Ramalan
Pilkada DKI Jakarta 2017: Mengapa Ahok-Djarot Sukses Melaju ke Putaran Kedua?
Oleh:
Zulfikhar
Diakses dari http://cdn2.tstatic.net/style/foto/bank/images/ahok_20170107_200245.jpg
Sesuai prediksi beberapa lembaga survei beberapa
waktu lalu, Pilkada DKI Jakarta akhirnya definitif berlanjut ke putaran kedua.
Jika pada bulan lalu pasangan Agus-Sylvi masih memimpin elektabilitas, kini
mereka tersingkir. Sesuai prediksi Poltracking, pasangan Anies-Sandy meraih
suara terbanyak dan pasangan Ahok-Djarot menyusul di belakang.
Pilkada kali ini memang seru. Angka perolehan suara
masing-masing pasangan kandidat saling kejar mengejar. Apit mengapit perolehan
suara masing-masing pasangan kandidat menandakan strategi dan taktik pemenangan
masing-masing kandidat memang patut diacungi jempol. Mereka telah bekerja
demikian gigih dan pantang menyerah sehingga menghasilkan kompetisi elektoral yang
menegangkan, tapi seru dan mengasyikkan. Ini pertanda bahwa ketiga pasangan
kandidat memang para pemimpin dengan kualitas jempolan.
Meleset dari prediksi beberapa lembaga survei
sebelumnya, pasangan Ahok-Djarot mampu menepis persepsi sebagian warga Jakarta
yang tidak menyukai mereka. Padahal, selama empat bulan penyelenggaraan
kampanye, pasangan ini tidak henti-hentinya diterpa isu tak sedap yang membuat
elektabilitas mereka terjun bebas.
Ahok sendiri sudah beberapa bulan menjalani sidang
penistaan agama yang dituduhkan kepadanya. Kasus ini memberikan sumbangan
paling besar bagi penurunan elektabilitasnya. Jika pada September 2016
Poltracking mengumumkan elektabilitas Ahok 40,77 persen, pada Januari kemarin
tinggal 30,13 persen. Isu penggusuran yang selama ini disematkan padanya dimana
sekaligus menjadi alat pendulang dukungan bagi kedua pesaingnya, turut
berkontribusi semakin menurunkan elektabilitas mantan bupati Belitung Timur
itu.
Isu tuduhan fitnah pada Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sekaligus Ketua Rais ‘Am Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Ma’ruf
Amin, menjadi pukulan berikutnya yang menerpa Ahok. Fitnah yang dilontarkan
salah seorang pengacara Ahok dalam sidang kasus penistaan agama waktu itu menjadi
momok baru bagi Ahok. Selama ini, jika NU bersikap netral dalam kasus penistaan
agama yang menerpa Ahok, isu fitnah kali ini justru membuat marah pengurus NU
di pusat dan daerah. Tidak menutup kemungkinan, sejumlah politisi berlatar
belakang NU yang selama ini mendukung Ahok juga bersikap sama.
Sekurang-kurangnya kepercayaan mereka pada Ahok makin tergerus. Sebab kini
bukan hanya kitab suci yang diduga dinistakan Ahok, namun juga ulama yang
dimuliakan warga NU dan seluruh umat Islam di Indonesia.
Terpaan badai yang menghantam Ahok jika dibiarkan
terus berlangsung pastinya akan semakin memperlemah elektabilitas dan
kepercayaan warga Jakarta terhadapnya. Apalagi pengaktifan Ahok kembali sebagai
Gubernur DKI Jakarta kemarin diduga cacat hukum. Negara, dalam hal ini Presiden
Joko Widodo oleh sejumlah pengamat hukum dituduh berpihak dengan tidak
menonaktifkan Ahok untuk sementara waktu. Sebab, Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 Ayat 1 telah memenuhi syarat untuk
dikenai pada kasus penistaan agama yang membelit Ahok.
Prasangka-prasangka minor terhadap Ahok rupanya
memang terbukti. Namun, tidak berhasil membuat Ahok dan pasangannya Djarot
Saiful Hidayat tersingkir. Selisih tipis di atas Agus-Sylvi tampaknya keberuntungan
yang tidak disangka-sangka bagi Ahok-Djarot.
