Peran Diplomatik Indonesia untuk Mengakhiri Perang Sipil di Suriah[1]

Oleh: Zulfikhar


Diakses dari https://cdn.theatlantic.com/assets/media/img/photo/2015/04/in-syria-four-years-of-war/s01_467812234_10/main_1500.jpg





Pendahuluan


Perang sipil di Suriah tidak terasa kini hampir memasuki tahun keenam. Sejak perang saudara itu dimulai pada 2011 silam, tidak sedikit kerusakan yang telah ditimbulkannya. Kerusakan material berupa bangunan perumahan serta objek-objek vital lainnya telah menjadi pemberitaan sehari-hari di media cetak dan elektronik dalam dan luar negeri. Berita seputar korban meninggal dan luka-luka tidak pernah absen dari headline berbagai surat kabar berikut diskusi-diskusi yang diselenggarakan di layar kaca televisi. Termasuk gelombang pergerakan pengungsi yang meninggalkan rumah mereka menuju kota-kota yang lebih aman, bahkan mencari keamanan di negara-negara tetangga, hingga jauh ke Eropa.



Hingga kini, tidak sedikit warga sipil Suriah terbunuh dan kehilangan tempat tinggal akibat perang tak berkesudahan itu. Jika di total, menurut organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia di Suriah (SOHR) jumlah korban tewas –berikut jumlah tentara pemerintah dan oposisi yang terbunuh- hingga Februari 2016 berkisar antara 312.000 – 437.000 jiwa. Sementara itu, organisasi Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SNHR) melaporkan 203,097 warga sipil terbunuh.[2] Sedangkan, jumlah pengungsi – baik pengungsi di dalam dan luar negeri- menurut data organisasi UNHCR mencapai 12,4 juta jiwa.[3] PBB memperkirakan 12,2 juta warga membutuhkan bantuan kemanusiaan di dalam wilayah Suriah, termasuk 5,6 juta anak-anak.[4]




Perang di Suriah yang semula bermotif politik kini telah berkembang lebih jauh tidak sebagaimana prediksi sebelumnya. Sebagai rentetan dari revolusi semi Arab yang berhasil menyapu Tunisia, Mesir dan Libya, revolusi di Suriah tidak berakhir dengan kemenangan pihak oposisi maupun warga sipil yang semula sejak awal telah melancarkan aksi demonstrasi damai menuntut kemunduran rezim Bashar Assad. 


Reaksi keras rezim terhadap demonstrasi damai melalui sejumlah aksi penangkapan dan penembakan membabi buta justru menarik konflik jauh lebih dalam dan akut. Represi yang dilakukan rezim terhadap para demonstran dari waktu ke waktu seketika membalikkan konflik yang awalnya berlangsung damai di jalanan dengan cepat berubah tatkala ketidakpuasan warga terakumulasi menjadi kekecewaan. Kekecewaan sedemikian memicu kemarahan dan berakhir dengan sikap warga disertai dukungan penuh pihak oposisi mengambil opsi terakhir: mengangkat senjata.



Dari sini, situasi keamanan di Suriah yang tadinya terkendali menjadi kacau balau. Ketika, rezim Assad mengirim tentara dari komunitas Druze dan Kristen untuk memberangus pergerakan kaum oposisi, seketika memicu konflik yang tadinya hanya bermotif politik berubah menjadi sektarian.[5] Warga Suriah yang mayoritas Sunni di mana selama ini merasa di anak tirikan dan menjadi korban dari sikap tangan besi rezim dengan sendirinya menarik diri dan menyatakan perang. Anggota mereka yang berada di kubu rezim termasuk di angkatan bersenjata segera membelot ke pihak oposisi dan membentuk basis perlawanan.



Adalah Tentara Pembebasan Suriah (FSA), organisasi militer yang dibentuk berbagai unsur perlawanan warga Suriah pada Juli 2011. Organisasi yang mayoritas 90 persen beranggotakan warga Sunni ini merupakan salah satu garda terdepan tentara oposisi dalam perang saudara itu hingga sekarang. Selain mereka, hadir kelompok-kelompok bersenjata yang juga berangkat dengan tujuan masing-masing. Umumnya mereka adalah kelompok bersenjata Islam setempat atau pun yang dari luar negeri.



Semakin berlarutnya perang di Suriah, semakin pula mendatangkan perhatian dari dunia internasional. Tidak hanya campur tangan positif membantu korban perang diberikan, beberapa negara justru mengintervensi situasi perang sesuai kepentingan nasional mereka masing-masing. Negara-negara itu terbagi ke dalam dua kelompok. Mereka yang pro dengan rezim Suriah dan mereka yang kontra.



Umumnya, negara-negara itu adalah mereka yang sejak semula menganggap akhir dari perang di Suriah berpengaruh besar bagi kepentingan nasional mereka kemudian. Baik dari segi politik maupun ekonomi terutama negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah. Karena nasib negara-negara itu ke depan amat ditentukan perang di Suriah, maka intervensi dilakukan.



Namun, juga ada alasan yang lain. Di antara negara-negara itu terdapat beberapa negara yang menganggap sudah seharusnya rezim otoriter Suriah diakhiri. Anggapan mereka ini lebih didasarkan pada kepentingan ideologis yang notabene berseberangan dengan rezim Suriah yang berlatar belakang minoritas Syiah Alawit. Bisa jadi hal ini berangkat dari pada sentimen atas berlangsungnya diskriminasi agama yang tumbuh dalam negara itu selama ini di mana agama minoritas –termasuk penganut Kristen dan Druze- memperoleh posisi terbaik dalam tubuh rezim. Fakta ini dapat dilihat pada susunan birokrasi pemerintahan hingga angkatan bersenjata rezim.  


Ada indikasi, intervensi tersebut juga dimotivasi kepentingan ekonomi.  Hal ini dapat dilihat pada keuntungan yang dapat diperoleh negara-negara tersebut jika rezim Bashar Assad berhasil digulingkan. Begitu pula dengan negara-negara pro rezim, tentu justru dirugikan tatkala terjadi pergantian kepemimpinan.



Karena itu, beberapa tahun sejak perang saudara itu pecah, negara-negara itu memutuskan ikut campur tangan sehingga melebarkan skala peperangan dari yang tadinya sebatas konflik nasional berubah menjadi konflik internasional. Terutama setelah keamanan dalam negeri negara-negara bersangkutan di teror oleh jaringan kelompok bersengketa yang merasa dirugikan. Teror pemboman dan pembunuhan warga sipil di Paris, Turki, Belgia, Jerman dan negara-negara lain adalah contoh riil dari fenomena itu.



Kendati perang terus berlangsung berlarut-larut tanpa menemukan jalan keluar, sementara melibatkan semakin banyak aktor di dalamnya, bukan berarti sejumlah usaha perdamaian tidak dilakukan. Beberapa waktu belakangan ini, atas seruan dunia internasional melalui negara-negara anggota PBB telah beberapa kali upaya perundingan diatur. Namun, kedua belah pihak tampaknya masih teguh dengan tuntutan masing-masing mengingat situasi perang yang telah berjalan sedemikian jauh telah banyak mendatangkan kerugian yang tak terhitung jumlahnya. Lagi pula, hingga kini salah satu dari kedua belah pihak belum benar-benar tersudut. Pasukan pemberontak mungkin tidak akan berhenti hingga titik darah penghabisan, tapi rezim Assad barangkali tidak. Barangkali benar tulis sejarawan Amerika David W. Lesch; ”Seorang diktator hanya akan bersedia memenuhi tuntutan perundingan ketika ia berada dalam kondisi terpuruk.”[6]



Menyikapi perang di Suriah, Indonesia sebagai negara yang dihuni mayoritas populasi muslim di dunia punya andil penting untuk mewujudkan perdamaian di negeri itu. Dengan sumber daya sosial yang dimilikinya itu, Indonesia berpotensi besar untuk mempengaruhi sikap kedua belah pihak mengingat selama ini Indonesia tidak memiliki hubungan buruk dengan rezim Suriah maupun warganya yang mayoritas Sunni. 



