serius, meski pun hari masih
pagi.
Kepulan asap rokok memenuhi ruangan
warung ketika Saleh melangkah masuk.
“Halo, apa kabar saudara-saudara? Sedang
mengobrolkan apa? Kok kelihatannya serius sekali?” Sapa Saleh dengan wajah
semringah.
Serentak kawan-kawannya yang kebanyakan
nelayan itu menoleh pada Saleh. Tidak tergurat sama sekali ekspresi keceriaan
pada wajah-wajah mereka. Atau pun menunjukkan ekspresi kehangatan sekedar untuk
membalas sapaan hangat dari kawan mereka yang baru saja pulang melaut.
Air muka kawan-kawan Saleh begitu
dingin. Namun, bukan berarti merusak ekspresi mereka dalam menyulut rokok.
Seorang yang berkumis tebal mempersilahkan Saleh duduk. Tanpa basa-basi mereka
melanjutkan obrolan yang semakin lama diperhatikan Saleh semakin serius, tampak
seperti diskusi.
“Begini Le,” ujar pria bertopi hitam menyambung
obrolan.
“Kamu sudah tahu belum, alasan di
gusurnya kampung nelayan minggu kemarin?”
“Bukankah untuk di bangun galangan
kapal? Semua orang tahu itu,” jawab Saleh.
“Kamu dapat informasi dari mana Le? Kok
bisa bilang begitu? Tanya pria berkepala botak sembari mengernyitkan dahinya
yang berminyak.
“Adik isteriku yang bilang. Dia juga
ikut membantu kepindahan kawannya yang rumahnya di gusur waktu itu.”
“Berarti kamu salah informasi Le,” ujar
kawannya yang beropi hitam.
“Masa, kamu enggak merasa aneh, kan
sudah ada galangan kapal 100 meter dari sini? Mengapa harus di buat lagi?”
tambah pria berkepala botak.
“Lalu mau di bangun apa?”
“Sebenarnya penggusuran itu untuk
membangun pabrik ikan kaleng,” tambah kawan Saleh yang memakai peci.
“Wah, kedengarannya bagus juga itu,” ujar
Saleh.
“Bagus bagaimana Om? Om sendiri nanti
yang akan rugi,” ujar salah seorang pemuda yang sedang duduk menyantap sarapan
di sudut warung. Pemuda itu lantas
berdiri dan berpindah tempat mendekati Saleh.
“Dik,
kamu siapa? Kok tiba-tiba memotong?” sergah Saleh sembari mengernyitkan dahi.
“Saya Misno Pak. Pemuda dari kampung
nelayan.”
“Misno itu benar Saleh. Keberadaan
pabrik itu akan merugikan kita para nelayan,” ujar pria bertopi hitam.
Tangan kanan Saleh tiba-tiba saja di
ayunkan mengelus-elus dagunya yang dipenuhi janggut. Ia kebingungan, apa yang
di maksud dengan keberadaan pabrik ikan itu akan mendatangkan kerugian?
“Hmm, bukankah keberadaan pabrik ikan
itu akan menaikkan penghasilan kota kita ini? Kan, pastinya ikan-ikan yang
dihasilkan akan di kirim ke luar daerah. Bahkan, biasanya juga di kirim ke luar
negeri,” ujar Saleh dengan nada berceramah.
“Bukankah pemerintah kita sedang
merencanakan daerah ini akan dijadikan lumbung ikan nasional? Artinya,
perusahaan-perusahaan ikan akan masuk ke sini dan pastinya akan mengurangi jumlah
pengangguran. Saya kira tak ada yang salah. Apa lagi warga miskin seperti kita
ini tidak mengalami perubahan nasib sejak dulu. Dulu, bapak kita nelayan,
sekarang kita yang menggantikan mereka menjadi nelayan.”
Menyaksikan pendapat Saleh, pria berpeci
hanya mengangguk. Sementara pria berkumis menghisap rokoknya dalam-dalam lalu
menghembuskannya perlahan-lahan.
“Om Saleh, apa yang Om bilang memang
benar. Tetapi ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan sebelum menerima dengan
suka rela pembangunan pabrik ikan itu Om,” ujar Misno yang pernah mengenyam
pendidikan di bangku perguruan tinggi.
“Begini Om, penggusuran kampung kami
kemarin menyisakan banyak masalah. Ada cukup banyak rumah di sana yang
bersertifikat. Tidak seperti berita yang beredar selama ini yang menyebut tanah kampungku itu milik pemerintah
kota. Termasuk rumahku Om. Meskipun setelah itu kami di beri tanah di pinggiran
kota. Asal Om tahu saja, kepala kampung dan perangkatnya diam-diam berkongsi
dengan pemerintah kota. Mereka di minta untuk mengkondisikan masyarakat agar
tidak memprotes. Makanya, tidak ada perlawanan dari warga saat penggusuran
kemarin,” ujar Misno dengan serius.
