Happy Together: Kisah Cinta Tiga Laki-Laki
Diakses dari http://deeperintomovies.net/journal/image16/happyto2.jpg
Judul :
Happy Together
Sutradara :
Wong Kar-wai
Pemeran :
Tony Leung Chiu-wai, Leslie Cheung, Chang Chen
Genre :
Drama
Durasi : 96 menit
Tahun : 1997
Distribusi : Kino Internasional
Durasi : 96 menit
Tahun : 1997
Distribusi : Kino Internasional
Negara :
Hong Kong
Hubungan percintaan di masa modern dianggap tidak
lagi bergantung pada segenap pranata dan norma yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat. Bahwa cinta mesti terjadi, dan berlangsung di antara sepasang pria
dan wanita, ini adalah relasi sosial yang telah berlangsung sejak berabad-abad
lamanya. Tapi di sisi lain, cinta bisa jadi punya bentuk yang lain. Antara
subjek dan objek pecinta -jika kita mau menggunakan relasi saling mendominasi
antara sepasang pecinta- atau antara subjek dan subjek, tidak harus melulu
diisi oleh seorang pria di satu sisi dan wanita di sisi lain. Boleh jadi,
melampaui pakem yang ada, dapat diisi oleh sepasang pria atau sebaliknya
sepasang wanita.
Kira-kira, anggapan secamam ini hendak ingin disampaikan
Wong Kar-wai lewat film ini. Kendati, saya, Anda dan kita semuanya bisa jadi belum
tentu sepakat. Isu percintaan sejenis yang masih menuai kontra di tengah-tengah
masyarakat Timur maupun Barat, dimana menjadi tema utama dalam film ini,
nyatanya telah membawa sang sutradara meraih penghargaan pada ajang Cannes
Festival di tahun yang sama ketika
film itu dirilis.
Happy
Together (1997) yang berarti “bahagia bersama,” tampaknya
tidak benar-benar menunjukkan rupa sebenarnya alur cerita dalam film ini. Hubungan
dan konflik yang mengemuka diantara para tokohnya justru menunjukkan sinyalemen
berbeda. Agak sulit dikatakan bahagia, sebab sampai di akhir film, ketiga tokoh
dalam film ini sama sekali tidak tampak berbahagia. Rasanya, agak terburu-buru
jika kita menangkap alur film ini -semudah yang bisa dilakukan pada film-film bergenre
sama- hanya lewat judulnya saja.
Film ini mengisahkan kehidupan sehari-hari Lai Yiu-fai (Tony Leung Chiu-wai) dan Ho Po-wing (Leslie Cheung).
Mereka sepasang kekasih sesama jenis asal Hongkong yang merantau menjadi
pekerja migran di negeri paling Selatan benua Amerika: Argentina.
Fai
dan Po-wing semula bermaksud bekerja di sana hanya untuk melihat sebuah air
terjun di negeri itu. Iguazu namanya. Di awal film, dengan warna gambar blur
hitam putih, keduanya ditampilkan sedang mengemudi menuju air terjun yang mirip
Niagara itu. Tetapi, mereka tersesat.
Tidak
jelas, apa maksud Wong Kar-wai sesekali mengubah warna gambar filmnya itu
menjadi blur hitam putih. Satu ketidakbiasaan yang sama sekali belum pernah
ditemukan pada film-film yang dibuatnya sebelumnya. Beberapa film karyanya yang
selama ini pernah saya tonton tidak sekali memiliki ketidakbiasaan seperti halnya
Happy Together. Biasanya, jika
menggunakan gambar blur, seorang sutradara pasti konsisten menggunakannya sejak
film dimulai hingga selesai. Embrace The
Serpent (2015) salah satunya. Manakala digunakan bergantian, biasanya
gambar blur menunjukkan situasi masa lampau semisal dalam Letters from Iwojima (2006).
Happy Together menyajikan dialog intim
dan kuat antar tokoh-tokohnya. Dengan durasi 96 menit, film ini menjelaskan
maksud peran para tokohnya dengan cara yang tidak biasa. Ya, film ini tampaknya
sengaja dibuat Kar-wai untuk menampilkan diferensiasi dari pada film-film drama
umumnya. Jika tidak dipahami dan diikuti dengan baik, memang tidak mudah
memahami film ini. Lagi pula, dengan isu kontroversi yang diusungnya, Happy Together tidak direkomendasikan
untuk ditonton para remaja dan anak di bawah umur.
***
Sosok
Fai yang begitu apik diperankan Tony Leung merupakan seorang pekerja migran yang
disiplin. Seperti kesibukan pekerja pada umumnya, saban pagi ia pergi bekerja
dan petang hari pulang ke rumah. Namun, ia juga melakukan peran ganda layaknya
seorang wanita. Fai memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaiannya, juga milik
Po-wing.
Jika
Fai begitu peduli, tidak demikian dengan Po-wing. Dia hanya menikmati hasil
kerja Fai. Setiap hari, pulang sesukanya ketika urusannya selesai. Tidak jelas
dalam film ini Po-wing bekerja sebagai apa.
Ia tidak bekerja di kafe, rumah jagal ternak, maupun menjual tiket
wisata sebagaimana Fai. Kadang-kadang ia menghilang beberapa hari tanpa kabar.
Lalu tiba-tiba muncul di flat seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Suatu
malam Po-wing dilihat Fai keluar dari sebuah taksi dalam keadaan mabuk.
Ditemani dua orang pria Argentina, ia diapit di tengah dengan gerak-gerik
mencurigakan. Disini, Fai baru sadar, jika kekasihnya itu pelacur. Ia putuskan
Po-wing malam itu juga.
“Mari
Mulai Lagi”
Waktu
itu, keberadaan pelacur homoseks seperti Po-wing tampaknya sudah jadi fenomena
biasa di Argentina. Sepertinya keberadaan mereka diterima disana. Misalnya, Po-wing
tanpa beban mencium seorang pria Argentina ketika asyik berdansa di tengah sebuah
kafe dimana Fai sebelumnya bekerja. Misalnya lagi saat Fai bercumbu dengan
seorang pria lokal di satu bioskop homo. Orang Argentina, khususnya para
petualang dunia malam, terlihat familiar dengan fenomena semacam itu yang jika
dibawa ke Asia menuai masalah serius.
Putus
hubungan dengan Po-wing bukannya membuat Fai cepat melupakan kisah cintanya
selama ini. Walaupun sudah pindah flat, untuk menghilangkan jejak, dalam
beberapa kesempatan ia tampaknya masih merindukan kehadiran Po-wing.
Suatu
malam pintu flat Fai diketuk-ketuk seseorang dengan keras. Orang di balik pintu
itu Po-wing. Fai melihat banyak darah di kedua tangan Po-wing. Air muka Po-wing
pun tak sehat. Amat pucat. Po-wing dianiaya seseorang. Segera Fai melarikannya
ke rumah sakit.
Setelah
diobati, Po-wing berterima kasih pada Fai. “Mari mulai lagi,” katanya. Maksud
Po-wing dengan berkata seperti itu agar hubungan mereka sambung kembali.
Anehnya, keluarnya kalimat itu sekejap membuat hubungan mereka yang telah putus
kembali tersambung. Fai seolah-olah tak berdaya untuk menolaknya.
Kalimat
itu seperti azimat perintah yang tak dapat ditolah. Seperti mantera para
penyihir-penyihir. “Mari mulai lagi” memiliki kekuatan metafisik seperti ‘rujuk’
pada tradisi pernikahan dalam Islam. Berkali-kali Po-wing mengucapkan kalimat
itu, berkali-kali itu pula hubungan mereka sambung kembali. Berkat “mari mulai
lagi,” Po-wing kembali tinggal bersama
Fai.
Tapi,
Fai tidak begitu saja percaya. Satu malam ketika Po-wing sedang tertidur pulas,
dia menyelinap mengambil paspor Po-wing. Fai menyembunyikannya sebagai jaminan
jika suatu saat Po-wing kabur atau selingkuh dengan laki-laki lain.
Po-wing
memang tipe lelaki yang suka memperdaya. Barangkali hal ini sudah menjadi
tabiat yang tak bisa dirubah lagi. Suatu hari, saat Fai sedang pergi bekerja,
ia mengacak-acak kamar Fai mencari sesuatu. Po-wing mencari paspornya sebab dia
akan beranjak pergi. Seluruh perabotan dan barang-barang di dalam kamar
berhamburan berantakan dimana-mana. Hal itu membuat Fai marah besar. Kedua
laki-laki itu hampir saja baku pukul. Po-wing diusir. Dia kembali melacur. Sampai
di sini, keampuhan “mari mulai lagi” sudah berakhir.
Chang
Saat
bekerja di sebuah restoran Cina, Fai bertemu Chang. Pria asal Taiwan itu mulai
akrab dengannya ketika keduanya saling bercerita kisah cinta mereka masing-masing.
Chang mengatakan tidak begitu tertarik jalan dengan perempuan. Ia mengatakan
itu setelah menolak ajakan seorang rekan
perempuan nonton ke bioskop. Fai juga mengatakan hal yang sama.
Seiring
berjalannya waktu Fai dan Chang semakin dekat.
Kadang-kadang mereka mengobrol menghabiskan malam di sebuah pub di kota.
Kadang-kadang bermain judi bola pada jam istirahat siang. Semakin lama, mereka
semakin mengenal diri masing-masing.
Chang
adalah kebalikan dari Po-wing. Ia tipe laki-laki yang suka berterus
terang. Chang tidak plinplan, ia stabil
dan asyik diajak mengobrol. Satu kesamaan Fai dan Chang adalah suka berpetualang.
Jika Fai ingin sekali melihat Iguazu, Chang berencana melihat ujung dunia di
ujung selatan Argentina.
Sama
pula dengan Fai, Chang tidak berencana tinggal lama di Argentina. Ia suka
berkeliling dari pada menetap lama di suatu tempat. Setelah uang perjalanannya
cukup, dia berhenti. Fai mentraktirnya di pub yang biasa mereka kunjungi.
Sebagai tanda perpisahan, Chang meminta Fai untuk berbicara apa saja pada tape recorder-nya.
Chang
mengatakan bahwa sejak kecil ia mengalami masalah pada matanya. Fungsi matanya
tidak terlalu baik, tapi kini, saat beranjak dewasa, sudah kembali pulih.
Namun, Chang jadi terbiasa menggunakan telinga dari pada mata untuk
berinteraksi dengan orang lain. Makanya, dia mengatakan tidak terbiasa
menyimpan kenangan dalam foto. Dia terbiasa menggunakan tape recorder untuk merekam seluruh kenangan yang ingin diabadikan.
Malam
itu, Fai bingung hendak mengatakan apa. Chang pergi berdansa untuk membantunya menyendiri,
berpikir. Fai sudah memegang tape
recorder dan didekatkan ke mulut. Tiba-tiba saja ia sesenggukan. Menangis
sesaat, tanpa kata-kata.
Saat
tiba di ujung dunia, Chang mencoba mendengarkan suara Fai. Tetapi suara dalam tape recorder tak tertangkap telinganya. Tangis Fai yang
sesenggukan tidak terekam.
Tidak
beberapa lama kemudian, Fai terbangun di sebuah hotel di Taiwan. Dari televisi
terdengar kabar pimpinan Cina, Deng Xiao Ping, tutup usia. Malam hari Fai
mengunjungi sebuah pasar malam di kota. Ia singgah di sebuah warung makan di
pinggir gang. Di dinding warung itu ia melihat foto Chang sedang berpose di
sebuah mercusuar di ujung dunia. Rupanya warung itu milik orang tua Chang. Ayah
dan ibu Chang melayani pelanggan yang singgah, termasuk Fai. Saudara Chang
berdiri di tengah jalan menjemput orang-orang yang lewat.
Usai
menyantap makanannya, Fai minta izin meminjam telepon. Ayah Chang mengantarnya
ke belakang. Letak telepon persis di bawah foto Chang yang menggantung di
dinding. Fai pamit dan berterima kasih. Foto Chang raib. Fai sepertinya sedang
merindukan Chang sehingga foto itu diambilnya.
Entah rindu atas dasar persahabatan atau cinta sesama jenis.
Liberalisme
Dekade
1990-an ketika kisah Fai, Po-wing dan Chang berlangsung adalah masa dimana
modernisasi telah mendiami Asia lima dekade lamanya. Terhitung sejak
berakhirnya perang Asia Pasifik dan semakin menggeliat ketika memudarnya pengaruh
komunisme di Cina pada 1980-an.
Memang
Hong Kong punya sejarah berbeda dengan Cina. Begitu pula Taiwan, negara dimana
Chang berasal. Tetapi kedua negara itu sama-sama mengalami modernisasi lebih
cepat dari pada negara-negara Asia lainnya. Sebagai penyokong Sekutu dalam
Perang Dunia II, kedua negara itu telah lebih dahulu diterpa kebudayaan Barat.
Demokrasi
dan kapitalisme telah dianut lebih dulu oleh Hong Kong dan Taiwan saat Jepang
baru saja menutup diri usai kekalahannya dalam perang. Begitu pula Cina, yang baru saja menutup diri
dari Barat usai kemenangan komunisme mengusir kaum nasionalis liberal ke pulau
Formosa.
Wong
Kar-wai dalam Happy Together seperti ingin
mengatakan pada para penonton jika Hong Kong adalah negara yang menjamin
kebebasan warganya berbuat dan hidup sebagai apa. Tidak saja terbuka mengirim
tenaga kerjanya ke luar negeri, yang berarti menunjukkan orang Hong Kong telah
siap bergaul dengan dunia internasional. Namun, Hong Kong juga terbuka dengan
budaya pergaulan dunia yang umumnya sampai hari ini berkiblat ke Barat.
Manakala orang Barat telah terbuka dengan peran perempuan yang lebih bebas di
ruang publik, Hong Kong begitu pula turut
mendukung dan menyemarakkannya.
Hubungan
cinta yang tidak biasa antara Fai dan Po-wing diperlihatkan Kar-wai sudah berlangsung
sebelum keduanya tiba di Argentina. Wong Kar-wai ingin mengatakan bahwa Hong
Kong kini adalah negara bebas yang tidak berbeda jauh dengan sahabat-sahabatnya
di Barat. Termasuk Argentina yang sangat terbuka dengan hubungan-hubungan cinta
yang tak biasa semacam itu.
Kar-wai
dalam filmnya ini bermaksud mengirim pesan bahwa homoseksualitas bukan lagi hal
tabu bagi orang Hong Kong dalam mengekpresikan cara mereka mencintai dan dicintai.
Hal itu baginya adalah gejala biasa ketika dunia semakin berkembang demikian
bebasnya seiring dengan pengakuan yang semakin tinggi terhadap kebebasan
berekspresi dan hak-hak asasi manusia. Liberalisme
sudah seperti “Konfusianisme” baru yang semestinya diterima oleh masyarakat Hong
Kong dengan tangan terbuka.
Happy Together ingin menunjukkan bahwa
hubungan sesama jenis tidak sama sekali selalu salah. Homoseksualitas tidak
jahat sebagaimana dituduhkan banyak orang selama ini. Motivasi nafsu dan seks yang
dituduhkan pada kaum homo saban kali, bukanlah satu-satunya alasan untuk
menolak maupun memerangi mereka. Cinta bisa saja menjadi alasan paling kuat,
jika ia dikehendaki. Hal ini kembali lagi pada maksud dan niat awal dari para
pelakunya, kemana dan untuk apa hubungan cinta mereka hendak dibawa.
Dalam
film ini, dua alasan yang berbeda ini digambarkan dengan jelas oleh Wong Kar-wai. Alasan pertama diwakili oleh hubungan Fai dan
Po-wing. Alasan kedua, pada hubungan Fai dan Chang. Fai dan Chang memang tidak
resmi berpacaran, tetapi perasaan keduanya, sebagaimana digambarkan Kar-wai,
kuat sekali menuju ke arah situ. Komunikasi telah menjadi batu penghalang yang
menggagalkan keduanya memperjelas hubungan mereka lebih jauh. Cinta platonik
sekiranya dapat dipakai untuk mengkategorikan hubungan keduanya.
Pesan
Kebaruan
Persis
sebagaimana film-film karyanya yang lain, Wong Kar-wai dalam Happy
Together tidak memberikan happy
ending yang memuaskan penonton. Dia bukanlah tipe sutradara yang ingin
film-filmnya dipersamakan dengan film-film karya sutradara lainnya. Film-film
karnya dengan genre sama tidak pula sama sekali dia inginkan mirip seperti Happy Together. Walaupun, untuk maksud
tersebut, Happy Together beresiko tak
laris di pasaran.
Saya
pikir, Wong Kar-wai sesungguhnya ingin menawarkan kebaruan dalam film-film yang
dibuatnya. Setidaknya, proyek ini sudah dimulainya sejak membuat Fallen Angels (1994), Chungking Express (1994), Ashes of Time (1995), trilogi cinta era
1960-an; Days of Being Wild (1990), In The Mood for Love (2000) dan 2046 (2004), hingga film laga dimana
baru-baru ini dia ikut bermain; The
Grandmasters (2013).
Kebaruan
dalam Happy Together diperlihatkan
Wong Kar-wai pada beberapa aspek. Pertama,
warna gambar film terasa begitu kuat. Salah satu kategori yang membuatnya masuk
nominasi di beberapa ajang penghargaan film. Kedua, sudut penayangan gambar film yang sangat anti-mainstream. Ketiga, warna blur yang diselaraskan
dengan warna asli film pada saat-saat yang tidak diduga. Keempat, Kar-wai menghidupkan alur film dengan komposisi musik
lokal (Argentina dan Hong Kong) dan instrumen klasik yang diolah dengan baik. Di sini dia berhasil menggambarkan suasana dan
tempat apa dialog dalam film berlangsung. Tidak heran, atas kreativitas dan
sensibilitasnya mengemas Happy Together
sedemikian apiknya, Kar-wai memenangi kategori sutradara terbaik pada Cannes
Film Festival 1997. Satu prestasi luar biasa yang pernah diterima seorang sineas
Asia.
Isu
Homoseksualitas
Kejeniusan
Kar-wai mempoles Happy Together bagi
saya sulit ditandingi oleh sutradara Asia lainnya. Dia, saya kira, telah
berhasil membuat sebuah film yang berjaya di masanya. Keunggulannya itu
hampir-hampir membuat Happy Together
mampu menepis segala kritik yang dialamatkan padanya.
Saya
pikir, bagi seorang seniman film, entah di Asia atau Indonesia sekalipun, isu homoseksualitas
yang dibawa film ini tidak akan menjadi sasaran kritik. Isu ini, yang beberapa
waktu lalu sempat mengusik ketenangan masyarakat Indonesia itu, bagi saya tidak
lagi menjadi isu tabu yang dipemasalahkan oleh kalangan seniman film. Akan tetapi, saya pikir, kontroversi
homoseksualitas dalam Happy Together
tetap tak dapat ditepis.
Agama
mana pun tegas menolak hubungan percintaan semacam itu. Saya pikir di kalangan
warga Hong Kong, maupun Tionghoa secara umum, di mana saja mereka berada, juga demikian
halnya. Hanya saja, sebagaimana telah saya uraikan di atas, pesan modernisme
yang telah merasuki kehidupan kita, khususnya orang-orang Timur, telah
berkontribusi mereduksi pesan kontroversial dari homoseksualitas. Oleh
modernisme, justru sisi kemanusiaan isu tersebut yang berhasil ditonjolkan
sehingga berhasil menarik simpati dan empati para penonton yang tadinya bisa
jadi tidak setuju.
Sebagai
sebuah film drama manakala dilihat dari seni pembuatannya, Happy Together dapat disebut film sukses. Pendapat ini dengan
sendirinya benar jika para penonton dan sineas film menggunakan paradigma
liberal yang serba permisif dalam melihatnya. Film ini disebut demikian
lantaran maksud dibuatnya film telah terpenuhi, yaitu seni untuk seni. Namun,
sebagai film yang berani mengusung isu kontroversial, yakni isu
homoseksualitas, Happy Together dapat
disebut sebaliknya. Mengapa demikian? Sebaik apapun, film homoseksualitas
dikemas dan dirancang, lantaran pesannya sejak awal tidak benar, selaras dengan
larangan Tuhan, bahkan justru merusak, mau dipoles seartistik-artistiknya, film
tersebut dengan sendirinya dianggap jauh dari sukses, dan karenanya gagal. Gagal membawa penontonnya sadar bahwa homoseksualitas
adalah kejahatan terhadap tubuh manusia yang tidak termaafkan.
Kalumata,
14 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar