Reideologisasi Madrasah KAMMI
Oleh Zulfikhar[1]
Pendahuluan
Kalau
kita mencoba mengamati perubahan besar yang pernah terjadi di berbagai belahan
dunia, kita akan melihat betapa perubahan tersebut berlangsung dengan dari
sebuah gerakan yang terstruktur dan kokoh. Gerakan tersebut tidak saja terburu-buru
hendak berhasrat untuk melakukan perubahan, tetapi lebih dahulu membenahi internal
gerakan mereka sehingga perubahan itu terjadi dengan sendirinya.
Gerakan
Komunis di seluruh dunia barangkali bisa menjadi salah satu contoh dari
fenomena tersebut. Revolusi kaum Bolsheviks yang berhasil menumbangkan monarki
Tsar Nicholas bisa dikatakan bentuk dari keberhasilan gerakan yang sudah
berakar sejak beberapa dekade sebelumnya. Revolusi yang sebelumnya dipantik
oleh pidato Lenin yang berapi-api itu terakumulasi pada Oktober 1917. Tanpa
butuh waktu lama, istana Tsar berhasil diduduki oleh kurang lebih seratus orang
Bolshevik, tanpa satu pun darah mereka yang tumpah.
Keberhasilan
gerakan Komunis pada awal abad 20 tersebut
bukanlah salah satu contoh sejarah perlawanan yang berhasil di dunia.
Sebelumnya berabad-abad yang lalu, Islam sudah lebih dahulu memulainya.
Kita
tahu, dengan membutuhkan waktu lebih dari dua puluh tiga tahun mendidik para
sahabat, Nabi Muhammad SAW, nabi terakhir itu, pada akhirnya berhasil memasuki,
menaklukkan, pusat peradaban orang-orang Arab di Hijaz: Mekkah. Kendati harus
membutuhkan waktu delapan tahun lamanya pasca hijrah ke Madinah[2].
Padahal di masa-masa awal memulai gerakan dakwahnya, tidak terhitung lagi banyaknnya
intimidasi psikis dan fisik yang ia dan para sahabatnya alami. Tetapi dengan bermodal
keimanan akan janji Allah SWT, revolusi Islam pertama di dunia itu akhirnya
tidak bisa dihambat untuk merengkuh kemenangan.
Banyak
analisa bermunculan menanggapi keberhasilan-keberhasilan itu. Betapa sungguh
merupakan keberhasilan yang tidak terduga dengan kondisi politik yang semula jauh
berbeda, faktanya, pada akhirnya sangat mungkin untuk membalik. Pertanyaannya
mengapa bisa begitu? Dari sini muncul tiga analisa. Pertama, karena kehancuran
rezim pada dirinya sendiri. Kedua, konflik dengan negeri-negeri luar. Dan ketiga,
serangan gerakan revolusioner bermodal ideologi.
Kemenangan
gerakan Komunis dan Islam tentu saja memberikan inspirasi bagi KAMMI untuk
melakukan hal yang sama: perubahan. Karena kondisi kebangsaan yang mulai
demokratis selama dua dekade tereakhir ini belum mampu menunjukkan ekspektasi
yang memuaskan. Maka visi untuk menciptakan masyarakat muslim di nusantara terus
KAMMI kapitalisasikan. Oleh karena itu, strategi dan taktik (stratak) untuk
menjaga gerakan agar eksis dan mendorongnya untuk terus berkembang harus berjalan
dengan semangat zaman.
Bagi
KAMMI, langkah menuju visi gerakan mustahil tanpa melalui mekanisme kaderisasi yang
mapan. Karena, KAMMI memandang matra (dimensi) ini berada langsung dibawah kepemimpinan
–yang direpresentasikan oleh ketua. Sehingga merupakan tugas gerakan yang
sangat penting ketimbang yang lain. Karena kaderisasilah yang menyiapkan
prakondisi –yaitu kader dan ide- bagi gerakan untuk menopang aksi-aksinya. Misalnya,
tidak mungkin sebuah aksi demonstrasi akan berjalan baik tanpa adanya
koordinator lapangan (korlap) dan massa aksi yang mensyaratkan aksi itu
berjalan. Nah, korlap disini adalah ketua yang memastikan agenda aksi berjalan
sesuai rencana, sedangkan demonstrasi itu sendiri adalah gerakan dan massa aksi
adalah kuantitas kader. Tidak cukup dengan itu, semua massa aksi sebelum
menunaikan tugas-tugas itu, tentunya harus terlebih dahulu mengetahui dengan jelas,
dengan penuh kesadaran untuk menjawab mengapa mereka harus mengikuti aksi,
manfaatnya dan tujuannya bagi mereka. Begitupun ketika kader nantinya mengartikulasikan
keberadaan mereka di KAMMI.
