Kekeliruan Empat Pilar
Oleh: Zulfikhar
Saya terperanjat ketika mendengar pernyataan Cak Nun
dalam pengajian Mocopat Syafaat tadi malam. Tepatnya, komentarnya tentang empat
pilar negara kita. Ia mengatakan, empat pilar adalah fondasi bernegara yang
keliru. Mengapa? Karena, empat pilar yang tersusun dari Pancasila, UUD 45,
Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, sebenarnya, tidak tepat disebut empat pilar.
Karena terdiri dari satu pilar saja.
Empat pilar (tiang) negara itu ibarat tubuh manusia. Terdiri mulai tubuh manusia, tangan,
kaki dan mulut. Tetapi keempatnya tidak bisa dibagi. Karena merupakan bagian
dari substansi yang satu: tubuh manusia. Bukannya mata itu bagian dari manusia?
Begitu pula kaki dan tangan?
Seharusnya yang dimaknai empat pilar itu adalah susunan
empat tiang yang menopang negara. Empat tiang yang memiliki fungsi dan tugas
yang berbeda supaya bisa saling mengisi dan melengkapi. Ibarat filosofi
bangunan rumah Islam yang berpondasi aqidah dan ibadah, bertiang shalat dan
beratap dakwah dan jihad. Bukan seperti itu kan?
Nah, kalau kita selidiki lebih dalam, ternyata empat
pilar itu hanya penjabaran dari satu pilar: Pancasila. Saya sebut pilar pusat.
Sedangkan, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI adalah maksud dan tujuan dari
Pancasila itu sendiri. Saya sebut pilar perifer.
NKRI kalau kita telisik, sebenarnya adalah format negara
ideal yang dicita-citakan oleh para founding
father kita melalui Pancasila. Bentuk negara yang meniscayakan persatuan
dan harmonisasi diantara masyarakat Indonesia yang plural. Kenapa harus NKRI?
Supaya perbedaan suku, agama, ras dan bahasa, bisa dipersatukan. Supaya hasrat
untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk
menjaga ketertiban dunia tercapai.
Bhinneka Tunggal Ika adalah karakter ideal dari masyarakat
Indonesia. Karena mustahil negara yang plural dibangun dari rakyat yang
berpikir dan berkehendak tunggal, homogen, apalagi anti pluralitas. Maka, mind set rakyat harus diluruskan, dijernihkan
dan dibangun kesadaran pluralitas. Meskipun definisi negara-bangsa di Indonesia
sebenarnya muncul dari komunitas tak terbayang, menurut tesis dari Benedict
Anderson. Yaitu komunitas yang semula tidak berencana hidup dalam negara ,
bahasa dan kebangsaan yang sama.
Sedangkan, UUD 45 adalah pranata kebangsaan kita. Hidup
berbangsa dan bernegara agar lurus dan sesuai dengan Pancasila, harus mengikuti
tata nilai yang diatur oleh negara. Karena tujuan Pancasila untuk menyatukan
keberagaman dalam negara serta pemikiran dan cita-cita bersama, maka rakyat Indonesia
harus paham dan patuh pada UUD 45. Rakyat harus mengerti urgensi dari
konstitusi tersebut. Sehingga, rakyat sejak SD sampai Perguruan Tinggi, dididik
dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Sedangkan untuk mengenal dan cinta
kepada Pancasila, diajarkan pendidikan Pancasila. Kalau di masyarakat, dulu disebut
Penataran P4.
Lima Pilar Bernegara
Jadi, empat pilar yang selama ini kita kenal sebenarnya
hanyalah satu pilar saja. Yaitu Pancasila, dasar negara kita. Di dalam
Pancasila, gagasan tentang tiga pilar yang lain sudah ada. Bhinneka Tunggal Ika
dan NKRI diwakili sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sedangkan, empat sila yang
lain mewakili gagasan dari UUD 45. Yaitu, tujuan yang termuat dalam Preambule.
Sehingga, lima pilar sesungguhnya merupakan landasan bernegara yang keliru.
Karena tidak menjelaskan fondasi bernegara yang baru, alih-alih malah mengulang
intisari dari Pancasila itu sendiri.
Dalam pengajian Maiyyah tadi malam, Cak Nun lantas menawarkan tesis baru. Setelah
beberapa saat mengkritik filsafat dari empat pilar itu, ia menawarkan konsep
lima pilar. Yang terdiri dari; rakyat, militer, intelektual, budayawan dan agamawan.
Mengapa harus lima pilar? Lebih terlihat sebagai perwakilan
dari kelompok-kelompok dalam rakyat ketimbang sebuah konsep bernegara? Karena,
lima pilar itulah yang sebenarnya berperan sebagai pilarnya negara. Para
teknokrat dari berbagai sektor-sektor kehidupan. Itulah pilar yang sebenarnya.
Kita bisa lihat, peran –saya sebut- para teknokrat itu .
dalam sejarah bangsa kita. Jangan lupa, kemerdekaan Indonesia bukan saja karya
dari para pejuang (militer) dan kaum founding
father (intelektual), seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain.
Tetapi juga oleh peran para kyai dan ulama, seperti KH Hasyim Asyari –keputusan
Revolusi Jihad, Haji Imam Bonjol dan lain-lain.
Soekarno pernah memperkenalkan konsep ‘Tri Sakti’. Yaitu:
berdaulat dalam berpolitik, mandiri dalam ekonomi serta berkepribadian dalam
budaya. Kita semua tahu dan sadar, bahwa politik dan ekonomi kita sekarang menganaktirikan
bangsa sendiri. Budaya kita pun dirongrong oleh gaya hidup materialistis.
Padahal, kalau kita mau jujur, sebenarnya bangsa Indonesia seharusnya tidak seperti
itu.
Sebenarnya, budaya bangsa Indoensia adalah keberpihakan
kepada kemanusiaan dan kesederhanaan. Kita adalah bangsa yang dikenal dengan
filsafat sosialnya: gotong-royong. Kenapa gotong-royong? Bukan individualisme
seperti di Barat? Karena sejak dulu kita terbiasa hidup dalam kebersamaan.
Memikul beban dan nasib yang cenderung sama. Berbudaya dan beragama yang
relatif sama. Oleh karena itu, keadaan tersebut pada akhirnya mendorong kita untuk
saling tolong-menolong. Sehingga, muncul keberpihakan kultural yang selanjutnya
terbangun menjadi budaya.
Nah, disinilah sebenarnya kunci utama untuk menangkal
pengaruh dari luar. Kalau kita mau hidup rukun dan sejahtera seperti dulu, maka
gotong-royong niscaya menjadi budaya yang selalu dipertahankan. Kalau mau hidup makmur, maka kita harus cinta
kepada produk anak bangsa, bukan asing. Disinilah peran budayawan menjadi
penting. Menyadarkan rakyat tentang keberadaan dan fungsi sosialnya. Makanya, Rendra,
Cak Nun dan budayawan-budayawan yang lain mempunyai pengaruh signifikan dalam
kebudayaan moderen kita saat ini. Ketika, pesan-pesan mereka didengarkan dan dipercaya oleh rakyat, maka perubahan
terjadilah.
Saya pikir –dan sepakat dengan Cak Nun- lima pilar inilah
yang mesti dibangun oleh bangsa ini. Kelima aktor tersebut harus berada dalam konstelasi
kebangsaan yang setara. Saling kerja-sama, melengkapi dalam harmonisasi yang
abadi. Sehingga, tidak ada lagi dalam sejarah, militer berkuasa dan mendirikan
negara fasis, atau agamawan –seperti di belahan dunia lain- yang berkuasa dan mendirikan
negara teokrasi. Lima pilar itulah yang mewujudkan maksud dan tujuan Pancasila serta
demokrasi kerakyatan yang bangsa ini cita-citakan.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Jadan, 18 September 2013
Komentar
Posting Komentar