 Sebagai salah satu anggota di dewan keamanan PBB, justru menambah posisi tawar Indonesia untuk berperan lebih jauh. Hal ini penting, mengingat tidak saja perang sipil di Suriah telah mengganggu stabilitas politik di kawasan, tetapi juga berdampak pada situasi keamanan tanah air yang belakangan ini mengalami instabilitas. Menyusul teror bom yang dilakukan kelompok teroris, Negara Islam di Suriah dan Irak (ISIS), yang tercatat saat ini juga terlibat dalam perang di Suriah. Lagi pula, menurut catatan KBRI untuk Suriah, hingga akhir 2016 kemarin, tercatat sekitar 12 ribu warga Indonesia masih berada di Suriah.



Sikap Indonesia yang lebih jelas berkaitan perang di Suriah amat penting dan ditunggu-tunggu. Sebab menyangkut tidak hanya kepentingan nasional Indonesia sendiri, tetapi juga perdamaian di Timur Tengah yang telah tercabik-cabik oleh perang sejak dua dekade terakhir.



Makalah ini ditulis untuk melihat sejauh mana peran diplomatik Indonesia untuk mengakhiri perang sipil di Suriah selama ini. Dari sini, kemudian dirumuskan  langkah diplomasi yang mungkin di ambil Indonesia di masa depan untuk mengakhiri perang sipil yang telah menimbulkan krisis sosial yang merembet jauh hingga ke kawasan lain.  





Perkembangan Perang Sipil di Suriah



Suriah sejak dekade 1970-an dikenal sebagai salah satu negara di Timur Tengah yang dipimpin rezim militer. Hal itu terjadi sejak kudeta yang berhasil dilancarkan Hafez Assad. Sejak saat itu, negara yang pernah menjadi pusat peradaban Dinasti Umayyah itu dikuasai rezim partai tunggal, partai Ba’ath yang berpaham Sosialis Arab sekuler.



Hafez Assad selama berkuasa memimpin dengan tangan besi. Tidak heran, pada tahun-tahun berikutnya muncul percobaan pemberontakan terhadapnya. Kendati kemudian dapat diredam dan dicegah. Datang dari etnis minoritas Alawit, membuat Hafez Assad mewaspadai potensi konflik sektarian serupa di Libanon datang ke negerinya.[7] Pada 2000, Hafez mangkat dan digantikan putra keduanya, Bashar Assad, seorang dokter lulusan Barat.



Sebagaimana mendiang ayahnya, Presiden Bashar Assar terus melanjutkan gaya memimpin otoriter hingga revolusi Arab merontokkan satu per satu pemimpin tiran di Timur Tengah pada akhir dekade 2000-an. Hanya 11 tahun setelah naik ke tampuk kekuasaan, Presiden Bashar Assad segera menyadari posisinya yang rawan kritik itu berpotensi mengalami nasib yang sama. Untuk itu, kewaspadaan dalam negeri di tingkatkan dan segala potensi dinamika politik yang menjurus pada insureksi di redam.



Pada bulan Februari 2011, di provinsi Daraa aparat keamanan menangkap sejumlah remaja yang didapati menulis grafiti berisi propaganda untuk menjatuhkan rezim. Aksi penangkapan itu memicu demonstrasi warga menuntut pembebasan para remaja itu. Namun, alih-alih menjaga agar protes tersebut berjalan aman, aparat keamanan justru di perintah menembak para demonstran. 


Sejak bulan Maret, gelombang demonstrasi susul menyusul mengutuk aksi brutal rezim. Tuntutan yang semula hanya menyasar pada pembebasan para remaja lantas berkembang semakin panas dan berubah menjadi seruan politik menuntut reformasi pemerintahan. Itu berarti, rezim Assad dituntut untuk mundur. Pembebasan para tahanan politik, peningkatkan kebebasan berekspresi, pencabutan undang-undang darurat dan tuntutan mengakhiri korupsi menjadi tuntutan penting para demonstran sejak saat itu.[8]



Namun, rezim Suriah menyikapi gelombang proses dengan tetap berkomitmen pada tindakan-tindakan sebelumnya. Assad konsisten memilih merawat keamanan negerinya ketimbang memenuhi seruan reformasi yang diteriakkan ratusan hingga ribuan massa demonstran itu. Sekali lagi, aksi penangkapan dan pembunuhan terhadap para demonstran berlanjut sehingga mendorong terik konflik menuju perang saudara. Hingga Mei 2011, sekira 1000 warga sipil yang terlibat dalam gelombang protes tewas.[9]



Empat bulan setelah percobaan demonstrasi damai untuk menghentikan tindakan represif rezim tidak menuai hasil, pihak oposisi bersama para pimpinan angkatan bersenjata yang membelot membentuk Tentara Pembebasan Suriah (FSA).  Perang yang pecah antara tentara rezim dan tentara oposisi di berbagai front peperangan mendudukkan FSA sebagai garda terdepan pihak oposisi untuk menumbangkan rezim Bashar Assad.



Namun, situasi perang yang pada awalnya bermotif politik segera kehilangan orientasinya menyusul diterjukannya tentara dari komunitas Kristen dan Druze untuk mengakhiri ketegangan. Assad berhasil membelokkan tujuan pihak oposisi dan meluaskan eskalasi perang menjadi bermotifkan sektarian. Tentu saja, tentara Kristen dan Druze yang terbunuh dalam operasi penyerangan itu secara langsung atau tidak langsung berhasil menciptakan kemarahan warga dua komunitas agama itu dan bergabung ke dalam solidaritas bersama komunitas Alawit dan Syiah yang sejak awal menyokong kampanye perang rezim melawan oposisi.



Saat ini, perang di Suriah sudah jauh dari relevansinya dengan revolusi Arab di negeri-negeri tetangga. Perang di Suriah kini adalah perang antara warga Syiah –beserta komunitas agama minoritas- yang diwakili pemerintah vis a vis warga Sunni yang diwakili tentara pemberontak. Perang Suriah sekarang hampir tak ada bedanya dengan perang saudara di Libanon pada 1970-an hingga 1980-an.



Perang sektarian itu semakin bertambah runyam ketika berlusin-lusin organisasi bersenjata berlatar belakang Islam Sunni dan Syiah turun ikut campur. Baik itu mereka yang bergabung di kubu pasukan pemberontak, mengambil jalan sendiri, atau bekerja sama dengan tentara rezim.

Untuk memahami siapa saja pihak yang terlibat dalam perang Suriah sejak 2011 hingga sekarang, disini penulis akan menjelaskannya satu per satu. Setidaknya, pihak yang terlibat dalam perang saudara itu dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok bersenjata diantaranya; rezim Suriah, oposisi, Hizbullah, Kurdi, ISIS, Turki, Iran, Rusia dan Koalisi Internasional.



