Mengurai Advokasi dan Representasi Politik KAMMI untuk Mewujudkan Demokrasi Substansialis





Mewujudkan demokrasi substansialis dimungkinkan ketika nilai dan etika politik dijunjung tinggi oleh sebuah Negara. Pemerintahan di dalamnya belum layak memenuhi konsep tersebut, meskipun struktur dan pranata kelembagaan di dalamnya lengkap. Sebab demokrasi subtansialis dikatakan terjadi ketika pemerintah dapat memenuhi tujuan-tujuannya dengan mekanisme yang betul dan benar. 

Di Indonesia hal tersebut masih jauh disebut layak. Meskipun kerinduan rakyat akan hadirnya nilai dan etika politik dalam postur demokrasi tidak terbendung lagi. Sehingga perlahan kekecewaan rakyat semakin tinggi. Peningkatan presentase golput sejak pemilu di era reformasi diselenggarakan adalah salah satu buktinya. Rakyat tampaknya sudah lelah dan bosan dengan sodoran janji tanpa bukti.


. Hari ini banyak kepala daerah sangat serakah pada kekuasaan. Tidak puas menjabat sebagai orang nomor satu di daerahnya, mereka masih sempat-sempatnya mencalonkan diri memperebutkan posisi pada level yang lebih tinggi. Atau menjelang pemilu tahun ini, ada diantara mereka mencalonkan diri sebagai calon presiden. Dengan dalih atas amanat dan keinginan rakyat mereka maju mencalonkan diri. Sehingga, rakyat dialihkan untuk percaya bahwa apa yang mereka lakukan  baik.

Begitulah kondisi demokrasi kita kini. Sistem yang lebih mengedepankan pranata-pranata politik demi menghadiran kestabilan dan keamanan. Bukan sistem yang berhasrat dengan menggali potensi dan hakikat sebenarnya dari demokrasi. Akibatnya, presiden yang setiap lima tahun terpilih tidak membuahkan perubahan signifikan yang dirasakan rakyat. BBM tetap saja naik, harga kebutuhan pokok selalu naik, biaya pendidikan juga begitu, SDA dimana-dimana dioperasikan perusahaan asing, petani di daerah terus di intimidasi aparat pelindung para cukong.

Dilema Gerakan Mahasiswa
Kalau kita coba menarik sejarah KAMMI sejak 1998 sampai 2014, maka akan kita dapati dua tren kepemimpinan politik dengan karakter yang berbeda. Tahun 1998 sampai 2001, atmosfer politik kita didominasi oleh radikalitas politik. Suatu masa dimana presiden dituntut melakukan perubahan secepat mungkin dengan pendiktean dari massa yang cenderung kritis dan progresif. Dengan konsekuensi, terjadi penggulingan kekuasaan jika muncul deviasi politik. Seperti turunnya Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid.

Hal ini berbeda jika kita mengamati kondisi politik sejak 2001 sampai 2014. Dimana atmosfer politik berubah akomodatif dan persuasif. Massa lebih tenang, logis dan mulai apriori. Sebab postur ekonomi secara kasat mata terlihat stabil, otonomi politik di daerah mulai tumbuh, konflik horizontal relatif berkurang, perimbangan keuangan pusat dan daerah mulai berjalan. Sehingga radikalisasi massa tidak terjadi.

Dua tren tersebut juga terjadi pada gerakan mahasiswa. Bukan saja karena gerakan mahasiswa bagian dari massa yang ikut merubah tren tersebut. Tetapi sebagai elemen dari rakyat yang lebih sadar dan kritis, kestabilan juga mampu mempengaruhi mahasiswa. Oleh karenanya tidak heran, kuantitas perlawanan mahasiswa berangsur-angsur menurun. Demonstrasi yang digelar sudah lama tidak mampu mendatangkan massa dalam jumlah besar.

Semua persoalan tersebut salah satunya berakal pada kesibukan mahasiswa hari ini yang lebih banyak tersita dalam kampus. Persis kondisi mahasiswa pasca diterapkan NKK/BKK. Kesibukan mahasiswa kalau bukan menekuni riset-riset, maka berbisnis, menyalurkan hobi  dan hura-hura jadi alternatif. Muncullah fenomena dimana seminar-seminar bisnis dan pengembangan diri membludak disesaki para mahasiswa. Komunitas-komunitas hobi bertebaran dimana-mana. Mahasiswa juga lebih intens mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan ketimbang perpustakaan atau toko buku. Sekedar memenuhi hasrat pada barang sekunder yang popular seperti laptop, gadget dan tablet tercanggih. Tidak heran pertumbuhan ekonomi kita terbaik kedua setelah China.  Hal ini tidak lain disebabkan konsumsi orang-orang Indonesia yang sangat tinggi.

