Kuliah Untuk jadi Buruh
Banyak
anak-anak muda Indonesia bangga menjadi mahasiswa teladan. Itu harus, wajib!
Apalagi dalam waktu yang singkat mampu menyabet gelar sarjana dan tanpa
menunggu lama diterima bekerja. Lantas, status sosial pun berubah. Dari mahasiswa
ke pegawai negeri, perusahaan, BUMN, dll. Lelah dan letih mengasah otak di
bangku kuliah terbayar sudah. Status pengangguran yang selama ini menjadi momok
para sarjana terlampaui dengan mudah.
Di
Daurah Marhalah 2 (DM) KAMMI Sleman
kemarin saya menemukan dua orang peserta yang curhat saat focus group discussion (FGD). “Mas, saya kayaknya merasa seperti
terkungkung persis seperti yang Mas ceritakan.” Ujar Agung, peserta asal Yogya.
Setelah sebelumnya ia menyimak cerita saya tentang bagaimana kapitalisme
bekerja di Indonesia.
Agung
merasa dengan kuliah yang ditekuninya selama ini secara tak sadar memasung
kesadarannya sebagai manusia bebas. Memang, ia tidak secara implisit
menceritakan kisah perkuliahannya kepada saya. Tetapi, bacaan saya, ia kuliah
terikat kontrak dengan sebuah
perusahaan. Biaya kuliah ditanggung 100 persen dan selepas kuliah kembalilah ia
bekerja ke dalam perusahaan. Bukankah enak kuliah tanpa merogoh kocek? Apa enak
dituntut lulus dalam waktu yang ditentukan dengan bayang-bayang sanksi ganti
rugi jika tidak memenuhi target?
Saat
FGD hari terakhir juga sama. Saya menjumpai keluhan yang mirip setelah diskusi
mulai mengarah kepada masalah-masalah di komisariat. Dua peserta dari UMBY
memicu peserta yang lain untuk membeberkan masalah-masalah mereka. Salah
satunya, Yusuf, peserta asal Yogya.
Ia mengeluhkan proses regenerasi di komsatnya yang berlangsung cepat. “Mas, di
komsat KAMMI paling lama kader hanya aktif 4 tahun. Setelah itu lulus dan meninggalkan
komsat. Saya sendiri, jurusan pertanian, harus selesai 3,5 tahun. Kalau tidak
saya harus membayar seluruh biaya kuliah yang dibiayai perusahaan sejak
semester pertama. Bayangkan Mas, 1 tahun kami magang jauh dari kampus dan
setelah itu harus lulus. Jadi waktu kami di kampus hanya 2,5 tahun lebih.
Apalagi KAMMI di kampus di benci oleh rektorat.” Sontak saya terperanjat
mendengar pengakuannya. Ah, pengakuannya ini benar-benar bukti bahwa
kapitalisme itu juga bekerja dalam kampus. Ia adalah korban eksploitasi mereka.
Keberadan Yusuf menandakan para kapitalis itu memang tidak pernah jujur untuk
mencerdaskan anak-anak ini.
Saya
tidak bisa membayangkan, bagaimana perjuangan menjadi aktivis seperti Yusuf
harus ditempuh. Ia kuliah di tanggung
perusahaan yang menginginkan tenaganya. Melalui program beasiswa bekerja sama
dengan kampus. Tapi dengan waktu tempuh 3,5 tahun bagaimana ia akan mampu
mengelola komsatnya dengan baik? Bagaimana ia dapat belajar menjadi intelektual
profetik? Tidak heran, ia pasif dalam dinamika-dinamika DM 2. Anak ini, bagaimana dapat merasa nikmatnya
menjadi mahasiswa? Kasihan, ia hanya bisa kuliah dan menjadi separuh aktivis. Sayang,
ia tak sempat menikmati buku-buku dalam
rak Mantuba. Rona air mukanya yang sendu apakah selalu begitu?
Kuliah
kontrak seperti ini benar-benar menyandera kebebasan mahasiswa. Mahasiswa
secara tak sadar di kekang untuk kuliah secepat mungkin untuk kemudian lompat
ke dunia pekerjaan yang kesal menanti mereka. Deal antara kampus dan perusahaan seperti di Instiper dan banyak
kampus yang mengadakan program kuliah kontrak adalah wajah buruk pendidikan kita
yang diam-diam mematikan SDA manusia Indonesia secara struktural. Saya tidak
tahu, apakah semua institusi pendidikan swasta di negeri ini mempunyai program
yang sama. Kalau benar, apa bedanya program itu dengan sistem bunga dalam
perekonomian kapitalis?
