Alasan Mencuri Mangga





Kamis besok SMP 3 libur, tanggal merah Hari Pendidikan Nasional. Siang itu emperan depan sekolah ramai dipadati siswa yang baru pulang sekolah. Banyak siswa berdiri di bahu jalan menunggu jemputan atau mobil angkutan umum. Sehingga kemacetan tidak terhindarkan. Semua kendaraan umum dan pribadi melintas pelan layaknya antrian kendaraan di gerbang tol ibukota. 

Sinar matahari turun sangat panas. Siang itu memang puncak musim kemarau tahun ini. Tidak terasa peluh mengalir menuruni dahi Ali. Sesekali punggung tangannya diusap-usapkan ke dahinya  yang terpanggang terik sehingga mulai berwarna kecokelatan. Satu dua kali ia ia menggunakan lengan seragamnya membantu mengusap-usap. 


Siang itu Ali ditemani sahabat karibnya, Rian. Keduanya  berjalan pulang melintasi trotoar depan sekolah menuju timur. Mereka pulang berjalan kaki seperti biasanya. Sebab cara ini lebih mereka gandrungi daripada menggunakan kendaraan. Sebab jarak sekolah tidak terlalu jauh dari kampung dimana mereka tinggal. 

Karena besok libur, Ali dan Rian memutuskan tidak pulang ke rumah lebih awal. Pikir mereka lebih baik hari ini dihabiskan dengan keluyuran. Tentunya mereka tidak harus mempersiapkan diri untuk belajar pada malam harinya sebagaimana ketika hari-hari aktif sekolah.

“Ali, sore ini kamu mau kemana?” tanya Rian  menoleh wajah Ali yang mengikutinya dari belakang.
“Aku belum ada rencana. Kamu?”
“Aku tidak ada.”
“Main ke rental PS2 yuk? Eh, kebetulan disitu baru masuk beberapa PS2 yang baru?”
“O begitu.” jawab Ali dingin. Ia menanggapi ajakan itu dengan menunduk. Bibirnya datar tanpa ekspresi gairah dan sedikit kesal. Dalam hatinya, ia sudah bosan mendengar kata-kata yang berhubungan dengan benda itu. Berulang kali ia menolak ajakan-ajakan serupa dari teman-temannya yang lain. Sebab, ia memang tidak suka bermain games. Baginya, aktivitas seperti itu membuang-buang waktu dan uang. Ia lebih memilih menggunakan uangnya untuk menyewa novel.
 “Aku bosan main kesitu.”
“Kenapa?” Tanya Rian penasaran. Ia heran, tidak biasanya Ali menolak ajakannya.
“Kupikir hanya membuang-buang waktu. Lagipula main PS tidak mendatangkan manfaat apapun.”
“Gimana kalau kita ke kolam?” ajak Ali. “Hari yang sepanas ini paling cocok dinikmati dengan berenang. Betul kan?”
“Iya sih, tapi hari ini disana gak ramai Li.”
“Justru itu paling bagus. Bukankah sepi itumembuat kita leluasa berenang sepuasnya. Tidak ada yang mengganggu. Wah, pasti seru.” Seru Ali kegirangan.
Doni mengangguk. Ia pikir tidak ada salahnya sekali-kali ke kolam renang. Kebetulan ia belum terlalu mahir berenang. Ali bisa ia minta ajarkan.
“Oke. Ayo kita kesana.” Ajak Doni dengan senyum simpul.

Kedua anak itu lantas berbelok ke Utara. Menuju tempat tersebut yang lokasinya agak jauh dari sekolah. 

Kolam renang itu terletak kaki bukit yang membelah kota itu menjadi dua. Di sekelilingnya tumbuh puluhan pohong Ketapang. Yang membuat lingkungan sekitar kolam rimbun dan otomatis menghalangi terik matahari. Air di kolam itu juga dingin. Sebab dialirkan langsung dari mata air yang berada di puncak bukit. 

Dalam perjalanan, Ali dan Doni singgah ke sebuah kios membeli minuman dan makanan kecil. Baju seragam putih yang dibasahi peluh mereka tanggalkan, dimasukkan ke dalam ransel. Menyisakan kaus yang sedikit basah di pangkal tengkuk dan ketiak Sembari berjalan kedua remaja menyanyikan bersama beberapa lagu Iwan Fals. Sesekali diramaikan dengan siulan nyaring bergantian.

 30 menit kemudian mereka tiba ke kolam renang. Tempat itu sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang. Tampak beberapa orang dewasa berenang pelan mengelilingi kolam. Mereka memperhatikan Ali dan Doni yang baru saja memasuki areal kolam. Kedua anak itu menuju ke sebuah kursi panjang yang sepi di sudut kolam. 

“Itu kan aku bilang. Suasana seperti inilah yang paling cocok untuk berenang,” komentar Ali terhadap keadaan kolam. Ia sangat gembira menyaksikan kesepian itu. Ia berencana akan melompat berenang sepuasnya. Kebetulan di sisi Utara kolam, tersedia papan lompatan yang berdiri menghujam beberapa meter di atas permukaan air. 

“Sepakat. Ayo terjun!” Ajak Doni sembari berhamburan menuju kolam dan terjun ke dalam air.
“Hei tunggu!” Sahut Ali dengan senyum lebar. Ia bergegas berlari menyusul.

