Doni dan Joni
Hari ini, Minggu,
mendung masih memayungi kota Yogya. Maklum sudah masuk musim hujan. Warna langit
yang putih kelabu menandai tidak lama lagi hujan akan turun. Angin sepoi-sepoi
bertiup sayup-sayup ke dalam sebuah rumah tua peninggalan orde baru. Rumah itu
ditinggali oleh kakak beradik Doni dan Joni.
Di rumah tiada
sesiapapun kecuali kedua bersaudara itu. Teman-teman mereka sedang keluar
menikmati libur. Kedua anak itu sejak pagi hanya bermalas-malasan. Joni si kakak, sejak berjam-jam yang lalu sibuk
dengan bukunya. Sedang adiknya Doni, sibuk dengan game terbarunya di notebook.
Kedua manusia sedarah
ini memang berbeda. Wajah mereka kata orang mirip satu dengan yang lain. Warna
kulit mereka juga sama: sawo matang. Postur tubuh mereka juga: jangkung ceking. Yang berbeda dari kedua anak itu hanya rambut
mereka. Doni berambut keriting dan Joni berambut ikal.
Kalau secara fisik keduanya relatif sama, nah
kalau dalam cara berpikir keduanya jauh berbeda. Karena Joni suka membaca maka
wawasannya sedikit lebih luas, sedangkan Doni lebih tajam analisisnya akunya.
Memang orang-orang melihatnya begitu dan karenanya kedua saudara itu kerap
didapati berdebat sendiri di kamar. Tidak jarang mereka baku hantam kalau
perbedaan pendapat tidak berujung memuaskan.
Menariknya, karena Joni
lebih luas ilmunya, maka kerap ia mengajak Doni untuk berdiskusi. Tetapi lebih
banyak tidak mengena. Sehingga karena bosan, Joni mengalihkan alur diskusi ke
soal-soal ekonomi. Hal ini dilakukan supaya diskusi mereka berjalan dinamis. Karena
Doni seorang mahasiswa ekonomi. Dan benar saja, diskusi keduanya dalam isu soal
ekonomi memang berlangsung panjang dan alot. Bagaimana tidak? Joni yang corak
berpikirnya sosialis jarang dapat bertemu dengan corak pikir Doni yang cenderung individualis. Karena sudah rahasia
umum, fakultas ekonomi di negeri ini banyak mencetak calon-calon manusia
kapitalis, ujar seorang peneliti muda.
Siang ini, Doni sudah
agak bosan dengan game yang ia mainkan sejak pagi. Dalam kepalanya, muncul ide
untuk melakukan seseuatu yang lain, yang menyenangkan, dan tentu saja memuaskannya.
Karena ia menganggap sesuatu itu menyenangkan, baik dan benar, kalau sesuatu
itu mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Doni memang kalau dilihat sekilas,
mirip dengan William James.
Doni melihat kakaknya
masih sibuk menelusuri buku yang ditelitinya sejak dua hari yang lalu. Joni
berbaring santai di atas kasur. Kepalanya terganjang bantal, sedang kakinya
memangku angkuh. Buku itu digenggam naik turun dada ke kasur. Doni memperhatikan
judul buku itu. Tampak beberapa larik kata berjejal. Disitu tertulis, Kajian Kritis Das Capital Karl Marx
karangan Anthony Brewer.
Kedua mata Doni tajam
mengamati kover buku kiri itu. Kelopak matanya perlahan membuka lebar dihiasi cahaya
berbinar. Lentik matanya yang semula layu menegang. Dalam hati, Doni tidak
sadar berujar, pada hari semaju ini rupanya masih ada orang yang membaca buku
kuno tersebut? Apakah orang itu masih hidup di dalam sejarah? Tidakkah ia
membuka mata lebar-lebar dan memeluk mahzab ekonomi moderen? Sungguh,
orang-orang yang merugi.