Menurut saya, setidaknya ada beberapa faktor yang
membuat pasangan Ahok-Djarot mampu bertahan. Pertama, faktor sebagai calon petahana. Tak dapat dipungkiri,
sebagai pasangan yang sedang berkuasa di ibu kota, Ahok-Djarot memiliki
pengalaman lebih dari pada dua pasangan kandidat lain. Ahok-Djarot tahu betul
mana wilayah yang merupakan basis massa riil mereka dan mana yang tidak. Hal
ini terlihat dari kampanye yang dilakukan Ahok-Djarot di akar rumpur
akhir-akhir ini cukup mendapat sambutan meriah warga. Lagi pula setelah
memimpin DKI Jakarta beberapa tahun belakangan Ahok telah berhasil menarik
simpati sebagian warga untuk menjadi pendukung loyalnya. Fenomena ini dapat
terlihat pada aktivitas di Rumah Lembang yang tidak pernah sepi dikungjung
warga.
Selain itu, dukungan dari kalangan birokrat pastinya
tidak sedikit. Sepak terjang Ahok membenahi kinerja birokrasi DKI Jakarta sudah
cukup menjadi bukti bagi para anak buahnya untuk konsisten melabuhkan pilihan
padanya. Profesionalitas Ahok-Djarot mengoperasikan merit system di DKI Jakarta selama memerintah –bahkan sudah dimulai
sejak era Jokowi- memberikan harapan besar pada birokrasi untuk mempertahankan
segala capaian yang sudah ada.
Kedua,
faktor mesin politik. Entah masihkah Pilkada DKI Jakarta di masa Jokowi mencalonkan
diri akan sama dengan hari ini atau tidak, namun yang pasti relawan sebagai faktor
penentu kemenangan bukanlah satu hal yang mustahil. Ini sudah terjadi ketika
Ahok pada awal pencalonannya kemarin dapat mendaftarkan diri sebagai petahana
bermodal 1 juta KTP warga DKI Jakarta hasil kerja keras para relawannya. Saya
pikir, gerilya yang dilancarkan para relawan Ahok-Djarot telah terbukti berhasil
dengan lolosnya Ahok-Djarot ke putaran kedua. Satu hal menentukan pastinya tak lepas
dari peran partai-partai pengusung Ahok-Djarot; PDIP, Golkar, Nasdem dan
Hanura. Mesin politik partai-partai tersebut saya kira telah bekerja dengan
cukup baik menarik kepercayaan warga. Apalagi, DKI Jakarta beberapa tahun
belakangan selalu dimenangkan PDIP, setidaknya sejak Pilkada 2012 lalu.
Ketiga,
faktor hukum. Rasa-rasanya benar jika beberapa waktu lalu para pengamat politik
dari CSIS, Charta Politica dan Litbang Kompas mengatakan kasus hukum yang
menyandera Ahok kini justru membuat elektabilitas Ahok rebound ke atas. Namun, bukan karena Ahok dalam hal ini benar.
Kasus hukum Ahok faktanya berhasil di framing
oleh media-media pendukungnya seolah-olah Ahok adalah pihak terzalimi.
Taktik yang dipakai Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu
2004 sepertinya menjadi referensi berguna untuk merubah antipati warga DKI
Jakarta menjadi simpati. Pengakuan mantan Ketua KPK Antasari Azhar kemarin yang
mengatakan peran SBY dalam penahanannya 8 tahun silam, tampaknya cukup berhasil
menjatuhkan elektabilitas Agus-Sylvi. Namun, saya pikir tidak banyak, lantaran
banyak warga DKI Jakarta tidak begitu mudah percaya.
Secara keseluruhan, saya pikir elektabilitas Ahok
yang menempati posisi kedua dalam rilis beberapa lembaga survei adalah faktor penentu
paling utama. Perubahan yang mulai terlihat di DKI Jakarta selama beberapa
tahun belakangan tampaknya juga punya kontribusi penting. Walaupun di sisi
lain, Ahok dalam beberapa kasus hukum diduga kuat terlibat di dalamnya. Penggusuran
yang dilakukannya di beberapa tempat di ibu kota diputuskan melanggar hukum
oleh pengadilan. Memang jika media tidak peka, terlebih tidak netral, keadilan
pastinya sulit ditegakkan.
Kini, kita menanti bagaimana pilkada putaran kedua
bergulir. Tidak menutup kemungkinan, Ahok-Djarot bisa jadi semakin kesulitan
apabila pemilih Agus-Sylvi bergeser ke pasangan Anies-Sandy. Mengingat,
fenomena akhir-akhir ini yang cenderung memposisikan pasangan petahana itu
sebagai common enemy. Namun, dalam
politik tak ada yang pasti. Segala kemungkinan punya peluang sama besar untuk
terjadi di luar rencana manusia. Vox
populi vox dei. Jika suara rakyat yang dikenal suara Tuhan itu berhasil
diyakinkan salah satu kandidat, pada merekalah kemenangan berlabuh.
Kalumata, 15 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar