Peran Diplomatik Indonesia untuk
Mengakhiri Perang Sipil di Suriah[1]
Oleh: Zulfikhar
Diakses dari https://cdn.theatlantic.com/assets/media/img/photo/2015/04/in-syria-four-years-of-war/s01_467812234_10/main_1500.jpg
Pendahuluan
Perang sipil di Suriah tidak terasa kini
hampir memasuki tahun keenam. Sejak perang saudara itu dimulai pada 2011 silam,
tidak sedikit kerusakan yang telah ditimbulkannya. Kerusakan material berupa
bangunan perumahan serta objek-objek vital lainnya telah menjadi pemberitaan
sehari-hari di media cetak dan elektronik dalam dan luar negeri. Berita seputar
korban meninggal dan luka-luka tidak pernah absen dari headline berbagai surat kabar berikut diskusi-diskusi yang
diselenggarakan di layar kaca televisi. Termasuk gelombang pergerakan pengungsi
yang meninggalkan rumah mereka menuju kota-kota yang lebih aman, bahkan mencari
keamanan di negara-negara tetangga, hingga jauh ke Eropa.
Hingga kini, tidak sedikit warga sipil Suriah
terbunuh dan kehilangan tempat tinggal akibat perang tak berkesudahan itu. Jika
di total, menurut organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia di Suriah (SOHR) jumlah
korban tewas –berikut jumlah tentara pemerintah dan oposisi yang terbunuh- hingga
Februari 2016 berkisar antara 312.000 – 437.000 jiwa. Sementara itu, organisasi
Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SNHR) melaporkan 203,097 warga sipil terbunuh.[2] Sedangkan,
jumlah pengungsi – baik pengungsi di dalam dan luar negeri- menurut data organisasi
UNHCR mencapai 12,4 juta jiwa.[3] PBB memperkirakan 12,2 juta warga
membutuhkan bantuan kemanusiaan di dalam wilayah Suriah, termasuk 5,6 juta
anak-anak.[4]
Perang di Suriah yang semula bermotif
politik kini telah berkembang lebih jauh tidak sebagaimana prediksi sebelumnya.
Sebagai rentetan dari revolusi semi Arab yang berhasil menyapu Tunisia, Mesir
dan Libya, revolusi di Suriah tidak berakhir dengan kemenangan pihak oposisi
maupun warga sipil yang semula sejak awal telah melancarkan aksi demonstrasi
damai menuntut kemunduran rezim Bashar Assad.
Reaksi keras rezim terhadap demonstrasi
damai melalui sejumlah aksi penangkapan dan penembakan membabi buta justru
menarik konflik jauh lebih dalam dan akut. Represi yang dilakukan rezim
terhadap para demonstran dari waktu ke waktu seketika membalikkan konflik yang
awalnya berlangsung damai di jalanan dengan cepat berubah tatkala ketidakpuasan
warga terakumulasi menjadi kekecewaan. Kekecewaan sedemikian memicu kemarahan
dan berakhir dengan sikap warga disertai dukungan penuh pihak oposisi mengambil
opsi terakhir: mengangkat senjata.
Dari sini, situasi keamanan di Suriah
yang tadinya terkendali menjadi kacau balau. Ketika, rezim Assad mengirim
tentara dari komunitas Druze dan Kristen untuk memberangus pergerakan kaum
oposisi, seketika memicu konflik yang tadinya hanya bermotif politik berubah
menjadi sektarian.[5] Warga
Suriah yang mayoritas Sunni di mana selama ini merasa di anak tirikan dan
menjadi korban dari sikap tangan besi rezim dengan sendirinya menarik diri dan
menyatakan perang. Anggota mereka yang berada di kubu rezim termasuk di
angkatan bersenjata segera membelot ke pihak oposisi dan membentuk basis
perlawanan.
Adalah Tentara Pembebasan
Suriah (FSA), organisasi militer yang dibentuk berbagai
unsur perlawanan warga Suriah pada Juli 2011. Organisasi yang mayoritas 90
persen beranggotakan warga Sunni ini merupakan salah satu garda terdepan
tentara oposisi dalam perang saudara itu hingga sekarang. Selain mereka, hadir
kelompok-kelompok bersenjata yang juga berangkat dengan tujuan masing-masing. Umumnya
mereka adalah kelompok bersenjata Islam setempat atau pun yang dari luar negeri.
Semakin berlarutnya perang di Suriah,
semakin pula mendatangkan perhatian dari dunia internasional. Tidak hanya
campur tangan positif membantu korban perang diberikan, beberapa negara justru
mengintervensi situasi perang sesuai kepentingan nasional mereka masing-masing.
Negara-negara itu terbagi ke dalam dua kelompok. Mereka yang pro dengan rezim
Suriah dan mereka yang kontra.
Umumnya, negara-negara itu adalah mereka
yang sejak semula menganggap akhir dari perang di Suriah berpengaruh besar bagi
kepentingan nasional mereka kemudian. Baik dari segi politik maupun ekonomi
terutama negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah. Karena nasib negara-negara
itu ke depan amat ditentukan perang di Suriah, maka intervensi dilakukan.
Namun, juga ada alasan yang lain. Di
antara negara-negara itu terdapat beberapa negara yang menganggap sudah
seharusnya rezim otoriter Suriah diakhiri. Anggapan mereka ini lebih didasarkan
pada kepentingan ideologis yang notabene berseberangan dengan rezim Suriah yang
berlatar belakang minoritas Syiah Alawit. Bisa jadi hal ini berangkat dari pada
sentimen atas berlangsungnya diskriminasi agama yang tumbuh dalam negara itu selama
ini di mana agama minoritas –termasuk penganut Kristen dan Druze- memperoleh
posisi terbaik dalam tubuh rezim. Fakta ini dapat dilihat pada susunan birokrasi
pemerintahan hingga angkatan bersenjata rezim.
Ada indikasi, intervensi tersebut juga dimotivasi
kepentingan ekonomi. Hal ini dapat
dilihat pada keuntungan yang dapat diperoleh negara-negara tersebut jika rezim
Bashar Assad berhasil digulingkan. Begitu pula dengan negara-negara pro rezim,
tentu justru dirugikan tatkala terjadi pergantian kepemimpinan.
Karena itu, beberapa tahun sejak perang saudara
itu pecah, negara-negara itu memutuskan ikut campur tangan sehingga melebarkan
skala peperangan dari yang tadinya sebatas konflik nasional berubah menjadi
konflik internasional. Terutama setelah keamanan dalam negeri negara-negara bersangkutan
di teror oleh jaringan kelompok bersengketa yang merasa dirugikan. Teror
pemboman dan pembunuhan warga sipil di Paris, Turki, Belgia, Jerman dan
negara-negara lain adalah contoh riil dari fenomena itu.
Kendati perang terus berlangsung
berlarut-larut tanpa menemukan jalan keluar, sementara melibatkan semakin
banyak aktor di dalamnya, bukan berarti sejumlah usaha perdamaian tidak
dilakukan. Beberapa waktu belakangan ini, atas seruan dunia internasional
melalui negara-negara anggota PBB telah beberapa kali upaya perundingan diatur.
