Kritik Muslim Negarawan
Oleh: Zulfikhar
Frasa
muslim negarawan barangkali sudah familiar bagi semua kader KAMMI. Tidak heran
nama ini kerap terpajang di balik jaket KAMMI dan menjadi profil sosok kader
KAMMI dalam setiap momentum gerakan. Tentu saja karena muslim negarawan adalah
interpretasi dari sosok pemimpin masa depan yang tangguh sebagaimana termaktub
dalam visi KAMMI[1].
Muslim negarawan merupakan
ekpektasi dari para ideolog gerakan yang berhasrat agar kader KAMMI di masa
depan lahir sebagai sosok-sosok pemimpin yang unggul[2].
Sehingga mereka menjelma menjadi avant
garde (pembawa perubahan) pada dinamika kebangsaan di masa depan.
Singkatnya muslim negarawan adalah profil seorang pemimpin masa depan yang peka
dan peduli pada nasib bangsa dan umat.
Saya sendiri setuju
dengan makna dibalik (semantic) muslim negarawan[3].
Ide-ide alternatif seperti ini memang sekarang masih menjadi artefak peninggalan
kepemimpinan masa lampau. Meskipun ikhtiar gerakan mahasiswa sejak dulu sangat
besar, tetapi manifestasi di masa depan yaitu kondisi sekarang, belum
membuahkan hasil yang memuaskan. Jangankan berhasrat menjadi muslim yang
negarawan atau negarawan, menjadi politisi yang baik saja sudah sulit hari ini.
Esensi muslim negarawan
memberikan angin yang segar di tengah kelesuan dan kegamangan kepemimpinan
nasional. Kehadirannya saya pikir akan menjadi gagasan alternatif bagi dinamika
kebangsaan kita. Kendati dalam sejarah perpolitikan nasional, muslim negarawan
belum menjadi suatu tren gaya berpolitik umat Islam. Barangkali karena mitos partai
Islam yang distigmakan inferior terhadap partai nasionalis sampai hari ini masih
menjadi momok sejarah yang belum terpecahkan. Sehingga menjadi alasan
ketidakpercayaan umat terhadap hal-hal yang berbau islam khususnya dalam politik.
Saya pikir fenomena keterasingan
umat Islam di pentas politik praktis tidak kemudian menjadi alasan untuk
meninggalkan spirit Islam. Apalagi mengambil spirit yang digunakan mainstream
politik kaum nasionalis untuk mengartikulasikan visi umat Islam. Karena Islam
tentu saja memiliki keunikan yang khas dan mempunyai nilai-nilai kondisional
akan politik yang ampuh dan mutakhir. Meskipun tidak terhindar dari kelemahan untuk
mengartikulasikannya dalam pluralitas kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan menguatnya
kecenderungan umat Islam untuk mulai mempraktikkan tradisi-tradisi Islam sejak
dua dekade terakhir seperti yang bisa kita saksikan saat ini, betapa jilbab hari
ini menjadi tren baru berbusana para muslimah. Setidaknya, saya percaya bahwa
masa depan Indonesia adalah masa depan Islam.
Definisi
Muslim Negarawan
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata negarawan didefinisikan sebagai pemimpin politik yang
secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau
mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.[4]
Singkatnya, seorang negarawan adalah seseorang yang berpolitik (politisi). Tetapi
bukan saja politisi biasa. Tetapi adalah tipe politisi yang berpandangan maju
mengenai soal-soal kebangsaan. Dengan sikap dan karakternya yang amanah dan
adil, seorang negarawan senantiasa merasa terpanggil untuk berkontribusi bagi
kemajuan negara dan bangsanya.
Sedangkan muslim adalah
orang-orang yang menganut agama Islam. Jadi, orang-orang yang mengakui Tuhan
mereka adalah Allah dan Muhammad sebagai nabinya. Tidak ada ukuran lain semacam
apakah ia termasuk penganut Islam yang taat (mukmin) atau tidak. Menurut hadits
Arbain dari Imam Nawawi, seorang muslim adalah orang-orang yang menjalankan
rukun islam, melafadzkan dua kalimat syahadat sampai berakhir dengan menunaikan
ibadah haji bagi yang mampu[5].
Jadi, kalau diintegrasikan, muslim negarawan
secara terminologis adalah orang-orang Islam -yang sekaligus- politisi yang
peduli dengan masa depan bangsanya. Sebagai figur manusia terbaik yang unggul
dalam akhlaq dan moral serta dengan penuh kesadaran mentransformasikannya dalam
kehidupan praksis di tengah-tengah masyarakat.
