Reideologisasi Madrasah KAMMI




Oleh Zulfikhar[1]

Pendahuluan 

Kalau kita mencoba mengamati perubahan besar yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia, kita akan melihat betapa perubahan tersebut berlangsung dengan dari sebuah gerakan yang terstruktur dan kokoh. Gerakan tersebut tidak saja terburu-buru hendak berhasrat untuk melakukan perubahan, tetapi lebih dahulu membenahi internal gerakan mereka sehingga perubahan itu terjadi dengan sendirinya.

Gerakan Komunis di seluruh dunia barangkali bisa menjadi salah satu contoh dari fenomena tersebut. Revolusi kaum Bolsheviks yang berhasil menumbangkan monarki Tsar Nicholas bisa dikatakan bentuk dari keberhasilan gerakan yang sudah berakar sejak beberapa dekade sebelumnya. Revolusi yang sebelumnya dipantik oleh pidato Lenin yang berapi-api itu terakumulasi pada Oktober 1917. Tanpa butuh waktu lama, istana Tsar berhasil diduduki oleh kurang lebih seratus orang Bolshevik, tanpa satu pun darah mereka yang tumpah.

Keberhasilan gerakan  Komunis pada awal abad 20 tersebut bukanlah salah satu contoh sejarah perlawanan yang berhasil di dunia. Sebelumnya berabad-abad yang lalu, Islam sudah lebih dahulu memulainya. 


Kita tahu, dengan membutuhkan waktu lebih dari dua puluh tiga tahun mendidik para sahabat, Nabi Muhammad SAW, nabi terakhir itu, pada akhirnya berhasil memasuki, menaklukkan, pusat peradaban orang-orang Arab di Hijaz: Mekkah. Kendati harus membutuhkan waktu delapan tahun lamanya pasca hijrah ke Madinah[2]. Padahal di masa-masa awal memulai gerakan dakwahnya, tidak terhitung lagi banyaknnya intimidasi psikis dan fisik yang ia dan para sahabatnya alami. Tetapi dengan bermodal keimanan akan janji Allah SWT, revolusi Islam pertama di dunia itu akhirnya tidak bisa dihambat untuk merengkuh kemenangan.

Banyak analisa bermunculan menanggapi keberhasilan-keberhasilan itu. Betapa sungguh merupakan keberhasilan yang tidak terduga dengan kondisi politik yang semula jauh berbeda, faktanya, pada akhirnya sangat mungkin untuk membalik. Pertanyaannya mengapa bisa begitu? Dari sini muncul tiga analisa. Pertama, karena kehancuran rezim pada dirinya sendiri. Kedua, konflik dengan negeri-negeri luar. Dan ketiga, serangan gerakan revolusioner bermodal  ideologi.

Kemenangan gerakan Komunis dan Islam tentu saja memberikan inspirasi bagi KAMMI untuk melakukan hal yang sama: perubahan. Karena kondisi kebangsaan yang mulai demokratis selama dua dekade tereakhir ini belum mampu menunjukkan ekspektasi yang memuaskan. Maka visi untuk menciptakan masyarakat muslim di nusantara terus KAMMI kapitalisasikan. Oleh karena itu, strategi dan taktik (stratak) untuk menjaga gerakan agar eksis dan mendorongnya untuk terus berkembang harus berjalan dengan semangat zaman. 

Bagi KAMMI, langkah menuju visi gerakan mustahil tanpa melalui mekanisme kaderisasi yang mapan. Karena, KAMMI memandang matra (dimensi) ini berada langsung dibawah kepemimpinan –yang direpresentasikan oleh ketua. Sehingga merupakan tugas gerakan yang sangat penting ketimbang yang lain. Karena kaderisasilah yang menyiapkan prakondisi –yaitu kader dan ide- bagi gerakan untuk menopang aksi-aksinya. Misalnya, tidak mungkin sebuah aksi demonstrasi akan berjalan baik tanpa adanya koordinator lapangan (korlap) dan massa aksi yang mensyaratkan aksi itu berjalan. Nah, korlap disini adalah ketua yang memastikan agenda aksi berjalan sesuai rencana, sedangkan demonstrasi itu sendiri adalah gerakan dan massa aksi adalah kuantitas kader. Tidak cukup dengan itu, semua massa aksi sebelum menunaikan tugas-tugas itu, tentunya harus terlebih dahulu mengetahui dengan jelas, dengan penuh kesadaran untuk menjawab mengapa mereka harus mengikuti aksi, manfaatnya dan tujuannya bagi mereka. Begitupun ketika kader nantinya mengartikulasikan keberadaan mereka di KAMMI.