Namun, kedua belah pihak tampaknya masih teguh dengan tuntutan masing-masing
mengingat situasi perang yang telah berjalan sedemikian jauh telah banyak
mendatangkan kerugian yang tak terhitung jumlahnya. Lagi pula, hingga kini salah
satu dari kedua belah pihak belum benar-benar tersudut. Pasukan pemberontak
mungkin tidak akan berhenti hingga titik darah penghabisan, tapi rezim Assad
barangkali tidak. Barangkali benar tulis sejarawan Amerika David W. Lesch; ”Seorang diktator hanya akan bersedia
memenuhi tuntutan perundingan ketika ia berada dalam kondisi terpuruk.”[6]
Menyikapi perang di Suriah, Indonesia
sebagai negara yang dihuni mayoritas populasi muslim di dunia punya andil
penting untuk mewujudkan perdamaian di negeri itu. Dengan sumber daya sosial
yang dimilikinya itu, Indonesia berpotensi besar untuk mempengaruhi sikap kedua
belah pihak mengingat selama ini Indonesia tidak memiliki hubungan buruk dengan
rezim Suriah maupun warganya yang mayoritas Sunni.
Sebagai salah satu anggota di dewan keamanan PBB, justru menambah
posisi tawar Indonesia untuk berperan lebih jauh. Hal ini penting, mengingat
tidak saja perang sipil di Suriah telah mengganggu stabilitas politik di
kawasan, tetapi juga berdampak pada situasi keamanan tanah air yang belakangan
ini mengalami instabilitas. Menyusul teror bom yang dilakukan kelompok teroris,
Negara Islam di Suriah dan Irak (ISIS), yang tercatat saat ini juga terlibat
dalam perang di Suriah. Lagi pula, menurut catatan KBRI untuk Suriah, hingga
akhir 2016 kemarin, tercatat sekitar 12 ribu warga Indonesia masih berada di
Suriah.
Sikap Indonesia yang lebih jelas berkaitan
perang di Suriah amat penting dan ditunggu-tunggu. Sebab menyangkut tidak hanya
kepentingan nasional Indonesia sendiri, tetapi juga perdamaian di Timur Tengah
yang telah tercabik-cabik oleh perang sejak dua dekade terakhir.
Makalah
ini ditulis untuk melihat sejauh
mana peran diplomatik Indonesia
untuk mengakhiri perang sipil di Suriah selama ini. Dari sini, kemudian dirumuskan langkah diplomasi yang mungkin di ambil Indonesia di masa depan untuk mengakhiri
perang sipil yang telah menimbulkan krisis
sosial yang merembet jauh hingga ke kawasan lain.
Perkembangan Perang Sipil di Suriah
Suriah sejak dekade 1970-an dikenal
sebagai salah satu negara di Timur Tengah yang dipimpin rezim militer. Hal itu
terjadi sejak kudeta yang berhasil dilancarkan Hafez Assad. Sejak saat itu,
negara yang pernah menjadi pusat peradaban Dinasti Umayyah itu dikuasai rezim
partai tunggal, partai Ba’ath yang berpaham Sosialis Arab sekuler.
Hafez Assad selama berkuasa memimpin
dengan tangan besi. Tidak heran, pada tahun-tahun berikutnya muncul percobaan
pemberontakan terhadapnya. Kendati kemudian dapat diredam dan dicegah. Datang
dari etnis minoritas Alawit, membuat Hafez Assad mewaspadai potensi konflik
sektarian serupa di Libanon datang ke negerinya.[7]
Pada 2000, Hafez mangkat dan digantikan putra keduanya, Bashar Assad, seorang
dokter lulusan Barat.
Sebagaimana mendiang ayahnya, Presiden Bashar
Assar terus melanjutkan gaya memimpin otoriter hingga revolusi Arab merontokkan
satu per satu pemimpin tiran di Timur Tengah pada akhir dekade 2000-an. Hanya
11 tahun setelah naik ke tampuk kekuasaan, Presiden Bashar Assad segera menyadari
posisinya yang rawan kritik itu berpotensi mengalami nasib yang sama. Untuk
itu, kewaspadaan dalam negeri di tingkatkan dan segala potensi dinamika politik
yang menjurus pada insureksi di redam.
Pada bulan Februari 2011, di provinsi Daraa
aparat keamanan menangkap sejumlah remaja yang didapati menulis grafiti berisi propaganda
untuk menjatuhkan rezim. Aksi penangkapan itu memicu demonstrasi warga menuntut
pembebasan para remaja itu. Namun, alih-alih menjaga agar protes tersebut
berjalan aman, aparat keamanan justru di perintah menembak para demonstran.
Sejak bulan Maret, gelombang demonstrasi
susul menyusul mengutuk aksi brutal rezim. Tuntutan yang semula hanya menyasar
pada pembebasan para remaja lantas berkembang semakin panas dan berubah menjadi
seruan politik menuntut reformasi pemerintahan. Itu berarti, rezim Assad dituntut
untuk mundur. Pembebasan para tahanan politik, peningkatkan kebebasan
berekspresi, pencabutan undang-undang darurat dan tuntutan mengakhiri korupsi
menjadi tuntutan penting para demonstran sejak saat itu.[8]
Namun, rezim Suriah menyikapi gelombang
proses dengan tetap berkomitmen pada tindakan-tindakan sebelumnya. Assad
konsisten memilih merawat keamanan negerinya ketimbang memenuhi seruan reformasi
yang diteriakkan ratusan hingga ribuan massa demonstran itu. Sekali lagi, aksi
penangkapan dan pembunuhan terhadap para demonstran berlanjut sehingga
mendorong terik konflik menuju perang saudara. Hingga Mei 2011, sekira 1000
warga sipil yang terlibat dalam gelombang protes tewas.[9]
Empat bulan setelah percobaan demonstrasi
damai untuk menghentikan tindakan represif rezim tidak menuai hasil, pihak
oposisi bersama para pimpinan angkatan bersenjata yang membelot membentuk Tentara Pembebasan Suriah
(FSA). Perang
yang pecah antara tentara rezim dan tentara oposisi di berbagai front peperangan
mendudukkan FSA sebagai garda terdepan pihak oposisi untuk menumbangkan rezim
Bashar Assad.
Namun, situasi perang yang pada awalnya bermotif
politik segera kehilangan orientasinya menyusul diterjukannya tentara dari
komunitas Kristen dan Druze untuk mengakhiri ketegangan. Assad berhasil
membelokkan tujuan pihak oposisi dan meluaskan eskalasi perang menjadi
bermotifkan sektarian. Tentu saja, tentara Kristen dan Druze yang terbunuh dalam
operasi penyerangan itu secara langsung atau tidak langsung berhasil
menciptakan kemarahan warga dua komunitas agama itu dan bergabung ke dalam
solidaritas bersama komunitas Alawit dan Syiah yang sejak awal menyokong
kampanye perang rezim melawan oposisi.
Saat ini, perang di Suriah sudah jauh
dari relevansinya dengan revolusi Arab di negeri-negeri tetangga. Perang di
Suriah kini adalah perang antara warga Syiah –beserta komunitas agama
minoritas- yang diwakili pemerintah vis a
vis warga Sunni yang diwakili tentara pemberontak. Perang Suriah sekarang
hampir tak ada bedanya dengan perang saudara di Libanon pada 1970-an hingga
1980-an.
Perang sektarian itu semakin bertambah runyam
ketika berlusin-lusin organisasi bersenjata berlatar belakang Islam Sunni dan
Syiah turun ikut campur. Baik itu mereka yang bergabung di kubu pasukan
pemberontak, mengambil jalan sendiri, atau bekerja sama dengan tentara rezim.
Untuk memahami siapa saja pihak yang
terlibat dalam perang Suriah sejak 2011 hingga sekarang, disini penulis akan
menjelaskannya satu per satu. Setidaknya, pihak yang terlibat dalam perang
saudara itu dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok bersenjata diantaranya; rezim
Suriah, oposisi, Hizbullah, Kurdi, ISIS, Turki, Iran, Rusia dan Koalisi Internasional.