Tetapi, definisi muslim
negarawan sebenarnya tidak sesederhana itu. KAMMI sendiri memberi kriteria kritis
terhadap ukuran muslim negarawan. Pertama, muslim negarawan harus memiliki basis
ideologi Islam yang mengakar. Kedua, basis pengetahuan dan pemikiran yang
matang. Ketiga, idealis dan konsisten. Keempat, berkontribusi pada pemecahan problematika
umat dan bangsa. Kelima, mampu menjadi perekat komponen bangsa dalam upaya
perbaikan.[6]
Dengan adanya muslim
negarawan pada diri dan jiwa kader KAMMI, maka bisa dikatakan KAMMI adalah gerakan mahasiswa
yang senantiasa bergerak menuju spirit kenegarawanan. Setidaknya dalam moral
dan tindakan nilai-nilai tersebut
terejewantahkan sebagai karakter dan mentradisi menjadi identitas kader.
Referensi figur
kenegarawanan itulah yang ingin dilahirkan KAMMI. Dengan ketersediaan kader
yang siap mengelola berbagai dimensi kebangsaan itulah yang kemudian menjadi
modal sosial bagi KAMMI untuk membuktikan dirinya sebagai sebagai muslim
negarawan.
Kompatibelkah
Muslim Negarawan?
Spirit muslim negarawan
yang dianggap paripurna tersebut rupanya diam-diam meninggalkan sederet pertanyaan.
Pertama, mengapa kader KAMMI harus disebut sebagai muslim negarawan? Atau
mengapa harus menggunakan spirit negarawan? Padahal bukankah kader KAMMI adalah
mahasiswa. Yaitu sebuah kelas sosial
yang relatif belum mandiri jika diasosiasikan dengan seorang negarawan. Bukankah
hal seperti ini akan terlihat utopis ketimbang reformis?
Saya kira sangat baik maksud
dari buku Menyiapkan Momentum (2008) yang ditulis oleh Rijalul Imam[7].
Disitu ia menjelaskan bahwa muslim negarawan yang dimaksud bukanlah muslim
negarawan dalam makna eksplisit atau materialnya. Tetapi, makna implisit yang
berakar dari idealisme gerakan untuk melakukan perubahan.
Saya pikir agak keliru
kalau KAMMI hanya menempatkan idealisme sebagai basis tunggal kemunculan gerakannya.
Yang pada gilirannya terepresentasi dalam sosok muslim negarawan. Karena KAMMI
adalah gerakan yang muncul dari kegelisahan umat Islam atas sejarah penindasan
di negeri ini. KAMMI muncul karena kontradiksi sistem politik dan gerakan
mahasiswa yang bertugas menunaikan amanah perubahan, tidak mampu membawa
jaminan perubahan. Sehingga, akhirnya KAMMI lahir. Oleh sebab itu, model
gerakan massa diambil oleh KAMMI untuk mensinergiskan perlawanan mahasiswa.
Yang pada gilirannya berhasil menciptakan perubahan besar dalam sejarah bangsa
ini. Jadi, pijakan materialisme tidak boleh dinegasikan begitu saja[8].
Menurut saya,
harmonisasi antara idealisme dan materialisme itulah yang memberi alasan KAMMI
sampai sekarang terus ada. Karena kalau tidak ada masalah dan sebaliknya kemiskinan
tiba-tiba menghilang, keadilan terwujud, semua pemimpin bangsa adil, korupsi lenyap, masyarakat Islami terwujud,
maka pertanyaannya apakah lagi alasan KAMMI untuk harus terus ada?
Kedua, kompatibelkah konsep muslim negarawan dengan konteks
perjuangan KAMMI? Bukankah KAMMI di dalam agenda gerakannya membawa empat
agenda yang terangkum dalam Paradigma Gerakan KAMMI? Bukankah pada paradigma
gerakan terlihat jelas agenda politik hanyalah satu dari tiga agenda strategis yang
lain? Yang kesemuanya itu beroperasi menjadi basis bagi visi gerakan?
Kalau kita kembali membuka
Manhaj Kaderisasi 1433 H. Disitu secara eksplisit memuat Desain Umum Kaderisasi
Gerakan[9].