Kedua
gerakan diatas mampu menunaikan tujuan gerakannya karena mereka memiliki sarana
kaderisasi yang produktif. Maksudnya, di dalam struktur kaderisasi mereka
tersimpan instrumen ampuh yang menunjang keberhasilan kaderisasi mereka.
Instrumen itu adalah sistem sel.
Sistem
sel beroperasi dengan adanya kelompk-kelompok kecil di dalam gerakan.
Kelompok-kelompok ini langsung berada dibawah pengawasan kaderisasi. Sistem sel
inilah yang bertugas mengideologisasi gerakan. Mendidik para kader dengan
kurikulum yang terpadu agar sadar dengan keberadaan dan fungsi mereka. Instrumen semacam inilah yang dipakai oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) di zaman Soekarno dan di belahan dunia yang lain[3].
Makanya, mengapa kader-kader PKI dikenal sangat militan dalam berjuang tanpa
upah.
Di
dalam Islam instrumen semacam ini dikenal dengan nama Tarbiyah –meskipun bukan
definisi yang baku. Tarbiyah sudah dilakukan sejak Rasulullah memulai dakwahnya
di Mekkah. Tarbiyah dilakukan dengan mengumpulkan semua para sahabat yang sudah
atau baru masuk Islam untuk belajar bersama tentang Islam. Proses belajar
mengajar ini langsung disampaikan oleh Rasulullah.
Tarbiyah
dilakukan di rumah salah satu sahabat yang aman di luar kota Mekkah bernama Arqam
bin Abil Arqam Al-Makhzumi[4].
Tarbiyah yang dilakukan di rumah Arqam lebih banyak menonjolkan kepada persoalan
aqidah. Hal ini dilakukan Rasulullah agar para sahabat memiliki kekuatan iman
(ideologi) untuk menghadapi kaum kafir yang selalu mengintimidasi dan menyiksa
mereka setiap saat.
Seputar Madrasah KAMMI
Di KAMMI, sistem sel juga digunakan. Instrumen
tersebut di KAMMI dinamakan Madrasah KAMMI (MK). Madrasah KAMMI adalah sarana
kaderisasi bagi seluruh kader yang telah mengikuti Daurah Marhalah (DM), yang
dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas kader sesuai
dengan IJDK KAMMI. MK diselesaikan minimal selama
8 bulan[5].
MK adalah forum belajar bagi kader Anggota Biasa 1 (AB1) KAMMI
untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai gerakan. Di dalam
MK secara umum mengkaji materi-materi keislaman. Hal ini dilakukan untuk membentuk
karakter islami (syaksiyah islamiyah)
pada diri kader untuk membentuk kekuatan mereka untuk bergerak di dalam
gerakan. Materi-materi keislaman ini membahas mulai dari persoalan aqidah,
ibadah, akhlaq dan sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Dalam kaderisasi KAMMI, MK mendapat tempat yang sangat
penting. Begitu pentingnya MK, sampai-sampai keberhasilan kinerja kaderisasi
diukur dari sejauh mana kelompok MK yang dikelola didalamnya berjalan dengan
baik hingga selesai. MK bertujuan sebagai sarana ideologisasi gerakan,
memperkaya wawasan dan kapasitas keilmuan kader, membentuk kepribadian yang
unggul (syaksiyah islamiyah), ukhuwah
diantara kader, persiapan menuju jenjang kaderisasi berikutnya dan sarana
melahirkan modal sosial bagi gerakan. Kira-kira skemadi dalam MK seperti
ilustrasi dibawah ini.