Rezim Suriah
Rezim Suriah dipimpin langsung oleh
presiden Bashar Assad didampingi para jenderal-jenderalnya yang loyal. Kekuatan
militer rezim diperkuat 266.000 pasukan, setelah sebagian kecilnya membelot ke
pihak oposisi ketika perang berubah menjadi sektarian. Dalam melawan oposisi, rezim
Suriah tidak sendiri, mereka dibantu oleh kelompok bersenjata sipil dari berbagai
kelompok. Sebut saja; Brigade Partai Ba’ath, Hizbullah Libanon dan koalisi
kelompok bersenjata kecil lainnya. Pada perkembangannya, ketika posisi rezim
mulai tersudut oleh serangan-serangan pasukan oposisi, ribuan milisi dikirim
dari Iran diikuti oleh masuknya tentara organik negeri itu. Ribuan tentara dari
Rusia menyusul kemudian.
Oposisi
Garda terdepan oposisi dipimpin langsung
oleh FSA. Kelompok ini diisi oleh pihak oposisi, warga sipil, angkatan
bersenjata rezim yang membelot dan kelompok bersenjata Islam.
Saat ini, tersebar berlusin kelompok
Islam berjibaku melawan pasukan rezim kendati tidak semuanya bergabung dengan
oposisi. Kelompok-kelompok ini menghimpun diri ke dalam koalisi-koalisi khusus
berdasarkan kepentingan masing-masing.
Setidaknya, kelompok oposisi terbagi ke
dalam tiga kelompok. Pertama, mereka
yang tergabung di dalam FSA diantaranya: Jaysh Islam, Front Islam
dan Front Selatan. Front Selatan meliputi empat puluhan kelompok bersenjata
diantaranya: FSA – Front Selatan, Brigade Al-Furqan, Jays al-Ababeel, Brigade Safys
al-Sham, Brigade Al-Muattasim Billah dan lain-lain. [10] Kedua, adalah mereka yang tergabung ke dalam Tentara Penaklukan
yaitu: Front Al-Nusra , Ahrar al-Sham,
Nour al-Din al-Zenki dan Partai Islam Turkistan.
Ketiga,
kelompok oposisi yang bertindak sendiri. Diantaranya; Jabah al Fateh al Sham (JFS)[11]
dan Jabhat al-Nusra. Sikap mereka barangkali
dilatarbelakangi oleh garis perjuangan yang relatif berbeda dengan kelompok oposisi
lainnya. JFS adalah proksi Al-Qaida di Suriah sedangkan Jabhat al Nusra adalah
pecahan ISIS namun memiliki kedekatan ideologis dengan Al-Qaida di Irak. Jabhat
Al-Nusra menguasai beberapa wilayah di Barat Laut Suriah bersebelahan dengan
wilayah yang dikontrol oposisi. [12]
Selain dari kelompok-kelompok yang
disebutkan di atas, masih ada beberapa faksi pejuang oposisi yang berjuang
sendiri. Mereka mengontrol beberapa wilayah di tengah Suriah yang langsung
berhadapan dengan wilayah kekuasaan rezim. Kekuatan keseluruhan pasukan oposisi
berjumlah 173 ribu orang. Pesisir Barat Laut, Barat dan Selatan Suriah adalah
beberapa wilayah yang mereka kuasai sekarang.
Hizbullah
Organisasi bersenjata asal Libanon yang dipimpin
Hasan Nasrallah ini turut mengintervensi perang saudara Suriah sejak 2013. Hingga
saat ini, tidak tampak ada motif lain yang lebih kuat ketimbang panggilan
persaudaraan sesama Syiah dengan rezim. Sekitar 6.000 – 8.000 milisi dikirim
untuk membantu rezim Assad setelah posisi sang diktator mulai tersudut.
Kurdi
Sebagai etnis minoritas di Suriah, suku Kurdi
sebenarnya tidak punya hubungan langsung dengan gelombang pemberontakan
terhadap rezim Suriah. Mereka terlibat dalam perang sipil Suriah tidak untuk
memerangi rezim maupun kelompok oposisi. Sejak mulai terlibat dalam perang pada
2012, tujuan etnis Kurdi hanya untuk membela diri dari serangan ISIS yang
memasuki wilayah mereka. Suku Kurdi terpusat pada dua organisasi: Rojava dan
Iraqi Kurdistan. Rojava tampaknya lebih besar dengan beranggotakan beberapa
kelompok oposisi seperti; YPG. YPJ, JaT, MFS dan IFB.[13]
Berhubung ISIS banyak berhasil mencaplok
wilayah Suriah dimana di dalamnya notabene adalah wilayah pemukiman Kurdi, maka
keberhasilan Kurdi mengusir ISIS dari wilayah itu berarti memasukkan
wilayah-wilayah itu menjadi wilayah otoritas mereka. Di sinilah, Turki –yang
awalnya tidak memusuhi mereka- melihat hal tersebut sebagai ancaman dalam
negerinya dan prakondisi berdirinya negara Kurdi itu mesti dihentikan. Maka,
Kurdi dan Turki pun berperang untuk menyelematkan kepentingan (behalf) masing-masing hingga sekarang.
ISIS
ISIS baru terlibat setelah perang sipil
berjalan dua tahun. ISIS masuk dari perbatasan Suriah dan Irak yang telah
diduduki organisasi teroris pimpinan Abdurrahman Al-Baghdadi itu.
Kendati hanya diperkuat 15.000 – 20.000 tentara,
ISIS mampu bertahan menghadapi seluruh kelompok dalam perang. Menjadi musuh
bersama seluruh kelompok justru membuat ISIS semakin agresif. Seluruh wilayah Timur, Tengah dan sebagian kecil
wilayah Utara dan Selatan Suriah, berhasil di kuasai kelompok ini. Wilayah
tersebut memang mayoritas tidak berpenghuni, tetapi merupakan kawasan kaya
minyak yang selama ini menjadi sumber pendapatan terbesar rezim Suriah. Pendudukan
ISIS atas wilayah ini barangkali yang menyebabkan ISIS mampu bertahan hingga
sekarang, kendati hanya ditopang sedikit tentara.
Turki
Sejak 2015 Turki memutuskan melibatkan
diri dalam perang. Tidak jelas motivasi apa yang mendorong Recep Tayyip
Erdoghan menggerakkan angkatan perangnya masuk ke wilayah Suriah. Namun, segera
jelas jika dilihat dari perubahan situasi dalam negeri itu. Pertama, masuknya pengungsi Suriah
hingga 1,7 juta orang memaksa Turki menganggarkan 5,6 miliar dollar AS setiap
tahun untuk keperluan kesejahteraan mereka. Kedua,
partai pimpinan Erdoghan, AKP, untuk pertama kalinya sejak 13 tahun berkuasa
gagal memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Karena itu, kampanye perang
terhadap Kurdi dimungkinkan akan mendongkrak perolehan suara partai itu dari
pemilih konservatif -beserta kelas menengah yang amat sensitif terhadap isu
berdirinya negara Kurdi- untuk melabuhkan dukungannya pada AKP. Ketiga, berhasil dibebaskannya wilayah
Suriah yang memisahkan dua kota suku Kurdi; Kobane dan Cezire dari ISIS membuka
jalan baru untuk menggabungkan wilayah itu di bawah kontrol otoritas Kurdi.
Bagi Turki, hal itu adalah prakondisi mendirikan negara Kurdi dan amat
berbahaya bagi kedaulatan perbatasan Turki yang mayoritas di huni suku
tersebut.
Intervensi Turki dalam perang Suriah
pertama-tama adalah untuk menghadang pergerakan politik Kurdi yang semakin
mengkhawatirkan. Di samping itu, Turki juga mengincar tentara pertahanan ISIS
yang belakangan ini melancarkan teror pemboman di dalam negerinya.
Selama ini, Ankara selalu bersitegang
dengan Damaskus sehingga bantuan terhadap pasukan oposisi dilakukan untuk
menggulingkan rivalnya itu. Turki yang notabene dihuni mayoritas Sunni, berpotensi
membuka skala konflik lebih tinggi dengan rezim Suriah yang dikuasai oleh sekte
Syiah Alawit.
Iran
Iran dan Suriah selama ini memiliki
kedekatan sangat erat bersamaan dengan terjalinnya kerja sama antar kedua
negara yang telah berlangsung lama. Kesamaan ideologis rezim kedua negara yang
sama-sama menganut Syiah menambah keeratan itu semakin intim. Walaupun,
populasi sekte itu mayoritas di Iran, sebaliknya minoritas di Suriah. Namun,
kepentingan untuk mempertahankan status quo amat sangat kuat mengingat Suriah
adalah salah satu benteng kekuatan politik Syiah di Timur Tengah. Membiarkan
Bashar Assad terguling akan berdampak pada pengaruh politik Iran di kawasan
yang selama ini bersitegang dengan Arab Saudi dan negara-negara koalisi
Arab-nya.
Untuk itu, Iran semula diam-diam
mengirim milisi sipil untuk menyokong ekspansi militer rezim. Tatkala situasi
perang yang makin sulit, sementara banyak dari milisi-milisi Iran tertangkap
pasukan oposisi sehingga menjadi sorotan dunia internasional, Iran kemudian
secara terang-terangan mengumumkan perekrutan terbuka relawan ke Suriah di
media-media nasionalnya. Tak mau mengambil resiko lebih besar, Iran kemudian mengirim
tentara reguler untuk memperkuat pertahanan sahabatnya itu.
Rusia
Tidak seperti Iran, Rusia tidak memiliki
ikatan erat dengan Suriah. Tak ada kesamaan primordial yang dapat menyatukan
negeri itu dengan Suriah. Kepentingan Rusia adalah murni kepentingan pragmatis.
Hanya berkaitan dengan kepentingan nasionalnya.
Selama ini, Rusia dan rezim Suriah telah
menjalin kerja sama amat baik dalam berbagai sektor. Tentu saja, kerja sama itu
selalu menguntungkan Rusia. Menjaga status quo rezim Suriah karenanya menjadi kepentingan
Rusia untuk merawat kemanfaatan dari kerja sama yang selama ini telah mereka nikmati.
Moskow tentu akan sangat dirugikan jika rezim di Suriah berganti.
Rusia tak punya pilihan lain, selain
mempertahankan hubungan tersebut dengan ikut mengambil bagian dalam aksi perang
terhadap pihak oposisi. Intervensi Rusia dalam perang saudara ini sangat
penting sebab tidak hanya berakibat positif bagi kelangsungan hubungan kedua
negara, tetapi juga memposisikan Rusia sebagai sahabat baik bagi Suriah. Itu berarti,
Rusia memiliki akses yang semakin bebas terhadap segala macam konsesi kerja
sama kedua negara ketimbang negara-negara lain yang tidak memiliki kontribusi
sama sekali.
Koalisi Internasional
Koalisi internasional umumnya
beranggotakan negara-negara NATO yang berkedudukan di Eropa dan Amerika. Termasuk
negara-negara teluk seperti Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar dan Yordania.
Dipimpin Amerika Serikat, bersama Inggris dan Prancis, koalisi ini belum
terlihat memiliki kepentingan langsung –kendati bukan mustahil- pada tuntutan
penggulingan Bashar Assad. Kepentingan koalisi internasional adalah pemusnahan
dan pengusiran ISIS keluar dari Suriah.
Namun, secara diam-diam, koalisi
internasional memiliki kepentingan untuk menumbangkan rezim Suriah. Tidak lain
dilandasi oleh konflik yang mengemuka antara mereka dan Rusia selama ini. Untuk
menghancurkan pengaruh Rusia yang kini menguat di Eropa dan Asia, khususnya
Timur Tengah, jalan menyokong kekuatan oposisi merupakan suatu langkah (pace) yang penting.
Selain itu, koalisi internasional juga punya
tanggung jawab besar untuk memelihara stabilitas keamanan dunia. Karena itu
kelompok pengacau dan teroris seperti ISIS menjadi target penghancuran mereka. ISIS
yang telah memasuki Suriah sejak 2013 dan bertanggung jawab terhadap berbagai
macam aksi teror, pembunuhan, dan pengusiran, menjadi sasaran prioritas
mengingat ancaman keamanan dalam negeri negara koalisi telah nyata.
Hingga sekarang, serangan terhadap ISIS baru
dilancarkan Koalisi Internasional dari udara. Belum tampak tentara organik
diterjunkan di sana. Padahal, beberapa anggota Koalisi Internasional seperti Jerman,
Inggris, Belgia dan Prancis telah diserang ISIS langsung ke dalam wilayah
mereka yang mengakibatkan tidak sedikit jatuhnya korban jiwa. Tampaknya
strategi menjatuhkan Khadafi di Libya masih jadi pilihan. Resiko perang memang
lebih kecil jika menggunakan proksi yang dilatih dan dibiayai sendiri. Lagi
pula, pasukan oposisi dan Kurdi yang notabene adalah proksi mereka masih dapat
diandalkan untuk menghancurkan ISIS.
Rangkaian Perjalanan Konflik
Selain delapan kelompok tersebut,
sebenarnya masih ada banyak kelompok oposisi yang berjuang dengan jalan
sendiri. Kekuatan mereka memang tidak seberapa jika dibandingkan delapan aktor
tersebut. Namun, peran mereka cukup membantu mempersulit langkah tentara rezim kembali
merebut wilayah-wilayah kekuasannya.
Setelah FSA dibentuk oposisi pada Juli
2011, perlawanan terhadap rezim mulai meningkat serta melibatkan banyak warga
sipil yang tidak sedikit. Pada 23 Agustus, oposisi membentuk koalisi kelompok
anti pemerintah yang disebut Dewan Nasional Suriah (SNC). Organisasi koalisi
ini menjadikan Turki sebagai basis perjuangannya. Seluruh kelompok oposisi
masuk menjadi anggota koalisi ini dipimpin FSA sebagai kelompok terbesar.
Pada akhir Agustus ketika umat Islam
merayakan Idul Fitri, tentara rezim menyerang sekumpulan demonstran di Homs, Daraa, dan di pinggiran kota
Damaskus. Sebelumnya, terjadi pertempuran antara pasukan rezim dan oposisi di wilayah
perairan di pinggir Damaskus. Tampaknya, aksi tidak manusiawi itu adalah
serangan balasan mengingat kini pihak rezim tampaknya telah menyamakan kaum demonstran dengan
pasukan oposisi yang mengangkat senjata. [14]
Perang saudara dimulai tidak serentak di
seluruh provinsi di Suriah. Mula-mula diawali dari Damaskus. Bersamaan dengan
perang itu, oposisi mengirim delegasi mereka ke seluruh provinsi untuk
melakukan konsolidasi dan mengkampanyekan
perang. Didukung oleh protes para demonstran yang mengutuk serangan tentara
rezim mendatangkan tidak sedikit simpati warga sipil. Lambat laun perang antara
kedua pihak pecah di berbagai kota di luar Damaskus seiring dengan bergabungnya
warga ke dalam pasukan oposisi dan terkonsolidasikannya kekuatan oposisi di
sana.
Pada bulan November dan Desember, ketika
jumlah pasukan oposisi semakin bertambah, serangan besar-besaran dilancarkan
terhadap basis pertahanan rezim di beberapa titik di dalam kota Damaskus
seperti di
komplek intelijen angkatan udara di daerah
pinggiran di Harasta,
kantor cabang regional Pemuda Partai Ba'ath di provinsi Idlib, kantor
Cabang Regional Suriah di Damaskus, pangkalan udara di provinsi Homs dan gedung intelijen di provinsi Idlib.[15]
Pada
15 Desember, pejuang oposisi melakukan menyerang mendadak terhadap pos
pemeriksaan dan markas militer di sekitar kota Daraa, kota dimana akar konflik
dimulai. Serangan itu membunuh 27 soldiers, sebuah serangan tebesar yang diderita
pasukan rezim. Situasi berbalik beberapa hari kemudian setelah oposisi gagal
menduduki provinsi Idlib. Puluhan pejuang oposisi tewas dalam pertempuran itu.
Pada
Januari 2012, rezim Suriah memulai serangan artileri pada seluruh basis
pertahanan oposisi di seluruh negeri. Banyak bangunan rumah warga dihancurkan
dalam serangan itu. Armada tank diluncurkan untuk menggempur perlawanan
oposisi. FSA membalas serangan itu beberapa hari kemudian dengan menggempur
kota Douma yang diduduki rezim.[16]
Pada 22 Juni 2012, sebuah pesawat tempur
Turki ditembak jatuh oleh rezim Suriah. Dua orang pilot tewas. Kedua negara
berselisih mengenai apakah pesawat itu terbang di atas udara Suriah atau
internasional. Bashar Assad mengirim ucapan belasungkawa beserta permohonan maaf
pada Erdoghan. Tampaknya, peristiwa naas itu di kemudian hari menyadarkan Turki
bahwa Suriah bukanlah tetangga yang baik.[17]
Hal ini mendorong simpati Turki pada oposisi terlebih setelah terbukti bahwa
rezim dengan amat meyakinkan mengorbankan nyawa rakyatnya untuk mempertahankan
status quo.
Pada bulan Juli, pejuang oposisi
berhasil menduduki kota Al-Qusayr di provinsi Homs setelah bertempur beberapa
minggu lamanya. Lalu diikuti dengan menduduki kota kecil Saraqeb di provinsi
Idlib.
Pada pertengahan bulan yang sama, ketika
pertempuran menyebar membelah Suriah dan 16.000 orang terbunuh, Komite Palang
Merah Internasional mendeklarasikan perang Suriah sebagai perang saudara.
Pertempuran di ibu kota Damaskus berlangsung intensif dengan tekanan utama dari
pejuang oposisi untuk menduduki kota. Hasil perjuangan pejuang oposisi semakin efektif
terlihat tatkala pada bulan yang sama mereka berhasil mengatur sebuah bom bunuh
diri di Damaskus. Ledakan bom tersebut berhasil membunuh tiga pejabat utama
rezim yaitu menteri pertahanan Suriah, mantan menteri pertahanan Suriah dan
saudara tiri presiden Suriah. [18]
Sejak perang meletus, kekuatan rezim dan
oposisi saling menandingi satu sama lain. Jika satu kota berhasil direbut
pasukan rezim, maka kota lainnya berganti diduduki pejuang oposisi. Pejuang
oposisi memang tak dapat dipungkiri tampak kesulitan melawan gempuran angkatan
perang rezim yang menyerang dan mengepung dari berbagai lini. Serangan udara
mendapat keuntungan yang signifikan mengingat pasukan oposisi hanya mampu
menyerang dari darat. Belum lagi, keterbatasan alutsista yang dimiliki memaksa
oposisi menggunakan segenap kekuatan dan stateginya untuk sekedar bertahan (survive).
Tetapi, semua itu berubah ketika perang
memasuki tahun kedua pada akhir 2012 dan awal 2013. Sejak saat itu, bergantian
kedua pihak menggempur dan menduduki wilayah satu sama lain. Pada 18 November,
pejuang oposisi berhasil membuat sejarah dengan menduduki pangkalah besar
rezim, Base 46, di provinsi Aleppo setelah bertempur beberapa minggu. Pangkalan
ini adalah yang terbesar di wilayah utara Suriah. Ratusan tentara rezim tewas
dan puluhan lainnya ditahan.
Sementara itu beberapa hari berikutnya,
pejuang oposisi kembali memetik kemenangan dengan menduduki pangkalan militer
Mayadeen di sebelah timur provinsi Deir ez-Zor. Para aktivis mengatakan
keberhasilan itu membuat oposisi mengontrol wilayah terbesar di pangkalan timur
yang merentang hingga perbatasan Irak. Sementara itu, pada 29 November,
jaringan telepon dan internet negeri itu mati selama dua hari. [19]
Hal ini tentu saja membuat Damaskus kerepotan mengendalikan laju perang yang
mulai berjalan imbang.
Memasuki pertengahan 2013, giliran rezim
melancarkan serangan balasan. Pasukan rezim berhasil menembus blokade oposisi
di Wadi
al-Deif, dekat Idlib. Serangan tersebut terus dilancarkan
hingga akhir tahun. Tak banyak perubahan berarti bagi rezim menyusul usaha
oposisi yang tiada henti untuk menduduki beberapa kota yang sebelumnya mereka
kuasai. [20]
Rezim Suriah tampaknya mulai kesulitan
setelah kelompok bersenjata Islam dari luar menggempur mereka pada Januari
2013. Kelompok oposisi Islam itu bergerak sendiri di luar koordinasi dari FSA
maupun Dewan Nasional Suriah. Hal tersebut tentu semakin merepotkan rezim
sehingga pada bulan Mei, rezim menggempur basis oposisi menggunakan bom kimia.[21]
Sikap tersebut tentu telah nyata melanggar aturan Konvensi Jenewa berkenaan
pelarangan penggunaan gas beracun dalam perang. Namun, pihak rezim mengelak dan
menuduh balik pihak oposisi.
Faktanya, penggunaan bom kimia tidak
merubah keadaan sama sekali. Oposisi terus agresif menggempur pasukan rezim. Keadaan
semakin sulit setelah ISIS mulai memasuki wilayah Suriah dan terlibat pada
serangkaian pertempuran. Pada September 2013, ISIS menduduki wilayah perbatas
kota Azaz dari pejuang FSA. Sementara
itu di akhir November, ISIS sekali lagi berhasil memukul pejuang FSA dengan
menduduki perbatasan kota Atme. Serangan balasan lalu dilancarkan Tentara
Mujahidin, FSA dan Front Islam melawan ISIS di provinsi Aleppo dan Idlib. Pasukan
ISIS berhasil dipukul tetapi hanya menyingkirkan teroris itu sampai ke Idlib. [22]
Pada 6 Januari 2014, pejuang oposisi
mengusir ISIS dari kota Raqqah, kota dimana benteng terbesar ISIS berada
beserta ibu kota provinsi itu. Dua hari berikurnya, ISIS berhasil diusir dari
kota Aleppo, bagaimanapun ISIS berusaha mendatangkan bala bantuan dari provinsi
Deir ez-Zor yang mengatur pendudukan kembali beberapa kota tetangga di sekitar
Raqqah.[23]
Masuknya ISIS membuat perang saudara di
Suriah semakin kompleks dengan beragam aktor dan kepentingan yang berbeda-beda.