Kedua anak itu berenang dengan semangat. Berkali-kali keduanya berenang menyusuri  bibir kolam, keliling beberapa kali. Dalam keayikan itu, Doni meminta Ali mengajarinya teknik gaya punggung. Ia mengaku belum terampil mengayunkan kedua kakinya. Ayunan tangannya juga agak kaku. 

Papan lompatan berkali-kali mereka gunakan. Untuk menguji nyali, fasilitas itu cukup berguna. Juga melatih teknik lompatan yang sudah mereka kuasai, terkhusus Ali. Kedua anak itu melompat tanpa rasa takut. Padahal tiang alat itu 10 meter tingginya. Mereka nyaman-nyaman saya melayang beberapa mikrodetik. Padahal aksi itu seperti membuat jantung seolah berhenti berdetak beberapa saat.

Kurang lebih satu jam asyik berkeliaran dalam kolam, kedua remaja itu beranjak duduk ke tepi. Ali datang membawa minum dan makan. Keduanya makan dengan lahap sampai seluruh makanan habis tak tersisa. Kedua botol air mineral juga habis. Setelah sejenak beristirahat menghilangkan rasa kenyang, mereka pun memutuskan pulang. 

Remah-remah sisa makanan mereka berserakan di pematang beton kolam. Sampahnya juga tidak di bersihkan. Barangkali mereka lupa atau sengaja melakukannya. Mereka meniru beberapa orang dewasa yang baru saja pulang melakukan hal yang sama. Setelah berpakaian, mereka beranjak meninggalkan kolam. 

Sebelum berjalan meninggalkan areal kolam, tiba-tiba mereka dipanggil oleh seseorang dari belakang.

“Maaf Dik… Bisa bicara sebentar?” panggil seorang lelaki paruh baya berseragam biru. Tampaknya ia pengelola kolam tersebut.

Ali dan Doni menghentikan langkah dan menoleh ke sumber suara. Rasa penasaran seketika melintas di pikiran mereka. Apa gerangan membuat bapak itu memanggil kita? Apa ada barang kita yang ketinggalan? Lelaki itu datang menghampiri mereka dengan wajah sungut.

“Dik, kalian sepertinya ada lupa sesuatu?”
“Hmm. Kayaknya tidak Pak?” jawab Ali yang bergegas memeriksa ranselnya.
Doni menggeleng menatap lelaki itu. Ia juga merasa tidak meninggalkan sesuatu.
“Maksud saya bukan barang kalian yang ketinggalan Dik.”
“Lalu apa Pak? Tanya Doni penasaran. Ia semakin bingung dengan pertanyaan lelaki itu.
“Masa kalian tidak sadar? Kalian kan tadi makan di pinggir kolam? Kata lelaki itu dengan nada mulai meninggi. Lelaki itu kelihatan mulai marah.
“Memang benar Pak, terus kenapa?” jawab Ali. Ia tambah bingung, apa di sini dilarang makan di pinggir kolam? Setahunya, tidak ada peraturan di tempat itu yang mengatur.
“Bukan. Bukan itu Dik!” jawab lelaki itu ketus.
“O. Aku tahu. Sampah itu ya Pak?” sela Doni mengangkat kedua alisnya tanda mengerti.
“Betul. Di bersihkan dulu ya? Baru pulang!” kata lelaki itu datar dan melangkah pergi.
“Ah. Hanya itu saja sampai berlarut-larut begini. Dasar! Bapak aneh!”  seru Doni dengan wajah kusut. “Bukankah tinggal dibersihkan saja? Begitu saja marah! Lalu apa gunanya bapak-bapak petugas kebersihan itu?”
“Betul Don. Aku juga heran. Kenapa tadi bapak-bapak yang meninggalkan sampah bisa pergi dengan bebas. Malah kita yang bocah dilarang? Benar-benar tidak adil! Beraninya sama anak kecil!” sambut Ali dengan ketus. Ia tidak terima mereka diperlakukan seperti itu.
“Ayo Li, kita pergi saja! Perintahnya gak usah diikuti. Kita kan bayar kesini!” bujuk Doni.
Ali mengangguk. Ia pikir Doni benar. Perintah seperti itu tidak perlu diikuti.
Kedua remaja itu lantas berpaling bergegas ke pintu keluar. Tetapi langkah mereka dipergoki oleh lelaki paruh baya itu. Ia marah dan mengejar mereka.
“Hei tunggu! Sampahnya belum kalian bersihkan!” Seru lelaki paruh baya itu dengan nafas tersengal-sengal. Ia mencoba mengejar kedua remaja itu tapi tak mampu. Usianya yang hampir kepala lima menghambatnya. Ia berhenti dan menggerutu sejadinya.

Ia tambah jengkel menyaksikan kedua remaja itu tidak hanya melarikan diri, tetapi juga mencuri beberapa buah mangga yang dijual oleh pengelola kolam di sisi pintu gerbang. Ia tidak menyangka, kedua remaja itu sangat kurang ajar. Sepertinya mereka sengaja melakukan itu untuk mengerjainya. 

“He he he. Biar tahu rasa dia. Berani-beraninya mempermainkan kita.” Kata Doni dengan nafas tersengal-sengal. Ia terkekeh-kekeh melihat beberapa buah mangga yang berhasil dicurinya. Buah itu di tadah dalam lipatan kausnya.
“Mudah-mudahan bapak itu segera sadar. Agar jangan coba-coba bermain dengan kita.” Tambah Ali sembari memasukkan dua buang mangga ke dalam saku celana birunya.


Jadan, 10 November 2013



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*