Mahasiswa
seperti Yusuf dan Agung adalah potret anak-anak zaman yang hidup dalam
gonjang-ganjing hegemoni kapitalis rakus yang mencengkeram perguruan tinggi.
Semoga saja hanya sebatas kampus-kampus swasta. Memang, kampus swasta itu tidak
ada bedanya dengan perusahaan kapitalis. Omong kosong kalau semua jejalan
kurikulum mereka 100 persen untuk mencerdaskan mahasiswa cuma-cuma tanpa
reserve. Sudah jadi rahasia umum, mereka ada untuk akumulasi kapital dari para
mahasiswa bertameng terma-terma moral: Uang Sumbangan, Shodaqoh, dll. Apalagi
kalau minim modal, maka perselingkuhan dengan perusahaan-perusahaan kapitalis
menjadi jalan ketiga.
Jangan
heran, tarif memasuki kampus-kampus itu setinggi langit. Apalagi dengan program
jurusan langka (teknik tambang, nuklir, hubungan internasional) dan berprestis
tinggi (kedokteran), hampir tidak ada bedanya dengan pose komoditas mewah di
etalase GAP, Nike, Cardinal dan kawan-kawannya. Pendidikan akhirnya ditarik dalam
konstelasi ekonomi kapitalis yang berpaut dengan hokum penawaran dan
permintaan. Sekolah Kedokteran Escuela Latinoamericana de Medicina (ELAM) di Kuba yang konon
gratis, rasa-rasanya hanya mimpi di siang bolong bagi logika dunia pendidikan
kita sekarang. Barangkali sampai dunia kiamat tidak pernah ada kampus yang disediakan
cuma-cuma oleh pemerintah kita yang neolib.
Tidak
heran, kini kuantitas mahasiswa yang turun ke jalan mengawal reformasi terjun
bebas. Jangankan ke jalan, hadir diskusi saja mahasiswa ogah. Seminar
kebangsaan yang di selipi banyak door prize
sepi. Sebaliknya, seminar entrepreneurship, cinta dan nikah, hijabers borjuis, yang
semuanya ber-IDR selangit malah penuh sesak antrian para mahasiswa. Pameran komputer
dan smartphone padat usai lengang
apalagi sepi. Bahkan, beberapa waktu lalu ada pengunjung yang adu jotos merebut
antrian pameran ponsel terbaru.
Kampus
yang sedianya menciptakan kualitas manusia Indonesia yang adiluhung tidak
mungkin lagi diharapkan. Pendidikan karakter seyogianya yang sedari sini
disemai tidak terjadi, atau kalaupun ada, gagal. Buktinya apa? Lihat saja
sarjana produk kampus-kampus sekarang. Hitunglah! Banyak mana? Yang mencari
kerja untuk kemudian menjadi buruh atau menciptakan pekerjaan? Kalau presentase
yang terakhir lebih menonjol maka gorok leher saya. Atau begini saja, tidak
perlu jauh-jauh bermimpi, jumlah mereka sudah di atas 2 persen belum? Yang
disebut-sebut sebagai fondasi menjadi negara maju baru.
Pikirkan
saja sendiri, anak-anak muda seperti Yusuf dan Agung, yang nantinya akan
menjadi buruh dan ratusan bahkan ribuan
anak-anak yang bernasib sama, akan menjadi apa di perusahaan-perusahaan itu
-yang tanpa idealisme aktivis- kalau tidak menjadi calon manusia kapitalis atau
kroninya kapitalis di masa depan? Tidak tahukah bahwa mereka telah memasuki proses
regenerasi kapitalis sembari menikmati susahnya ditindas tenaga dan intelektualnya sekaligus. Nantinya sampai
mereka membentuk serikat, melawan, jatuh korban, baru kampus sadar, negara
sadar, telah salah menyelenggarakan pendidikan yang selalu mereka puja dan
keramatkan sebagai sistem terbaik yang mendunia. Wallahu alam bis shawab.
Jadan, 31 Desember 2013
Komentar
Posting Komentar