Rezim Suriah



Rezim Suriah dipimpin langsung oleh presiden Bashar Assad didampingi para jenderal-jenderalnya yang loyal. Kekuatan militer rezim diperkuat 266.000 pasukan, setelah sebagian kecilnya membelot ke pihak oposisi ketika perang berubah menjadi sektarian. Dalam melawan oposisi, rezim Suriah tidak sendiri, mereka dibantu oleh kelompok bersenjata sipil dari berbagai kelompok. Sebut saja; Brigade Partai Ba’ath, Hizbullah Libanon dan koalisi kelompok bersenjata kecil lainnya. Pada perkembangannya, ketika posisi rezim mulai tersudut oleh serangan-serangan pasukan oposisi, ribuan milisi dikirim dari Iran diikuti oleh masuknya tentara organik negeri itu. Ribuan tentara dari Rusia menyusul kemudian.



Oposisi



Garda terdepan oposisi dipimpin langsung oleh FSA. Kelompok ini diisi oleh pihak oposisi, warga sipil, angkatan bersenjata rezim yang membelot dan kelompok bersenjata Islam.

Saat ini, tersebar berlusin kelompok Islam berjibaku melawan pasukan rezim kendati tidak semuanya bergabung dengan oposisi. Kelompok-kelompok ini menghimpun diri ke dalam koalisi-koalisi khusus berdasarkan kepentingan masing-masing.



Setidaknya, kelompok oposisi terbagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, mereka yang tergabung di dalam FSA diantaranya: Jaysh Islam, Front Islam dan Front Selatan. Front Selatan meliputi empat puluhan kelompok bersenjata diantaranya: FSA – Front Selatan, Brigade Al-Furqan, Jays al-Ababeel, Brigade Safys al-Sham, Brigade Al-Muattasim Billah dan lain-lain. [10] Kedua, adalah mereka yang tergabung ke dalam Tentara Penaklukan yaitu: Front Al-Nusra , Ahrar al-Sham, Nour al-Din al-Zenki dan Partai Islam Turkistan.



Ketiga, kelompok oposisi yang bertindak sendiri. Diantaranya; Jabah al Fateh al Sham (JFS)[11] dan Jabhat al-Nusra. Sikap mereka barangkali dilatarbelakangi oleh garis perjuangan yang relatif berbeda dengan kelompok oposisi lainnya. JFS adalah proksi Al-Qaida di Suriah sedangkan Jabhat al Nusra adalah pecahan ISIS namun memiliki kedekatan ideologis dengan Al-Qaida di Irak. Jabhat Al-Nusra menguasai beberapa wilayah di Barat Laut Suriah bersebelahan dengan wilayah yang dikontrol oposisi. [12]



Selain dari kelompok-kelompok yang disebutkan di atas, masih ada beberapa faksi pejuang oposisi yang berjuang sendiri. Mereka mengontrol beberapa wilayah di tengah Suriah yang langsung berhadapan dengan wilayah kekuasaan rezim. Kekuatan keseluruhan pasukan oposisi berjumlah 173 ribu orang. Pesisir Barat Laut, Barat dan Selatan Suriah adalah beberapa wilayah yang mereka kuasai sekarang.



Hizbullah



Organisasi bersenjata asal Libanon yang dipimpin Hasan Nasrallah ini turut mengintervensi perang saudara Suriah sejak 2013. Hingga saat ini, tidak tampak ada motif lain yang lebih kuat ketimbang panggilan persaudaraan sesama Syiah dengan rezim. Sekitar 6.000 – 8.000 milisi dikirim untuk membantu rezim Assad setelah posisi sang diktator mulai tersudut.



Kurdi



Sebagai etnis minoritas di Suriah, suku Kurdi sebenarnya tidak punya hubungan langsung dengan gelombang pemberontakan terhadap rezim Suriah. Mereka terlibat dalam perang sipil Suriah tidak untuk memerangi rezim maupun kelompok oposisi. Sejak mulai terlibat dalam perang pada 2012, tujuan etnis Kurdi hanya untuk membela diri dari serangan ISIS yang memasuki wilayah mereka. Suku Kurdi terpusat pada dua organisasi: Rojava dan Iraqi Kurdistan. Rojava tampaknya lebih besar dengan beranggotakan beberapa kelompok oposisi seperti; YPG. YPJ, JaT, MFS dan IFB.[13]



Berhubung ISIS banyak berhasil mencaplok wilayah Suriah dimana di dalamnya notabene adalah wilayah pemukiman Kurdi, maka keberhasilan Kurdi mengusir ISIS dari wilayah itu berarti memasukkan wilayah-wilayah itu menjadi wilayah otoritas mereka. Di sinilah, Turki –yang awalnya tidak memusuhi mereka- melihat hal tersebut sebagai ancaman dalam negerinya dan prakondisi berdirinya negara Kurdi itu mesti dihentikan. Maka, Kurdi dan Turki pun berperang untuk menyelematkan kepentingan (behalf) masing-masing hingga sekarang. 



ISIS



ISIS baru terlibat setelah perang sipil berjalan dua tahun. ISIS masuk dari perbatasan Suriah dan Irak yang telah diduduki organisasi teroris pimpinan Abdurrahman Al-Baghdadi itu. 


Kendati hanya diperkuat 15.000 – 20.000 tentara, ISIS mampu bertahan menghadapi seluruh kelompok dalam perang. Menjadi musuh bersama seluruh kelompok justru membuat ISIS semakin agresif.  Seluruh wilayah Timur, Tengah dan sebagian kecil wilayah Utara dan Selatan Suriah, berhasil di kuasai kelompok ini. Wilayah tersebut memang mayoritas tidak berpenghuni, tetapi merupakan kawasan kaya minyak yang selama ini menjadi sumber pendapatan terbesar rezim Suriah. Pendudukan ISIS atas wilayah ini barangkali yang menyebabkan ISIS mampu bertahan hingga sekarang, kendati hanya ditopang sedikit tentara.



Turki



Sejak 2015 Turki memutuskan melibatkan diri dalam perang. Tidak jelas motivasi apa yang mendorong Recep Tayyip Erdoghan menggerakkan angkatan perangnya masuk ke wilayah Suriah. Namun, segera jelas jika dilihat dari perubahan situasi dalam negeri itu. Pertama, masuknya pengungsi Suriah hingga 1,7 juta orang memaksa Turki menganggarkan 5,6 miliar dollar AS setiap tahun untuk keperluan kesejahteraan mereka. Kedua, partai pimpinan Erdoghan, AKP, untuk pertama kalinya sejak 13 tahun berkuasa gagal memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Karena itu, kampanye perang terhadap Kurdi dimungkinkan akan mendongkrak perolehan suara partai itu dari pemilih konservatif -beserta kelas menengah yang amat sensitif terhadap isu berdirinya negara Kurdi- untuk melabuhkan dukungannya pada AKP. Ketiga, berhasil dibebaskannya wilayah Suriah yang memisahkan dua kota suku Kurdi; Kobane dan Cezire dari ISIS membuka jalan baru untuk menggabungkan wilayah itu di bawah kontrol otoritas Kurdi. Bagi Turki, hal itu adalah prakondisi mendirikan negara Kurdi dan amat berbahaya bagi kedaulatan perbatasan Turki yang mayoritas di huni suku tersebut. 



Intervensi Turki dalam perang Suriah pertama-tama adalah untuk menghadang pergerakan politik Kurdi yang semakin mengkhawatirkan. Di samping itu, Turki juga mengincar tentara pertahanan ISIS yang belakangan ini melancarkan teror pemboman di dalam negerinya.

Selama ini, Ankara selalu bersitegang dengan Damaskus sehingga bantuan terhadap pasukan oposisi dilakukan untuk menggulingkan rivalnya itu. Turki yang notabene dihuni mayoritas Sunni, berpotensi membuka skala konflik lebih tinggi dengan rezim Suriah yang dikuasai oleh sekte Syiah Alawit.



Iran



Iran dan Suriah selama ini memiliki kedekatan sangat erat bersamaan dengan terjalinnya kerja sama antar kedua negara yang telah berlangsung lama. Kesamaan ideologis rezim kedua negara yang sama-sama menganut Syiah menambah keeratan itu semakin intim. Walaupun, populasi sekte itu mayoritas di Iran, sebaliknya minoritas di Suriah. Namun, kepentingan untuk mempertahankan status quo amat sangat kuat mengingat Suriah adalah salah satu benteng kekuatan politik Syiah di Timur Tengah. Membiarkan Bashar Assad terguling akan berdampak pada pengaruh politik Iran di kawasan yang selama ini bersitegang dengan Arab Saudi dan negara-negara koalisi Arab-nya.



Untuk itu, Iran semula diam-diam mengirim milisi sipil untuk menyokong ekspansi militer rezim. Tatkala situasi perang yang makin sulit, sementara banyak dari milisi-milisi Iran tertangkap pasukan oposisi sehingga menjadi sorotan dunia internasional, Iran kemudian secara terang-terangan mengumumkan perekrutan terbuka relawan ke Suriah di media-media nasionalnya. Tak mau mengambil resiko lebih besar, Iran kemudian mengirim tentara reguler untuk memperkuat pertahanan sahabatnya itu.



Rusia



Tidak seperti Iran, Rusia tidak memiliki ikatan erat dengan Suriah. Tak ada kesamaan primordial yang dapat menyatukan negeri itu dengan Suriah. Kepentingan Rusia adalah murni kepentingan pragmatis. Hanya berkaitan dengan kepentingan nasionalnya.



Selama ini, Rusia dan rezim Suriah telah menjalin kerja sama amat baik dalam berbagai sektor. Tentu saja, kerja sama itu selalu menguntungkan Rusia. Menjaga status quo rezim Suriah karenanya menjadi kepentingan Rusia untuk merawat kemanfaatan dari kerja sama yang selama ini telah mereka nikmati. Moskow tentu akan sangat dirugikan jika rezim di Suriah berganti.



Rusia tak punya pilihan lain, selain mempertahankan hubungan tersebut dengan ikut mengambil bagian dalam aksi perang terhadap pihak oposisi. Intervensi Rusia dalam perang saudara ini sangat penting sebab tidak hanya berakibat positif bagi kelangsungan hubungan kedua negara, tetapi juga memposisikan Rusia sebagai sahabat baik bagi Suriah. Itu berarti, Rusia memiliki akses yang semakin bebas terhadap segala macam konsesi kerja sama kedua negara ketimbang negara-negara lain yang tidak memiliki kontribusi sama sekali.



Koalisi Internasional



Koalisi internasional umumnya beranggotakan negara-negara NATO yang berkedudukan di Eropa dan Amerika. Termasuk negara-negara teluk seperti Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar dan Yordania. Dipimpin Amerika Serikat, bersama Inggris dan Prancis, koalisi ini belum terlihat memiliki kepentingan langsung –kendati bukan mustahil- pada tuntutan penggulingan Bashar Assad. Kepentingan koalisi internasional adalah pemusnahan dan pengusiran ISIS keluar dari Suriah.



Namun, secara diam-diam, koalisi internasional memiliki kepentingan untuk menumbangkan rezim Suriah. Tidak lain dilandasi oleh konflik yang mengemuka antara mereka dan Rusia selama ini. Untuk menghancurkan pengaruh Rusia yang kini menguat di Eropa dan Asia, khususnya Timur Tengah, jalan menyokong kekuatan oposisi merupakan suatu langkah (pace) yang penting.



Selain itu, koalisi internasional juga punya tanggung jawab besar untuk memelihara stabilitas keamanan dunia. Karena itu kelompok pengacau dan teroris seperti ISIS menjadi target penghancuran mereka. ISIS yang telah memasuki Suriah sejak 2013 dan bertanggung jawab terhadap berbagai macam aksi teror, pembunuhan, dan pengusiran, menjadi sasaran prioritas mengingat ancaman keamanan dalam negeri negara koalisi telah nyata.



Hingga sekarang, serangan terhadap ISIS baru dilancarkan Koalisi Internasional dari udara. Belum tampak tentara organik diterjunkan di sana. Padahal, beberapa anggota Koalisi Internasional seperti Jerman, Inggris, Belgia dan Prancis telah diserang ISIS langsung ke dalam wilayah mereka yang mengakibatkan tidak sedikit jatuhnya korban jiwa. Tampaknya strategi menjatuhkan Khadafi di Libya masih jadi pilihan. Resiko perang memang lebih kecil jika menggunakan proksi yang dilatih dan dibiayai sendiri. Lagi pula, pasukan oposisi dan Kurdi yang notabene adalah proksi mereka masih dapat diandalkan untuk menghancurkan ISIS. 





Rangkaian Perjalanan Konflik



Selain delapan kelompok tersebut, sebenarnya masih ada banyak kelompok oposisi yang berjuang dengan jalan sendiri. Kekuatan mereka memang tidak seberapa jika dibandingkan delapan aktor tersebut. Namun, peran mereka cukup membantu mempersulit langkah tentara rezim kembali merebut wilayah-wilayah kekuasannya.



Setelah FSA dibentuk oposisi pada Juli 2011, perlawanan terhadap rezim mulai meningkat serta melibatkan banyak warga sipil yang tidak sedikit. Pada 23 Agustus, oposisi membentuk koalisi kelompok anti pemerintah yang disebut Dewan Nasional Suriah (SNC). Organisasi koalisi ini menjadikan Turki sebagai basis perjuangannya. Seluruh kelompok oposisi masuk menjadi anggota koalisi ini dipimpin FSA sebagai kelompok terbesar.



Pada akhir Agustus ketika umat Islam merayakan Idul Fitri, tentara rezim menyerang sekumpulan demonstran di Homs, Daraa, dan di pinggiran kota Damaskus. Sebelumnya, terjadi pertempuran antara pasukan rezim dan oposisi di wilayah perairan di pinggir Damaskus. Tampaknya, aksi tidak manusiawi itu adalah serangan balasan mengingat kini pihak rezim tampaknya telah menyamakan kaum demonstran dengan pasukan oposisi yang mengangkat senjata. [14]



Perang saudara dimulai tidak serentak di seluruh provinsi di Suriah. Mula-mula diawali dari Damaskus. Bersamaan dengan perang itu, oposisi mengirim delegasi mereka ke seluruh provinsi untuk melakukan konsolidasi dan mengkampanyekan perang. Didukung oleh protes para demonstran yang mengutuk serangan tentara rezim mendatangkan tidak sedikit simpati warga sipil. Lambat laun perang antara kedua pihak pecah di berbagai kota di luar Damaskus seiring dengan bergabungnya warga ke dalam pasukan oposisi dan terkonsolidasikannya kekuatan oposisi di sana.



Pada bulan November dan Desember, ketika jumlah pasukan oposisi semakin bertambah, serangan besar-besaran dilancarkan terhadap basis pertahanan rezim di beberapa titik di dalam kota Damaskus seperti di komplek intelijen angkatan udara di daerah pinggiran di Harasta, kantor cabang regional Pemuda Partai Ba'ath di provinsi Idlib, kantor Cabang Regional Suriah di  Damaskus, pangkalan udara di provinsi Homs dan  gedung intelijen di provinsi Idlib.[15]



Pada 15 Desember, pejuang oposisi melakukan menyerang mendadak terhadap pos pemeriksaan dan markas militer di sekitar kota Daraa, kota dimana akar konflik dimulai. Serangan itu membunuh 27 soldiers, sebuah serangan tebesar yang diderita pasukan rezim. Situasi berbalik beberapa hari kemudian setelah oposisi gagal menduduki provinsi Idlib. Puluhan pejuang oposisi tewas dalam pertempuran itu.



Pada Januari 2012, rezim Suriah memulai serangan artileri pada seluruh basis pertahanan oposisi di seluruh negeri. Banyak bangunan rumah warga dihancurkan dalam serangan itu. Armada tank diluncurkan untuk menggempur perlawanan oposisi. FSA membalas serangan itu beberapa hari kemudian dengan menggempur kota Douma yang diduduki rezim.[16]



Pada 22 Juni 2012, sebuah pesawat tempur Turki ditembak jatuh oleh rezim Suriah. Dua orang pilot tewas. Kedua negara berselisih mengenai apakah pesawat itu terbang di atas udara Suriah atau internasional. Bashar Assad mengirim ucapan belasungkawa beserta permohonan maaf pada Erdoghan. Tampaknya, peristiwa naas itu di kemudian hari menyadarkan Turki bahwa Suriah bukanlah tetangga yang baik.[17] Hal ini mendorong simpati Turki pada oposisi terlebih setelah terbukti bahwa rezim dengan amat meyakinkan mengorbankan nyawa rakyatnya untuk mempertahankan status quo.



Pada bulan Juli, pejuang oposisi berhasil menduduki kota Al-Qusayr di provinsi Homs setelah bertempur beberapa minggu lamanya. Lalu diikuti dengan menduduki kota kecil Saraqeb di provinsi Idlib.



Pada pertengahan bulan yang sama, ketika pertempuran menyebar membelah Suriah dan 16.000 orang terbunuh, Komite Palang Merah Internasional mendeklarasikan perang Suriah sebagai perang saudara. Pertempuran di ibu kota Damaskus berlangsung intensif dengan tekanan utama dari pejuang oposisi untuk menduduki kota. Hasil perjuangan pejuang oposisi semakin efektif terlihat tatkala pada bulan yang sama mereka berhasil mengatur sebuah bom bunuh diri di Damaskus. Ledakan bom tersebut berhasil membunuh tiga pejabat utama rezim yaitu menteri pertahanan Suriah, mantan menteri pertahanan Suriah dan saudara tiri presiden Suriah. [18]



Sejak perang meletus, kekuatan rezim dan oposisi saling menandingi satu sama lain. Jika satu kota berhasil direbut pasukan rezim, maka kota lainnya berganti diduduki pejuang oposisi. Pejuang oposisi memang tak dapat dipungkiri tampak kesulitan melawan gempuran angkatan perang rezim yang menyerang dan mengepung dari berbagai lini. Serangan udara mendapat keuntungan yang signifikan mengingat pasukan oposisi hanya mampu menyerang dari darat. Belum lagi, keterbatasan alutsista yang dimiliki memaksa oposisi menggunakan segenap kekuatan dan stateginya untuk sekedar bertahan (survive).



Tetapi, semua itu berubah ketika perang memasuki tahun kedua pada akhir 2012 dan awal 2013. Sejak saat itu, bergantian kedua pihak menggempur dan menduduki wilayah satu sama lain. Pada 18 November, pejuang oposisi berhasil membuat sejarah dengan menduduki pangkalah besar rezim, Base 46, di provinsi Aleppo setelah bertempur beberapa minggu. Pangkalan ini adalah yang terbesar di wilayah utara Suriah. Ratusan tentara rezim tewas dan puluhan lainnya ditahan.



Sementara itu beberapa hari berikutnya, pejuang oposisi kembali memetik kemenangan dengan menduduki pangkalan militer Mayadeen di sebelah timur provinsi Deir ez-Zor. Para aktivis mengatakan keberhasilan itu membuat oposisi mengontrol wilayah terbesar di pangkalan timur yang merentang hingga perbatasan Irak. Sementara itu, pada 29 November, jaringan telepon dan internet negeri itu mati selama dua hari. [19] Hal ini tentu saja membuat Damaskus kerepotan mengendalikan laju perang yang mulai berjalan imbang.



Memasuki pertengahan 2013, giliran rezim melancarkan serangan balasan. Pasukan rezim berhasil menembus blokade oposisi di Wadi al-Deif, dekat Idlib. Serangan tersebut terus dilancarkan hingga akhir tahun. Tak banyak perubahan berarti bagi rezim menyusul usaha oposisi yang tiada henti untuk menduduki beberapa kota yang sebelumnya mereka kuasai. [20]



Rezim Suriah tampaknya mulai kesulitan setelah kelompok bersenjata Islam dari luar menggempur mereka pada Januari 2013. Kelompok oposisi Islam itu bergerak sendiri di luar koordinasi dari FSA maupun Dewan Nasional Suriah. Hal tersebut tentu semakin merepotkan rezim sehingga pada bulan Mei, rezim menggempur basis oposisi menggunakan bom kimia.[21] Sikap tersebut tentu telah nyata melanggar aturan Konvensi Jenewa berkenaan pelarangan penggunaan gas beracun dalam perang. Namun, pihak rezim mengelak dan menuduh balik pihak oposisi.



Faktanya, penggunaan bom kimia tidak merubah keadaan sama sekali. Oposisi terus agresif menggempur pasukan rezim. Keadaan semakin sulit setelah ISIS mulai memasuki wilayah Suriah dan terlibat pada serangkaian pertempuran. Pada September 2013, ISIS menduduki wilayah perbatas kota Azaz dari  pejuang FSA. Sementara itu di akhir November, ISIS sekali lagi berhasil memukul pejuang FSA dengan menduduki perbatasan kota Atme. Serangan balasan lalu dilancarkan Tentara Mujahidin, FSA dan Front Islam melawan ISIS di provinsi Aleppo dan Idlib. Pasukan ISIS berhasil dipukul tetapi hanya menyingkirkan teroris itu sampai ke Idlib. [22]



Pada 6 Januari 2014, pejuang oposisi mengusir ISIS dari kota Raqqah, kota dimana benteng terbesar ISIS berada beserta ibu kota provinsi itu. Dua hari berikurnya, ISIS berhasil diusir dari kota Aleppo, bagaimanapun ISIS berusaha mendatangkan bala bantuan dari provinsi Deir ez-Zor yang mengatur pendudukan kembali beberapa kota tetangga di sekitar Raqqah.[23]



Masuknya ISIS membuat perang saudara di Suriah semakin kompleks dengan beragam aktor dan kepentingan yang berbeda-beda. Pada Agustus 2014, seorang wartawan asal Amerika, James Foley, dieksekusi oleh ISIS. Tindakan tersebut memicu kemarahan Amerika dan mendorong Amerika melakukan serangan terhadap kelompok itu pada September. [24] Setidaknya, 20 target di sekeliling Raqqah dihancurkan oleh jet-jet tempur yang datang dari laut. Kelompok oposisi group SOHR mengatakan serangan Amerika itu diikuti negara-negara lain seperti Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar dan Yordania. [25]



Semakin lama perang berkecamuk, disertai dengan serangan bom dan peluru kendali yang tiada henti, tampaknya tidak membuat pasukan oposisi menyerah. Justru mereka mampu bertahan dan mendapat banyak pengalaman tempur yang berarti. Dengan kondisi alutsista dan logistik yang seadanya, pasukan oposisi mampu membuktikan bahwa kecanggihan dan besarnya alutsista bukanlah faktor utama untuk memenangkan perang.



