Ceroboh
Di siang yang panas
menderu sebuah motor RX King dengan kencang. Bunyinya nyaring menyesakkan
telinga. Asap putih putus-putus melompat-lompat dari knalpot. Asap putih itu
menyapu badan jalan seperti kabut malam hutan yang ditabrak kendaraan di musim hujan.
Motor itu kelihatan lincah menerobos dan menyalib kendaraan-kendaraan yang
lain. Mirip dengan aliran air hujan yang bermanuver melalui bebatuan di kali
mati.
RX King itu melaju dari
Utara ke Selatan. Dikendarai oleh seorang remaja dengan helm merah. Dipacu
kira-kira 120 km/jam. Dengan kecepatan seperti itu, remaja itu kelihatan seperti
raja jalanan. Aksinya itu seolah-olah menyiratkan pengendara selain dirinya adalah
rakyat jalanan. Sesekali ia melakukan manuver-manuver berbahaya tapi apik kalau
diperhatikan. Seperti manuver Nicholas Cage dalam film Ghost Rider.
Deru motor dipacu tanpa
mengindahkan rambu-rambu di jalan. Lampu merah ia terobos. Beberapa penyeberang
jalan hampir tersambar setir. Ia tadi hampir saja menyenggol kaca spion Avanza
hitam. Tidak heran, hampir di setiap lampu merah remaja itu diumpat para
pengguna jalan. Meskipun kendaraan dari arah berlawanan sudah berjalan, remaja
itu tetap menerobos dengan kecepatan sama.
Remaja
itu hanya tersenyum melihat ulahnya. Rasa masa bodoh memenuhi batok kepalanya.
“Memangnya apa peduliku dengan aturan-aturan itu?” Katanya mencibir. Ia muak
dengan aturan jalanan yang mengganggu manuver khas Bikers Moto GP itu. Ia ingin
mengendara sebebas mungkin. Ia ingin bebas seperti burung di udara.
Polisi yang mengawas di
sudut jalan ia acuhkan. Ia hanya tersenyum membalas wajah-wajah mereka yang
kusut. Baginya polisi-polisi itu hanya patung polisi atau mungkin polisi tidur
yang terbujur kaku di jalan-jalan perumahan. Rambu-rambu lalu lintas baginya
hanya hukum yang dibuat untuk dilanggar.
Tidak
lama, remaja itu melihat sebuah kios kaki lima yang berdiri tegak di bahu
jalan. Muncul dalam otaknya ide untuk merokok. Meskipun siang itu udara sangat
panas, tampaknya merokok baginya masih kelihatan seksi Sekalian memanas-manasi
orang-orang dijalan yang bermandi terik. Ah, barangkali bergaya dengan rokok
akan membuatku semakin macho. Ujarnya di dalam hati.
Rx King itu berhenti
tepat di depan kios. Tangan kirinya yang kurus menarik kaca helm ke atas. Kedua
matanya awas mengarah ke penjaga kios. Disana seorang kakek sedang duduk di
sebuah kursi kayu di samping kios. Remaja itu tetap duduk di motor. Ia hanya
menggerak-gerakkan tangannya menandakan mau membeli.
“Surya
satu Pak.” Teriaknya memecah kebisingan
lalu lintas yang sibuk.
“Oke.”
Kakek itu menjawab samar-samar. Ia lantas berdiri dan bergegas masuk ke dalam kios.
Mengambil sebungkus rokok, menuruni trotoar dan menghampiri remaja berhelm
merah itu.
“Terima
kasih Pak.” Ia melempar senyuman.
“Ya Dik. Sama-sama.” Kakek
itu meraih beberapa lembar Rupiah dan kembali ke kios.
Sekonyong-konyong
sebuah motor matic meluncur dari Utara. Matik itu berlari dengan sangat cepat
dan berhenti persis di muka RX King yang sudah menderu keras, siap kembali ke
jalan. Pria pengendara matic membentangkan tangan kanannya ke kanan. Tangan itu
melambai naik turun. Mirip sebuah isyarat. Ya, itu memang isyarat untuk
berhenti.
Pria berhelm cokelat
turun dari matic. Riben hitam mengapit batang hidungnya. Senyuman memancar dari
mulutnya yang dipenuhi rambut. Pria itu menggunakan rompi berbelang. Ada
selarik nama menempel di punggung rompi itu. Ya, ia seorang polisi. Polisi lalu
lintas. Sejak tadi tampaknya ia memang memburu remaja pengendara RX King.
“Selamat siang Dik.” Sapa
polisi itu memberi hormat.
Remaja itu hanya
mengangguk kebingungan. Mulutnya mengatup rapat. Ia diam seribu bahasa.
“Bisa lihat SIM nya?”
Tanya polisi itu ramah.
Remaja itu panik. Ritme
nafasnya menderu-deru seperti deru motor di jalan tadi. Ia tidak menyangka
sedang dibuntuti. Tidak biasanya polisi mampu menyusulnya. Dalam hati ia ingin
secepatnya masalah itu berlalu.
“Bisa lihat SIMnya Dik?!”
Polisi itu mengulang pertanyaan dengan lebih tegas. Tangan kirinya masuk ke
saku mengambil ponsel yang sedang berbunyi. Ponsel itu diapit ke telinga
kirinya.
“Iiiya Pak. Sebentar.” Remaja
itu merogoh saku belakang jeansnya. Dompet dibuka, SIM diserahkan.
“Baik. Terima kasih.”
Respon polisi ramah.
“Ok. STNK nya?” kata polisi yang masih sibuk
dengan ponselnya. Ia tertawa sendiri asik dengan suara di balik telepon itu.
Remaja itu menggerutu.
Kepalanya serasa ditiban tangga. Ia sadar tidak membawa STNK. Karena motor itu
memang tidak punya. RX King itu motor curian. Bingung bercampur kesal mengaduk
dalam batok kepalanya. Selintas ia berpikir untuk kabur saja. Motor itu sudah
pasti akan diangkut. Tetapi, ia berpikir untuk beralasan saja. Semoga dapat
membantunya untuk kabur. Kembali dompet itu ia aduk-aduk. Menyisir semua laci
disitu.
“Aduh. Maaf Pak. STNK nya ketinggalan. Padahal saya tadi
yakin sudah disini.” Tunjukkan pada benda hitam itu. Ia menggerutu sambil mengusap-usap
tengkuknya.
“Kamu yakin lupa di
rumah?”
“Iya Pak. Benar.
Sumpah!” tangan kanannya diangkat membetuk huruf L.
“Kamu rumahnya dimana?”
“Rumah saya di dalam
gang itu Pak.” Remaja itu menunjuk gang sempit yang berdiri tidak jauh di
seberang jalan.
“Bagaimana kalau Bapak
tunggu sebentar? Saya ambilkan dulu di
rumah. Tidak jauh kok rumah saya Pak.” Ia mecoba melobi.
Polisi itu
menimbang-nimbang. Apa anak ini bisa dipercaya? Bukankah tingkahnya sudah
terbongkar sejak awal. Apakah orang berbahaya seperti dia bisa dipercaya?
Jangan-jangan ia mencoba menipu saya. Ah, saya tidak akan termakan bualan kuno
seperti itu.
“Baik jangan lama-lama
ya?” kata polisi itu mengangguk dingin.
“Baik Pak. Tunggu
sebentar.” Wajah remaja itu sumringah. Ia bergegas akan menyeberang. Kopling
dilepas pelan-pelan.
“Tunggu Dik. SIM kamu
saya pegang.” Wajah remaja itu lantas berubah kusut. Sambil memelas ia memohon.
“Ah, janganlah Pak?
Saya kan tidak lama? Bapak tidak perlu khawatir.”
“Ya saya percaya sama
kamu. Tapi percaya tidak mesti ceroboh kan?”
“I, iya baik Pak!” Jawabnya
kesal.
Remaja itu kesal
setengah mati. Ia sadar, kalau terus beralasan polisi itu pasti curiga. Ia
memutar otak bagaimana cara mendapatkan STNK itu. Padahal motor itu baru dicuri
dua hari yang lalu. Kalau ketahuan teman-temannya bisa diciduk semuanya.
Berakhirlah sejarah mereka.