MK bagi KAMMI adalah ruh gerakan, sedangkan struktur KAMMI
itu sendiri adalah jasadnya. Jika di dalam sebuah struktur KAMMI, seperti di
komisariat, kelompok MK di dalamnya berjalan baik, maka dengan sendirinya
kader-kader yang dididik di dalamnya akan mengisi dan memperkuat dinamika
gerakan. Mereka dengan penu kesadaran akan bergerak sesuai dengan amanah yang
diberikan kepada mereka. Sebaliknya, kalau MK berjalan tersendat-sendat apalagi
terhenti, maka akibatnya sudah dapat diprediksikan. Kader-kader yang berada di
dalamnya akan perlahan jenuh dengan agenda gerakan. Karena tidak ada alasan yang
kuat bagi mereka untuk terus bersama KAMMI.
MK memang merupakan sumber kekuatan sekaligus kelemahan bagi
gerakan. Bahkan kalaupun KAMMI secara de facto bubar, selama MK masih ada,
maka gerakan akan berjalan dengan berbagai cara meskipun dengan mengambil jalan
bawah tanah (underground).
Nah, disinilah sebenarnya urgensi keberadaan MK yang
sesungguhnya. Selama ia ada dan mengorganisir KAMMI dari dalam, maka selama itu
pula gerakan akan berada pada garis perjuangannya. Disinilah sebenarnya kunci
gerakan berada.
MK Sekarang
MK sejauh pengamatan saya
memang selalu memberikan kemudahan bagi gerakan dalam hal mobilisasi. Baik itu
mobilisasi dalam konteks mengeksekusi agenda-agenda gerakan maupun dalam membentuk
tradisi-tradisi gerakan seperti tradisi diskusi, membaca, akhlaq, bergaul dan
kritik. Tetapi sebelum jauh kesitu, ternyata MK menyimpan segudang persoalan
pada dirinya yang pada gilirannya membuat KAMMI tidak melulu bisa berharap
banyak kepadanya.
Rupanya MK mempunyai kelemahan yang mendasar. Masalah ini
selanjutnya mempengaruhi unsur-unsur
penting di dalamnya seperti pemandu dan peserta itu sendiri. Tetapi sebelum
jauh masuk kesitu, saya akan sedikit mencoba menguraikan permasalahan apa saja
yang dihadapi MK sekarang.
Pertama, kader kehilangan kesadaran untuk belajar. Hal
ini barangkali tidak bisa dihindari. Materi-materi yang terangkum dalam kurikulum
faktanya belum bisa dioperasikan dengan baik. Maksudnya, kader banyak belum
bisa memahaminya. Sayangnya, ketidakpahaman yang sebenarnya wajar di dalam
proses pendidikan itu didiamkan. Meskipun tidak memahami materi, kader
seolah-olah berlagak paham dengan tidak bertanya.
Saya pikir hal itu sedikitnya bukan kesalahan kader. Meskipun kontribusi
dari dari mereka sendiri sangat dibutuhkan. Karena memang dalam zaman yang
serba canggih dan enak ini terkadang membuat kader terlena dan jatuh di dalam
budaya populer (smartphone, chatting, fashion, games, dll). Hal ini sebenarnya
baik berubah buruk karena disikapi berlebihan. Saya pikir tidak saja kader AB1 yang
melakukan ini, pengurus KAMMI pun ada dan sudah banyak yang mulai begitu.
Tren semacam ini saya kira adalah jiwa zaman (zeitgeist) ini. Zaman yang sibernetik
dan serba praktis ini membuat manusia terlena dan tenggelam dalam mainstream
pengaruhnya yang bisa jadi berbahaya bagi aktivisme gerakan. Dengan
mensyaratkan konsumerisme sebagai pelengkapnya, budaya populer seperti ini akan
menyita waktu kader untuk belajar dan bergerak. Saya pikir inilah salah satu
problem kebudayaan yang menjadi tantangan KAMMI ke depan. Dan hal ini yang akan
banyak mengubah tradisi-tradisi di dalam gerakan ke dalam gaya hidup yang cenderung
pop dan artifisial (palsu).
Tren yang melulu konsumerisme itu sudah jauh-jauh hari
diramalkan oleh Gramsci sebagai apa ia sebut hegemoni[6].
Hegemoni pada dasarnya bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat menjadi
seperti harapan negara. Hal ini karena hegemoni dengan disiplin dan represi
–atau yang disibut dominasi- ditolak mentah-mentah oleh masyarakat moderen.
Hegemoni tentu saja supaya berhasil beroperasi melalui budaya populer. Karena
dengan jalur ini masyarakat yang menjadi obyek negara akan dengan mudah
digiring dan dibentuk. Puncak hegemoni akan selesai ketika masyarakat sepakat
untuk berada di dalamnya (konsensus). Dan disini akibatnya, negara tidak
terkawal dan cenderung untuk subyektif dalam mengambil kebijakan.
Kalau dulu di zaman Soeharto, negara menggunakan dominasi
sebagai alat pengubah masyarakat, maka zaman ini hegemonilah alatnya. Sehingga,
tidak heran intensitas gerakan mahasiswa untuk kritis berkurang. Mahasiswa
secara umum juga emoh dengan persoalan-persoalan sosial dan politik. Karena
biaya kuliah yang semakin mahal, absensi perkuliahan yang ketat, standar IPK
yang mulai tinggi dan tuntutan orang tua untuk segera lulus. Hal itu semua
merupakan hegemoni. Kesadaran manusia moderen saat ini, seperti analisa
Al-Fayyadl, adalah ketaksadaran yang terepresi[7].
Kedua, tidak adanya kesadaran kader Anggota Biasa 2 (AB2)
untuk memandu. Dari sisi inilah salah satu krisis bagi MK yang paling besar.
Tidak mudah memang untuk mengalokasikan waktu untuk mendidik kader. Apalagi agenda
gerakan begitu padat. Ditambah lagi dengan kesibukan masing-masing pemandu
dengan agenda-agenda pribadinya (belajar, kuliah, dll).
Nah, ternyata kesadaran itu tidak saja dibutuhkan oleh
kader KAMMI di dalam MK, rupanya masih banyak kader AB2 yang sebenarnya sudah siap
mengelola MK –tetapi dengan berbagai macam hal dan alasan, hal itu tidak mereka
laksanakan. Saya sendiri mengalaminya ketika dulu mengikuti proses pengkaderan
di komisariat. Akibatnya untuk menambal kekurangan itu, membaca dan berdiskusi
mesti digiatkan.
Masalah kedua ini saya pikir banyak menimpa komisariat
yang sedikit memiliki stok AB2. Toh bagi komisariat yang memiliki banyak kader
AB2 saja terkadang masih mengalami kekurangan.
Ketiga, tindak lanjut pasca MK. Sebagaimana yang sudah
dijelaskan dimuka, MK dilaksanakan selama delapan bulan. Saya pikir interval
waktu tersebut cukup untuk menghabiskan pembahasan seluruh materi di dalam
kurikulum. Tetapi tidak cukup untuk menjamin kader agar bertahan di KAMMI.
Makanya ada gunanya agenda-agenda komisariat untuk mengisi kekosongan itu.
Agenda-agenda komisariat yang mengarah kepada penanaman
wawasan kader cukup berguna untuk membuat kader kerasan dalam gerakan.
Agenda-agenda yang melibatkan kader dengan lingkungan sekitarnya seperti
kegiatan aksi di jalan dan agenda-agenda sosial, saya pikir, cukup membantu.
Tetapi dengan itu saja belum cukup.
Mengapa belum cukup? Bukankah dengan agenda-agenda itu
perhatian kader akan digiring lebih banyak kepada agenda gerakan? Yang secara
tidak langsung akan mengikat mereka? Hal ini akan saya uraikan lebih lanjut
pada bagian terakhir makalah ini.
Kenisbian Ideologi
Ada persoalan yang penting dan masih menjadi tugas besar
bagi KAMMI: ideologi. Tidak bisa dipungkiri dalam konstusi KAMMI memang belum
secara eksplisit mendefinisikan apa itu ideologi KAMMI[8].
Akibatnya, kader sampai hari ini mengalami dualisme penafsiran terhadap
ideologi. Multitafsir seperti ini yang mengakibatkan gerakan terkadang
terkungkung di dalam formalisme gerakan mahasiswa dan tidak jarang dikontrol
oleh kekuatan yang disebut-sebut sebagai patronasenya.