Kedua gerakan diatas mampu menunaikan tujuan gerakannya karena mereka memiliki sarana kaderisasi yang produktif. Maksudnya, di dalam struktur kaderisasi mereka tersimpan instrumen ampuh yang menunjang keberhasilan kaderisasi mereka. Instrumen itu adalah sistem sel. 

Sistem sel beroperasi dengan adanya kelompk-kelompok kecil di dalam gerakan. Kelompok-kelompok ini langsung berada dibawah pengawasan kaderisasi. Sistem sel inilah yang bertugas mengideologisasi gerakan. Mendidik para kader dengan kurikulum yang terpadu agar sadar dengan keberadaan dan fungsi mereka.  Instrumen semacam inilah yang dipakai oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di zaman Soekarno dan di belahan dunia yang lain[3]. Makanya, mengapa kader-kader PKI dikenal sangat militan dalam berjuang tanpa upah.

Di dalam Islam instrumen semacam ini dikenal dengan nama Tarbiyah –meskipun bukan definisi yang baku. Tarbiyah sudah dilakukan sejak Rasulullah memulai dakwahnya di Mekkah. Tarbiyah dilakukan dengan mengumpulkan semua para sahabat yang sudah atau baru masuk Islam untuk belajar bersama tentang Islam. Proses belajar mengajar ini langsung disampaikan oleh Rasulullah. 

Tarbiyah dilakukan di rumah salah satu sahabat yang aman di luar kota Mekkah bernama Arqam bin Abil Arqam Al-Makhzumi[4]. Tarbiyah yang dilakukan di rumah Arqam lebih banyak menonjolkan kepada persoalan aqidah. Hal ini dilakukan Rasulullah agar para sahabat memiliki kekuatan iman (ideologi) untuk menghadapi kaum kafir yang selalu mengintimidasi dan menyiksa mereka setiap saat. 


Seputar Madrasah KAMMI 

 Di KAMMI, sistem sel juga digunakan. Instrumen tersebut di KAMMI dinamakan Madrasah KAMMI (MK). Madrasah KAMMI  adalah sarana kaderisasi bagi seluruh kader yang telah mengikuti Daurah Marhalah (DM), yang dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas kader sesuai dengan IJDK KAMMI. MK diselesaikan minimal selama 8 bulan[5].

MK adalah forum belajar bagi kader Anggota Biasa 1 (AB1) KAMMI untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai gerakan. Di dalam MK secara umum mengkaji materi-materi keislaman. Hal ini dilakukan untuk membentuk karakter islami (syaksiyah islamiyah) pada diri kader untuk membentuk kekuatan mereka untuk bergerak di dalam gerakan. Materi-materi keislaman ini membahas mulai dari persoalan aqidah, ibadah, akhlaq dan sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW. 

Dalam kaderisasi KAMMI, MK mendapat tempat yang sangat penting. Begitu pentingnya MK, sampai-sampai keberhasilan kinerja kaderisasi diukur dari sejauh mana kelompok MK yang dikelola didalamnya berjalan dengan baik hingga selesai. MK bertujuan sebagai sarana ideologisasi gerakan, memperkaya wawasan dan kapasitas keilmuan kader, membentuk kepribadian yang unggul (syaksiyah islamiyah), ukhuwah diantara kader, persiapan menuju jenjang kaderisasi berikutnya dan sarana melahirkan modal sosial bagi gerakan. Kira-kira skemadi dalam MK seperti ilustrasi dibawah ini.

 





 MK bagi KAMMI adalah ruh gerakan, sedangkan struktur KAMMI itu sendiri adalah jasadnya. Jika di dalam sebuah struktur KAMMI, seperti di komisariat, kelompok MK di dalamnya berjalan baik, maka dengan sendirinya kader-kader yang dididik di dalamnya akan mengisi dan memperkuat dinamika gerakan. Mereka dengan penu kesadaran akan bergerak sesuai dengan amanah yang diberikan kepada mereka. Sebaliknya, kalau MK berjalan tersendat-sendat apalagi terhenti, maka akibatnya sudah dapat diprediksikan. Kader-kader yang berada di dalamnya akan perlahan jenuh dengan agenda gerakan. Karena tidak ada alasan yang kuat bagi mereka untuk terus bersama KAMMI. 

MK memang merupakan sumber kekuatan sekaligus kelemahan bagi gerakan.  Bahkan kalaupun KAMMI secara de facto bubar, selama MK masih ada, maka gerakan akan berjalan dengan berbagai cara meskipun dengan mengambil jalan bawah tanah (underground). 

Nah, disinilah sebenarnya urgensi keberadaan MK yang sesungguhnya. Selama ia ada dan mengorganisir KAMMI dari dalam, maka selama itu pula gerakan akan berada pada garis perjuangannya. Disinilah sebenarnya kunci gerakan berada.


MK Sekarang

            MK sejauh pengamatan saya memang selalu memberikan kemudahan bagi gerakan dalam hal mobilisasi. Baik itu mobilisasi dalam konteks mengeksekusi agenda-agenda gerakan maupun dalam membentuk tradisi-tradisi gerakan seperti tradisi diskusi, membaca, akhlaq, bergaul dan kritik. Tetapi sebelum jauh kesitu, ternyata MK menyimpan segudang persoalan pada dirinya yang pada gilirannya membuat KAMMI tidak melulu bisa berharap banyak kepadanya.

Rupanya MK mempunyai kelemahan yang mendasar. Masalah ini selanjutnya mempengaruhi  unsur-unsur penting di dalamnya seperti pemandu dan peserta itu sendiri. Tetapi sebelum jauh masuk kesitu, saya akan sedikit mencoba menguraikan permasalahan apa saja yang dihadapi MK sekarang. 

Pertama, kader kehilangan kesadaran untuk belajar. Hal ini barangkali tidak bisa dihindari. Materi-materi yang terangkum dalam kurikulum faktanya belum bisa dioperasikan dengan baik. Maksudnya, kader banyak belum bisa memahaminya. Sayangnya, ketidakpahaman yang sebenarnya wajar di dalam proses pendidikan itu didiamkan. Meskipun tidak memahami materi, kader seolah-olah berlagak paham dengan tidak bertanya. 

Saya pikir hal itu sedikitnya  bukan kesalahan kader. Meskipun kontribusi dari dari mereka sendiri sangat dibutuhkan. Karena memang dalam zaman yang serba canggih dan enak ini terkadang membuat kader terlena dan jatuh di dalam budaya populer (smartphone, chatting, fashion, games, dll). Hal ini sebenarnya baik berubah buruk karena disikapi berlebihan. Saya pikir tidak saja kader AB1 yang melakukan ini, pengurus KAMMI pun ada dan sudah banyak  yang mulai begitu.

Tren semacam ini saya kira adalah jiwa zaman (zeitgeist) ini. Zaman yang sibernetik dan serba praktis ini membuat manusia terlena dan tenggelam dalam mainstream pengaruhnya yang bisa jadi berbahaya bagi aktivisme gerakan. Dengan mensyaratkan konsumerisme sebagai pelengkapnya, budaya populer seperti ini akan menyita waktu kader untuk belajar dan bergerak. Saya pikir inilah salah satu problem kebudayaan yang menjadi tantangan KAMMI ke depan. Dan hal ini yang akan banyak mengubah tradisi-tradisi di dalam gerakan ke dalam gaya hidup yang cenderung pop dan artifisial (palsu). 

Tren yang melulu konsumerisme itu sudah jauh-jauh hari diramalkan oleh Gramsci sebagai apa ia sebut hegemoni[6]. Hegemoni pada dasarnya bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat menjadi seperti harapan negara. Hal ini karena hegemoni dengan disiplin dan represi –atau yang disibut dominasi- ditolak mentah-mentah oleh masyarakat moderen. Hegemoni tentu saja supaya berhasil beroperasi melalui budaya populer. Karena dengan jalur ini masyarakat yang menjadi obyek negara akan dengan mudah digiring dan dibentuk. Puncak hegemoni akan selesai ketika masyarakat sepakat untuk berada di dalamnya (konsensus). Dan disini akibatnya, negara tidak terkawal dan cenderung untuk subyektif dalam mengambil kebijakan.

Kalau dulu di zaman Soeharto, negara menggunakan dominasi sebagai alat pengubah masyarakat, maka zaman ini hegemonilah alatnya. Sehingga, tidak heran intensitas gerakan mahasiswa untuk kritis berkurang. Mahasiswa secara umum juga emoh dengan persoalan-persoalan sosial dan politik. Karena biaya kuliah yang semakin mahal, absensi perkuliahan yang ketat, standar IPK yang mulai tinggi dan tuntutan orang tua untuk segera lulus. Hal itu semua merupakan hegemoni. Kesadaran manusia moderen saat ini, seperti analisa Al-Fayyadl, adalah ketaksadaran yang terepresi[7].

Kedua, tidak adanya kesadaran kader Anggota Biasa 2 (AB2) untuk memandu. Dari sisi inilah salah satu krisis bagi MK yang paling besar. Tidak mudah memang untuk mengalokasikan waktu untuk mendidik kader. Apalagi agenda gerakan begitu padat. Ditambah lagi dengan kesibukan masing-masing pemandu dengan agenda-agenda pribadinya (belajar, kuliah, dll).

Nah, ternyata kesadaran itu tidak saja dibutuhkan oleh kader KAMMI di dalam MK, rupanya masih banyak kader AB2 yang sebenarnya sudah siap mengelola MK –tetapi dengan berbagai macam hal dan alasan, hal itu tidak mereka laksanakan. Saya sendiri mengalaminya ketika dulu mengikuti proses pengkaderan di komisariat. Akibatnya untuk menambal kekurangan itu, membaca dan berdiskusi mesti digiatkan.

Masalah kedua ini saya pikir banyak menimpa komisariat yang sedikit memiliki stok AB2. Toh bagi komisariat yang memiliki banyak kader AB2 saja terkadang masih mengalami kekurangan. 

Ketiga, tindak lanjut pasca MK. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dimuka, MK dilaksanakan selama delapan bulan. Saya pikir interval waktu tersebut cukup untuk menghabiskan pembahasan seluruh materi di dalam kurikulum. Tetapi tidak cukup untuk menjamin kader agar bertahan di KAMMI. Makanya ada gunanya agenda-agenda komisariat untuk mengisi kekosongan itu. 

Agenda-agenda komisariat yang mengarah kepada penanaman wawasan kader cukup berguna untuk membuat kader kerasan dalam gerakan. Agenda-agenda yang melibatkan kader dengan lingkungan sekitarnya seperti kegiatan aksi di jalan dan agenda-agenda sosial, saya pikir, cukup membantu. Tetapi dengan itu saja belum cukup. 

Mengapa belum cukup? Bukankah dengan agenda-agenda itu perhatian kader akan digiring lebih banyak kepada agenda gerakan? Yang secara tidak langsung akan mengikat mereka? Hal ini akan saya uraikan lebih lanjut pada bagian terakhir makalah ini.


Kenisbian Ideologi 

Ada persoalan yang penting dan masih menjadi tugas besar bagi KAMMI: ideologi. Tidak bisa dipungkiri dalam konstusi KAMMI memang belum secara eksplisit mendefinisikan apa itu ideologi KAMMI[8]. Akibatnya, kader sampai hari ini mengalami dualisme penafsiran terhadap ideologi. Multitafsir seperti ini yang mengakibatkan gerakan terkadang terkungkung di dalam formalisme gerakan mahasiswa dan tidak jarang dikontrol oleh kekuatan yang disebut-sebut sebagai patronasenya.

Persoalan ideologi adalah persoalan yang penting. Sebuah gerakan tidak akan berhasil, tanpa ada fondasi filosofis yang membuatnya lahir dan ada. Tentu saja hal ini akan membuat arah gerak KAMMI menjadi sempoyongan. Bukan karena kehilangan tenaga, tetapi karena sepatu yang digunakannya berbeda tinggi  dan ukuran.  Akhirnya, pada gilirannya hal ini kemudian membuat KAMMI terjebak di dalam kegamangan untuk bersikap. Antara berada sebagai gerakan ekstraparlementer dan intraparlemen. Polemik ini saya kira sudah menjadi rahasia umum. Seharusnya ideologi KAMMI itu eklektis –yaitu bersifat memilih apa yang terbaik. Maksudnya, ia berdiri sendiri dengan mengambil sejumlah nilai-nilai dari luar untuk membentuk dirinya menjadi sebuah sintesa nilai.  Kerangkanya seperti bagan dibawah ini.














 Keterangan[9]:
IM       = Ikwanul Muslimin
IPM     = Ikatan Pelajar Muhammadiyah
PII       = Pelajar Islam Indonesia
ISP      = Ilmu Sosial Profetik
TP        = Teologi Pembebasan ala Ali Syar’ati

Dampak ketidakjelasan ideologi itu barangkali sedikit memberikan pengaruh pada MK. Karena memang di MK hal ini tidak mendapatkan porsi yang banyak, bahkan di kurikulum MK –dari MK1 sampai MK3- memang tidak memasukkan materi-materi mengenai keKAMMIan atau ideologi itu sendiri. Saya tidak tahu mengapa hal itu tidak tercantum, kecuali sekedar pada referensi buku di dalam kurikulum Manhaj Tugas Baca (Mantuba). Nah, disinilah pertanyaan terbesar buat KAMMI.

Saya pikir sudah tidak bisa dipungkiri bagi KAMMI untuk mengatakan bahwa ideologi tidak mendapat tempat yang penting. Padahal loncatan gerakan dimulai dari sini. Kita bisa melihat, begitu bangganya kaum Marxis dengan gagasan perjuangan mereka. Karena mereka mempunyai panduan yang jelas bagaimana harus berpikir dan bertindak. Karena mereka mempunyai narasi ideologi tertulis: Manifesto Partai Komunis. Begitu juga HMI dengan manifesto perjuangannya yang terangkum di dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang dikarang ideolog mereka, Nurcholish Madjid. Lantas dimana ideologi KAMMI? Saya kira karena tidak ada panduan yang tertulis itulah, maka kita sekarang terkungkung di dalam kenisbian (kerelatifan) menafsirkan ideologi kita sendiri. Sehingga, kita terjebak di dalam penerjemahan tulisan yang sesungguhnya bukan maksud dari tulisan itu sendiri[10].

Masalah yang dialami MK berakar dari sini. karena semua struktur organisasi digerakkan melalui ideologi. Dengan melupakan ideologi maka KAMMI akan tercerabut dari akar keberadaannya. Relasinya kira-kira dapat dilihat pada bagan dibawah ini.





 


 
 



Keterangan:
I = Ideologi
K = Kaderisasi (MK)
G = Gerakan (Visi dan Misi)

Ideologi di dalam KAMMI beroperasi dengan pola sentrifugal (menjauhi titik pusat). Ia berjalan melebar keluar gerakan agar struktur gerakan itu terwarnai olehnya. Cara ideologi itu beroperasi kira-kira mirip dengan konsep basis dan bangunan atas dalam tradisi Marxisme[11]. Ideologi itulah pusat edar gerakan. Ia terbentuk dahulu, baru kemudian kaderisasi lahir. 

Berangkat dari sinilah sebenarnya MK harus kita mulai. Krisis ideologilah yang membuat MK tidak menemukan formasinya yang ideal. Karena ideologi memiliki sejumlah  fungsi yang membuat MK itu berdaya. 


Kesadaran 

Kesadaran merupakan konsekuensi logis dari ideologi. Karena adanya ideologi membentuk empat unsur: visi, identitas, perilaku dan preferensi gerakan. Kesemua unsur itu ada, karena kesadaran ada. Maka tanpa kesadaran, empat unsur itu mustahil terjadi, yang pada gilirannya menandakan bahwa ideologi gagal beroperasi.

Tiga masalah pada MK yang saya uraikan diatas terjadi karena kesadaran belum hadir. Bukan karena kader dan pemandu tidak sadar, tetapi karena mereka sadar bahwa kesadaran itu sudah ada, padahal sebenarnya belum. Karena kader disebut sadar jika ia memenuhi tiga hal: tahu urgensi MK bagi dirinya, menghadirinya sampai selesai dan mendalaminya dengan belajar mandiri. Sedangkan, pemandu disebut sadar jika ia tahu urgensi MK bagi dirinya dan gerakan serta mengelolanya sebaik dan semaksimal mungkin sampai selesai.

Persoalan kesadaran sebenarnya berasal psikologi dari unsur-unsur MK itu sendiri (pemandu dan kader). Masalah ini murni dari orientasi yang dibangun sejak mereka berada di KAMMI. Kenapa saya katakan seperti itu? Karena interaksi mereka dengan KAMMI yang membuatnya begitu. Karena setiap kader memiliki tingkat orientasi yang berbeda sehingga begitu pula mempengaruhi kepahaman mereka. Hal ini dapat dilihat dari tingkat intensitas kehadiran dan totalitas mereka dalam agenda-agenda gerakan. 

Struktur kesadaran manusia sebenarnya dibentuk oleh tiga hal kata Freud. Ia menamakannya struktur kepribadian manusia yang tediri dari Id, Ego dan Superego. Bentuk kesadaran dalam MK bisa diasosiasikan dengan tiga unsur tersebut. Dalam hal ini hegemoni yang membuat kader terlena dengan tugas untuk berjuang berasal dari Id. Id singkatnya dapat disebut naluri dasar manusia yang belum terberi oleh nilai. Hal ini umumnya terjadi pada anak-anak yang baru memulai mengenal diri mereka. Id merupakan tempat kedudukan nafsu-nafsu tersebut yang selalu berusaha menyembul ke permukaan tingkat kesadaran, sehingga dapat terjelma[12]. Disini seorang kader yang mudah terbawa oleh hiruk pikuk budaya populer sebenarnya masih berada dalam struktur Id.

Ego atau aku, disini adalah upaya seorang kader untuk bertahan dari nafsu tersebut. Ia membentuk semacam nilai yang membuat kader semakin ragu bahwa nafsu yang selama ini ia lakukan itu benar. Ego ini semacam tata aturan yang dengan sendirinya didefinisikan oleh kader sebagai sesuatu yang benar dan baik. Karena merupakan hasil interaksi ia dengan dunia luar. Sehingga ada hal-hal baik yang ia rasa tepat dan kemudian diambil menjadi kepercayannya. Perlu dicatat nilai-nilai di dalam Ego itu bersifat subyektif, sehingga bisa saja akan terganti dengan nilai-nilai yang datang kemudian. 

Dengan adanya Ego, kader akan mulai sadar bahwa MK itu menarik. Karena ia mulai mendapatkan manfaat dari MK itu sendiri. Baik itu karena materi yang menarik, kemasan MK yang ditata apik atau dinamika di dalamnya yang seru dan membangkitkan antusiasme kader. Pada akhirnya, kader akan merasa kekurangan sesuatu jika MK tidak ia ikuti.

            Seorang kader akan merasa bersalah atau merugi ketika ia tidak hadir MK. Ia akan menyesal karena meninggalkan forum itu. Sehingga muncul semacam hukuman psikis di dalam dirinya. Ia merasa kalau tidak menghadiri MK, ia seolah-olah mau memukul dan menghukum dirinya sendiri. Akibatnya, kader tersebut akan tersiksa dan tentu saja untuk menghilangkan perasaan seperti itu, ia selajutnya harus kembali menghadiri MK. MK menjadi semacam candu baginya dan ia akan sakaw kalau meninggalkannya. Meskipun tidak mustahil ia akan bisa meninggalkan MK. Nah, situasi seperti ini dinamakan Freud: Superego. Superego inilah yang membuat manusia patuh kepada aturan-aturan yang ia definisikan dan jalani sendiri. 

Ketika ada seorang kader atau pemandu dengan baik melalui ketiga proses struktur kepribadian Freud itu sampai ke Superego, maka bisa dijamin ia telah mengalami kesadaran penuh. Orang-orang seperti inilah yang akan berhasil melalui MK dengan baik. Dengan sendirinya mereka akan cinta kepada gerakan dan tidak bisa dipungkiri mereka bisa fanatik dengan sesuatu yang berbeda. 


Mendefinisikan Agenda Gerakan

Pertanyaan yang penting sekaligus sukar dijawab ada pada tahap ini. Yaitu bagaimana mengartikulasikan kesadaran itu ke dalam agenda gerakan? Bagaimanakah cara kita mendefinisikannya?

Saya terus terang agak gamang disini. Karena sampai sejauh ini agenda baku dalam kaderisasi di KAMMI sebenarnya bisa dikatakan sudah mencakup dari tugas untuk membentuk kesadaran itu sendiri. Meskipun ada beberapa yang belum terwadahi. Tetapi rasa-rasanya kinerja dari agenda-agenda yang sudah mencakupinya tersebut belum berjalan maksimal. 

Untuk mempermudah pembahasan, saya membedakan antara agenda yang sudah mencakupi kesadaran dengan agenda yang belum masuk sama sekali. Untuk yang pertama saya namakan Agenda Klasik, dan yang terakhir saya namakan Agenda Baru.

a.       Agenda Klasik
Agenda klasik disini meliputi tambahan materi ideologi KAMMI pada MK dan formalisasi Mantuba. Saya akan mencoba  menyempurnakan hal-hal yang sebelumnya sudah ada dengan beberapa inovasi metodologis. 

Saya pikir untuk MK Khos perlu dilengkapi dengan materi mengenai Ideologi KAMMI. Mengapa? Hal ini sebagaimana bisa kita saksikan bahwa masih banyak kader yang belum sadar dengan keberadaan mereka di KAMMI. Padahal mereka sudah melewati DM1 dan sudah berkomitmen untuk bersama KAMMI.

Hal ini tidak bisa dipungkiri karena tampaknya dalam kaderisasi di KAMMI tidak menonjolkan materi tentang ideologi KAMMI. Hal ini tampak aneh karena mengapa di dalam organisasi yang berkarakter kaderisasi dan pergerakan, alpa dalam pendalaman aspek yang urgen seperti ini? Bukankah formula untuk menciptakan momentum (baca: perubahan) harus dipenuhi dulu unsur prakondisinya: massa dan kecepatan? Lalu adakah instrumen yang mampu  mematangkan kedua unsur tersebut kecuali dengan ideologisasi gerakan. 

Kedua, sifat Mantuba harus diformalkan dalam bentuk lokus diskusi di MK. Karena selama ini kita tahu Mantuba masih bersifat personal. Kader sendirilah yang sadar mau membaca dan mengkajinya atau tidak. Sehingga, nilai sertifikasi kader selalu relatif berkurang pada matra ini. Kalau tradisi seperti ini tidak dibiasakan sejak dini, saya pikir kader tidak akan pernah sadar dan mau membaca. Apalagi melihat para seniornya yang juga tidak kelihatan gandrung dengan buku. 

Saya pikir seorang kader KAMMI yang ideal adalah kader yang dekat dengan buku. Ia setidaknya pernah membaca sebagian besar daripada buku-buku dalam Mantuba. Bukankah adanya Mantuba itu untuk mendekatkan kader secara kultural dengan buku?

Dengan adanya lokus diskusi Mantuba diharapkan kader akan perlahan gandrung dan terbiasa berinteraksi dengan buku. Lokus ini bisa dikemas dengan agenda bedah buku yang ditugaskan kepada setiap kader. Otomatis sebelum membedah, mereka terlebih dahulu harus memahami isi buku itu dan pastinya mereka akan membacanya. 

Lokus ini akan berakhir setelah semua buku dalam Mantuba selesai dibedah. Saya pikir dengan adanya lokus diskusi ini setidaknya mampu membangun kesadaran kader untuk dekat dengan buku yang pada gilirannya membentuk mereka sebagai  ideolog  bagi gerakan (bina’ al-qoi’dah as-siyasiyah).

b.      Agenda Baru
Suatu agenda dimanapun tidak akan berjalan tanpa orang yang menjalankannya itu mengetahui dan paham dengan tujuan agenda tersebut. Seperti interaksi antar manusia pastinya dibangun pertama kali melalui perkenalan (orientation). Jadi, jaminan bahwa suatu agenda berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan tidak akan mungkin terpenuhi tanpa didahului oleh orientasi. Apalagi dengan tanpa orientasi berharap kesadaran akan muncul?

Saya mengamati dalam proses pengkaderan yang berjalan di KAMMI, tidak selalu MK diorientasikan dengan baik oleh pemandu.  Saya pikir sampai saat ini orientasi belum menjadi agenda yang tertulis di dalam standar panduan pengkaderan, terutama di dalam Manhaj Kaderisasi. 

Ketidakhadiran orientasi barangkali karena orientasi tidak menjadi standar yang penting ketimbang dengan MK itu sendiri. Orientasi dikembalikan kepada inisiatif dari individu pemandu untuk menyampaikannya atau tidak. Sehingga, saya pikir banyak kader AB1 tidak mengetahui apa tujuan pelaksanaan MK –perlu riset intensif. Karena tidak mengetahui, otomatis kader tidak tahu dan paham mengenai MK. Sehingga, secara tidak langsung kesadaran akan sulit dicapai. 

Saya pikir kesadaran kader mengikuti MK akan sangat ditentukan oleh pengalaman pertama mereka yang indah dengan MK.  Kalau MK pertama kali dikemas dengan sangat berat, menjenuhkan dan memicu adanya bias pemahaman, maka MK tentu saja jauh dari bisa dikatakan berhasil. Akan sangat baik jika kader tahu untuk apa dan mengapa mereka belajar tentang sesuatu. Selanjutnya, saya pikir agenda orientasi tidak saja ada untuk membangun kesadaran kader dalam MK saja, tetapi bisa dikembangkan untuk menciptakan kesadaran pada agenda-agenda gerakan yang lain. Wallahu alam bis shawab.








[1] Ketua KAMMI Daerah Bantul 2013-2014
[2] Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010. Hlm, 467
[3] Dokumen Kongres III Komintern di Moskow, Juli-Agustus 1921. Struktur Organisasi Partai Komunis, Metode dan Cara Kerjanya. http://indomarxist.tripod.com/0000003a.htm. Diakses 10 November 2013
[4]Ibid,. Hlm, 93.
[5] Lihat Manhaj KAMMI 1433 H. Hlm, 39
[6] Nezar Patria dan Andi Arief. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogkayarta: Pustaka Pelajar, 2009. Hlm, 120-121.
[7] Muhammad Al-Fayyad. Derrida. Yogyakarta: Lkis, 2005. Hlm, 124.
[8] Untuk lebih jelasnya lihat artikel saya. Zulfikhar. Kritik Muslim Negarawan. http://bacazulfikhar.blogspot.com/2013/11/kritik-muslim-negarawan.html. Diakses 10 November 2013.
[9] Unsur Internal adalah tradisi asli (pusat) KAMMI. Unsur eksternal adalah tambahan untuk melengkapi ideologi KAMMI. system Daurah Marhalah diambil dari IPM dan PII. Kredo dan Muqaddimah Anggaran Dasar mengambil semangat TP dan Marxisme. Sedangkan, Unsur kedua Ideologi KAMMI adalah hasil adaptasi dari ISP nya Kuntowijoyo.
[10] Untuk lebih memahami akar dualisme penafsiran tersebut lihat Jacques Derrida. Of Grammatology. Terj. Gayatri Chakravorty Spivak. Baltimore: John Hopkins University Press, 1997. Hlm, 312
[11] Lihat Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia, 2010. Hlm,142.
[12] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Hlm, 300

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*