Tentang Kiri


Atheis, kira-kira mungkin inilah hipotesis yang barangkali akan orang-orang stigmakan atau sebut kepada seseorang yang mempertanyakan keberadaan Tuhan. Mengapa disebut Atheis? Mungkin menurut kebanyakan orang, karena berani mempertanyakan keberadaan Tuhan. Tetapi bukankah seharusnya stereotip seperti itu ditempatkan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan?
 

Bukankah mempertanyakan Tuhan adalah penyelidikan terhadap keyakinan manusia itu sendiri selama berabad-abad? Memastikan, apakah benar hal itu merupakan naluri –dalam Islam disebut fitrah- dasar manusia yang disebut-sebut sebagai makhluk bertuhan. Meskipun saya adalah orang yang percaya dengan keberadaan Tuhan?

Nah, disinilah kira-kira kekeliruan stereotip masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, terhadap istilah ‘kiri’ ditempatkan. Kiri yang sejak masa Orde Baru berkuasa begitu ditakuti, dijauhi, dilarang karena peristiwa-peristiwa kontroversial dan subversi yang diyakini berada dibalik tanggungjawabnya. Mengapa dimusuhi? Karena orang kiri kebanyakan atheis, membunuh para ulama dan orang-orang beragama. 

 
Pendeknya, kiri diasosiasikan dengan sekelompok orang atau gerakan politik yang atheis. Nah, disinilah akar penjabaran dari tulisan ini. Saya hendak untuk mendiskursuskan kembali tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan kiri, mengapa mereka hadir dan tujuan mereka hadir agar tidak ada lagi multitafsir.

Apa itu Kiri?
Kiri dinamakan kepada sekelompok orang yang dulu –sebelum pecah peristiwa G/30/S- berafiliasi politik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Atau dengan ormas-ormas yang memiliki hubungan dengan PKI, secara langsung atau tidak langsung. Tetapi, dengan semakin berkembangnya zaman dan tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia, istilah kiri mulai dipahami lebih luas. Artinya, kiri sudah menjadi istilah politik yang tidak lagi selalu komunis an sich. Kiri semakin banyak variannya dan berafiliasi dengan partai-partai nasionalis -terutama dilihat dari peristiwa hijrahnya tokoh-tokohnya- seperti PDIP, Golkar, PBR dan beberapa partai kecil lainnya. 
 
Secara akademis, kiri diorientasikan kepada kelompok orang yang berpikiran komunis dan sosialis. Karakter mereka kritis, antikemapanan, berpikir progresif, dan mengandaikan kehidupan sosial yang setara tanpa kelas. 
 
Oleh karenanya kaum kiri menentang segala bentuk kelas sosial yang memarginalisasikan kaum miskin kota, buruh, dan petani. Khususnya kaum kaya yang tidak peduli dengan wabah kemiskinan (borjuis) yang terjadi disekelilingnya. Pun kalau mereka peduli, kaum proletar yang dipekerjakan di pabrik, kantor, atau lembaga-lembaga milik mereka, tidak terjamin kesejahteraan hidupnya dan ekspektasi meningkatnya kekayaan milik proletar tetap menjadi utopia. 
 
Kiri menurut sejarah mulai dibicarakan pasca terjadinya revolusi di Prancis tahun 1789. Tepatnya di dalam parlemen Prancis terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang duduk di sebelah kanan kursi ketua dewan dan yang terakhir, kaum radikal Jacobin, yang duduk di sebelah kiri. 
 
Di dalam parlemen kaum Jacobin terlampau sering melakukan kritik dan berseberangan anggota parlemen yang lain. Gagasan politik mereka diuraikan terlampau progresif. Sehingga, dari sinilah istilah kiri mulai popular sebagai orang-orang yang radikal, kritis dan berpikir progresif.

Maka, kiri semula sebenarnya merupakan istilah akademis ketimbang ideologis. Digunakan untuk membedakannya dengan kelompok kanan yang mengandaikan status quo, kapitalisme, monopoli, masyarakat kelas, dan lain-lain.

Kiri dan Marxisme
Kiri pada era sebelum kedatangan Karl Marx adalah orang-orang yang relatif percaya kepada Tuhan, meskipun umumnya mereka menempatkan urusan religius dalam lingkungan privat (sekulerisme). Sehingga, diskursus tentang agama tidak banyak mendapat tempat dalam kelompok ini. Sebaliknya, diskursus tentang demokrasi, republik, dan kesejahteraan ekonomi mendapat tempat yang lebih primer dari yang lain.

Segera kondisi ini berubah setelah Marx hadir. Khususnya, ketika ia mulai mengenal kiri saat datang ke Prancis. Melalui Proudhon dan kaum kiri di Prancis, Marx akhirnya terinspirasi dengan gerakan ini dan memutuskan untuk bergabung.

Ketertarikan Marx terhadap gerakan kiri membuatnya banyak menulis pendapatnya tentang kiri, terutama konsepsi ideologi kiri. Sehingga lahirlah Ideologi Jerman dan Manifesto Partai Komunis. Dua buku pertamanya yang ditulis bersama sahabat karibnya, Friedrich Engels. 
 
Dalam Ideologi Jerman, Marx mengkritik pendapat filsuf yang dikaguminya, Ludwig Feurbach. Kritiknya berpusat pada filsafat Feurbach yang cenderung lebih teoritis daripada praktis. Menurut Marx, filsafat yang hanya berada dalam alam teori tidak akan merubah apapun. Sehingga, ia berobsesi untuk menciptakan filsafat yang memiliki pengaruh ke dalam realitas. Maka lahirlah filsafatnya yang terkenal, materialisme historis.

Materialisme historis adalah sebuah filsafat yang menguraikan tentang perkembangan sejarah manusia. Sejarah manusia selalu berpusat dan ditentukan oleh materi. Materi disini adalah kerja dan tindakan manusia. Dalam hal ini adalah tindakan ekonomi. Seperti; produksi, distribusi dan konsumsi. Singkatnya aktivitas kerja (ekonomi), yang dilakukan manusia adalah sebab dari terjadinya sejarah. 
 
Misalnya, mengapa dalam sejarah manusia, sebuah negara atau bangsa selalu dipimpin oleh para hartawan, bangsawan dan saudagar? Karena kapasitas produksi mereka lebih besar. Pekerjaan mereka mendapatkan profit yang lebih daripada rakyat biasa. Mereka mempunyai pabrik dan pekerjanya adalah rakyat biasa. Sehingga, merekalah yang pantas memimpin Negara. Mengapa? Karena memang merekalah yang menciptakan negara. Semata-mata untuk melindungi kepentingan kelas mereka. 
 
Jadi, konsep materialisme historis bukanlah filsafat yang dipahami banyak orang bahwa marxisme bertumpu kepada filsafat materialisme yang mengandaikan pusat manusia adalah materi sebagai benda yang dapat dijamah dan diindera seperti uang, harta dan manusia itu sendiri. Sehingga, akhirnya meniadakan keberadaan Tuhan yang berwujud immateri. 
 
Agama adalah Candu?
Marx dalam bukunya, Kritik kepada Filsafat Kebenaran Hegel, mengatakan, “agama adalah candu rakyat”. Kenapa ia menuliskan hal tersebut? Karena ia tidak percaya dengan filsafat Hegel yang mengatakan bahwa dibalik eksistensi manusia selalu ada pengawasan dari roh absolut (Tuhan). Lalu mengapa disebut candu? Begini penjelasannya.

Kaum kiri tidak semuanya adalah orang-orang yang atheis. Kembali lagi ke pembahasan diatas, karena tidak semua dari mereka adalah komunis -karena seorang komunis sudah dapat dipastikan ia pasti atheis. Mereka hanya tidak konsen kepada persoalan-persoalan agama yang menurut mereka tidak lebih penting daripada persoalan ekonomi yang berkaitan erat dengan kesejahteraan rakyat. 
 
Marx dulu berpikir, kenapa kaum proletar (buruh, petani) hanya pasrah dengan keadaan ekonomi mereka yang timpang? Bekerja membanting tulang di pabrik dan sawah tetapi hanya mendapat upah yang kecil. Jangankan punya biaya untuk menyekolahkan anak, untuk makan saja sudah sulit. Padahal, sebenarnya jika dikalkulasi secara matematis dan emansipatif, seharusnya upah mereka lebih banyak dari yang diterima. Apalagi jam kerja yang diatur pengusaha (borjuis) saat itu diatas 8 jam. 
 
Kaum proletar setiap harinya hanya menjadi orang-orang yang penyabar, ikhlas dan pasrah dengan keadaan mereka yang tidak adil. Jean Baudrillard menyebutnya, ‘manusia fatalis’. Manusia yang menerima keadaan diri apa adanya tanpa upaya untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Rupanya, menurut Marx, kepasrahan kaum proletar dapat terjadi karena mereka adalah orang-orang yang percaya dengan Tuhan, orang-orang yang beragama.

Menurut Marx, agama rupanya membuat manusia menjadi fatalis. Menjadikan para pemeluknya pasrah dan menerima dengan ikhlas keadaan mereka sebagai takdir dari Tuhan. Kaum proletar sadar bahwa agama mengajarkan hidup di dunia penuh ujian dan cobaan. Sehingga, harus dilewati dan diterima dengan ikhlas supaya mendatangkan pahala dan meraih surga. 
 
Nah, disinilah kritik Marx muncul terhadap agama. Ajaran agama membuat kaum proletar tidak mempunyai spirit revolusioner yang dibutuhkan untuk melakukan pembebasan. Agama sebagai tempat pelarian dari kehidupan dunia yang kejam dan jahat. Sebagai rumah kaum proletar untuk mengadu dan berdoa. Kata Marx, “agama adalah keluhan makhluk tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah roh zaman yang tanpa roh.” Sehingga, kaum proletar mengalami ekstase karena terlampau terbiasa pasrah terhadap ujian dari Tuhan, sehingga tidak lagi peduli dengan nasib masa depan mereka.

Maka dari sinilah Marx akhirnya menyimpulkan bahwa agama itu adalah candu. Sesuatu yang mempengaruhi manusia untuk tidak melawan penindasan kaum borjuis. Ajaran yang membawa kaum proletar untuk menjauhi revolusi sebagai alat perjuangan marxisme. Akhirnya, menghambat pencapaian melahirkan masyarakat komunis yang tanpa kelas.
Kaum kiri percaya bahwa kritik Marx terhadap agama merupakan kunci untuk melakukan revolusi. Agama sebagai candu adalah dasar untuk menumbuhkan spirit melawan penindasan kaum borjuis. Sehingga, wajar dalam Negara komunis agama dipinggirkan dari ruang publik. Bahkan, ada beberapa Negara komunis yang melarang rakyatnya untuk beragama. 
 
Tetapi, umumnya di negara-negara komunis masih banyak orang-orang yang menjalankan aktivitas keagamaan. Di Kuba dan Cina misalnya, orang-orang Kristen dan Islam bisa melaksanakan ibadah dengan baik. Mereka diizinkan untuk membangun rumah ibadah. Begitu juga di Russia, terdapat masjid besar yang dibangun oleh komunitas muslim disana.
Maka kaum kiri sebenarnya tidak melarang keberadaan agama. Karena Marx tidak pernah menulis bahwa agama harus dilarang dan disingkirkan dari negara. Meskipun, kemudian banyak tafsir dari para kiri revisionis yang berijtihad untuk menghabisi agama, karena bertentangan dengan semangat revolusi proletar. Seperti pada revolusi PKI tahun 1948 di Madiun dan beberapa daerah di Jawa. 
 
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq


Jadan, 1 September 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*