Persoalan ideologi adalah persoalan yang penting. Sebuah
gerakan tidak akan berhasil, tanpa ada fondasi filosofis yang membuatnya lahir
dan ada. Tentu saja hal ini akan membuat arah gerak KAMMI menjadi sempoyongan.
Bukan karena kehilangan tenaga, tetapi karena sepatu yang digunakannya berbeda
tinggi dan ukuran. Akhirnya, pada gilirannya hal ini kemudian
membuat KAMMI terjebak di dalam kegamangan untuk bersikap. Antara berada
sebagai gerakan ekstraparlementer dan intraparlemen. Polemik ini saya kira
sudah menjadi rahasia umum. Seharusnya ideologi KAMMI itu eklektis –yaitu
bersifat memilih apa yang terbaik. Maksudnya, ia berdiri sendiri dengan
mengambil sejumlah nilai-nilai dari luar untuk membentuk dirinya menjadi sebuah
sintesa nilai. Kerangkanya seperti bagan
dibawah ini.
Keterangan[9]:
IM = Ikwanul Muslimin
IPM = Ikatan Pelajar Muhammadiyah
PII = Pelajar Islam Indonesia
ISP = Ilmu Sosial Profetik
TP = Teologi Pembebasan ala Ali
Syar’ati
Dampak ketidakjelasan ideologi itu barangkali sedikit
memberikan pengaruh pada MK. Karena memang di MK hal ini tidak mendapatkan
porsi yang banyak, bahkan di kurikulum MK –dari MK1 sampai MK3- memang tidak
memasukkan materi-materi mengenai keKAMMIan atau ideologi itu sendiri. Saya
tidak tahu mengapa hal itu tidak tercantum, kecuali sekedar pada referensi buku
di dalam kurikulum Manhaj Tugas Baca (Mantuba). Nah, disinilah pertanyaan
terbesar buat KAMMI.
Saya pikir sudah tidak bisa dipungkiri bagi KAMMI untuk
mengatakan bahwa ideologi tidak mendapat tempat yang penting. Padahal loncatan
gerakan dimulai dari sini. Kita bisa melihat, begitu bangganya kaum Marxis
dengan gagasan perjuangan mereka. Karena mereka mempunyai panduan yang jelas
bagaimana harus berpikir dan bertindak. Karena mereka mempunyai narasi ideologi
tertulis: Manifesto Partai Komunis. Begitu juga HMI dengan manifesto
perjuangannya yang terangkum di dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang
dikarang ideolog mereka, Nurcholish Madjid. Lantas dimana ideologi KAMMI? Saya
kira karena tidak ada panduan yang tertulis itulah, maka kita sekarang
terkungkung di dalam kenisbian (kerelatifan) menafsirkan ideologi kita sendiri.
Sehingga, kita terjebak di dalam penerjemahan tulisan yang sesungguhnya bukan
maksud dari tulisan itu sendiri[10].
Masalah yang dialami MK berakar dari sini. karena semua
struktur organisasi digerakkan melalui ideologi. Dengan melupakan ideologi maka
KAMMI akan tercerabut dari akar keberadaannya. Relasinya kira-kira dapat
dilihat pada bagan dibawah ini.
Keterangan:
I = Ideologi
K = Kaderisasi (MK)
G = Gerakan (Visi dan Misi)
Ideologi di dalam KAMMI beroperasi dengan pola
sentrifugal (menjauhi titik pusat). Ia berjalan melebar keluar gerakan agar
struktur gerakan itu terwarnai olehnya. Cara ideologi itu beroperasi kira-kira
mirip dengan konsep basis dan bangunan atas dalam tradisi Marxisme[11].
Ideologi itulah pusat edar gerakan. Ia terbentuk dahulu, baru kemudian
kaderisasi lahir.
Berangkat dari sinilah sebenarnya MK harus kita mulai.
Krisis ideologilah yang membuat MK tidak menemukan formasinya yang ideal.
Karena ideologi memiliki sejumlah fungsi
yang membuat MK itu berdaya.
Kesadaran
Kesadaran merupakan konsekuensi logis dari ideologi. Karena
adanya ideologi membentuk empat unsur: visi, identitas, perilaku dan preferensi
gerakan. Kesemua unsur itu ada, karena kesadaran ada. Maka tanpa kesadaran,
empat unsur itu mustahil terjadi, yang pada gilirannya menandakan bahwa
ideologi gagal beroperasi.