Mesin motor dinyalakan.
Dengan hati-hati ia menyebrangi jalan. Tampak dari jauh RX King itu masuk ke
dalam gang. Sedang polisi itu menunggu. Terik mentari menusuk kepalanya. Ia pun
turun dari motor dan menyulut rokoknya. Kemudian bergegas naik ke kios. Mengobrol
dengan kakek penjaga kios.
“Siang Pak.” Kakek
penjaga kios menyapa dari dalam kios. Polisi itu hanya mengangguk dan tersenyum
sambil melangkahkan kakinya membelah trotoar. Kepalanya menggeleng kanan dan
kiri mengawasi. Ia berhenti dan duduk di kursi kayu yang menganggur di samping
kios.
“Sendirian Pak?”
tanyanya kepada penjaga kios.
“Iya. Pak. Isteri saya
sakit di rumah.”
“Oh. Maafkan saya Pak”
“Ya, tidak apa-apa.”
Jawab kakek tabah.
“O ya, tadi menilang Pak?”
“Itu anak kurang ajar
Pak. Beberapa kali hampir menabrak orang. Lampu merah diterobos. Untuk tidak
sampai kecelakaan. Makanya saya kejar.” Asap putih keluar dan masuk ke hidung
lalu menyembur tipis lurus keluar mulut.
“Wah, bahaya itu Pak.
Terus kenapa dibiarkan pergi?”
“Dia tidak bawa STNK
dan menawarkan mengambil. Katanya rumahnya dalam gang itu.” Polisi menunjuk ke
arah gang di seberang jalan.
“Benar begitu Pak?”
Kakek itu semakin memburu.
“Ya, kira-kira begitu.”
Suara polisi datar. Ia tampak asyik menikmati tuhan tujuh senti itu.
“Kok aneh ya? Saya
belum pernah bertemu anak itu di sekitar sini. Warga disini juga jarang ada yang
punya RX King.” Kakek mengernyitkan dahi. Ia gamang.
“Bapak memang tinggal
disini?”
“Ya Pak. Sudah tiga
puluh tahun.”
Polisi itu membuka
kacamatanya. Batang rokoknya yang baru habis setengah ditimpa ke kaki kursi. Kelopak
matanya melebar mengarah ke penjaga kios.
“Bapak yakin?” Tanya
polisi itu penasaran sambil menyemburkan asap terakhirnya.
“Maksud Bapak?” Tanya
kakek itu balik.
“O iya. Pastinya. Saya
pikir begitu.” Jawab kakek itu yakin.
Polisi itu bergegas merogoh
dompetnya. Ia mengambil sebuah kartu berwarna putih yang terselip rapi, SIM
remaja itu. Ia amati kartu itu baik-baik. Sesekali ia bolak-balik. Foto disitu
diperhatikan dengan jeli. Mataya terbelalak, tulang rahangya mengapit kentara seperti
insang ikan. Air mukanya tampak mengalirkan penyesalan.
“Astaga. Ini kan bukan
foto dia?” Suara polisi mengeras.
“Ah sial! Brengsek. Salah.”
Teriaknya mengumpat.
Kakek penjaga kios lantas
terparanjat. Ia memperhatikan tingkah
laku polisi itu dengan bingung. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Kenapa ia tiba-tiba marah. Apakah polisi itu lalai? Tanyanya dalam hati.
Polisi itu lantas
terdiam. Dia menyesal sejadi-jadinya. Dalam hati ia bertanya-tanya, bukankah
tadi SIM itu sudah saya perhatikan dengan baik? Tapi kenapa fotonya tiba-tiba
berbeda ya? Apakah tadi saya tidak membanding baik-baik dengan wajah anak itu
ya? Waduh, gawat kalau sampai ketahuan kesatuan. Ah, sial. Saya harus
mengejarnya sekarang.
Polisi itu lantas
berdiri, berlari menuju maticnya. Kakek yang sejak tadi duduk menemaninya diacuhkan.
Matic putih berjalan kencang membelah jalan yang tiba-tiba lengang. Tidak lama polisi
itu sudah menghilang ke dalam gang.
Jadan, 14 November 2013
Komentar
Posting Komentar