Pada Agustus 2014, seorang wartawan asal Amerika, James Foley, dieksekusi oleh
ISIS. Tindakan tersebut memicu kemarahan Amerika dan mendorong Amerika
melakukan serangan terhadap kelompok itu pada September. [24]
Setidaknya, 20 target di sekeliling Raqqah dihancurkan oleh jet-jet tempur yang
datang dari laut. Kelompok oposisi group SOHR mengatakan serangan Amerika itu diikuti
negara-negara lain seperti Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar dan
Yordania. [25]
Semakin lama perang berkecamuk, disertai
dengan serangan bom dan peluru kendali yang tiada henti, tampaknya tidak
membuat pasukan oposisi menyerah. Justru mereka mampu bertahan dan mendapat
banyak pengalaman tempur yang berarti. Dengan kondisi alutsista dan logistik
yang seadanya, pasukan oposisi mampu membuktikan bahwa kecanggihan dan besarnya
alutsista bukanlah faktor utama untuk memenangkan perang.
Telah berton-ton bom dan peluru kendali rezim
luncurkan untuk menghabisi pejuang oposisi, tetapi justru sama sekali tidak
mengubah situasi perang sama sekali seperti yang diinginkan. Rezim tak
menyangka, perang akan berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Justru
situasi semakin kacau balau setelah Turki memutuskan terlibat pada 2015.
Bersamaa dengan Rusia yang tidak ingin sekutunya itu bernasib seperti Khadafi.
Mulai letih menghadapi tekad yang
dimiliki pasukan oposisi, memaksa rezim Suriah memulai jalan yang tak diduga
sebelumnya akan muncul. Yakni jalan perundingan. Sebenarnya, akhir-akhir ini
posisi rezim semakin baik setelah sebagian besar kota Aleppo berhasil direbut
dari kendali pejuang oposisi. Tetapi justru kerugian diderita sekutunya Rusia
setelah seorang duta besarnya di Turki di tembak simpatisan oposisi. Rusia
tentu tidak ingin mengambil resiko lebih jauh setelah Turki –yang selama ini
menyokong oposisi- membuka tangan untuk berunding.
Upaya untuk Mengakhiri Perang
Telah sekian kali berbagai upaya
ditempuh untuk mengakhiri perang sipil di Suriah. Pertama kali, upaya itu
dilakukan oleh Liga Arab antara November 2011 dan Januari 2012. [26]Negara-negara
anggota organisasi itu sepakat mendorong Bashar Assad bersama oposisi duduk
bersama mencari solusi terbaik bagi kedua pihak.
Semula usulan tersebut berjalan lancar
hingga misi pengawas rencana perdamaian dikirimkan ke Suriah dan tiba-tiba saja
pertempuran kembali pecah. Arab Saudi marah dan mengajak seluruh anggota Liga
Arab, juga Rusia dan China untuk menekan Assad menerima rencana itu. Tetapi
rencana itu berakhir dengan sendirinya tanpa kepastian.
Usaha berikutnya yang terkenal datang
dari mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan setelah konflik baru berjalan
setahun. Pada bulan Maret, rencana perdamaian yang di gagas Annan berhasil
mengajak kedua pihak untuk menghentikan serangan.
Konvensi Jenewa I untuk mengakhiri
konflik Suriah berhasil di gelar pada Juni 2012 di Jenewa. Konvensi itu mengusulkan perlu
diselenggarakannya pemerintahan transisi dengan kewenangan dari kekuasaan eksekutif
(transitional government body with
full executive powers) dalam waktu dekat. Yang mana sedapat mungkin dimasukkan
anggota yang mewakili pemerintah Suriah dan oposisi (which could include members of the present Syrian government and of the
opposition).
Upaya itu menemui jalan terang setelah
lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu Amerika Serikat, Rusia, Cina, Prancis
and Inggris mendukung Kofi Annan untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Pada
konferensi ke 16 Organisasi Non-Blok yang berlangsung Agustus 2012 di Teheran,
Iran yang diikuti 120 perwakilan negara anggota. Iran dalam pertemuan itu
menginisiasi seluruh negara anggota untuk mempersiapkan (draw up) resolusi perdamaian baru guna mendorong penyelesaian
perang saudara di Suriah. Sayangnya, usulan Iran itu tidak disambut baik
sebagian perwakilan negara-negara itu.
Perayaan Idul Adha pada September 2012
yang diharapkan dapat menjadi titik dimulainya upaya perdamaian bagi rezim
Suriah dan oposisi rupanya tidak berhasil diwujudkan. Memang rezim dan oposisi
semula menerima seruan itu. Belum lama, ketenangan itu bertahan, tiba-tiba
pertempuran kembali pecah. Masing-masing pihak saling menuduh satu sama lain
untuk menghentikan kekerasan.
Pada 2014, Konvensi Jenewa ke II yang
merupakan kelanjutan dari rekomendasi konvensi pertama diselenggarakan.
Pertemuan yang dimulai dari tanggal 22 Januari sampai 31 Januari 2013 itu pada
perkembangannya tidak mampu mempertahankan sejumlah kemajuan yang berhasil disepakati sebelumnya. Tak ada perjanjian
yang berhasil dicapai pada momentum penting tersebut. Sekali lagi, upaya perdamaian
gagal di tempuh.
Tidak berhenti disitu,
upaya perundingan terus diusahakan oleh PBB dan negara-negara anggotanya.
Beberapa perundingan sempat berhasil dilakukan dengan pertama-tama dilakukan
penghentian peperangan (cease fire)
antara kedua belah pihak. Beberapa diantaranya adalah Four Committees Initiative,
Zabadani Ceasefire Agreement, Vienna Process, Riyadh December 2015 conference
of Syrian opposition groups, Konvensi Jenewa III, September 2016 cease fire deal dan yang
baru-baru ini, Astana Talks. [27]
Pembicaraan Astana (Astana Talks) diinisiasi oleh Rusia dan
Turki. Sebagai penyokong masing-masing pihak yang bertikai, seruan kedua negara
berhasil memaksa rezim Suriah dan oposisi melakukan genjatan senjata. Pidato
seruan yang disampaikan Vladimir Putin pada Kamis malam 29 Desember 2016
menandai dimulainya upaya perdamaian yang berlaku sejak esok hari 30 Desember.
Disepakati kedua belah pihak,
perundingan akan diselenggarakan di Astana, Kazakhstan pada akhir Januari.[28] Namun
belum terhitung satu hari sejak dimulainya gencatan senjata, Jumat esok
harinya, pertempuran kembali meletus. Menurut SOHR yang mengandalkan laporan
aktivisnya di lapangan, pasukan rezim dan pejuang oposisi kembali bentrok di
area Wadi Barada, di luar Damaskus dan daerah timur Ghouta.
Pertempuran ini dipicu oleh saling
tuduh kedua belah pihak antara siapa yang bertanggung jawab melakukan sabotase
terhadap sumber mata air di area itu. Sabotase ini terjadi sejak 22 Desember
dan terus berlangsung hingga kini. Akibatnya, 5,5 lima juta warga Damaskus dan
sekitarnya mengalami krisis air dan terpaksa membelinya pada pihak swasta.
Rezim menuduh oposisi mencemari
mata air Wadi Barada dengan diesel,[29] sebaliknya
pihak oposisi menuntut tanggung jawab rezim akibat gempuran bom yang dilancarkan
jet-jet tempur dan pasukan artileri ke area mata air itu. Pertempuran di Wadi
Barada segera menimbulkan ketidakpercayaan oposisi akan masa depan gencatan
senjata hingga perundingan di Astana. Tiga hari setelah pertempuran berkecamuk
tanpa henti, pihak oposisi akhirnya memutuskan membekukan rencana perundingan. [30] Sekali
lagi, upaya perdamaian gagal di tengah jalan. Situasi ketidakpastian yang
menyelimuti kehidupan warga Suriah selama ini berlanjut kembali.
