Capres dan Etika Membangun Bangsa




     

Koalisi menuju pilpres 9 Juli mendatang mulai mengerucut. Setidaknya akan mencuat dua capres yang akan terjun bersaing: Jokowi dan Prabowo. Jokowi sudah siap 90 persen. Minus cawapres yang masih menunggu keputusan sang Ketua Umum. Sedang Prabowo tinggal menunggu pengumuman resmi PKS mengenai koalisi bersama mereka dengan PPP dan PAN.

Kedua capres itu ibarat pemburu yang sudah siap dengan senapannya. Tinggal menunggu amunisi untuk diisi. Terlebih Jokowi yang sudah mendaklarasikan pencapresannya kemarin. Hal yang berbeda kita lihat pada posisi capres dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Tokoh yang satu ini sudah siap sejak jauh-jauh hari. Ramai berkampanye menghiasi media elektronik. Tapi hingga kini status politiknya belum jelas.

Ical belum menggandeng satu partai pun. Saat ini komunikasi koalisi kembali ia jalin dengan Jokowi yang semula belum memuaskannya. Tampaknya ia tidak ingin Golkar menjadi oposisi. Posisi Jokowi yang sudah settle membuatnya tercenung. Yang masih sulit adalah tawaran koalisi tanpa syarat sebagai tiketnya. 

Hal yang berbeda terjadi pada Partai Demokrat dan Hanura. Kita tahu sejak beberapa bulan lalu Demokrat sudah menggelar konvensi  menentukan capres yang akan mereka usung. Namun, tinggal kurang satu minggu dari pembukaan pendaftaran capres cawapres,  agenda itu belum juga mencapai keputusan final. Apalagi Demokrat dalam komunikasinya selalu mengatakan akan membentuk poros koalisi baru di luar yang sudah ada. Kepemimpinan Presiden SBY, sang Ketua Umum, yang telah berhasil dipercaya rakyat memimpin Indonesia selama dua periode,  adalah alasan mereka untuk  optimis. 

Paradoksnya, kini muncul nama baru, Sultan Hamengkubuwono X, dalam wacana pencapresan Demokrat. Suatu kontroversi di tengah konvensi yang sedang berlangsung. Padahal, Sultan tidak terhitung sebagai peserta konvensi. Agaknya Demokrat mulai khawatir konvensi tidak akan berjalan sesuai rencana, dimana konstelasi politik sudah mulai mengerucut. Sehingga, Sultan dinilai sebagai win-win solution yang tepat untuk mendinginkan suasana. 

Sama halnya dengan Hanura. Partai papan bawah yang punya kepercayaan diri tinggi. Satu-satunya partai yang pertama sekali mengumumkan pasangan capres cawapres dari partai sendiri. Sebelum pileg dimulai. Namun hingga kini belum memiliki posisi politik yang jelas.

Strategi politik yang di ambil Hanura dinilai banyak orang terlalu prematur. Akhirnya, menyandera diri sendiri terkurung dalam obsesi yang tak kesampaian. Dengan modal suara 5, 26 persen, Hanura tentu tidak bisa mengusung capres cawapresnya sendiri tanpa koalisi. 

Ketiga partai tersebut berpeluang besar gagal mengusung capres sendiri. Kecuali mereka mau mawas diri dengan berkoalisi atau berhenti sama sekali. Memang dalam demokrasi, memperjuangkan nasib rakyat tidak mesti melulu melewati jalur eksekutif. Memilih posisi bersebrangan, dengan mengawal pemerintahan dari luar, serta kritik dan solusi membangun, sudah cukup baik. Tinggal memaksimalkan fungsi kader-kader mereka di parlemen, juga fungsi partai itu sendiri. Yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur konflik.

Revolusi Etik
Gagasan beberapa capres belakangan ini yang mengedepankan kepentingan nasional dalam berkoalisi ketimbang mencari kursi kekuasaan patut di apresiasi. Amat sukar membangun negara ini jika semua partai politik menganut semangat partisan. Mengutamakan kepentingan partai dan kelompoknya untuk menguasai pemerintahan. Misalnya yang sering kita saksikan, mereka menjadikan kursi menteri sebagai  hadiah politik. Sebagaimana yang dilakukan rezim di negeri ini. Kita menyaksikan hampir semua partai dalam koalisi memperoleh kursi menteri.

Seharusnya kursi menteri diperuntukkan bagi orang-orang yang punya kapasitas keilmuan sesuai dengan kementeriannya (Meritokrasi). Juga punya keberpihakan pada kesejahteraan rakyat. Bukan hanya modal kepemimpinan yang banyak dijadikan alasan oleh partai politik. Hanya dengan alasan setiap menteri  sudah mempunyai tenaga ahli yang berkompeten.

Pembelokan paradigma seperti itu membuktikan bahwa partai politik memandang masalah kementerian hanya masalah kepemimpinan. Bukan disertai kapasitas membangun sistem yang baik. Dengan begitu partai politik belum berhasil mendidik kader-kadernya menjadi kader bangsa. Mereka masih menjadi kader partai. 

Kita juga melihat banyak menteri asal parpol yang masih tetap menduduki jabatan strategis, seperti ketua umum. Padahal tugas sebagai menteri perlu energi dan waktu yang ekstra lebih. Bukankah kita banyak menyaksikan perselingkuhan partai politik dengan proyek kementerian yang dipimpin oleh kadernya. Seharusnya sebagai negarawan mereka mengedepankan etika ketimbang pranata politik yang berlaku.

Siapapun presiden RI yang nantinya terpilih, ke depan ia harus memposisikan dirinya sebagai seorang negarawan. Sosok yang menjadi milik seluruh rakyat Indonesia, bukan partai politik. Pemimpin yang peka pada jeritan rakyat, bukan kemelut yang menimpa partainya. 

Presiden lima tahun ke depan  harus mereformasi manajemen pemerintahan yang  menjunjung semangat  Pancasila. Mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada fitrah dan kehendak rakyat. Mengutamakan revitalisasi sumber daya energi, manusia dan pangan yang selama ini selalu menjadi obyek kemarahan mahasiswa dan rakyat. Padahal, kekayaan bangsa kita pada tiga sektor tersebut dikenal sangat besar. Semoga!


16 Mei 2014


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*