Ada Apa dengan Advokasi Politik KAMMI ?
Advokasi tidak pernah bisa dipisahkan dari gerakan mahasiswa. Termasuk KAMMI. Penggulingan politik yang terjadi juga berangkat dari sini. Hampir revolusi politik di muka bumi diawali dari advokasi-advokasi politik yang panjang dan melelahkan. 

Namun, daya keberhasilan advokasi rupanya hanya baru teruji dalam ranah politik praktis. Tetapi tumpul pada ranah politik kesejahteraan. Setidaknya bagi KAMMI sendiri. Sebab, pertama, diperlukan perhatian yang serius mengenai isu yang di advokasi. kedua, modal sosial yang sewaktu-waktu mesti siap mengeksekusi. Ketiga, konsolidasi terus-menerus untuk mematangkan agenda advokasi. Keempat, basis pendukung yang masih simpang siur.

Advokasi yang dilakukan KAMMI selama ini baru sebatas pada ranah kebijakan, kasus hukum dan kontroversi perundang-undangan. Advokasi model ini dibangun dengan memposisikan organisasi sebagai pengkritik ketimbang penemu solusi alternatif. Akhirnya, KAMMI lebih rajin mengkritik kebijakan yang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM, TDL, kasus Bank Century, Hambalang, liberalisasi ekonomi dan lain-lain. 

Padahal advokasi seyogianya tidak berhenti disitu. Advokasi harus mengawal isu sampai dilaksanakan pemerintah. Artinya, dengan advokasi, isu yang diperjuangkan otomatis terus dikawal sampai tahap akhir. Sehingga dengan begitu diperlukan kesadaran dan kemauan yang kuat. Pun diterima atau ditolak sudah jadi konsekuensi. Sebab banyak advokasi mahasiswa yang gagal setelah berbulan-bulan intens diperjuangkan. Tetapi bukan berarti berhenti ketika advokasi ditolak. 

KAMMI sampai hari ini belum serius melakukan advokasi. Advokasi yang dilakukan sejauh ini sebatas berhenti sampai ke meja persidangan. Setelah hakim menolak, lantas gaungnya terhenti. Dengan alasan, organisasi masih punya banyak tugas dan isu yang harus digarap. 

Kalau begitu adanya, tentu saja sampai kapanpun advokasi akan selalu lemah. Karenanya perlu ada beberapa reorganisasi yang menurut saya perlu dilakukan. Pertama, perlu ada pembagian isu diantara Pengurus Wilayah KAMMI di seluruh Indonesia. Dalam hal ini Pengurus Wilayah besinergi dengan Kajian Strategis melakukan kajian-kajian tentang isu-isu yang mampu mereka kelola. Lalu tugas PP KAMMI mengeksekusi dan mengadvokasi isu tersebut. Oleh sebab itu, PP KAMMI perlu memprioritaskan isu-isu tertentu yang mungkin bisa diadvokasi. Sehingga energi untuk mengeksekusinya lebih optimal.

Kedua, saya pikir dalam struktur PP KAMMI perlu ada departemen yang langsung membidani seputar advokasi. Karena fungsi Kebijakan Publik rasanya masih terlalu luas. Dengan banyaknya isu yang perlu diperjuangkan, seperti yang saya uraikan diatas, membuat Kebijakan Publik tidak punya banyak waktu dan tenaga yang cukup.

Representasi Politik KAMMI
Dalam kajian filsafat politik ada satu fenomena yang sering menjadi perhatian utama. Fenomena ini selalu tidak pernah berakhir untuk didiskusikan. Fenomena ini adalah politik presentasi dan representasi.

Presentasi dalam demokrasi umumnya disematkan kepada rakyat banyak. Karena memang pada dasarnya, demokrasi hadir agar rakyat yang berkuasa mampu sejahtera. Kebutuhannya tercukupi. Maka, hadir DPR bersama partai politik yang menopangnya sebagai representasinya. Maka, jika rakyat ingin memperjuangkan kepentingannya, ia harus mengadukannya kepada DPR. Inilah relasi presentasi dan representasi. 

Tetapi kepentingan rakyat tidak dengan mudah dapat dipenuhi. Karena di dalam DPR muncul transaksi antar partai, sehingga bisa jadi kepentingan rakyat diabaikan. Karena masing-masing partai punya kepentingan yang dibawa masing-masing. Belum lagi benturan dengan kepentingan partai lain. Apalagi jika rakyat yang menuntut, tidak punya ikatan ideologi atau pengalaman kontribusi memenangkan partai tersebut. 

