Catatan dari DM III Yogyakarta (1)

-Wajah Asli Siyasah Syar’iyyah
Pemateri: Abdullah Sholihun

Setelah seharian diskusi panjang lebar mengenai bentuk formal “Ustadziatul Alam” dan hirarki keindonesiaannya. Peserta Daurah Marhalah (DM) III KAMMI Wilayah Yogyakarta tadi malam (07/05/2013) melanjutkan sesi materi kedua dengan pembahasan mengenai “Siyasah Syar’iyyah”. Materi kali ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah Sholihun dari Islamic Centre. Materi kali ini dimulai dengan pendistingsian istilah antara siyasah dan politik. Tulisan berikut menjelaskan dinamika diskusi  malam hari itu.
***

Definisi siyasah sebenarnya berbeda secara mendasar dengan politik. Meskipun sudah menjadi umum di kalangan gerakan Islam di indonesia mendefinisikan siyasah dengan padanan dalam bahasa indonesia sebagai ‘politik’. Secara etimologis, siyasah memang singkatnya didefinisikan dengan politik, tetapi perbedaan akan menganga dalam makna esoterisnya.

Siyasah berasal dari bahasa arab ‘sasa’, ‘ya susu’ yang bermakna, ‘yang mensejahterakan’. Merujuk kepada maksud maslahah wa mursalah. Yaitu bagian dari hirarki dasar hukum islam dalam ushul fiqh yang menekankan kepada aspek kebaikan (maslahat) bersama. Secara terminologis, siyasah adalah suatu kebijakan yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kebathilan.
Sedangkan politik berasal dari bahasa latin, poli dan ethics, yang artinya banyak atau penuh etika. Secara terminologis politik bisa didefinisikan sebagai metode untuk mensejahterakan rakyat dengan landasan nilai yang sarat etika. Atau tata cara untuk memenuhi kepentingan rakyat.

Siyasah dengan definisi diatas membawa pesan mensejahterakan. Sebab misi siyasah bermula dari misi dakwah untuk membawa semua manusia tunduk kepada Allah swt. Kemenangan dakwah akan menciptakan tatanan masyarakat –seperti di Madinah yang heterogen- untuk mencapai kebaikan bersama. Oleh sebab itu di dalam kehidupan bersama perlu diciptakan pranata-pranata (tata aturan) agar komunitas di dalamnya dapat menjalankan hak dan kewajibannya –sesuai kebutuhannya- dengan baik. Kemaslahatan umat wajib dijaga dengan sebuah konstitusi –bentuk riil pranata. Sebagai proses, siyasah hadir untuk memastikan kesejahteraan umat tercapai.

Politik –dalam pembahasan ini adalah politik Indonesia (demokrasi) - dalam praktiknya didasarkan kepada kepentingan. Kepentingan disini mulanya diabdikan untuk  masyarakat an sich (demokrasi). Tetapi segera ketika masuk ke dalam politik, para aktor tidak menyangka kondisi demokrasi seburuk itu. Mencari dan memperjuangkan kebenaran akhirnya dapat menjadi obsesi yang beresiko tinggi. Kebenaran di dalam politik ada, tetapi tergerus oleh arus pragmatisme. sehingga anomaly tersebut harus dikembalikan kepada rakyat. Maka otoritas tertinggi dalam politik adalah rakyat. Sehingga dalam demokrasi berlaku, vox populi, vox dei (suara rakyat, suara tuhan). Padahal Islam menolak kepemimpinan orang yang tidak ahli pada urusannya (rakyat). Sehingga secara mendasar, demokrasi adalah sistem yang cacat secara mendasar dan oleh sebab itu ditolak oleh Islam. 

Siyasah dan politik berbeda secara mendasar pada dua variabel yang bertentangan. Siyasah merepresentasikan kemaslahatan (bukan kepentingan), sedangkan politik sebaliknya (kepentingan). Maka keduanya selanjutnya akan mengkonstruksi bangunan sistem tata pemerintahan yang berbeda.
Dengan keberadaan umat saat ini yang banyak berada di negara-negara yang menerapkan bentuk republik (demokrasi). Dan perlakuan yang bebas dari pemerintah tanpa standar operasional –menjadi tidak dibenarkan. Atinya bukan menegasikan bahwa  politik (demokrasi) itu keliru atau haram dan umat dilarang terlibat dalam dinamikanya. Demokrasi –siyasah pada saat ini- sebaliknya boleh menjadi sarana dan alat perjuangan umat. Sekali lagi berangkat dari konsep mashalih-mursalah dalam implementasi ekplisit dari fiqh waqi (realitas) dan fiqh dakwah.

***
Konsep siyasah –dalam hal ini khilafah- sebenarnya melahirkan perdebatan pendapat yang cukup alot diantara para ulama ahli fiqih sejak dulu. Khususnya sejak kemunculan para sahabat memimpin (khulafaur rasyidin). Ketika Rasulullah saw memimpin umat di Madinah, kepemimpinan politik semula mirip dengan pemerintahan yang mengaksentuasikan kebaikan bersama (demokrasi) diantara heterogenitas masyarakat kota Madinah. Oleh sebab itu lahirlah konstitusi bersama diantara masyarakat yang dipelopori oleh Rasulullah saw, yaitu piagam Madinah. Konstitusi ini mengatur hak dan kewajiban muslim dan non muslim, juga hubungan diantara keduanya pada masa damai dan perang, dan lain-lain.