Peran Diplomatik Indonesia Sejauh
Ini
Sebagai negara anggota DK PBB, pencetus
Gerakan Non Blok, anggota OKI dan Liga Arab, sebenarnya memposisikan Indonesia
pada kedudukan strategis dalam menyikapi perang sipil di Suriah. Sikap
Indonesia untuk tidak bergabung dengan Aliansi Strategis Militer Islami
Sunni pimpinan Arab Saudi semakin memperkuat posisi itu. Namun, sejauh ini
Indonesia hanya pasif sembari menyelesaikan tugas-tugas diplomatiknya bersama
negara anggota PBB lainnya.
Selama tahun 2016
ini, PBB telah beberapa kali menyepakati sejumlah resolusi berkaitan isu perang
sipil di Suriah. Pada Juli lalu, disepakati resolusi mengenai pelanggaran HAM
di Suriah oleh rezim Bashar Assad. Dalam resolusi ini, Indonesia menolak
mendukung resolusi itu dengan memilih sikap abstain bersama tiga puluhan negara
lainnya.
Sikap
tersebut diambil bukan berarti Indonesia mendukung pembantaian yang dilakukan
oleh rezim Suriah terhadap rakyatnya. Menurut Hasan Kleib, Direktur Jenderal
Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, pelanggaran HAM di Suriah tidak hanya
dilakukan oleh pasukan rezim. Kendati, paling banyak datang dari serangan
militer rezim. Resolusi itu katanya amat tendensius hanya menjustifikasi satu
pihak sehingga tidak melahirkan solusi penting untuk mengakhiri peristiwa
tersebut.[31]
Masih menurut Hasan, resolusi tersebut juga tidak mendukung upaya
penciptaan perdamaian di Suriah. Berdasarkan hal itulah, katanya, Indonesia memilih abstain.
Sikap abstain ini jika dilihat sekilas memang tidak terlihat
populer. Tidak heran jika beberapa media Islam yang sepertinya anti rezim
Suriah menyesalkan keputusan itu dan menuduh hubungan baik Indonesia dengan
Iran dan Cina sebagai biang kerok-nya.
[32]
Pada 9 Desember, PBB kembali menggelar sebuah konferensi berkaitan
dengan perang sipil Suriah. Pada kesempatan itu, negara-negara anggota sepakat
untuk menetapkan sebuah resolusi tentang dihentikannya kekerasan di Aleppo dan
Suriah, serta diberinya akses kemanusiaan. Resolusi dengan nomor A/71/L39 akhirnya
berhasil disepakati dengan voting 122 mendukung, 13 menolak dan 36 abstain.
Indonesia termasuk negara yang setuju terhadap resolusi itu.[33]
Sikap Indonesia di PBB memang sejauh ini cukup memuaskan. Manakala tim kemanusiaan asal
Indonesia sudah jauh-jauh menunggu dibukanya akses masuk ke dalam negeri itu. Tetapi,
hanya terlibat dalam pemungutan suara sembari menyerukan perdamaian melalui
media bukanlah tradisi diplomatik Indonesia yang sebenarnya. Setidaknya, jika
dilihat pada prinsip politik luar negeri Indonesia dan contoh yang telah
ditunjukkan pemimpin Indonesia terdahulu.
Menurut Presiden RI pertama, Sukarno, Indonesia memiliki tiga prinsip
politik luar negeri utama. (1) bebas dan aktif, (2) solidaritas Asia-Afrika dan
(3) tetangga baik (good neighbour policy).
[34] Jika tiga prinsip ini
dilihat, tampaknya dua prinsip yang terakhir telah Indonesia praktekkan sejak
dulu. Sayangnya, untuk yang pertama politik luar negeri Indonesia baru memang sebatas
‘bebas,’ tetapi, sayang sekali, belum ‘aktif.’
Politik bebas aktif disini bukanlah politik diplomasi sekedar untuk
menggugurkan kewajiban Indonesia sebagai anggota PBB melakukan pemungutan
suara. Bebas aktif disini berkaitan dengan kiprah kepeloporan Indonesia untuk
menunjukkan sikap empatinya terhadap masalah-masalah internasional yang selama
ini mengemuka. Disertai dengan pengajuan jalan keluar yang mungkin ditempuh.
Ketika memimpin Indonesia sejak 1950, Presiden Sukarno terhitung
telah memelopori terbentuknya berbagai koalisi internasional seperti; Gerakan
Non Blok, Konferensi Asia Afrika, Conference
of New Emerging Force (Canefo). Saat itu, Indonesia bahkan berhasil
menggerakkan puluhan hingga ratusan atlet delegasi negara anggota untuk
menyelenggarakan olimpiade olah raga tersendiri. Olimpiade bentukan Sukarno itu
kemudian dinamakan Games of Emerging
Forces (Ganefo).
Di masa Suharto memimpin, kepeloporan diplomasi Indonesia tidak
surut. Indonesia terhitung sebagai penggagas Association of South-East Asian Nation (ASEAN) bersama Malaysia dan
Thailand. Ketika perang saudara
berkecamuk di Bosnia-Herzegovenia awal dekade 1990-an, Presiden Suharto pernah masuk
ke ibu kota Kosovo yang telah hancur dilanda perang. Tanpa gentar sedikit pun, Presiden
Suharto bertemu dengan presiden Bosnia yang pada waktu itu terkepung di istana
negara dan menyerukan perdamaian.
Sejak rezim Orde Baru hingga era kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, telah sekian kali, TNI diminta PBB mengirim Pasukan Garuda
dalam misi perdamaian di negara-negara konflik seperti Kongo dan Libanon. Warga
di sana punya kenangan indah dengan kehadiran Pasukan Garuda disana. Pasukan
Garuda di antara pasukan keamanan PBB lainnya, dikenal paling mudah
berinteraksi dan bergaul, sehingga memperoleh kepercayaan besar dalam
menyelesaikan masalah-masalah disana dengan baik. Ini membuktikan bahwa
Indonesia memiliki modal diplomasi unggul.
Menurut penulis, Indonesia punya potensi untuk menampilkan
kepeloporan serupa. Jika Turki, Rusia dan PBB telah gagal mengajak seluruh
kelompok menghentikan pertempuran. Indonesia dengan pengalaman sejarah
rekonsiliasinya yang amat luar biasa, seharusnya juga memiliki peran yang lebih
penting untuk mengakhiri perang di Suriah.
Hal ini penting dilakukan mengingat konflik di Suriah sebenarnya
dalam kajian Hubungan Internasional (HI) dapat diasumsikan disebabkan situasi
ketidakstabilan di kawasan. Pengaruh revolusi Arab adalah prakondisi utamanya
dan perang sipil merupakan ekses berikutnya. Karena itu, perang sipil Suriah
adalah bagian dari konflik transnasional di mana dalam HI dapat dilihat
menggunakan teori pendekatan sistemik. [35] Pada gilirannya,
pendekatan ini amat representatif jika dimulai oleh solusi damai dari pihak luar.
Negara-negara yang tidak berkepentingan dalam konflik itu paling tepat menjadi
pelopor perdamaian.[36] Salah satunya, tentu saja
adalah Indonesia.
Barangkali, Presiden Joko Widodo perlu turun langsung ke Suriah
bertemu Bashar Assad dan pimpinan oposisi. Penulis lihat tampaknya hal itu
tidaklah mustahil mengingat Presiden Joko Widodo sudah terbiasa mengadakan blusukan serupa di berbagai pelosok tanah air.
