Sanksi bagi Para Pedofil

   

Sejak terungkapnya kasus sodomi  yang menimpa seorang anak lelaki siswa Jakarta International School (JIS) oleh para paedofil yang tidak lain adalah petugas kebersihan sekolah elit tersebut. Belakangan mulai ramai bermunculan di media massa terkait pedofil-pedofil serupa. Kasus sodomi yang menimpa anak itu bukan yang pertama, tapi yang menjadi perhatian, mengapa peristiwa itu menjadi semacam kunci bagi kotak Pandora kasus-kasus serupa?

Sodomi dalam masyarakat kita adalah model kejahatan yang masuk kategori berat. Mengapa kukatakan begitu? Sebab perbuatan itu tidak hanya merugikan si korban dan keluarganya pada saat itu. Yaitu ketika kejadian itu terjadi dan masa pemulihan setelahnya. Tetapi akan terbawa dalam perkembangan anak itu di masa depan. 


Banyak psikolog mengatakan, dan dibenarkan oleh korban, bahwa pelecehan yang menimpa mereka di masa lalu sulit di lepaskan dari memori mereka ketika tumbuh dewasa. Menjadi momok ketika memulai mengembangkan pergaulan dengan orang lain. Terutama akan sangat memperngaruhi emosi mereka ketika memilih pasangan. Tidak jarang mereka akan kesulitan meniti hubungan serius sampai jenjang pernikahan. Tidak sedikit di antara mereka melajang atau terlambat menikah.

Beberapa bekas korban itu mengalami hubungan percintaan yang rumit. Mereka mengalami sebuah kondisi dimana lebih tertarik pada  sesama jenis ketimbang lawan jenis. Meskipun tidak semuan korban mengalaminya. Seperti yang menimpa artis Jupiter Fortissimo. 

Jupiter mengaku dulunya ia adalah seorang gay. Lebih menikmati menjalin hubungan dengan sesama lelaki. Kira-kira mirip menjalin hubungan dengan seorang wanita dalam hubungan yang normal.  Tetapi tidak mesti mirip dengan model hubungan liar dan bebas layaknya kaum gay di Barat. Hubungan ini lebih mirip pada hubungan percintaan biasa.

Jupiter mengakui sebab utama ia menjadi seorang gay bermula dari kisah masa kecilnya. Dengan kondisi kedua orang tua yang sibuk, ia di asuh oleh pembantunya yang belakangan adalah seorang pedofil. Si pembantu itulah yang pertama kali merenggut kehormatannya. Meski diakui Jupiter, ia merasa tindakan terhadap dirinya itu bukan sebuah pelanggaran. Sebab ia saat itu masih terlampau muda dan lugu untuk memahami perilaku menyimpang seperti itu. 

Homoseksualitas kebanyakan terjadi tidak dari kehendak hati manusia.  Ia lahir dari sisi gelap manusia itu sendiri. Yang tidak mampu di kendalikan. Lambat laun dianggap sebagai hal yang normal dan tidak perlu disembuhkan. Malah tidak ambil pusing dengan berbagai macam nasihat, sanjungan dan kritikan orang yang menyerang perilaku itu. Parahnya, semakin dikritik, mereka semakin menjadi-jadi. Justru dengan memulai pengenalan dan refleksi terhadap kedirian mereka. Dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Disanalah kebenaran akhirnya ditemukan dan lahir ikhtiar untuk kembali pada hakikat asal sebagai seorang lelaki. Itulah yang berhasil diraih dan ditemukan Jupiter.

Ikhtiar Mengakhiri dan Sanksi
Pedofilia dalam tradisi masyarakat modern dimanapun dianggap sebagai perilaku merusak. Beda halnya dengan perilaku seks yang keluar dari azas-azas moral. Seperti orang-orang yang disebut kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).  Terutama sekali dalam struktur masyarakat di Barat. Padahal perilaku-perilaku tersebut secara tidak langsung adalah pemicunya. 

Pedofilia perlu diakhiri dengan mencari instrumen yang tepat. Selain pidana penjara sebagaimana yang selama ini digunakan namun tidak punya dampak signifikan mengakhiri menjamurnya perilaku-perilaku demikian. 