Telah berton-ton bom dan peluru kendali rezim luncurkan untuk menghabisi pejuang oposisi, tetapi justru sama sekali tidak mengubah situasi perang sama sekali seperti yang diinginkan. Rezim tak menyangka, perang akan berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Justru situasi semakin kacau balau setelah Turki memutuskan terlibat pada 2015. Bersamaa dengan Rusia yang tidak ingin sekutunya itu bernasib seperti Khadafi.



Mulai letih menghadapi tekad yang dimiliki pasukan oposisi, memaksa rezim Suriah memulai jalan yang tak diduga sebelumnya akan muncul. Yakni jalan perundingan. Sebenarnya, akhir-akhir ini posisi rezim semakin baik setelah sebagian besar kota Aleppo berhasil direbut dari kendali pejuang oposisi. Tetapi justru kerugian diderita sekutunya Rusia setelah seorang duta besarnya di Turki di tembak simpatisan oposisi. Rusia tentu tidak ingin mengambil resiko lebih jauh setelah Turki –yang selama ini menyokong oposisi- membuka tangan untuk berunding.





Upaya untuk Mengakhiri Perang



Telah sekian kali berbagai upaya ditempuh untuk mengakhiri perang sipil di Suriah. Pertama kali, upaya itu dilakukan oleh Liga Arab antara November 2011 dan Januari 2012. [26]Negara-negara anggota organisasi itu sepakat mendorong Bashar Assad bersama oposisi duduk bersama mencari solusi terbaik bagi kedua pihak.



Semula usulan tersebut berjalan lancar hingga misi pengawas rencana perdamaian dikirimkan ke Suriah dan tiba-tiba saja pertempuran kembali pecah. Arab Saudi marah dan mengajak seluruh anggota Liga Arab, juga Rusia dan China untuk menekan Assad menerima rencana itu. Tetapi rencana itu berakhir dengan sendirinya tanpa kepastian.



Usaha berikutnya yang terkenal datang dari mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan setelah konflik baru berjalan setahun. Pada bulan Maret, rencana perdamaian yang di gagas Annan berhasil mengajak kedua pihak untuk menghentikan serangan. 



Konvensi Jenewa I untuk mengakhiri konflik Suriah berhasil di gelar pada Juni 2012 di Jenewa.  Konvensi itu mengusulkan perlu diselenggarakannya pemerintahan transisi dengan kewenangan dari kekuasaan eksekutif (transitional government body with full executive powers) dalam waktu dekat. Yang mana sedapat mungkin dimasukkan anggota yang mewakili pemerintah Suriah dan oposisi (which could include members of the present Syrian government and of the opposition).

Upaya itu menemui jalan terang setelah lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu Amerika Serikat, Rusia, Cina, Prancis and Inggris mendukung Kofi Annan untuk menyelesaikan tugas tersebut.



Pada konferensi ke 16 Organisasi Non-Blok yang berlangsung Agustus 2012 di Teheran, Iran yang diikuti 120 perwakilan negara anggota. Iran dalam pertemuan itu menginisiasi seluruh negara anggota untuk mempersiapkan (draw up) resolusi perdamaian baru guna mendorong penyelesaian perang saudara di Suriah. Sayangnya, usulan Iran itu tidak disambut baik sebagian perwakilan negara-negara itu.  



Perayaan Idul Adha pada September 2012 yang diharapkan dapat menjadi titik dimulainya upaya perdamaian bagi rezim Suriah dan oposisi rupanya tidak berhasil diwujudkan. Memang rezim dan oposisi semula menerima seruan itu. Belum lama, ketenangan itu bertahan, tiba-tiba pertempuran kembali pecah. Masing-masing pihak saling menuduh satu sama lain untuk menghentikan kekerasan.



Pada 2014, Konvensi Jenewa ke II yang merupakan kelanjutan dari rekomendasi konvensi pertama diselenggarakan. Pertemuan yang dimulai dari tanggal 22 Januari sampai 31 Januari 2013 itu pada perkembangannya tidak mampu mempertahankan sejumlah kemajuan yang berhasil  disepakati sebelumnya. Tak ada perjanjian yang berhasil dicapai pada momentum penting tersebut. Sekali lagi, upaya perdamaian gagal di tempuh.

Tidak berhenti disitu, upaya perundingan terus diusahakan oleh PBB dan negara-negara anggotanya. Beberapa perundingan sempat berhasil dilakukan dengan pertama-tama dilakukan penghentian peperangan (cease fire) antara kedua belah pihak. Beberapa diantaranya adalah Four Committees Initiative, Zabadani Ceasefire Agreement, Vienna Process, Riyadh December 2015 conference of Syrian opposition groups, Konvensi Jenewa III, September 2016 cease fire deal dan yang baru-baru ini, Astana Talks. [27]

Pembicaraan Astana (Astana Talks) diinisiasi oleh Rusia dan Turki. Sebagai penyokong masing-masing pihak yang bertikai, seruan kedua negara berhasil memaksa rezim Suriah dan oposisi melakukan genjatan senjata. Pidato seruan yang disampaikan Vladimir Putin pada Kamis malam 29 Desember 2016 menandai dimulainya upaya perdamaian yang berlaku sejak esok hari 30 Desember.

Disepakati kedua belah pihak, perundingan akan diselenggarakan di Astana, Kazakhstan pada akhir Januari.[28] Namun belum terhitung satu hari sejak dimulainya gencatan senjata, Jumat esok harinya, pertempuran kembali meletus. Menurut SOHR yang mengandalkan laporan aktivisnya di lapangan, pasukan rezim dan pejuang oposisi kembali bentrok di area Wadi Barada, di luar Damaskus dan daerah timur Ghouta.

Pertempuran ini dipicu oleh saling tuduh kedua belah pihak antara siapa yang bertanggung jawab melakukan sabotase terhadap sumber mata air di area itu. Sabotase ini terjadi sejak 22 Desember dan terus berlangsung hingga kini. Akibatnya, 5,5 lima juta warga Damaskus dan sekitarnya mengalami krisis air dan terpaksa membelinya pada pihak swasta.

Rezim menuduh oposisi mencemari mata air Wadi Barada dengan diesel,[29] sebaliknya pihak oposisi menuntut tanggung jawab rezim akibat gempuran bom yang dilancarkan jet-jet tempur dan pasukan artileri ke area mata air itu. Pertempuran di Wadi Barada segera menimbulkan ketidakpercayaan oposisi akan masa depan gencatan senjata hingga perundingan di Astana. Tiga hari setelah pertempuran berkecamuk tanpa henti, pihak oposisi akhirnya memutuskan membekukan rencana perundingan. [30] Sekali lagi, upaya perdamaian gagal di tengah jalan. Situasi ketidakpastian yang menyelimuti kehidupan warga Suriah selama ini berlanjut kembali.

Peran Diplomatik Indonesia  Sejauh Ini



Sebagai negara anggota DK PBB, pencetus Gerakan Non Blok, anggota OKI dan Liga Arab, sebenarnya memposisikan Indonesia pada kedudukan strategis dalam menyikapi perang sipil di Suriah. Sikap Indonesia untuk tidak bergabung dengan Aliansi Strategis Militer Islami Sunni pimpinan Arab Saudi semakin memperkuat posisi itu. Namun, sejauh ini Indonesia hanya pasif sembari menyelesaikan tugas-tugas diplomatiknya bersama negara anggota PBB lainnya.



Selama tahun 2016 ini, PBB telah beberapa kali menyepakati sejumlah resolusi berkaitan isu perang sipil di Suriah. Pada Juli lalu, disepakati resolusi mengenai pelanggaran HAM di Suriah oleh rezim Bashar Assad. Dalam resolusi ini, Indonesia menolak mendukung resolusi itu dengan memilih sikap abstain bersama tiga puluhan negara lainnya.



Sikap tersebut diambil bukan berarti Indonesia mendukung pembantaian yang dilakukan oleh rezim Suriah terhadap rakyatnya. Menurut Hasan Kleib, Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, pelanggaran HAM di Suriah tidak hanya dilakukan oleh pasukan rezim. Kendati, paling banyak datang dari serangan militer rezim. Resolusi itu katanya amat tendensius hanya menjustifikasi satu pihak sehingga tidak melahirkan solusi penting untuk mengakhiri peristiwa tersebut.[31]



Masih menurut Hasan, resolusi tersebut juga tidak mendukung upaya penciptaan perdamaian di Suriah. Berdasarkan hal itulah, katanya,  Indonesia memilih abstain.



Sikap abstain ini jika dilihat sekilas memang tidak terlihat populer. Tidak heran jika beberapa media Islam yang sepertinya anti rezim Suriah menyesalkan keputusan itu dan menuduh hubungan baik Indonesia dengan Iran dan Cina sebagai biang kerok-nya. [32]



Pada 9 Desember, PBB kembali menggelar sebuah konferensi berkaitan dengan perang sipil Suriah. Pada kesempatan itu, negara-negara anggota sepakat untuk menetapkan sebuah resolusi tentang dihentikannya kekerasan di Aleppo dan Suriah, serta diberinya akses kemanusiaan.  Resolusi dengan nomor A/71/L39 akhirnya berhasil disepakati dengan voting 122 mendukung, 13 menolak dan 36 abstain. Indonesia termasuk negara yang setuju terhadap resolusi itu.[33]



Sikap Indonesia di PBB memang sejauh ini cukup memuaskan. Manakala tim kemanusiaan asal Indonesia sudah jauh-jauh menunggu dibukanya akses masuk ke dalam negeri itu. Tetapi, hanya terlibat dalam pemungutan suara sembari menyerukan perdamaian melalui media bukanlah tradisi diplomatik Indonesia yang sebenarnya. Setidaknya, jika dilihat pada prinsip politik luar negeri Indonesia dan contoh yang telah ditunjukkan pemimpin Indonesia terdahulu.



Menurut Presiden RI pertama, Sukarno, Indonesia memiliki tiga prinsip politik luar negeri utama. (1) bebas dan aktif, (2) solidaritas Asia-Afrika dan (3) tetangga baik (good neighbour policy). [34] Jika tiga prinsip ini dilihat, tampaknya dua prinsip yang terakhir telah Indonesia praktekkan sejak dulu. Sayangnya, untuk yang pertama politik luar negeri Indonesia baru memang sebatas ‘bebas,’ tetapi, sayang sekali, belum ‘aktif.’



Politik bebas aktif disini bukanlah politik diplomasi sekedar untuk menggugurkan kewajiban Indonesia sebagai anggota PBB melakukan pemungutan suara. Bebas aktif disini berkaitan dengan kiprah kepeloporan Indonesia untuk menunjukkan sikap empatinya terhadap masalah-masalah internasional yang selama ini mengemuka. Disertai dengan pengajuan jalan keluar yang mungkin ditempuh.

Ketika memimpin Indonesia sejak 1950, Presiden Sukarno terhitung telah memelopori terbentuknya berbagai koalisi internasional seperti; Gerakan Non Blok, Konferensi Asia Afrika, Conference of New Emerging Force (Canefo). Saat itu, Indonesia bahkan berhasil menggerakkan puluhan hingga ratusan atlet delegasi negara anggota untuk menyelenggarakan olimpiade olah raga tersendiri. Olimpiade bentukan Sukarno itu kemudian dinamakan Games of Emerging Forces (Ganefo).



Di masa Suharto memimpin, kepeloporan diplomasi Indonesia tidak surut. Indonesia terhitung sebagai penggagas Association of South-East Asian Nation (ASEAN) bersama Malaysia dan Thailand.  Ketika perang saudara berkecamuk di Bosnia-Herzegovenia awal dekade 1990-an, Presiden Suharto pernah masuk ke ibu kota Kosovo yang telah hancur dilanda perang. Tanpa gentar sedikit pun, Presiden Suharto bertemu dengan presiden Bosnia yang pada waktu itu terkepung di istana negara dan menyerukan perdamaian.



Sejak rezim Orde Baru hingga era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah sekian kali, TNI diminta PBB mengirim Pasukan Garuda dalam misi perdamaian di negara-negara konflik seperti Kongo dan Libanon. Warga di sana punya kenangan indah dengan kehadiran Pasukan Garuda disana. Pasukan Garuda di antara pasukan keamanan PBB lainnya, dikenal paling mudah berinteraksi dan bergaul, sehingga memperoleh kepercayaan besar dalam menyelesaikan masalah-masalah disana dengan baik. Ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki modal diplomasi unggul.



Menurut penulis, Indonesia punya potensi untuk menampilkan kepeloporan serupa. Jika Turki, Rusia dan PBB telah gagal mengajak seluruh kelompok menghentikan pertempuran. Indonesia dengan pengalaman sejarah rekonsiliasinya yang amat luar biasa, seharusnya juga memiliki peran yang lebih penting untuk mengakhiri perang di Suriah.



Hal ini penting dilakukan mengingat konflik di Suriah sebenarnya dalam kajian Hubungan Internasional (HI) dapat diasumsikan disebabkan situasi ketidakstabilan di kawasan. Pengaruh revolusi Arab adalah prakondisi utamanya dan perang sipil merupakan ekses berikutnya. Karena itu, perang sipil Suriah adalah bagian dari konflik transnasional di mana dalam HI dapat dilihat menggunakan teori pendekatan sistemik. [35] Pada gilirannya, pendekatan ini amat representatif jika dimulai oleh solusi damai dari pihak luar. Negara-negara yang tidak berkepentingan dalam konflik itu paling tepat menjadi pelopor perdamaian.[36] Salah satunya, tentu saja adalah Indonesia. 



Barangkali, Presiden Joko Widodo perlu turun langsung ke Suriah bertemu Bashar Assad dan pimpinan oposisi. Penulis lihat tampaknya hal itu tidaklah mustahil mengingat Presiden Joko Widodo sudah terbiasa mengadakan blusukan  serupa di berbagai pelosok tanah air.