Hal inilah yang saya pikir harus diterjemahkan kembali. Sebab kalau tidak budaya tranksaksional seperti ini akan terus berulang. Sebab hal ini terjadi, pertama, karena terlalu banyak partai politik di dalam struktur pemerintahan. Sehingga memperlama keputusan yang diambil. Kedua, ketidakjelasan sistem politik kita; presidensil ataukah parlementer. Juga ketidakjelasan fungsi politik antara Negara dan pemerintahan. Ketiga, mahalnya ongkos politik sehingga mendorong partai politik berlomba-lomba memperebutkan kursi kekuasaan dan proyek-proyek mercusuar. Selama ketiga hal ini tidak mampu diakhiri, maka selamanya kondisi demokrasi kita akan terus seperti ini. Otomatis rakyat selalu dinomorduakan. 

Lalu bagaimanakah dengan KAMMI? Apakah KAMMI mempunyai representasi politik? Kalau ada, lalu partai apa yang pantas menjadi representasi politiknya? Ataukah KAMMI bersikap netral seperti umumnya gerakan mahasiswa?

Hal ini secara umum disadari sulit bagi KAMMI. Bolehkah gerakan mahasiswa memiliki partai yang merepresentasikan kepentingannya dalam pemerintahan? Hal ini bukankah akan menodai politik ekstraparlementer yang dianut KAMMI?

Saya melihatnya justru tidak. KAMMI boleh saja mengamanatkan kepentingannya kepada partai-partai tertentu. Mengapa? Sebab KAMMI bukanlah lapisan rakyat yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari rakyat itu sendiri. KAMMI berhak meminta partai politik untuk membawa kepentingan organisasi. Permintaan itu merupakan permintaan yang wajar tidak sama sekali menciderai independensi KAMMI.  Selama tidak disertai ikatan dengan kepentingan partai politik tersebut. Sayangnya hal ini masih banyak dianggap tabu dalam budaya organisasi di KAMMI. Saya pikir demi kebaikan demokrasi, mitos itu  mulai sekarang harus diakhiri. 

Lalu partai seperti apa yang pantas menjadi representasi politik KAMMI? Partai apa saja tidak masalah. Selama keduanya mempunyai kepentingan yang sama. Tidak masalah partai Islam atau nasionalis. Seperti halnya pada pemilu tahun 2009 lalu. Dimana KAMMI punya kesamaan kepentingan dengan pasangan Mega-Prabowo. 

Memang seyogianya presentasi yang tepat dalam politik adalah presentasi berdasar kesamaan ideologi dan strategi. Jika presentasinya adalah kelompok masyarakat Islam (ormas, gerakan social, LSM), maka demikian dengan representasinya dari partai politik Islam. Kalau presentasinya dari masyarakat kiri, maka partai Kirilah yang merepresetasikan kepentingan masyarakat itu. Seperti halnya di Amerika Serikat. Masyarakat yang anti-imigran, Kristen fanatik, memiliki primordialitas Amerika yang tinggi, anti-kaum homoseks dan lesbian (LGBT) pasti pendukung setia Partai Republik yang konservatif. Sedangkan, rakyat  yang toleran pada  keberagaman, liberal, pasti mendukung Partai Demokrat. Sehingga dengan perbedaan sikap tersebut, kebijakan pemerintahan di negeri itu menjadi lebih jelas. Partai Republik gandrung perang di Timur Tengah, sebaliknya Partai Demokrat dengan Obama sebagai ikon pentingnya mengakhiri perang. Sehingga, cara masing-masing partai memerintah berbeda. Ideologi yang dianut benar-benar disampaikan dan diaktualisasikan.

Di Indonesia, sayangnya, masih jauh dengan dinamika  seperti itu. Hampir semua partai politik tidak mempunyai ideologi yang jelas. Kecuali beberapa partai Islam dan beberapa partai Kiri yang tidak mampu masuk parlemen. 

Tidak ada perbedaan ideologi antara Golkar, Demokrat, dan PDIP. Meskipun yang terakhir mendakwa dirinya sebagai pewaris ajaran Marhaenisme Soekarno atau Demokrat dengan nasionalis religiusnya. Semua partai menganut idelogi yang menghendaki popularitas. Popularitas itulah yang mereka kehendaki dan menjadi modal untuk memenangkan kompetisi demokrasi. Mereka menganut populisme sebagai ideologi.