Tidak tahan dengan
pergolakan pertanyaan-pertanyaan di dalam dirinya. Yang mengoyak-ngoyak logika
ekonomi neoklasiknya. Tanpa basa-basi Doni lantas bersuara. “Bro. Kamu masih
suka saja dengan buku macam begitu?”
Joni sekonyong-konyong
terperanjat. Sejenak ia mengalihkan kedua bola matanya yang dari tadi sibuk
menyisiri larik-larik tulisan ke arah Doni. Kedua matanya tajam memperhatikan
air muka Doni yang sumringah. Ia hanya tersenyum dan mengembalikan posisi
matanya. Menurutnya, hanya membuang waktu kalau berdiskusi dengan orang seperti
Doni. Ia sudah tahu ujung diskusi sebelum diskusi itu dimulai.
“Joni, memang menurutmu
Sosialisme itu dapat menyelesaikan masalah ekonomi manusia modern? Bukankah itu
hanya khayalan seorang paruh baya di pertengahan abad 19?” Doni mulai mencibir
dengan metafor. Ia berdiri menyandar di ujung pintu. Duduk terlalu lama membuat
kakinya pegal.
“Bro, cara pikir
manusia sosialis, tidak akan pernah maju. Kau tahu tidak? Tujuan hidup manusia sekarang,
kalau saya perhatikan, adalah individualisme. Maka, tentu saja mereka cenderung
menuhankan diri mereka sendiri. Itu teorinya.” Doni tersenyum lebar. Ocehannya
semakin keras menyepak gendang telinga Joni yang sejak tadi tertidur pulas.
“Ah, kau bercanda.
Bagaimana bisa manusia itu menuhankan dirinya. Lalu mau dibawa kemana Tuhan
kalau kita menuhankan diri sendiri?”
“Kamu tidak lihat?
Sekarang banyak orang yang lebih sibuk mengurusi diri mereka sendiri daripada
orang lain. Mereka lebih percaya dengan apa yang mereka katakan daripada yang
orang lain katakan.” Doni menimpal. Air mukanya menggambarkan keyakinan yang
bulat bahwa apa yang dipikirkannya itu benar-benar ada dan terjadi.
“Bisa kau berikan
contoh?” Ujar Joni penasaran.
“Makanya Bro, jangan terlalu
banyak baca buku. Jangan terlalu percaya dengan kalimat-kalimat disitu. Kamu
tahu? Penulis buku itu semuanya tidak obyektif. Mereka hanya menulis sesuatu
menurut kedalaman pengalaman mereka sendiri. Penulisan yang obyektif sebenarnya
tidak ada, kecuali sensus.”
“Sekarang coba kamu
pikirkan. Kamu tidak tahu, orang yang menulis buku itu berangkat dari riset?
Tentu saja mereka tidak akan menuliskan sesuatu sesuai pandangan mereka tanpa
mempertimbangkan pandangan orang lain.” Joni menanggapi. Tampaknya telinganya
serasa dipecut berkali-kali. Ia tidak akan membiarkan kesalahan berkuasa.
“Kata dosen saya.
Sebagai seorang mahasiswa ekonomi, kita tidak perlu banyak mendalami teori.
Yang kita butuhkan adalah kepercayaan diri. Karena teori tidak berguna kalau sudah
berhadapan dengan dunia praktek. Bukankah yang paling penting itu praktek? Dan
di dalam dunia praktik yang menang adalah orang yang percaya diri.”
“Makanya kalau kamu
bertemu mahasiswa ITB mereka cenderung terlihat sombong. Karena mereka merasa
diri mereka berasal dari tempat yang terbaik. Tidak ada apa-apanya jika
disbanding dengan kita disini. Sehingga, di hadapan kampus-kampus yang lain,
mereka merasa lebih tinggi. Nah, hal seperti itu berguna di dunia praktek.”