Peran aktif Indonesia menyelesaikan konflik Suriah bukan lagi wacana kosong yang baru dilakukan. Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, menjadi sangat rasional bagi pihak rezim maupun oposisi Suriah untuk mendengar gagasan resolusi konflik Indonesia. Pengalaman keberhasilan Indonesia pada tugas semacam itu sudah barang tentu, jika berhasil diterima, berpeluang besar untuk mengakhiri perang saudara itu untuk selama-lamanya. Kini, tinggal keberanian Indonesia saja untuk maju berperan aktif sebagai pelopor perdamaian di Suriah.







Kepustakaan



Buku

Dekel, Udi, Nir Boms dan Ofir Winter. 2016. Syria’s New Map and New Actors: Challenges and Opportunities. Tel Aviv: Institute for National Security Studies.

Sukarno, Ir. 1966. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Kedua.  Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.

Warsito, Tulus. 1998. Teori-Teori Politik Luar Negeri: Relevansi dan Keterbatasannya. Yogyakarta: Bigraf Publishing.



Artikel dan Berita

Iamsyria, “The Main Parties Killing Civillians in Syria,” diakses pada 6 Januari 2017

English Wikipedia, “Syrian Civil War,” Desember 2016, diakses pada 7 Januari 2017

GM Nur Lintang Muhammad, “Suriah Untuk Pemula,” diakses pada 5 Januari 2017

Muhammad Zulifan, “Mencari Ujung Batas Konflik Suriah,” diakses pada 5 Januari 2017

English Aljazeera, “Syria Rebels Freeze Negotiations, Saying Truce Violated,” Januari 2017, diakses pada 7 Januari 2017

Harian Kompas, “Hari Pertama Gencatan Senjata Diwarnai Pelanggaran,” 31 Desember, diakses pada 7 Januari 2017.

Harian Kompas, “Sabotase di Lembah Barada Termasuk Kejahatan Perang,” 7 Januari 2017, diakses pada 7 Januari 2017.

Viva.co.id, “Indonesia Abstain soal HAM Suriah, Kemlu: Itu Resolusi Lama,” 20 Desember 2016, diakses pada 8 Januari 2017.

MetroTV News, “Indonesia Tidak Abstain dalam Resolusi Damai Suriah,” 19 Desember 2016, diakses pada 7 Januari 2017

English Wikipedia, “Syria,” diakses pada 6 Januari 2017

The Guardian, “Clues Suggest Istanbul Nightclub Gunman May Be a Uighur,” diakses pada 6 Januari 2017

Eramuslim, “Foto Pembagian Wilayah Suriah Berdasarkan Faksi-Faksi yang Menguasai,” diakses pada 6 Januari 2017

David W. Lesch, “Prediksi Masa Depan Suriah,” diakses pada 5 Januari 2017




[1] Makalah Ujian Akhir Semester Politik Luar Negeri Indonesia, Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.
[2] Dari 203,097 itu, 188,729 (92,92 persen) dilakukan oleh rezim Suriah. 1,75 persen oleh Rusia, 0,33 persen oleh pasukan koalisi internasional, 1,81 persen oleh oposisi dan 1,48 persen oleh ISIS. Lihat iamsyria, “The Main Parties Killing Civillians in Syria,” diakses pada 6 Januari 2017
[3] English Wikipedia, “Syirian Civil War,” Desember 2016, diakses pada 5 Januari 2017
[4] Muhammad Zulifan, “Mencari Ujung Batas Konflik Suriah,” diakses pada  5 Januari 2017
[5] GM Nur Lintang Muhammad, “Suriah Untuk Pemula,” diakses pada 5 Januari 2017
[6] David W. Lesch, “Prediksi Masa Depan Suriah,” diakses pada 5 Januari 2017
[7] English Wikipedia, “Syria,” tanpa tanggal, diakses pada 6 Januari 2017
[8] English Wikipedia, “Syrian Civil War,” Desember 2016, diakses pada 7 Januari 2017
[9] Ibid.
[10] Udi Dekel, Nir Boms dan Ofir Winter, Syria’s New Map and New Actors: Challenges and Opportunities, (Tel Aviv: Institute for National Security Studies), 2016, hlm. 35
[11] The Guardian, “Clues Suggest Istanbul Nightclub Gunman May Be a Uighur,” diakses pada 6 Januari 2017
[12] Eramuslim, “Foto Pembagian Wilayah Suriah Berdasarkan Faksi-Faksi yang Menguasai,” diakses pada 6 Januari 2017
[13] English Wikipedia, “Syria,” diakses pada 6 Januari 2017
[14] English Wikipedia, “Syrian Civil War,” Desember 2016, diakses pada 7 Januari 2017
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] English Wikipedia, “Syrian Peace Process,” diakses pada 7 Januari 2017.
[27] Ibid
[28] Harian Kompas, “Hari Pertama Gencatan Senjata Diwarnai Pelanggaran,” 31 Desember, diakses pada 7 Januari 2017.
[29] Harian Kompas, “Sabotase di Lembah Barada Termasuk Kejahatan Perang,” 7 Januari 2017, diakses pada 7 Januari 2017.
[30] English Aljazeera, “Syria Rebels Freeze Negotiations, Saying Truce Violated,” Januari 2017, diakses pada 7 Januari 2017
[31] Viva.co.id, “Indonesia Abstain soal HAM Suriah, Kemlu: Itu Resolusi Lama,” 20 Desember 2016, diakses pada 8 Januari 2017.
[32] Lihat reaksi tersebut dalam Islamedia, “Mengecewakan, Perwakilan Indonesia di PBB ABSTAIN Saat Voting Pelanggaran HAM Suriah,” tertanggal 2 Juli 2016 dan UMMI-Online, “Mengapa pemerintah Indonesia tidak bersuara atas pembantaian di suriah?” tertanggal 19 Desember 2016.
[33] MetroTV News, “Indonesia Tidak Abstain dalam Resolusi Damai Suriah,”  19 Desember 2016, diakses pada 7 Januari 2017
[34] Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Kedua, (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi), 1966, hlm, 477
[35] Teori ini dapat didefinisikan sebagai; teori-teori yang mengungkapkan seluruh hubungan-hubungan  perilaku suatu negara dan pengaruhnya terhadap lingkungan eksternalnya. Dinamika internal maupun eksternal, dalam pendekatan sistemik ini, dirumuskan dalam suatu struktur yang unsur-unsurnya interdependen. Lihat Tulus Warsito, Teori-Teori Politik Luar Negeri: Relevansi dan Keterbatasannya, (Yogyakarta: Bigraf Publishing), 1998, hlm. 64.
[36] Pendekatan ini pada prakteknya melihat perdamaian internasional di luar negara-negara subjek -misalnya kasus Suriah-  tak dapat terjadi sebab dua kelompok yang bertikai tak dapat dikendalikan oleh negara-negara pendukungnya (Turki dan Rusia). Lagi pula, kedua negara tidak ingin dirugikan jika proses transisi yang berhasil diwujudkan tidak sesuai keinginan mereka. Sebab, pada dasarnya Turki dan Rusia masih bermusuhan. Hubungan di antara keduanya, tidak dapat ditampik, masih saling curiga  satu sama lain. Atas dasar itulah, pihak yang paling representatif mendorong perdamaian adalah mereka yang berada di luar keduanya –termasuk Iran. Seharusnya hal itu bisa dilakukan oleh PBB, maupun Kofi Annan. Tapi rupanya, tetap tidak berhasil. Tampaknya, aktor luar yang paling representatif adalah mereka yang dihormati kedua belah pihak dan dipercayai integritasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*