YANG SEHARUSNYA TERTINGGAL KETIKA HARI KEMENANGAN TELAH PERGI




Oleh Zulfikhar
Aktivis KAMMI Wilayah Maluku Utara

Kita semua menyadari bahwa hari-hari ini adalah momentum paling penting dan suci bagi umat Islam di seluruh dunia. Tidak hanya karena merupakan perayaan hari kemenangan setelah perjuangan melawan hawa nafsu satu bulan lamanya, tapi juga merupakan ajang untuk mempererat tali silaturahmi yang barangkali selama satu tahun belakangan ini sempat terputus oleh berbagai peristiwa yang datang silih berganti. 


Kita semua meyakini, Idul Fitri merupakan titik balik tatkala kesemrawutan merajalela di tengah-tengah masyarakat. Ketika prasangka sebagai instrumen pokoknya memanipulasi kesadaran sembari mengusik relasi kemesraan antara satu sama lain, Idul Fitri menghampiri kita seraya menegur bahwa manusia pada dasarnya adalah bersaudara. “Semua manusia dari Adam, sedangkan Adam itu dari tanah,” kata Rasulullah di tengah berlangsungnya peristiwa pembebasan kota Mekkah (Fathu Mekkah). 

Pembebasan Kota Mekkah yang dipimpin Rasulullah pada 630 M (8 Hijriah) dicatat sejarah sebagai salah satu momentum kesuksesan perlawanan yang diawali dari modal sosial yang tidak seberapa. Sekaligus fondasi awal bagi perjalanan sejarah umat Islam berikutnya sebab dari sinilah kebangkitan peradaban Islam dimulai dan terus berjaya hingga berabad-abad kemudian. 

Sikap Rasulullah dalam peristiwa ini mengajarkan pada kita bahwa sekalipun kemenangan telah sukses diraih, tatkala musuh telah tersungkur jatuh tak berdaya, selalu ada pemaafan. Tak ada kata terlambat untuk berkomitmen setia pada kebenaran. Sebagaimana ketika Rasululllah memaafkan Abu Sufyan yang selama ini memeranginya. Abu Sufyan bahkan dimuliakan dengan menjamin warga Mekkah yang berlindung di rumahnya aman dari gangguan tentara Madinah. Sementara itu, Rasulullah juga mengampuni Wahsyi bin Harb pembunuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib. Suatu keputusan paling berat dan agak mustahil dilakukan oleh manusia biasa. 

Di sini kita diajarkan bahwa pemaafan adalah sesuatu yang mungkin. Setinggi-tingginya kesalahan dilakukan, ada penebusan yang terbuka untuk dikabulkan. Walau pun, peristiwa itu juga mengorbankan warga Quraisy tatkala turun perintah dari Rasulullah kepada para sahabat untuk mengeksekusi sepuluh orang yang dianggap memiliki kesalahan besar. Kendati sekali lagi, sebagian dari mereka masih Rasulullah maafkan. (Al-Ghadban, 2008). Memang, memaafkan sangat mulia, tetapi keadilan mesti ditegakkan. “Dan berlaku adillah, sesungguhnya adil itu lebih dekat pada takwa” (QS. 5: 8). 

Maka, momentum Pembebasan Mekkah yang kita rayakan sebagai Hari Raya Idul Fitri, seyogianya menauladani sikap Rasulullah waktu itu. Sikap saling memaafkan sepatutnya diejawantahkan sebagai nilai sosial yang hidup di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Bukan sekedar sebagai ritualitas tahunan yang hanya berlaku beberapa hari saja. Sementara demi meramaikannya, selalu dihiasi dengan simbol-simbol yang bersifat materialistik seperti; harus berbusana baru dan perilaku serba konsumtif. 

Pelajaran penting lain yang juga patut ditauladani adalah momentum pembebasan. Yakni membebaskan manusia dari penghambaan kepada materi, baik yang berwujud metafisik (baca: Berhala), beralih kepada penghambaan kepada Allah SWT. Dan penghambaan fisik, yang menyasar pada fenomena penghambaan sekaligus pelanggengan kepada kekuasaan tirani penguasa dan konglomerat Mekkah waktu itu dalam menghadang kerja-kerja dakwah Rasulullah. Ditarik dari kondisi kekinian hari ini, hal ini tercermin dalam praktek-praktek pembiaran pemerintah daerah, terhadap permasalahan agraria yang mengorbankan rakyat kecil, semisal di Gane. Atau masalah kelangkaan air bersih di Kota Ternate dan sejumlah skandal korupsi beberapa mantan kepala daerah dimana berbagai upaya penghukumannya sedang mengalami ketidakpastian. 

Idul Fitri sebagai hari kemenangan umat Islam seyogianya dapat menjadi pelecut moral sekaligus political will para pemimpin daerah untuk segera berbenah. Seraya memaknai, di satu sisi kedudukannya sebagai momentum pemaafan, serta di sisi lain sebagai momentum pembebasan terhadap praktek-praktek kejahiliyahan yang masih tersisa. Semoga pancaran cahaya Mekkah (Nur Mekkah) di masa itu dapat menjadi motor perubahan bagi daerah ini ke depan. Amin ya rabbal alamin. 

Kalumata, 5 Juli 2016  


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*