Mandela[*]
Ratap sendu menerpa pintu kalbuku.
Bau anyir apartheid masih
terngiang-ngiang di kepalaku.
Teringat ketika ia mencengkeram selatan benua
Afrika.
Laksana rasisme yang menghantui episode Perang
Dunia kedua.
Aneksasi Inggris sebentar lagi hampir
jadi sejarah.
Kejayaan kolonialisme yang hidup
berabad-abad
perlahan mulai meranggas.
Sedangkan hak asasi manusia
menari dan beryanyi dimana-mana.
Lantas, singgah melecut pantat si
penjajah tua.
Di Afrika Selatan tempat Inggris
bertahan,
orang kulit putih diamankan,
disejahterakan.
Sedangkan orang kulit hitam diintimidasi,
dimarginalkan.
Barangkali sama dengan konflik Hutu-Tutsi
di Rwanda,
yang membuat Kigali banjir darah.
Di Afrika Selatan, protes dan kritik
dilarang.
Hak berkumpul dipasung.
Organisasi, hanya untuk orang kulit
putih dari Eropa.
Bagi orang kulit hitam, mendidirikan
organisasi
adalah ilegal, haram, bid’ah.
“Sudahlah Bung, cari makan saja kau.
Hidupilah itu anak isterimu.
Kau tidak usah minta keadilan.
Biarlah ia kami yang definisikan.
Hukum kami saja yang ciptakan.
Tugasmu, hanya dengar, taat, jalankan.”
Ujar si kulit putih.
Diskusi-diskusi bawah tanah bergerak.
Mencipta akumulasi kritisisme yang makin
membengkak.
Simpul-simpul reformis, bersiul dan
berdendang.
Panflet, poster, spanduk berkibar,
membentang.
Menggenangi sudut-sudut Pretoria
dan berteriak: “matilah imperialisme, bunuh rasisme.”
O, Mandela. Sang reformis!
Lahir dan berdiri di tengah lautan
manusia hitam.
Bernafas megap-megap, mengerang dalam.
Menjelma, menjadi suluh di tengah gulita
malam.
Kau meneriakkan perdamaian, emansipasi, anti-rasial.
Tetapi kau bukan Elijah Mohamad,
Malcolm X atau Martin Luther King, mungkin
lebih tepat.
Karena kau bukanlah pendendam.
Kau adalah manusia sarat kasih sayang.
O, Mandela. Sang proklamator!
Si kulit putih kebakaran jenggot
dengan kritikmu.
Batok kepalanya pecah tersodok
kerikil-kerikil revolusi rakyatmu.
Lantas mereka gelisah, menggeliat,
dongkol, songong, termangu mati kutu.
Dan mereka menculik dan membuangmu di
pulau itu.
O, Mandela. Sang inspirator!
Meskipun kau diasingkan,
sekalipun kau terpenjara dalam peti
kematian.
Semua suara mendukungmu.
Rakyat Afrika dan dunia menuntut
pembebasanmu.
Dan lihatlah surat-surat itu datang dan
pergi.
Meskipun penuh dengan larik-larik hitam di
spidol,
di sobek si sipir putih yang hipokrit,
yang melacurkan keadilan demi upah,
yang menggadai kebenaran demi nafkah.
Bahkan sampai kau tak tahu
putramu dibunuh.
Begitulah politik, area bebas
bunuh-bunuhan:
antara ide dan kepentingan.
O, Mandela! Inspirator delapan penjuru
mata angin!
28 tahun eksistensimu mendekam dibalik dinding-dinding
sempit.
Soliter menjadi pilihan hidupmu yang
pahit.
Setelah sekian lama kolektivisme kau
pertahankan,
bersama peluh, darah, dengan sengit.
Tetapi mengapa tidak ada kemarahan
mengernyit di
dahimu? Mengapa tidak ku jumpai dendam
yang
tergenggam dalam tinjumu? Mengapa api
fanatisme tidak
terpancar di kedua bola matamu?
Sedangkan kau, dengan gembira,
berujar tentang cinta. Dengan riang,
berfatwa tentang itsar.
O, Mandela. Sang humanis!
Kau bangun dan merangkul si hitam dan
putih.
Kau suapi keduanya madu,
dengan jari-jemarimu yang mengkerut
dimakan waktu.
Duduk bersama, di atas hamparan sabana,
dan berujar, “aku datang untuk
mengakhiri dominasi kulit putih dan
kulit hitam.”
Bersama puisi ini aku bersaksi.
Dengan kepergianmu, dunia telah berubah.
Diskriminasi surut di berbagai penjuru
dunia.
Rasisme menjadi musuh umat manusia.
Tetapi, ketidakadilan dan penindasan
tidak akan pernah berakhir.
Penjajahan dan penghisapan tidak akan
reda menghantui.
Negara-negara miskin, berkembang,
poskolonial,
tidak akan pernah berdikari.
Selama tidak ada hati nurani.
Yang kau tunjukkan dan ajarkan kepada
kami.
Tamantirto, 6 Desember 2013
Zulfikhar
Komentar
Posting Komentar