Tetapi sepeninggal beliau, segera bermunculan beragam pendapat tentang konsep siyasah sampai sekarang. Kebanyakan muslim menjadikan khilafah  sebagai konsep yang siyasah ideal dengan prototip kepemimpin Rasulullah saat itu. Selain itu, ada juga yang menganggap kesultanan, juga ada yang menyebut imamah, sebagai yang paling tepat. 

Beberapa kelompok di dalam umat Islam ada yang menjadikan konsep ini sebagai perkara yang pokok dalam agama (ushuliyah). Mereka memposisikan siyasah –yang mereka sebut khilafah- sama takarannya dengan shalat dan puasa Ramadhan. Sementara di masa ketika Rasulullah saw memimpin, istilah ini: khilafah, belum ada. Rasulullah saat itu tidak menata struktur pemerintahan Islam yang legal-formal –yang merujuk kepada konsep khilafah yang mereka sebut, hanya mendasarkan  kepada nilai-nilai yang terkandung dalam nash. Muhammad al-Ghazali juga mengamini shiroh tersebut. Sehingga sebenarnya klaim siyasah sebagai (khilafah) wilayah atau perkara yang ushuliyah dalam Islam terbantahkan. Artinya siyasah adalah perkara furuiyyah (cabang) atau dibenarkan terjadinya ijtihad dalam pembahasan dan implementasinya.
Siyasah apapun bentuknya –seperti demokrasi, monarki, teokrasi, sosialis bahkan komunis- tidak menjadi perkara besar dalam Islam. Islam akan masuk dan hidup dalam dinamika politik negara-negara tersebut. Dengan catatan ada unsur kebaikan dalam mekanisme pendiriannya. Artinya bentuk dari sistem politik apapun tidak menjadi masalah dan Islam fleksibel untuk memasukinya selama sistem-sistem tersebut dijadikan sebagai alat (apparatus). Dengan tentunya menjamin kemaslahatan umat Islam.

Kepemimpinan Islam pasca khulafaur rasyidin seperti dinasti Umayyah dan Abbasyiah sebenarnya tidak bertentangan dengan konsep siyasah. Meskipun syura sebagai pilar penting tidak di implementasikan. pada masa itu. Sebab, para sahabat saat itu bermula berijtihad mengenai perbedaan itu selama tidak mendatangkan kebathilan yang signifikan. Unsur-unsur kemaslahatan tetap berada dan dijaga di dalamnya.
Begitu juga dengan dengan sistem demokrasi di zaman sekarang yang banyak dianut oleh negeri-negeri muslim. Juga sistem teokrasi di Iran. Tidak ada pendefinisian yang lebih representatif dan eksplisit merujuk kepada prototip negara ideal menurut Rasulullah saw.

Konsep siyasah dalam Islam berbeda dengan pendefinisian yang menyempit kepada satu makna atau istilah. Seperti perbandingan sistem khilafah dan kerajaan dalam buku Abul A’la Al-Maududi dengan judul yang sama dengan topik diskusi. 

Al-Maududi berijtihad,  khilafah lebih baik daripada kerajaan. Sebab khilafah mendasarkan keputusannya kepada syura,yang melegitimasi kemaslahatan umat dibawah musyawarah manusia yang pakar dalam agama, fiqih dan  siyasah untuk memilih pemimpin, bukan manusia awam (masyarakat secara umum) yang tidak ahli dalam ilmu siyasah. Pendapat Al-Maududi pada dasarnya benar, tetapi terlalu menyempitkan makna siyasah yang sebenarnya polisemi dan kompromistik.

Kepemimpinan dalam siyasah tidak sebebas seperti demokrasi. Dalam siyasah seorang pemimpin paling tidak harus memenuhi tiga kapasitas kepemimpinan: ilmu dan  kekuatan fisik, keshalihan, dan  Allah telah memilihnya (takdir). Tanpa ketiganya kebaikan dari figur seorang pemimpin parsial. 

Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani dalam suatu kisah, pernah melarang murid-muridnya terlibat di  dalam wilayah kenegaraan. Kecuali murid-muridnya memenuhi tiga hal: menguasai ilmu kenegaraan, menguasai ilmu hukum, dan mampu berijtihad. Sehingga kepemimpinan dalam Islam tidak prematur diberikan kepada orang-orang yang mempunyai modal politik adekuat. Lebih diutamakan kepada mereka yang memiliki keutamaan moral seperti Thalut yang memiliki akhlaq dan ilmu, tetapi miskin harta dan kepopuleran.
Ketiadaan pembakuan bentuk formal siyasah yang berlaku umum, kini berefek pada kategorisasi baku definisi siyasah sampai saat ini  masih debatable. Siyasah masih terjebak di dalam kompetisi warna sistem pemerintahan yang berobsesi mengimplementasikannya. Sintesis siyasah dengan konsep-konsep negara itulah yang kemudian sedang diformulasikan menjadi sistem politik yang akomodatif dan representatif.
Justeru karena debatable, bentuk kontemporer siyasah menjadi perkara yang tidak perlu dielaborasi lebih lanjut. Kemaslahatan umat tidak pada bentuk asalnya yang sesungguhnya masih imajiner. Perhatian seharusnya lebih radikal kepada diseminasi (persebaran) urgensi siyasah. 

Variable inilah yang menjadi tujuan dan maksud kehadiran siyasah dalam hidup manusia. Sebagai sistem, siyasah ada untuk mendatangkan kemaslahatan dan melaksanakan fungsi dari tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah) yang empat: menjaga agama (hifdz ad din),  menjaga harta (hifdz al-mal), menjaga kehormatan (hifdz an-Nasl), menjaga akal (hifdz al-aql), menjaga nyawa (hifdz an-Nafs). (Zulfikhar).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*