Tiga masalah pada MK yang saya uraikan diatas terjadi
karena kesadaran belum hadir. Bukan karena kader dan pemandu tidak sadar,
tetapi karena mereka sadar bahwa kesadaran itu sudah ada, padahal sebenarnya
belum. Karena kader disebut sadar jika ia memenuhi tiga hal: tahu urgensi MK
bagi dirinya, menghadirinya sampai selesai dan mendalaminya dengan belajar
mandiri. Sedangkan, pemandu disebut sadar jika ia tahu urgensi MK bagi dirinya
dan gerakan serta mengelolanya sebaik dan semaksimal mungkin sampai selesai.
Persoalan kesadaran sebenarnya berasal psikologi dari unsur-unsur
MK itu sendiri (pemandu dan kader). Masalah ini murni dari orientasi yang
dibangun sejak mereka berada di KAMMI. Kenapa saya katakan seperti itu? Karena
interaksi mereka dengan KAMMI yang membuatnya begitu. Karena setiap kader
memiliki tingkat orientasi yang berbeda sehingga begitu pula mempengaruhi kepahaman
mereka. Hal ini dapat dilihat dari tingkat intensitas kehadiran dan totalitas
mereka dalam agenda-agenda gerakan.
Struktur kesadaran manusia sebenarnya dibentuk oleh tiga
hal kata Freud. Ia menamakannya struktur kepribadian manusia yang tediri dari Id,
Ego dan Superego. Bentuk kesadaran dalam MK bisa diasosiasikan dengan tiga
unsur tersebut. Dalam hal ini hegemoni yang membuat kader terlena dengan tugas
untuk berjuang berasal dari Id. Id singkatnya dapat disebut naluri dasar
manusia yang belum terberi oleh nilai. Hal ini umumnya terjadi pada anak-anak
yang baru memulai mengenal diri mereka. Id merupakan tempat kedudukan
nafsu-nafsu tersebut yang selalu berusaha menyembul ke permukaan tingkat
kesadaran, sehingga dapat terjelma[12].
Disini seorang kader yang mudah terbawa oleh hiruk pikuk budaya populer
sebenarnya masih berada dalam struktur Id.
Ego atau aku, disini adalah upaya seorang kader untuk
bertahan dari nafsu tersebut. Ia membentuk semacam nilai yang membuat kader
semakin ragu bahwa nafsu yang selama ini ia lakukan itu benar. Ego ini semacam
tata aturan yang dengan sendirinya didefinisikan oleh kader sebagai sesuatu
yang benar dan baik. Karena merupakan hasil interaksi ia dengan dunia luar.
Sehingga ada hal-hal baik yang ia rasa tepat dan kemudian diambil menjadi
kepercayannya. Perlu dicatat nilai-nilai di dalam Ego itu bersifat subyektif,
sehingga bisa saja akan terganti dengan nilai-nilai yang datang kemudian.
Dengan adanya Ego, kader akan mulai sadar bahwa MK itu menarik.
Karena ia mulai mendapatkan manfaat dari MK itu sendiri. Baik itu karena materi
yang menarik, kemasan MK yang ditata apik atau dinamika di dalamnya yang seru
dan membangkitkan antusiasme kader. Pada akhirnya, kader akan merasa kekurangan
sesuatu jika MK tidak ia ikuti.
Seorang kader akan merasa
bersalah atau merugi ketika ia tidak hadir MK. Ia akan menyesal karena
meninggalkan forum itu. Sehingga muncul semacam hukuman psikis di dalam
dirinya. Ia merasa kalau tidak menghadiri MK, ia seolah-olah mau memukul dan
menghukum dirinya sendiri. Akibatnya, kader tersebut akan tersiksa dan tentu
saja untuk menghilangkan perasaan seperti itu, ia selajutnya harus kembali
menghadiri MK. MK menjadi semacam candu baginya dan ia akan sakaw kalau
meninggalkannya. Meskipun tidak mustahil ia akan bisa meninggalkan MK. Nah,
situasi seperti ini dinamakan Freud: Superego. Superego inilah yang membuat
manusia patuh kepada aturan-aturan yang ia definisikan dan jalani sendiri.