Kemarin malam TV One menyelenggarakan diskusi untuk membahas instrumen yang sekiranya paling tepat. Mengundang para pakar di bidang hukum serta para legislator yang bertugas mempertimbangkan dan mengundangkannya. Juga Komnas Perlindungan Anak (KPAI) sebagai lembaga yang berkepentingan dengan para korban. 

Dalam diskusi itu muncul sederet usulan alternatif. Yang paling mengemuka adalah hukuman kebiri. Dengan dikebiri harapannya  para pelaku merasa jera dan tidak sanggup lagi mengulangi perilaku serupa. Usulan itu rata-rata di sepakati oleh para pakar hukum minus para legislator. Terutama mereka yang punya latar belakang Islam kuat. Bagi mereka hukuman mati sudah lebih dari cukup.

Menurutku, usulan hukuman kebiri sebenarnya punya  maksud baik. Sebab jika organ testis dihilangkan, maka si pelaku tidak akan mampu lagi ereksi ketika dilanda nafsu. Apalagi ejakulasi sebagai titik kulminasi dari sebuah hubungan persetubuhan. Sebab aliran sperma dari testis ke penis teputus karena sumber produksinya dihilangkan. 

Kebiri memang bisa menghentikan perilaku sodomi. Tetapi tidak dengan kejahatan lain. Yang muncul dari ketidakmampuan pelaku melakukan perilaku menyimpangnya itu.
Misalnya ada sebuah film korea berjudul The Chaser (2008). Film ini mengisahkan kasus kekerasan imbas dari kegagalan hubungan seksual. Ada seorang lelaki pengangguran yang tercandu dengan seks. Seringkali ia menyewa jasa Pekerja Seks Komersial (PSK). Tetapi jasa para PSK itu tidak ia gunakan. Malah mereka ia siksa dengan berbagai macam benda tajam. Anehnya, penyiksaan itu ia lakukan dengan kepala dingin. Tanpa ekspresi ketakutan sedikit pun. Sebab, ia tidak mampu ejakulasi. Ereksi saja tidak mampu. Padahal nafsunya menggebu-gebu. Lelaki ini mengidap impotensi yang membuatnya tidak mampu berhubungan seksual secara normal.  Sehingga hasrat mencari kepuasan atas seks dialihkan untuk melakukan penyiksaan. 

Maksudku, penyakit mental pedofil tidak mudah diakhiri menggunakan sistem konvensional dengan tujuan untuk mengakhiri perilaku tersebut. Baik dengan hukuman kebiri atau penjara. 

Pidana penjara bagi pelaku ini biasanya antara  4-5 tahun. Toh, tidak ada jaminan mereka akan jera. Sebab mereka berpeluang mengulanginya lagi di dalam penjara dengan sesama mereka atau mencari korban-korban baru. Sebagaimana yang kita saksikan dalam banyak skandal seksual di dalam penjara. 

Sekali lagi kejahatan yang bersumber dari penyakit mental tidak akan bisa ditanggulangi tanpa membuat mekanisme hukum yang dapat menimbulkan efek jera. Pelaku seperti mereka tidak akan berubah tanpa di sembuhkan kondisi mentalnya terlebih dahulu. Artinya, negara harus  menyediakan sarana rehabilitasi untuk mereka sebagaimana pecandu narkoba. Yang kedua, aku pikir kalau mereka tidak mampu memanfaatkan kebaikan negara, dengan kembali mengulanginya, maka tidak ada jalan lain selain dengan hukuman mati. Dengan begitu pelaku yang sama akan berpikir ulang sebelum kembali mengulanginya. 

Tapi perlu digarisbawahi  bagi  para pedofil yang terlanjur sudah menimbulkan banyak korban. Apalagi kebanyakan di antara mereka adalah anak-anak. Kupikir sampai pada tahap ini tidak perlu ada maaf bagi mereka. Seperti Babe, Emon dan pelaku-pelaku lainnya. Dalam konteks ini, berlaku hukum-hukum Tuhan yang tertulis dalam kitab suci. Yaitu hukuman mati. Wallahu alam bis shawab.


Jadan, 12 Mei 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*