Partai-partai tersebut menempatkan dirinya di tengah-tengah spektrum ideologi yang berkembang. Karenanya mereka bukan kanan atau kiri. Tidak jelas bersikap pada isu-isu minoritas yang kontroversial seperti persoalan Ahmadiyah, Syiah, isu pornografi, isu gender dan homoseksualitas. Mereka juga bekerja sama mendirikan organisasi-organisasi Islam yang berafiliasi kepada partai. Semua itu mereka lakukan semata-mata agar proporsi suara dalam pemilu mereka peroleh lebih besar. Mereka berhitung bahwa dengan politik aliran, kemenangan akan sulit dicapai.  Yang menarik, tidak hanya partai-partai nasionalis yang melakukan manuver tersebut, partai yang berasas Islam juga sudah meniru. Keanggotaan partai diperluas untuk mengakomodasi anggota baru yang berbeda ideologi, agama dan aliran.

KAMMI dan Demokrasi Subtansialis
Menyaksikan perbedaan demokrasi yang mencolok antara Indonesia dengan negara-negara yang sudah dewasa dan lama berdemokrasi,  seyogianya mendorong KAMMI untuk melakukan semacam refleksi untuk menyadari mana yang baik untuk masa depan demokrasi negeri ini. Apakah dengan kelengkapan struktur Negara sudah cukup membawa kepada visi besar yang diamanatkan Undang-undang Dasar 1945? Apakah demokrasi subtansial akan tercapai dengan kualitas demokrasi yang kita saksikan sekarang?

Lalu kalau belum apa yang perlu dilakukan? Apakah yang bisa KAMMI lakukan? 

Sebelum menjawab pertanyaan itu KAMMI harus terlebih dahulu memposisikan dirinya jelas sebagai gerakan mahasiswa. sebagai organisasi kemahasiswaan yang independen dan swadaya dalam bergerak. Tetapi sekaligus juga sebagai organisasi yang tidak pesimis dengan kondisi demokrasi. Sehingga, tidak canggung  menentukan representasi politiknya. 

Kalau hal ini sudah terpenuhi dan selesai dalam budaya organisasi. Selanjutnya KAMMI perlu menyebarkan ide ini kepada seluruh rakyat Indonesia. Pertama, mendiskusikannya dengan gerakan mahasiswa yang lain. Saya kira mereka setidaknya akan tahu bahwa representasi politik itu penting. Sebab tidak berguna demonstrasi digencarkan, berita bertebaran di media massa, tanpa menyentuh sama sekali struktur pemerintahan. Termasuk menyampaikannya kepada mahasiswa secara umum yang tidak tersentuh gerakan mahasiswa. 

Kedua, mengabarkannya kepada rakyat. Kabarkan pada mereka, partai yang baik adalah partai yang mengakomodasi kepentingan mereka. Jika partai A mampu memperjuangkan nasib petani dan nelayan. Selalu peka menyelesaikan segala kesulitan dan kebutuhan mereka tanpa alasan apapun. Maka pilihlah partai A. Sebab partai itulah sesungguhnya representasi politik mereka. Bukan partai B atau C yang tiba-tiba datang menawarkan bantuan-bantuan yang sifatnya karitatif. Apalagi memilih partai pemerintah karena jasa presidennya yang kerap  mengucurkan subsidi ketika harga bahan pokok dan BBM melambung tinggi. Padahal sebenarnya subsidi itu tidak ada. Sebab subsidi adalah uang rakyat yang dikelola negara.

Ketiga, KAMMI seyogianya berdiskusi dengan partai politik. Terutama tokoh-tokoh panutan mereka. Memahami alasan mereka menganut politik populisme. Memahami mengapa mereka memposisikan diri di tengah spektrum ideologi politik dan berhasrat meraup semua  suara dari berbagai aliran politik. Apa alasan mereka tidak percaya dengan politik aliran? 

Saya kira tawaran ide yang berbeda akan membuat para politisi itu berpikir lebih jernih dengan baik. Meskipun tidak lantas merubah cara mereka berpolitik. Sebab pragmatisme telah lama menggerogoti akal budi mereka. Tetapi, setidaknya menginformasikan kepada mereka bahwa hanya dengan mengejewantahkan ide tersebut, demokrasi subtansialis mampu tercapai. 

Saya pikir KAMMI tidak mampu memperjuangkan ide-ide tersebut sendiri. Bahkan gerakan mahasiswa sebagai komunitas juga tidak mampu. Maka perlu ada kerja sama permanen untuk memperjuangkannya dengan elemen-elemen lain (Ormas, LSM, Serikat Buruh). 

Pada akhirnya, hasil advokasi sebagai kewajiban kodrati tidak selalu mampu memuaskan KAMMI. Tetapi yang paling penting prosesnya yang mesti dilalui sembari mendekonstruksi tatanan struktur yang keliru memahami hakikat berdemokrasi. Bukan berarti demokrasi lantas menjadi satu-satunya jalan mencapai tujuan bersama. Tetapi dari demokrasilah semuanya dimulai.


Yogya, 24 Maret 2014

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*