Dibalik
Lonjakan Anggaran DPRD Provinsi Maluku Utara
Oleh
Zulfikhar
Di ambil dari http://www.grf-football.co.uk/wp-content/uploads/2016/10/greed-2020epmellon.wordpress.com_.jpg
Setelah masyarakat Maluku
Utara diresahkan cukup lama oleh lambatnya pemerintah provinsi Maluku Utara mengesahkan
APBD 2017, kini keresahan itu kembali mencuat menyusul beredarnya lonjakan alokasi
anggaran tak wajar yang diterima Sekretariat DPRD Provinsi Maluku Utara. Alokasi
anggaran DPRD tahun ini sangat buncit jika dibandingkan postur anggaran APBD
2017 yang baru saja di sahkan 2,8 triliun rupiah.
Tidak
tanggung-tanggung, untuk satu tahun ke depan, anggota DPRD yang berjumlah 45
orang itu menerima 86 miliar rupiah keperluan operasional rumah tangganya. Padahal,
81 orang anggota DPRD provinsi Aceh dengan alokasi APBD 14 triliun misalnya,
hanya memperoleh 65 miliar rupiah saja. Entahlah, apakah nantinya produktivitas
DPRD akan semakin membaik atau justru sebaliknya. Jamak diketahui, kinerja DPRD
kita tahun kemarin terbukti buruk. Hanya mampu mengesahkan dua peraturan daerah
(perda) saja, manakala pelbagai masalah di provinsi ini berjejalan semakin
banyak, kompleks dan rumit.
Sungguh malang nasib
masyarakat Maluku Utara. Di tengah
situasi perekonomian yang kian tidak pasti, terlihat dengan tercatatnya 1,72
ribu -total menjadi 76, 4 ribu per
September 2016- orang miskin baru, para wakil rakyat rupanya masih berpikir
untung sendiri. Perut mereka yang masih terisi penuh rupanya masih lebih di
urus dari pada perut rakyatnya yang kian keroncongan lapar.
Sudah jadi rahasia umum,
di samping terkenal tidak produktif, DPRD Provinsi Maluku Utara juga dikenal
suka plesiran ke luar daerah. Saban tahun entah sudah berapa puluh kali para
wakil kita yang terhormat itu berkeliling Nusantara. 1 miliar rupiah uang
rakyat dihabiskan pada Januari kemarin hanya untuk ongkos transportasi pulang
pergi ibu kota. Tidak heran, untuk alasan inilah, politisi-politisi kondang
kita di sana berkomentar mengenai perlunya menaikkan anggaran DPRD.
Alasan yang tidak masuk
akal. Ada keperluan apa sehingga para anggota DPRD harus terus-menerus ke luar
daerah? Jika alasannya studi banding, alasan klasik yang memang sering
dijadikan dalih, lantas mengapa reputasi mereka hanya mampu menghasilkan dua
perda per tahun?
Komentar-komentar
klarifikasi anggota DPRD lalu menyusul, seperti keperluan pembangunan lanjutan
atap kantor, jalan menuju lantai dua gedung paripurna, pembangunan lanjutan
masjid DPRD, pembangunan taman, perbaikan gedung paripurna. Para anggota dewan
kita rupanya hendak berkata bahwa belanja keperluan mereka –yang faktanya tidak
penting- mesti diahulukan ketimbang pembangunan hidup rakyatnya. Tidak perlu heran,
target pendapatan APBD Maluku Utara saban tahun selalu saja meleset jauh dari
target. Ekspektasi mereka -bersama pemerintah
provinsi- yang tak rasional inilah pangkal masalah APBD selalu jauh dari target.
Sebenarnya ada alasan-alasan
yang samar-samar terjadi tanpa kita sadari. Pertama,
kekuatan apa yang menyebabkan estimasi APBD 2017 yang tadinya diusulkan
pemerintah provinsi senilai 2,4 triliun dapat melonjak naik 400 miliar lebih? Tidak
lain karena pemerintah provinsi hari ini tidak lagi memiliki posisi tawar yang
kuat dihadapan DPRD. Sudah bukan rahasia lagi jika pejabat-pejabat kita di
provinsi, sering didapati melancarkan manuver-manuver politik –yang seharusnya
haram dilakukan- demi keuntungan sendiri. Administratur keuangan daerah misalnya,
adalah lahan basah yang sering terlibat dalam “perselingkuhan” semacam ini.
Kedua,
sudah jadi rahasia umum jika fraksi-fraksi di DPRD sana, terindikasi sering membagi-bagi
proyek di antara mereka sendiri. Umumnya, untuk membalikkan defisit kampanye warisan
pemilu kemarin. Namun, sesungguhnya yang tampak lebih jelas adalah keperluan mereka
masing-masing mengingat pemilihan gubenur tersisa satu tahun lagi. Juga Pemilu
2019 yang datang menyusul kemudian. Apalagi tidak menutup kemungkinan di antara
mereka bakal muncul kontestan dalam hajatan politik rakyat itu. Belum lagi, partai-partai
politik yang mereka wakili, di mana selalu terlibat secara langsung.
Lonjakan anggaran DPRD
sebenarnya tidak bakal terjadi apabila kontrol masyarakat sipil jauh-jauh hari turut
hadir. Sayangnya, komunikasi pemerintah provinsi terhadap masyarakat di akar
rumput selalu saja macet hingga kini. Imbasnya, modal sosial masyarakat yang sebenarnya
punya andil besar mengawal proses penting ini menjadi terpinggirkan. Andai
pemerintah provinsi sudah awas sejak awal, kesempatan untuk mensukseskan agenda
pembangunan dapat berjalan
sukses
tanpa kendala berarti.
Pemerintah provinsi
masih
punya kesempatan pada pembahasan RAPBD yang akan datang. Jika momentum tersebut sebaik mungkin pemerintah manfaatkan, pastinya dapat menjadi titik balik
yang menentukan bagi pembangunan
kesejahteraan masyarakat Maluku Utara di hari depan.
Komentar
Posting Komentar