Alur gerakan dalam desain tersebut membagi lima sektor kehidupan yang nantinya
akan dimasuki oleh kader pasca aktif di KAMMI. Seperti eksekutif, legislatif,
yudikatif, swasta dan profesional. Nah, kalau hanya negarawan saja yang dipakai
sebagai profil dan spirit gerakan, rasa-rasanya bukankah kader sengaja diarahkan
untuk berkarir di bidang politik (eksekutif dan legislatif)? Padahal masalah
bangsa ini sistemik menjamur di segala sektor. Lantas kalau hanya politik saja yang
digarap, bagaimana perbaikan menuju masyarakat Indonesia yang islami itu dapat
terwujud?
Ketiga, profil muslim
negarawan cenderung bertendensi politik praktis. Hal ini tidak dapat
dihindarkan karena KAMMI sampai saat ini masih tidak berdaya memetakan dirinya
ditengah dua kutub yang saling merasuki, antara KAMMI sebagai wajihah (gerakan/organisasi) dan Jama’ah Tarbiyah. Saya pikir fenomena ini adalah
persoalan klasik dan sudah banyak kader yang muak dengan polemik seperti ini.
Tetapi kalau selamanya logika politik praktis terus digunakan kader untuk
mengelola KAMMI, maka bukankah kualitas gerakan akan sama dengan kualitas Jama’ah
–yang kini sedang berkontestasi sebagai partai politik dalam dinamika politik
praktis. Hal ini bisa kita amati dengan membandingkan antara eksistensi gerakan
dan Jama’ah. Secara substansial keduanya tidak jauh berbeda, sama-sama berada
dalam krisis eksistensi yang kurang lebih sama.
Fenomena seperti inilah yang sudah jauh-jauh hari diantisipasi oleh
Badaruddin[10].
Ia menawarkan konsep beyond politics (melampaui
politik) untuk KAMMI. Mengapa? Karena kalau KAMMI hanya berkutat di dalam
rutinitas politik yang saling baku bunuh itu, maka dinamika gerakan otomatis tidak
akan berkembang. KAMMI akan banyak disibukkan dengan diskusi, aksi dan advokasi
melawan kekuatan dari luar. Sementara, dalam waktu yang bersamaan, rakyat
disekitarnya terzalimi tanpa ada yang peduli. Lantas, KAMMI hanya bisa melihat kezaliman itu
dengan menepuk dada dan berdoa.
Mencari
Ideologi
Barangkali salah satu
dari sekian banyak gerakan mahasiswa yang sampai saat ini belum selesai
mendefinisikan ideologinya adalah KAMMI. Tetapi bukankah ideologi KAMMI itu
seperti yang disampaikan oleh para instruktur dalam setiap DM1 adalah Islam?
Kalau jawabannya senormatif itu barangkali bisa benar, tetapi kalau Islam
sebagai ideologi dalam kategori yang normatif seperti itu, apakah cukup disebut
ideologi? Lalu apa bedanya dengan ideologi Islam versi HMI, PMII dan IMM.
Bukankah dalam kerangka tersebut tidak ada bedanya?
Di dalam anggaran dasar
KAMMI pasal 4 berbunyi, KAMMI berasaskan Islam[11].
Titik pijakan kader KAMMI untuk mendefinisikan ideologinya kebanyakan bersumber
dari pasal ini. Namun, apakah asas dan ideologi itu sama? Lalu kalau memang berbeda, kenapa pernyataan normatif
itu dipaksakan ke dalam ideologi yang sebenarnya membutuhkan penjelasan yang lebih radikal dan komprehensif?
Andi Rahmat dan
Mukhamad Najib berpendapat bahwa ideologi KAMMI secara ontologis (hakikat) diasosiasikan
ke dalam Prinsip Gerakan KAMMI[12].
Disini keduanya meletakkan ideologi sebagai asas itu sendiri. Tetapi, karena
kerangka asas tidak mendeskripsikan makna apapun, maka kerangka itu mereka
perjelas dengan struktur yang lebih bersifat operasional untuk menjelaskan
ideologi gerakan, yaitu prinsip gerakan[13].
Tetapi justru disitulah
masalah itu kemudian muncul. Prinsip gerakan pada dirinya sendiri tidak
menjelaskan kerangka ideologis yang seharusnya dimiliki oleh ideologi. Prinsip
gerakan hanya menjelaskan karakter, ciri dan tradisi gerakan dalam tataran
operasional. Sedangkan Islam sebagai basis filosofis utama gerakan belum terdefinisikan.
Islam seperti apa yang KAMMI maksud sebagai ideologi dan pandangan dunianya (weltanschauung) tetap tidak jelas sampai
hari ini.
Kalau biasanya banyak kader
KAMMI yang berpendapat bahwa ideologi Islam yang dimaksud KAMMI adalah sama
dengan yang dianut oleh Ikhwanul
Muslimin (IM), saya pikir tidak selalu tepat. Karena di dalam konstitusi, KAMMI
sendiri membawa spirit dari berbagai referensi gerakan yang berbeda. Kita bisa
lihat spirit paradigma gerakan di dalam salah satu poinnya membawa spirit ilmu sosial
profetiknya Kuntowijoyo, muqaddimah anggaran dasar membawa spirit teologi
pembebasan Ali Syariati, konsep kaderisasi diadaptasikan dari metodologi
kaderisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
Jadi, secara filosofis
tidak tepat kalau KAMMI lantas secara
pragmatik diidentifikasikan sebagai perpanjangan tangan dari IM atau setidaknya
Jama’ah Tarbiyah. Karena, KAMMI bukan wajihah
amal tandzim (organisasi milik Jama’ah), tetapi wajihah amal am (organisasi
milik umum)[14].
Yang berarti gerakan ini sudah diserahkan kepada rakyat Indonesia dan diikhlaskan
dikelola oleh mereka. Konsteks dan teksnya akan jauh berbeda dengan wajihah
dakwah yang lain, yang sering diidentifikasikan sebagai representasi Jama’ah.
Maka ideologi KAMMI tentu saja tidak bisa diilustrasikan ibarat dua sisi mata uang
dengan Jama’ah yang seringkali dianggap sebagai patronasenya.
Menurut Yusuf Maulana[15],
KAMMI adalah gerakan Islam Eklektik[16].
Maksudnya, konsepsi ideologi KAMMI sebenarnya berhasrat untuk meniru konsep
kelahiran ideologi IM.
Sebagaimana kalau kita mengamati
sejarah kelahiran ideologi IM. Gerakan yang didirikan oleh Hasan Albana ini,
ternyata dibangun secara eklektik. Albana mengambil konsep-konsep penting dari
berbagai gerakan Islam yang selanjutnya dianalisa dan disintesakan olehnya ke
dalam sebuah formulasi gerakan yang biasa disebut Fikrah Ikhwanul Muslimin –seperti;
Dakwah Salafiyah, Haqiqah Sufiyah,
Thariqah Sunniyah, Hai’ah Siyasiyah, Jama’ah Riyadiyah, Rabithah ‘Ilmiyah wa Tsaqafiyah,
Syirkah Iqtishadiyah, dan Fikrah Ijtimaiyah [17].
Nah, ideologi KAMMI
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan IM. Karena KAMMI hidup di alam Nusantara
yang tidak cukup kalau hanya membawa spirit utamanya. Tetapi menurut Yusuf
Maulana, sampai saat ini ikhtiar menuju hal tersebut belum selesai. Barangkali
karena kontradiksi di dalam gerakan yang tidak terdamaikan sampai hari ini
mencegah hal tersebut. Sehingga, kebutuhan untuk mencari ideologi menjadi
kebutuhan yang mendesak bagi KAMMI. Agar di masa depan, KAMMI tidak lagi menjadi
gerakan –meminjam metafor Fikri Azis- yang jenis kelaminnya tidak jelas.
Penutup
Profil muslim negarawan
menurut saya kurang kompatibel direpresentasikan kepada KAMMI. Meskipun hal
tersebut bercorak idealisme yang berorientasi teleologis (perihal tujuan). KAMMI seyogianya harus mencari
konsepsi ideologi yang kira-kira merepresentasikan identitasnya sebagai muslim
dan mahasiswa –yang terangkum dalam
Garis-Garis Besar Haluan Organisasi. Hal ini penting agar rumusan archia (asal-usul) gerakan tidak
multitafsir sehingga pada gilirannya tujuan dan visi gerakan akan dicapai
dengan batas-batas (syariat) dan
jalan (thariqat) yang kompatibel,
baik dan benar. Sehingga KAMMI bergerak dari substratum (lapisan dasar) yang
mengarahkannya mau menjadi apa, apa tujuan keberadaannya dan bagaimana
mewujudkannya?
Berpijak dari sini marilah
kita berkontemplasi sejenak. Sudahkah muslim negarawan membantu KAMMI menemukan
jatidirinya? Lantas apa yang harus dilakukan kalau paradoks antara KAMMI
sebagai gerakan politik (muslim negarawan) dan gerakan moral sudah mengkristal?
Bukankah muslim negarawan harus kembali kita
kaji ulang? Benarkah sebuah gerakan mahasiswa yang mencirikan gerakan moral kompatibel
kalau diidentikkan dengan gerakan politik? Bukankah maknanya akan menajdi bias?
Saya kira dari sini kita mesti sadar dan dari sinilah kita mulai. Wallahu alam bis shawab.
[1]
Andriyana. Tafsir Resmi Muslim Negarawan. http://eljundi.wordpress.com/2011/05/16/192/.
Diakses 7 November 2013
[2]
Profil muslim negarawan lahir dalam Lokakarya Departemen Kaderisasi akhir
Desember tahun 2005 dan awal 2006 atau lebih tepatnya pada tanggal 1 Muharam
1427 H yang diselenggarakan di Situ Gunung Sukabumi. Lihat Ibid.
[3]
Di dalam konsep ini memuat enam kompetensi kritis yang harus dipenui oleh
setiap kader untuk disebut sebagai muslim negarawan. Seperti; pengetahuan
keislaman, wawasan keindonesiaan, kredibillitas moral, kepakaran dan
profesionalitas, kepemimpinan, diplomasi dan jaringan. Lihat Ibid.
[4]
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1
[5]
Lihat Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi.
Yogyakarta: Media Hidayah, 2001. Hlm. 22
[6]
Kriteria tersebut termuat dalam Manhaj Kaderisasi 1427 H. Lihat Amin Sudarsono.
Ijtihad Membangun Basis Gerakan.
Jakarta: Muda Cendekia, 2010. Hlm. 81
[7]
Bahwa muslim negarawan lebih bukanlah definisi yang eksplisit pada dirinya.
Tetapi, lebih ditandai pada makna implisitnya. Maksudnya, muslim negarawan
dimaknai sebagai obsesi keterpanggilan KAMMI.
Hal ini karena senada dengan visi
gerakan yang meniscayakan lahirnya pemimpin-pemimpin masa depan. singkatnya,
yang ingin diartikulasikan adalah bukan elemen materialialismenya, tetapi
idealismenya.
Lihat Rijalul Imam. Menyiapkan
Momentum: Refleksi Paradigmatis Pemikiran Gerakan Pemuda untuk Membangun Bangsa.
Jakarta: Muda Cendekia, 2008. Hlm. 68
[8]
Maksud dari materialisme (matter) disini adalah konsep atau filsafat yang
muncul dari gerakan atas kondisi material dari realitas praksis gerakan di
jalanan. Singkatnya perubahan yang berasal dari bawah ke atas. Lihat Tan Malaka. Materialisme Dialektika dan Logika. www.marxist.org.
Hlm. 83.
[9]
Manhaj Kaderisasi 1433 H.
[10]
Ketua PP KAMMI 2001-2002. Lihat
Badaruddin: KAMMI
Harus Bergerak Beyond Politics (Cerita dari Sarasehan Jakarta-3). http://www.kammikultural.org/2013/03/badaruddin-kammi-harus-bergerak-beyond.html.
Diakses 7 November 2013
[11]
Lihat Anggaran Dasar KAMMI
[12] Lihat
Andi Rahmat dan Mukhamad Nadjib. Gerakan Perlawanan
dari Masjid Kampus. Jakarta: Profetika, 2001. Hlm. 153
[13] Prinsip
gerakan dirumuskan dalam Rapat Kerja Nasional Departemen Kaderisasi di Parung
Bogor, 9-15 Agustus 1999. Ibid
[14] Lihat Ade Nuansa Wibisono. Independensi KAMMI dalam Nalar Jamaah Tarbiyah. http://www.kammikultural.org/2013/03/independensi-kammi-dalam-nalar-jamaah.html. Diakses 8 November 2013
[15]
Dalam diskusi di RS Sardjito, 5 November 2013.
[16]
Ekletik berarti bersifat memilih apa yang terbaik (dari berbagai sumber). Lihat
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Penerbit Arkola, 2001.
[17]
Lihat Ali Abdul Halim Mahmud. Perangkat-perangkat
Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia, 2011. Hlm. 111-112
BalasHapusthanks infonya gan.
OBAT HIPERTIROID