Ketika ada seorang kader atau pemandu dengan baik melalui
ketiga proses struktur kepribadian Freud itu sampai ke Superego, maka bisa
dijamin ia telah mengalami kesadaran penuh. Orang-orang seperti inilah yang
akan berhasil melalui MK dengan baik. Dengan sendirinya mereka akan cinta
kepada gerakan dan tidak bisa dipungkiri mereka bisa fanatik dengan sesuatu
yang berbeda.
Mendefinisikan
Agenda Gerakan
Pertanyaan yang penting sekaligus sukar dijawab ada pada
tahap ini. Yaitu bagaimana mengartikulasikan kesadaran itu ke dalam agenda
gerakan? Bagaimanakah cara kita mendefinisikannya?
Saya terus terang agak gamang disini. Karena sampai
sejauh ini agenda baku dalam kaderisasi di KAMMI sebenarnya bisa dikatakan
sudah mencakup dari tugas untuk membentuk kesadaran itu sendiri. Meskipun ada
beberapa yang belum terwadahi. Tetapi rasa-rasanya kinerja dari agenda-agenda
yang sudah mencakupinya tersebut belum berjalan maksimal.
Untuk mempermudah pembahasan, saya membedakan antara
agenda yang sudah mencakupi kesadaran dengan agenda yang belum masuk sama
sekali. Untuk yang pertama saya namakan Agenda Klasik, dan yang terakhir saya
namakan Agenda Baru.
a.
Agenda Klasik
Agenda klasik disini meliputi tambahan
materi ideologi KAMMI pada MK dan formalisasi Mantuba. Saya akan mencoba menyempurnakan hal-hal yang sebelumnya sudah
ada dengan beberapa inovasi metodologis.
Saya pikir untuk MK Khos perlu dilengkapi
dengan materi mengenai Ideologi KAMMI. Mengapa? Hal ini sebagaimana bisa kita
saksikan bahwa masih banyak kader yang belum sadar dengan keberadaan mereka di
KAMMI. Padahal mereka sudah melewati DM1 dan sudah berkomitmen untuk bersama
KAMMI.
Hal ini tidak bisa dipungkiri
karena tampaknya dalam kaderisasi di KAMMI tidak menonjolkan materi tentang
ideologi KAMMI. Hal ini tampak aneh karena mengapa di dalam organisasi yang
berkarakter kaderisasi dan pergerakan, alpa dalam pendalaman aspek yang urgen
seperti ini? Bukankah formula untuk menciptakan momentum (baca: perubahan)
harus dipenuhi dulu unsur prakondisinya: massa dan kecepatan? Lalu adakah
instrumen yang mampu mematangkan kedua
unsur tersebut kecuali dengan ideologisasi gerakan.
Kedua, sifat Mantuba harus
diformalkan dalam bentuk lokus diskusi di MK. Karena selama ini kita tahu Mantuba
masih bersifat personal. Kader sendirilah yang sadar mau membaca dan
mengkajinya atau tidak. Sehingga, nilai sertifikasi kader selalu relatif
berkurang pada matra ini. Kalau tradisi seperti ini tidak dibiasakan sejak
dini, saya pikir kader tidak akan pernah sadar dan mau membaca. Apalagi melihat
para seniornya yang juga tidak kelihatan gandrung dengan buku.
Saya pikir seorang kader KAMMI
yang ideal adalah kader yang dekat dengan buku. Ia setidaknya pernah membaca sebagian
besar daripada buku-buku dalam Mantuba. Bukankah adanya Mantuba itu untuk
mendekatkan kader secara kultural dengan buku?
Dengan adanya lokus diskusi
Mantuba diharapkan kader akan perlahan gandrung dan terbiasa berinteraksi
dengan buku. Lokus ini bisa dikemas dengan agenda bedah buku yang ditugaskan
kepada setiap kader. Otomatis sebelum membedah, mereka terlebih dahulu harus
memahami isi buku itu dan pastinya mereka akan membacanya.