“Lalu Om, pembangunan pabrik ikan itu
memang benar mendatangkan lapangan kerja baru bagi warga di sekitar sini. Juga
mendatangkan pendapatan bagi pemerintah kota. Tetapi perlu di catat, mau
dikemanakan nasib nelayan-nelayan seperti Om nantinya? Asal Om tahu, biasanya
ketika pabrik didirikan, kapal-kapal pencari ikan milik pabrik akan beroperasi
di kawasan laut sekitar di mana para nelayan selama ini mencari ikan. Mereka
akan mengambil ikan secara massal sehingga dampak jangka panjangnya, akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan.
Dan mendorong para nelayan lebih jauh lagi mencari ikan.”
“Selain itu Om, kita juga perlu tahu, selain
berproduksi, pabrik juga menghasilkan limbah. Kemana limbah itu di buang? Tidak
lain dan tidak bukan pasti ke laut kan? Saya kira kita semua tahu apa dampaknya
jika limbah pembuangan pabrik di buang ke laut, tentu saja mengakibatkan
rusaknya ekosistem biota laut. Sehingga mengusir mereka pergi semakin jauh ke
lautan lepas. Tidakkah itu juga merugikan nelayan?”
Semakin lama mendengar penjelasan Misno,
Saleh semakin menyadari kalau pendapatnya memang lemah. Apa lagi setelah ia
tahu Misno pernah selama lima tahun bekerja sebagai buruh pada pabrik ikan di
pulau seberang. Saleh memang tidak paham, bagaimana proses produksi yang
berlangsung di dalam pabrik ikan. Apa lagi, setelah Misno memperluas penjelasannya
dengan menambahkan bahaya polusi yang datang dari pabrik. Terutama bau yang
ditimbulkannya dan pengaruhnya pada kenyamanan masyarakat sekitar dalam
beraktivitas sehari-hari.
Saleh baru sadar, hampir semua kawan-kawannya yang
sejak tadi berada di warung sudah mendiskusikan hal itu bersama Misno sejak
kemarin. Mereka semua sepakat, rencana pembangunan pabrik ikan itu mesti di
tolak. Mereka tidak ingin kerusakan laut yang pernah menimpa kawasan laut pulau
seberang, menimpa mereka.
Apa lagi mereka sama-sama tahu, masyarakat
kota dimana mereka tinggal adalah
masyarakat yang sangat tergantung dengan hasil laut. Di mana ikan adalah makanan utama yang tidak
bisa dilepas-pisahkan dari pada kehidupan mereka. Ikan, sudah menjadi makanan
utama yang telah membudaya sejak dulu kala. Di olah menjadi pelbagai jenis masakan
dan diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi.
Akhirnya, Saleh, Misno dan
kawan-kawannya memutuskan untuk bertemu
dengan pemerintah kota. Mereka sepakat menuntut pemerintah kota untuk menghentikan
pembangunan pabrik ikan. Mereka berencana mengajak seluruh nelayan, pedagang
ikan dan seluruh pekerja di pasar ikan untuk bergabung bersama.
Mereka akan berusaha meyakinkan
pemerintah kota tentang bahaya keberadaan pabrik ikan. Terlebih, keberadaan
pabrik ikan itu ditengarai belum di sertai oleh uji analisis dampak lingkungan
yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu sebelum pembangunan dimulai.
Padahal, pembangunan pabrik ikan sudah berlangsung,
yang diawali dengan penggusuran kampung nelayan.
Selain itu, pembangunan pabrik ikan juga
di duga menyalahi rancangan tata ruang dan wilayah kota. Sebagaimana yang dimiliki
oleh Misno dan kawan-kawannya. Rupanya, di dalam dokumen tersebut tidak ada sama
sekali rancangan pembangunan pabrik ikan di kawasan kota. Mengingat
infrastruktur kota belum siap dan mendukung keberadaan pabrik dengan produksi
berskala besar itu.
Adanya pelbagai masalah itu membuat
Saleh, Misno dan kawan-kawannya yakin, tuntutan mereka akan didengar pemerintah.
Meski pun sebelumnya Misno dan kawan-kawannya menduga pemerintah kota secara
diam-diam telah menandatangani kontrak perizinan pendirian pabrik dengan
pengelola pabrik tanpa sepengetahuan warga kota. Kini, Saleh, Misno dan para nelayan di pasar ikan hanya berharap
semoga pemerintah kota mendengar tuntutan mereka dan menyelamatkan masa depan ekosistem
laut mereka. Hanya satu harapan mereka: “Jangan jual laut kami.”
* Pernah dibukukan
dalam antologi cerpen Jangan Jual Laut
Kami oleh Kantor Bahasa Maluku Utara pada 2015.
Komentar
Posting Komentar