Melawan Senior
Riki
adalah siswa kelas X sekolah menengah atas di sebuah kota di Papua. Beberapa
hari yang lalu ia baru saja pindah ke kota itu. Mengikut pamannya yang pindah
tugas ke kota itu dan meninggalkan keluarga besarnya di Sulawesi.
Riki
baru tiga hari masuk sekolah itu. Meski masih baru, ia sudah berteman akrab
dengan beberapa siswa di kelasnya, khususnya Doni dan Rian. Riki tampak akrab bersama
mereka, begitu dengan Dono dan Rian. Misalnya, pada hari pertama masuk sekolah,
Rian mengajaknya jalan-jalan berkeliling sekolah. Doni juga mentraktirnya makan
bakso ketika kelas berakhir. Kedunya memperlakukan Riki sebagaimana saudara mereka sendiri.
Riki
yang bertubuh jangkung sehingga lebih tinggi dari siswa-siswa yang lain. Tetapi postur tubuhnya
kurus. Ketika berjalan, ia sering memasukkan kedua tangannya di balik saku
celana. Sekedar mencoba mengakrabkan
diri dengan lingkungan yang baru tersebut. Di kedua bahunya menggantung ransel
merah yang sudah mulai usang. Tampaknya
ransel tersebut sudah cukup lama menemaninya.
Tepat
pukul 7.00, bel sekolah berbunyi. Seorang pria paruh baya menggunakan safari
biru memukul benda dari logam itu dengan palu dari besi. Semua siswa berduyun-duyun
masuk kelas.
Kelas
X B, kelas dimana Riki belajar sudah terlihat ramai. Hampir semua siswa sudah berada
di dalam, meskipun kelas belum dimulai. Guru yang bertugas mengajar pagi itu
belum kelihatan. Padahal hari itu adalah hari pertama semester dua dimulai.
Tampaknya di hari pertama, semangat para siswa untuk belajar sangat tinggi.
Libur yang cukup panjang barangkali membuat mereka bosan menunggu kembali
berkumpul dan belajar bersama.
Matahari
pagi itu bersinar terang. Teriknya terasa mulai menyibak hawa dingin dari kabut
yang menyelimuti sekolah sejak petang. Cahayanya menerobos jendela kelas yang
terbuka lebar. Baris-baris cahaya membentuk bayangan serupa jeruji dalam
penjara. Hembusan angin barat mondar-mandir keluar masuk menyejukkan suasana.
Pagi
itu Riki agak sibuk sendiri. Kedua tangannya serius menyisir sebuah buku yang sejak tadi meembius kesadarannya. Matanya
serius memandangi benda putih itu. Kedua bola matanya melirik kanan-kiri mencari-cari
sesuatu pada setiap lembarannya. Sekonyong-koyong kedua matanya terbuka lebar,
bercahaya dan berbinar-binar. Ah, rupanya Riki sudah menemukannya.
Rupanya
ia sedang mencari puisi yang seingatnya dulu pernah ia salin. Puisi itu
karangan Chairil Anwar berjudul Aku. Ia pun mulai merapal-rapal bait demi bait
puisi sarat metafor itu. Ia hendak menghafalkannya.
Sembari
sibuk dengan puisi, datang tiga orang siswa masuk ke dalam kelas. Ransel mereka
masih menggantung di punggung. Ketiganya melangkah menuju deretan meja belakang
yang dipenuhi para siswa yang asik mengobrol. Mereka menuju ke meja dimana Riki
berada. Ketiga orang itu bukan siswa kelas X B. Tidak heran, seluruh siswa di
kelas itu serius memperhatikan gerak-gerik mereka. Mengapa? Sebab tidak
biasanya pada jam-jam tersebut siswa kelas lain datang berkunjung. Apalagi ketiganya
juga tampak berantakan. Seragam mereka dibiarkan
menggantung keluar. Topi penuh coretan menghiasi penampilan mereka. Tiba-tiba mereka
sudah tiba di hadapan Riki.
“Pagi.
Anak baru ya?” bocah yang berambut keriting memecah keheningan. Dilihat dari
gerak-geriknya sepertinya ia yang memimpin kedua siswa yang lain.
“Kapan
masuk ke sekolah ini kawan? Kayaknya kita belum pernah ketemu,” anak berambut
keriting itu meneruskan pertanyaan.
“Iya
kawan. Siapa namamu? Asalmu darimana?” Bocah berambut cepak menimpali dengan
kata-kata akrab.
Riki
terperanjat mendengar sapaan mereka. Ia tidak sadar sedang dihampiri oleh tiga
orang siswa yang masih asing baginya. Apalagi mereka orang Papua. Ia agak
canggung dan bingung mau menjawab apa. Rasa takut perlahan muncul. Ia merasa
akan hadir pertanda buruk. Bagi anak Sulawesi yang berada di perantauan seperti
Papua, gelagat semacam itu tampak tak
wajar. Meskipun hendak bersahabat itu baik. Namun, Riki memutuskan untuk
menanggapi.
“Nama
saya Riki Kak.”
“O,
jadi namamu Riki?”
“I
iya.” Jawab Riki agak malu-malu.
“Baiklah
Riki, kamu punya uang? Bisa kami minta?” Anak berambut keriting menunjuk ke
arah saku baju Riki. Ia tampak terburu-buru masuk ke inti pembicaraan. Hal itu
karena ia sedang berkejaran dengan waktu pelajaran yang akan segera dimulai.
“Maksudnya
apa Kak? Kok minta uang saya?” Tanya Riki dengan ekspresi bingung. Dalam hati
ia kesal, orang-orang ini sangat tidak sopan. Baru kenal langsung minta uang.
Mereka pikir saya ini orang tua mereka apa?
“Hei,
apa kau tuli? Kamu tidak dengar suara Markus yang nyaring itu?” Anak berambut
cepak menghardik. Ia tampak kesal dengan gelagat Riki yang basa-basi.
“Ehm,
se sebentar. Kenapa kalian meminta uangku? Apa aku berbuat salah?”
“O
tidak kawan. Kami ingin melindungimu. Sebut saja ini uang keamanan?”
“Maaf
Kak, kebetulan sekarang aku sedang tidak bawa uang. Besok kalau aku punya, Kakak
bisa minta lagi.” Jawab Riki mulai kesal. Ia tahu pasti, kalau uang itu ia
berikan, mereka akan terus memintanya. Pengalamannya di sekolah yang lama
membuatnya tahu seluk beluk berpikir siswa berwatak preman seperti itu.
“Ayo Kawan? Aku tahu kau punya uang. Mana
mungkin anak baru sepertimu tidak membawa sepeserpun Rupiah ke sekolah. Kau
pikir kami bodoh apa?” tanya Markus.
“Sudah kubilang tadi Kak. Aku kebetulan tidak
bawa uang.” Jawab Riki datar.
Mendadak
suasana kelas berubah sepi mencekam. Suara obrolan para siswa yang sedari tadi
ramai tiba-tiba lenyap. Mereka bergegas kembali ke kursi mereka
masing-masing. Rupanya guru yang
mengajar sudah tiba. Riki langsung merapikan posisi duduknya. Tiga siswa asing
itu terperanjat dan beranjak keluar. Air
muka mereka menyiratkan kekesalan. Sebelum pergi, anak berambut keriting yang
benama Markus, berkata;
“Kawan, kami akan kembali kesini jam
istirahat. Jadi, sebaiknya kamu jangan kemana-mana. Mengerti?”
Riki melengos. Ia tidak peduli dengan ancaman
itu. Dalam hatinya ia sedikit puas akhirnya masalah selesai. Tetapi, nyalinya
mulai menciut. Khawatir kalau-kalau mereka kembali datang mengganggu. Tetapi
dalam hati ia berpikir, barangkali selama ia tidak jauh-jauh dari kedua
temannya, Doni dan Gian, orang-orang itu tidak akan berani.
***
Tiga
jam pelajaran matematika dan bahasa Inggris berlangsung, jam 9.00 kelas diakhiri.
Bersama dengan itu bel tanda jam istirahat berbunyi. Semua siswa di kelas berhamburan
keluar meninggalkan kelas. Rasa penat dan lapar mendorong mereka untuk segera
mengakhirinya diluar. Sedangkan, Riki masih di dalam kelas. Ia menghampiri Doni
yang masih sibuk di pojok ruangan melakukan sesuatu.
“Hai
Doni. Lagi sibuk apa?” Tanya Riki sambil melangkah mendekati teman barunya itu.
“Hai.
Ini lagi menyalin catatan di depan,” jawab Doni melempar senyuman.
Riki
berjalan mendekat. Lantas duduk pada bangku yang berhadapan dengan meja Doni.
Dari situ terlihat jelas deretan tulisan tangan Doni tersusun rapi menyalin
penjelasan di papan tulis.
“O
ya, Rik. Tadi aku dengar kamu disampari Markus dan kawan-kawan ya?” tanya Doni
dengan raut wajah yang berubah serius.
“Iya.”
Jawab Riki pelan.
“Rik. Kalau mereka minta uang lagi, kasih saja
ya?” saran Doni menasihati. Kekhawatiran terlukis di raut wajahnya sembari
tangan kanannya menepuk pundak Riki.
“Mereka itu suka main pukul. Siswa disini
kalau di minta begitu langsung kasih. Lebih baik begitu, dari pada babak belur
di lumat mereka. Iya nggak?”
Riko
hanya mengangguk. Padahal sepenuhnya ia tidak sependapat dengan apa yang Doni
katakan.
“Apalagi
mereka siswa kelas XII, senior kita.” Tambah Doni.
Riki
hanya terpaku diam. Ia tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun. Nasihat
Doni menurutnya baik. Namun, bukan solusi yang tepat. Menurutnya, jawaban
seperti itu hanya berlaku bagi orang-orang yang penakut, manusia pengecut. Bagi laki-laki seperti dirinya menerima
perlakuan seperti itu sama saja membiarkan diri diperbudak. Riki pun
mengalihkan topic pembicaraan.
“Don,
kita makan yuk di kantin? Kali ini aku yang traktir. Setuju?” ajak Riki dengan
senyuman lebar.
“Ok.
Tapi tunggu sebentar ya? Sudah hampir rampung.”
Riki
mengangguk dan membaca beberapa buku pelajaran yang berserakan di meja.
Doni
mempercepat salinannya. Pena berwarna hitam bergerak lincah dari kiri ke kanan.
Kepalanya bergerak lebih cepat mendongak menunduk menyalin tulisan di papan
tulis. Tetapi Doni belum juga selesai. Sebelum akhirnya siswa yang lain mulai
memenuhi kelas. Padahal jam istirahat belum berakhir.
“Hei
kawan, kamu rupanya masih disini ya? Bagus-bagus kamu berani.” Markus tiba-tiba
menyapa. Ia melangkah pelan menghampiri Riki dan Doni yang termangu melihat
kedatangannya. Markus hanya datang berdua bersama sahabatnya. Mereka tersenyum
lebar menatap calon korbannya. Aroma jemawa terlintas dalam raut wajah mereka
yang berminyak. Markus lalu duduk tepat di samping Doni. Sedangkan Doni,
menghentikan salinannya, lalu berpaling menatap dua orang siswa senior yang mencari
sahabatnya.
“Gimana
uangnya sudah ada?” Tanya, Lukas, siswa berkepala botak.
“Ayo
kawan kami sudah lapar. Sebentar lagi jam istirahat selesai,” timpal Markus
dengan senyum lebar.
“Begini
kawan. Saya kira jawaban tadi pagi sudah jelas,” jawab Riki datar. Matanya
beradu dengan Markus. Tampak Riki mulai naik pitam. Ia bersikukuh tidak akan
merubah sikapnya.
Doni
tidak mampu melakukan apa-apa. Ia hanya diam memperhatikan Riki yang sibuk
melayani pertanyaan kedua seniornya. Sejak awal Doni tidak ingin ikut campur.
Ia kenal dengan baik siapa itu Markus. Preman sekolah yang kerap terlibat
tawuran dengan sekolah-sekolah lain. Beberapa kali Markus juga pernah disetrap
di lapangan sekolah karena terlibat kasus perkelahian dengan kelompok siswa
preman yang lain.
“Maaf.
Ada apa ini?” Tiba-tiba saja Rian muncul. Ia heran preman sekolah berkunjung ke
kelasnya. Anehnya, tidak terlihat ketakutan pada wajah Rian. Sebab, ia banyak
mengenal siswa kelas XII. Termasuk Markus. Kebetulan kakaknya, Gian, sahabat
baik Markus. Mereka teman sekelas dan partner dalam tim sepak bola sekolah.
Semua
orang menyambut pertanyaan Rian dengan diam. Tidak terkecuali Markus dan Lukas.
Sebab mereka menghormati Rian. Mereka tidak ingin persahabatan dengan Gian,
rusak karena masalah sepele dengan adik sahabatnya itu.
“Kak
Markus, Kak Lukas, ada urusan apa mampir ke kelas kami?” tanya Rian tegas. Ia
sudah tahu Markus sedang mencari masalah.
“Saya
lagi ada urusan dengan temanmu ini,” jawab Markus sembari telapak tangannya
mengusap-usap kepala Riki yang dengan capat ditampik Riki dengan menundukkan
kepalanya.
“Maaf
Markus, dia teman saya. Kalau kamu ada urusan pergilah ke siswa yang lain. Tapi
jangan dengan dia. Dia anak baru disini.” Bela Rian.
“Hei
kawan, tidak usah ikut campur,” potong Lukas yang kesal dengan nasihat Rian.
Matanya melotot beradu dengan mata Rian. Ia merasa dihina oleh nasihat yang
keluar dari mulut adik kelasnya itu. Seharusnya, sebagai junior, Rian harus
menghormati senior seperti ia dan Markus. Sebab, sejak dulu mereka juga melakukan
hal yang sama pada senior mereka.
“Rian,
saya pikir kau tahu peraturan di sekolah ini. Siswa baru harus membayar uang
keamanan pada kami”. Tandas Markus yang mulai kesal dengan sikap Rian.
“Iya,
saya tahu itu Kak. Tetapi tolonglah ia temanku. Tolong jangan diganggu.”
“Ah,
kamu ini mengganggu saja! Hei kau kira karena aku berteman dengan Gian lalu kamu bisa
macam-macam? Tahi kucing, pergi sana!” umpat Markus yang meradang mendengar
pembelaan Rian. Ia merasa dilangkahi, kewibawaannya terancam. Baginya tidak
seharusnya seorang junior menasihati seniornya. Salah atau benar tidak boleh.
“Maaf
Rian. Kamu silahkan keluar!” tuding Markus ke arah Rian. “Berhenti campuri
urusan kami.” Timpalnya dengan raut wajah menantang.
“Hei,
kamu juga!” Tunjuk Markus pada Doni yang sejak tadi termangu menyaksikan adu
mulut itu.
Rian
merasa terhina dengan sikap Markus. Terheran dengan kecongkakan sahabat
kakaknya itu. Padahal tidak pernah Markus memperlakukannya seperti itu. Apalagi
Markus sangat menghormati Gian dan kerap berkunjung ke rumahnya. Tidak terima
dengan perlakuan kasar itu, Rian bergegas meninggalkan kelas. Ia pergi mencari
kakaknya. Doni yang masih termangu juga beranjak mengikuti Rian. Ia bingung,
pasrah, tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Ia memilih mengikuti Rian yang
pikirnya barangkali punya rencana.
Melihat
kepergian Rian dan Doni, rasa ketakutan Riki semakin bertambah. Khawatir
kalau-kalau kedua seniornya itu tahu ia berbohong. Sudah pasti ia akan diberi
pelajaran saat kebohongannya itu terungkap. Ia sudah bertekad untuk bersikukuh menolak kemauan para seniornya
itu. Ia tidak ingin dikenal sebagai orang yang minder dan goyah pendirian
seperti dulu. Sebab sejak kecil, ia dikenal sebagai anak penakut yang suka lari
dari masalah. Kalau tidak berhasil, ia biasanya menangis meratapi
kepengecutannya itu. Tetapi sekarang ia ingin berubah. Ia tidak mau sikap itu
melekat sepanjang hidupnya. Baginya, peristiwa ini adalah saat yang tepat untuk
menguji sejauh mana perubahan yang telah ia capai.
“Maaf
Kak, seperti yang saya katakan tadi pagi. Saya tidak punya uang sama sekali.”
“Bohong!
Lukas cepat periksa saku celananya!” sergah Markus dengan nada tinggi yang
membuat Lukas terlonjak. Ia sudah naik pitam. Ia kehilangan kesabarannya. Kata-kata
Riki yang sedari tadi nyinyir semakin menyulut kemarahannya.
Tetapi
Lukas gagal merogoh saku celana Riki. Tangan kanannya ditampik oleh Riki. Ia terperanjat
dan menatap wajah Riki. Raut wajah Riki berubah. Tampak amarah yang ditahan-tahan.
“Hei.
Berani juga kau! Kami ini seniormu. Hormatlah!” seru Lukas.
“Hei
anak baru. Jadi kau mau menantang kami ya?” Markus menimpal. Telapak tangan
kanannya di kepal erat. Bersiap-siap mengirim pukulan. Ia merasa Riki sudah
bertindak terlampau jauh. Baginya, penolakan itu adalah tanda perlawanan. Maka,
harus segera diredam sebelum kewibawaan mereka tergadaikan. Apalagi banyak
siswa yang sedang menyaksikan.
Riki
mulai jengkel. Ia tidak mau diperlakukan seperti binatang. Ia sudah bersikukuh,
lebih baik babak belur kalah dalam perkelahian, daripada menyerah tanpa
perlawanan. Ia bepikir orang-orang seperti Markus dan Lukas sekali-kali harus
diberi pelajaran. Agar tidak merasa jemawa dengan keberanian dan kehebatan
mereka. Maka, Riki bangkit berdiri menantang. Kedua matanya tajam mengawasi kedua orang itu.
“Hei
banci! Jadi kau mau melawan kami?” tanya Markus penuh keheranan. Ia tidak
menyangka Riki mengambil pilihan untuk menantangnya. Sekonyong-konyong muncul
ketakutan dalam hatinya. Ia mulai berhitung kalah menang. Jangan-jangan anak
itu jago berkelahi? Ujarnya dalam hati. Lagipula postur tubuhnya lebih tinggi
dibandingkan ia dan Lukas. Meskipun tubuh mereka lebih gempal daripada Riki
yang ceking. Semakin lama berhitung, semakin ketakutan itu tumbuh dan segera
menggerogoti pikirannya. Ia menatap Lukas yang berdiri waspada.
“Hei
banci! Duduk!” perintah Lukas.
Riki
tidak mengindahkan ancaman-ancaman itu. Ia menganggapnnya seperti salakan
Anjing. Semakin ia diancam, semakin besar keberaniannya. Dan akhirnya ia
putuskan sudah saatnya bertindak. Meskipun rasa takut masih menyelimuti seluruh
tubuhnya.
Dengan
cepat ia melangkah mendekati Markus. Mendadak ia melepaskan tinju ke wajah bos
geng sekolah itu. Markus terperanjat tidak mengira Riki akan meninjunya
sehingga tidak sempat berpikir untuk menghindar. Tinju Riki seketika mendarat
tepat di pangkal hidungnya. Membuatnya terjungkal membentur meja dan terus
tersungkur jatuh menimpa kursi.
Markus
meringis kesakitan. Nyeri hebat menyerang punggungnya. Ia merasa tulang belakangnya patah. Rupanya benturan
keras di meja dan kursi tidak mampu membuatnya bangkit. Ia mendesis
samar-samar, menunjukkan betapa nyerinya bekas benturan tersebut.
Segera
setelah berhasil menyerang Markus, Riki dengan cepat menghampiri Lukas yang
termangu menyaksikan bosnya tumbang. Kedua
telapaknya mengepal keras berancang-ancang menyerang. Tetapi tubuhnya goyah. Ia merasa gentar
menghadapi Riki.
Lukas
ketakutan melihat keberanian Riki. Ia tidak menyangka Markus lebih dulu
diserang. Tidak biasanya dalam perkelahian Markus dan dirinya didahului. Malah,
biasanya mereka yang memulai. Tetapi hari ini sangat berbeda. Ia menemukan
seseorang yang berani dan berbahaya. Dan ketika melihat Riki beranjak
mendekatinya, ia hilang akal. Bingung harus melakukan apa. Antara membalas atau
melarikan diri. Tetapi ia ragu mengambil
pilihan pertama. Ia takut akan menjadi korban berikutnya. Ketakutannya semakin memuncak
ketika ia melihat gerakan Riki yang gesit dan cepat. Ia berkesimpulan Riki jago
berkelahi. Bersama ketakutan yang sudah menggerogoti akal sehatnya, Lukas bergegas
pergi. Ia tidak peduli dengan nasib Markus yang sekarat. Ia pergi bersama
penyesalan dan rasa bersalah.
Riki
lantas duduk setelah mengawasi kepergian Lukas yang menghilang di balik pintu. Udara
panjang menyembul dari mulut yang berangsur mengakhiri amarahnya. Ia menyesal
telah mengambil tindakan itu. Tetapi dibalik itu ia juga puas, ketegangan akhirnya
berakhir. Ia berhasil mempertahankan sikapnya. Meskipun ia juga pasrah dengan hukuman
yang akan menimpanya akibat perbuatan itu. Ia melangkah keluar melintasi kerumunan
siswa yang sejak tadi mengawasi.
Jadan, 5 April 2014
Komentar
Posting Komentar