Lokus ini akan berakhir setelah
semua buku dalam Mantuba selesai dibedah. Saya pikir dengan adanya lokus
diskusi ini setidaknya mampu membangun kesadaran kader untuk dekat dengan buku
yang pada gilirannya membentuk mereka sebagai ideolog bagi gerakan (bina’ al-qoi’dah as-siyasiyah).
b.
Agenda Baru
Suatu agenda dimanapun tidak
akan berjalan tanpa orang yang menjalankannya itu mengetahui dan paham dengan
tujuan agenda tersebut. Seperti interaksi antar manusia pastinya dibangun
pertama kali melalui perkenalan (orientation).
Jadi, jaminan bahwa suatu agenda berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
tidak akan mungkin terpenuhi tanpa didahului oleh orientasi. Apalagi dengan
tanpa orientasi berharap kesadaran akan muncul?
Saya mengamati dalam proses
pengkaderan yang berjalan di KAMMI, tidak selalu MK diorientasikan dengan baik
oleh pemandu. Saya pikir sampai saat ini
orientasi belum menjadi agenda yang tertulis di dalam standar panduan
pengkaderan, terutama di dalam Manhaj Kaderisasi.
Ketidakhadiran orientasi
barangkali karena orientasi tidak menjadi standar yang penting ketimbang dengan
MK itu sendiri. Orientasi dikembalikan kepada inisiatif dari individu pemandu
untuk menyampaikannya atau tidak. Sehingga, saya pikir banyak kader AB1 tidak
mengetahui apa tujuan pelaksanaan MK –perlu riset intensif. Karena tidak
mengetahui, otomatis kader tidak tahu dan paham mengenai MK. Sehingga, secara
tidak langsung kesadaran akan sulit dicapai.
Saya pikir kesadaran kader
mengikuti MK akan sangat ditentukan oleh pengalaman pertama mereka yang indah
dengan MK. Kalau MK pertama kali dikemas
dengan sangat berat, menjenuhkan dan memicu adanya bias pemahaman, maka MK
tentu saja jauh dari bisa dikatakan berhasil. Akan sangat baik jika kader tahu
untuk apa dan mengapa mereka belajar tentang sesuatu. Selanjutnya, saya pikir
agenda orientasi tidak saja ada untuk membangun kesadaran kader dalam MK saja,
tetapi bisa dikembangkan untuk menciptakan kesadaran pada agenda-agenda gerakan
yang lain. Wallahu alam bis shawab.
[1]
Ketua KAMMI Daerah Bantul 2013-2014
[2]
Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. Sirah
Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010. Hlm, 467
[3] Dokumen Kongres III
Komintern di Moskow, Juli-Agustus 1921. Struktur Organisasi Partai Komunis, Metode dan Cara Kerjanya. http://indomarxist.tripod.com/0000003a.htm.
Diakses 10 November 2013
[4]Ibid,.
Hlm, 93.
[5]
Lihat Manhaj KAMMI 1433 H. Hlm, 39
[6]
Nezar Patria dan Andi Arief. Antonio
Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogkayarta: Pustaka Pelajar, 2009. Hlm,
120-121.
[7]
Muhammad Al-Fayyad. Derrida.
Yogyakarta: Lkis, 2005. Hlm, 124.
[8]
Untuk lebih jelasnya lihat artikel saya. Zulfikhar. Kritik Muslim Negarawan. http://bacazulfikhar.blogspot.com/2013/11/kritik-muslim-negarawan.html.
Diakses 10 November 2013.
[9]
Unsur Internal adalah tradisi asli (pusat) KAMMI. Unsur eksternal adalah
tambahan untuk melengkapi ideologi KAMMI. system Daurah Marhalah diambil dari
IPM dan PII. Kredo dan Muqaddimah Anggaran Dasar mengambil semangat TP dan
Marxisme. Sedangkan, Unsur kedua Ideologi KAMMI adalah hasil adaptasi dari ISP
nya Kuntowijoyo.
[10]
Untuk lebih memahami akar dualisme penafsiran tersebut lihat Jacques Derrida. Of Grammatology. Terj. Gayatri
Chakravorty Spivak. Baltimore: John Hopkins University Press, 1997. Hlm, 312
[11]
Lihat Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl
Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta:
Gramedia, 2010. Hlm,142.
[12]
Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Hlm, 300
Komentar
Posting Komentar