Peran aktif Indonesia menyelesaikan konflik Suriah bukan lagi
wacana kosong yang baru dilakukan. Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk
muslim terbesar di dunia, menjadi sangat rasional bagi pihak rezim maupun
oposisi Suriah untuk mendengar gagasan resolusi konflik Indonesia. Pengalaman
keberhasilan Indonesia pada tugas semacam itu sudah barang tentu, jika berhasil
diterima, berpeluang besar untuk mengakhiri perang saudara itu untuk
selama-lamanya. Kini, tinggal keberanian Indonesia saja untuk maju berperan
aktif sebagai pelopor perdamaian di Suriah.
Kepustakaan
Buku
Dekel, Udi, Nir Boms dan Ofir Winter. 2016.
Syria’s New Map and New Actors:
Challenges and Opportunities. Tel Aviv: Institute for National Security
Studies.
Sukarno, Ir. 1966. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Kedua. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera
Revolusi.
Warsito, Tulus. 1998. Teori-Teori Politik Luar Negeri: Relevansi
dan Keterbatasannya. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Artikel dan Berita
Iamsyria,
“The Main Parties Killing Civillians in Syria,” diakses pada 6 Januari 2017
English
Wikipedia, “Syrian Civil War,” Desember 2016, diakses pada 7 Januari 2017
GM
Nur Lintang Muhammad, “Suriah Untuk Pemula,” diakses pada 5 Januari 2017
Muhammad
Zulifan, “Mencari Ujung Batas Konflik Suriah,” diakses pada 5 Januari 2017
English Aljazeera, “Syria Rebels Freeze Negotiations, Saying Truce Violated,” Januari 2017,
diakses pada 7 Januari 2017
Harian
Kompas, “Hari Pertama Gencatan Senjata Diwarnai Pelanggaran,” 31 Desember,
diakses pada 7 Januari 2017.
Harian
Kompas, “Sabotase di Lembah Barada Termasuk Kejahatan Perang,” 7 Januari 2017,
diakses pada 7 Januari 2017.
Viva.co.id, “Indonesia Abstain soal HAM Suriah, Kemlu: Itu Resolusi Lama,” 20 Desember
2016, diakses pada 8 Januari 2017.
MetroTV News, “Indonesia Tidak Abstain dalam Resolusi Damai Suriah,” 19 Desember 2016,
diakses pada 7 Januari 2017
English
Wikipedia, “Syria,” diakses pada 6 Januari 2017
The Guardian, “Clues Suggest Istanbul Nightclub Gunman May Be a Uighur,” diakses pada 6
Januari 2017
Eramuslim,
“Foto Pembagian Wilayah Suriah Berdasarkan Faksi-Faksi yang Menguasai,” diakses
pada 6 Januari 2017
David
W. Lesch, “Prediksi Masa Depan Suriah,” diakses pada 5 Januari 2017
[1] Makalah Ujian Akhir Semester
Politik Luar Negeri Indonesia, Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.
[2] Dari 203,097 itu, 188,729 (92,92 persen) dilakukan oleh rezim
Suriah. 1,75 persen oleh Rusia, 0,33 persen oleh pasukan koalisi internasional,
1,81 persen oleh oposisi dan 1,48 persen oleh ISIS. Lihat iamsyria, “The Main
Parties Killing Civillians in Syria,” diakses pada 6 Januari 2017
[3] English Wikipedia, “Syirian Civil War,” Desember 2016, diakses pada
5 Januari 2017
[4] Muhammad Zulifan, “Mencari Ujung Batas Konflik Suriah,” diakses
pada 5 Januari 2017
[5] GM Nur Lintang Muhammad, “Suriah Untuk Pemula,” diakses pada 5
Januari 2017
[6] David W. Lesch, “Prediksi Masa Depan Suriah,” diakses pada 5
Januari 2017
[7] English Wikipedia, “Syria,” tanpa tanggal, diakses pada 6 Januari
2017
[8] English Wikipedia, “Syrian Civil War,” Desember 2016, diakses pada
7 Januari 2017
[9] Ibid.
[10] Udi Dekel, Nir Boms dan Ofir Winter, Syria’s New Map and New Actors: Challenges and Opportunities, (Tel
Aviv: Institute for National Security Studies), 2016, hlm. 35
[11] The Guardian, “Clues Suggest
Istanbul Nightclub Gunman May Be a Uighur,” diakses pada 6 Januari 2017
[12] Eramuslim, “Foto Pembagian Wilayah Suriah Berdasarkan Faksi-Faksi
yang Menguasai,” diakses pada 6 Januari 2017
[13] English Wikipedia, “Syria,” diakses pada 6 Januari 2017
[14] English Wikipedia, “Syrian Civil War,” Desember 2016, diakses pada
7 Januari 2017
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] English Wikipedia, “Syrian Peace Process,” diakses pada 7 Januari
2017.
[27] Ibid
[28] Harian Kompas, “Hari Pertama Gencatan Senjata Diwarnai
Pelanggaran,” 31 Desember, diakses pada 7 Januari 2017.
[29] Harian Kompas, “Sabotase di Lembah Barada Termasuk Kejahatan
Perang,” 7 Januari 2017, diakses pada 7 Januari 2017.
[30] English Aljazeera, “Syria
Rebels Freeze Negotiations, Saying Truce Violated,” Januari 2017, diakses pada
7 Januari 2017
[31] Viva.co.id, “Indonesia Abstain
soal HAM Suriah, Kemlu: Itu Resolusi Lama,” 20 Desember 2016, diakses pada 8
Januari 2017.
[32] Lihat reaksi tersebut dalam Islamedia, “Mengecewakan,
Perwakilan Indonesia di PBB ABSTAIN Saat Voting Pelanggaran HAM Suriah,”
tertanggal 2 Juli 2016 dan UMMI-Online, “Mengapa pemerintah Indonesia tidak
bersuara atas pembantaian di suriah?” tertanggal 19 Desember 2016.
[33] MetroTV News, “Indonesia
Tidak Abstain dalam Resolusi Damai Suriah,”
19 Desember 2016, diakses pada 7 Januari 2017
[34] Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Kedua, (Jakarta: Panitia
Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi), 1966, hlm, 477
[35] Teori ini dapat didefinisikan sebagai; teori-teori yang
mengungkapkan seluruh hubungan-hubungan
perilaku suatu negara dan pengaruhnya terhadap lingkungan eksternalnya.
Dinamika internal maupun eksternal, dalam pendekatan sistemik ini, dirumuskan
dalam suatu struktur yang unsur-unsurnya interdependen. Lihat Tulus Warsito,
Teori-Teori Politik Luar Negeri: Relevansi dan Keterbatasannya, (Yogyakarta:
Bigraf Publishing), 1998, hlm. 64.
[36] Pendekatan ini pada prakteknya melihat perdamaian internasional di
luar negara-negara subjek -misalnya kasus Suriah- tak dapat terjadi sebab dua kelompok yang
bertikai tak dapat dikendalikan oleh negara-negara pendukungnya (Turki dan
Rusia). Lagi pula, kedua negara tidak ingin dirugikan jika proses transisi yang
berhasil diwujudkan tidak sesuai keinginan mereka. Sebab, pada dasarnya Turki
dan Rusia masih bermusuhan. Hubungan di antara keduanya, tidak dapat ditampik,
masih saling curiga satu sama lain. Atas
dasar itulah, pihak yang paling representatif mendorong perdamaian adalah
mereka yang berada di luar keduanya –termasuk Iran. Seharusnya hal itu bisa
dilakukan oleh PBB, maupun Kofi Annan. Tapi rupanya, tetap tidak berhasil.
Tampaknya, aktor luar yang paling representatif adalah mereka yang dihormati
kedua belah pihak dan dipercayai integritasnya.
Komentar
Posting Komentar