“Saya tidak tahu,
karena belum pernah secara langsung berdialog dengan mereka. Tetapi saya pikir,
tidak semua dari mereka seperti itu. Bro, kamu harus tahu, praktik itu memang
penting tetapi kalau dilandasi dengan teori yang salah maka tambah salah. Orang
akan bertindak baik karena dibangun dengan ide yang baik. Tidak mungkin
keduanya saling bersaing.” Ujar Joni mencoba menasehati.
“Jadi begini, manusia
pada dasarnya berpikir agar ia sendiri baik. Jadi, kalau ada orang lain yang
meminta bantuan, itu harus dianalisa dulu. Apakah pertolongan itu baik bagi
dirinya atau tidak. Artinya, dengan menolong orang itu, ia tidak merasa rugi
atau kekurangan? Kalau merasa rugi maka pertolongan itu tidak perlu.”
“Ah, disini kamu harus
teliti Bro. Bagaimana kalau orang itu benar-benar membutuhkan pertolongan itu?
Bagaimana kalau ia sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menolong dirinya lagi?
Bukankah disitu secara naluri kita harus menolongnya? Misalnya temanmu
kelaparan dan meminta telur punyamu sebutir. Dengan alasan uangnya belum
dikirim. Bukankah suara hatimu seharusnya mendorongmu untuk memberinya.” Joni
bertanya balik.
“Misalnya begini. Kamu
sebagai seorang mahasiswa dikirimi oleh orang tua setiap bulan Rp. 1000.000.
Tetapi karena kamu pemboros, maka uang itu habis sebelum waktunya habis. Lalu,
apakah kamu akan menolong orang itu kalau kamu juga sebenarnya membutuhkan
pertolongan? Bukankah itu bodoh namanya? Kamu pilih mana, menolongnya tetapi
kemudian meminta pertolongan orang lain, karena uangmu sudah diberikan
kepadanya. Atau kamu tidak memberinya tetapi kamu tidak meminta kepada orang
lain? Mana yang lebih mulia? Tangan di atas ataukah tangan di bawah? Doni
menirukan perkatannya dengan menggerakkan kedua tangannya. Yang kiri diatas, yang
kanan dibawah.
Joni mencoba menimbang-nimbang
pendapat adiknya. Sekilas pendapat itu memang benar. tetapi semakin lama ia
semakin sadar bahwa perkatan itu sangat
lemah. Benarkah seorang manusia yang kodratnya merupakan mahluk sosial tega
melihat manusia yang lain menderita. Apalagi orang itu merupakan sahabat. Padahal
ia mempunyai kuasa untuk menolong. Bukankah hal itu diajarkan oleh agama dan
moral orang Indonesia?
“Justru disitu kekeliruannya
Bro. Masa sebagai manusia, apalagi mahasiswa, kamu tega berbuat seperti itu
kepada orang yang sedang kesulitan? Bukankah secara umum hal itu secara moral
tidak benar? Meskipun tidak berarti itu buruk.”
“Jadi menurut saya,
diri kita sendirilah yang harus kita lindungi dulu. Baru kalau sudah mampu,
kalau sudah mandiri, karena sudah bekerja, maka itu boleh dilakukan. Apa
gunanya kalau kita mengorbankan diri kita buat kebaikan orang lain? Bukankah
itu cara berpikir yang gegabah? Lalu begitu juga dengan orang lain yang harus
menolongmu, karena kamu kelaparan karena membantu orang itu? Bukankah kamu
nantinya akan menzalimi orang lain karena terus-menerus meminta pertolongan mereka.
Apakah kamu tidak malu meminjam uang orang lain?”
“Saya pikir tidak
apa-apa selama orang itu bisa terbantu. Toh, belum tentu juga kan dengan
membantu orang lain uang kita habis? Apalagi kalau hanya kehilangan uang Rp.
2000 –karena Doni selalu menarik tarif bagi teman-teman yang meminta jatah
makanannya (mie, telur, nasi, dll). Bukankah keterlaluan hanya gara-gara
menahan uang itu kita lantas membiarkan orang lain kesusahan, kelaparan?”
“Menurut saya justru
tidak, karena diri kita lebih berharga daripada orang lain. Uang itu
diperuntukkan untuk kita. Apalagi kita masih mahasiswa. Bukankah kalau kita
kehabisan uang kita pasti akan menyulitkan orang tua? Jadi, mana yang lebih
penting menyusahkan orang lain atau menyusahkan orang tua?”
Joni tersenyum, ia
mulai menangkap gelagat diskusi Doni yang sudah mulai melebar. Karena Doni
memang akan mulai begitu jika akurasi jawabannya mulai melemah. Sudah menjadi
kebiasaannya menggunakan apa saja menjadi apologi. Makanya diskusi dengannya
tidak akan pernah habis. Karena Doni mempunyai berpuluh alasan untuk
membenarkan pendapatnya.
Bisa dilihat, Doni
mulai melebarkan persoalan yang sebenarnya sederhana: menolong orang. Cocokkah
membawa persoalan menolong orang berdampak sampai mengurangi persediaan uang?
Padahal porsi makan Doni relatif berlebihan (makan lebih 3x sehari). Apalagi
meyangkut-pautkannya ke persoalan menzalimi orang tua. Padahal hanya memberi
Rp. 2000 saja.
“Maka dari itu Bro,
tujuan manusia itu adalah egoisme. Dia harus menjadi individualis agar bisa
mandiri dan bertahan dalam persaingan dunia modern. Kamu bisa lihat di
sekelilingmu, orang-orang yang lemah adalah bukan orang-orang individualis.” Doni
kembali mempertegas.
Lesung pipit Joni makin
membelah panjang. Senyumnya lebar sampai gigi atasnya kelihatan semua. Tangan
kirinya mengusap-usap dahinya yang berminyak. Sesekali naik ke atas menyisir
rambutnya yang acak-acakan. Tangan kanannya menutup buku yang sejak tadi ia acuhkan. Kakinya menjulur lurus melampaui
ujung kasur, menyentuh lantai kamar. Ia tampak mulai serius menanggapi
pendapat-pendapat adiknya.
“Begini Bro, katakanlah
misalnya, kamu sedang membutuhkan sejumlah uang. Meskipun uangmu ada di ATM.
Tetapi karena listrik sedang mati, maka kamu tidak bisa menggunakannya karena
otomatis juga mati. Nah, padahal kamu harus mengisi perutmu karena sejak pagi
kamu puasa. Dalam keadaan seperti itu apa yang akan kamu lakukan? Apakah
mendiamkan dirimu kelaparan dalam ketidakpastian atau meminjam uang kepada
orang lain? Bukankah kamu pernah begitu?” Joni tersenyum lebar, pertanyaannya
ia yakin tidak mungkin bisa disanggah Doni. Karena adiknya itu pernah melakukan
hal serupa. Joni sengaja mengembalikan ingatan Doni.
Wajah Doni mulai kusut.
Bola matanya berputar-putar mencari jawaban. Senyumnya yang lebar ditarik ke
dalam. Nafasnya megap-megap ditahan untuk berpikir sejenak.
“Tapi begini,
seharusnya orang itu sadar bahwa meminta itu tidak baik. Tetapi kalau terpaksa
atau darurat ya, mau dibilang apalagi?” Wajah kusut Doni dingin menahan malu.
Meskipun begitu, ia tetap melebar untuk menutup-nutupi apologinya. Emosinya
tampak sudah menjajah akal budinya. Sehingga tidak mampu berpikir jernih atau
setidak-tidaknya lurus.
Ponsel Doni tiba-tiba berdering
kencang. Bergegas diraihnyalah benda putih itu dan ditempelkan ke kuping. Ia perlahan
berjalan meninggalkan kamar yang mulai gelap. Suaranya hilang bersama
langkahnya yang semakin menjauh. Joni hanya tersenyum dan kembali asyik meneruskan
bacaannya.
Jadan, 17 November 2013
Komentar
Posting Komentar