Catatan dari DM III Yogyakarta (3)
Negara
Ikhwan adalah Teodemokrasi
Pemateri: Rosyidi
“Islam yang Hanif menganggap negara sebagai
salah satu landasan sistem sosial yang dibawa Islam bagi manusia. Islam tidak
mengakui keadaan chaos, dan tidak membiarkan umat Islam tanpa pemimpin.”
(Risalah Musykilatuna ad Dakhiliyyah fi
dhau’in Nidzam al Islami : nidzamul hukmi)
***
Seperti penjelasan
pada catatan sebelulnmya (wajah asli siayasah syar’iyyah), maksud negara menurut
Islam adalah untuk mencapai kemashlahatan umat. Maka tidak ada batas kultural (cultural
border) bagi Islam terhadap sistem politik apapun. Sistem politik yang ada
di dunia bisa diterima sebagai ijtihad perbaikan.
Pendapat itu sama dengan pemahaman Ikhwanul Muslimin (IM) terhadap sistem
politik. Hal ini berangkat dari
keyakinan IM, bahwa tidak ada sistem politik yang benar-benar mewakili
representasi ideal Islam. Sehingga yang diambil adalah nilai-nilai positif
(substansi) -dari sistem itu -yang bermanfaat bagi umat Islam, bukan aspek
(materi) politiknya. Lantas nilai-nilai kemanfaatan yang dicari umat Islam –begitu
juga IM- adalah yang berpeluang memenuhi maqashid syariah.
Negara Islam yang diidealkan IM terwujud bukan dengan bentuk negara
agama (Teokrasi). Yaitu negara yang memerintah atas nama Tuhan, yang dikelola
oleh pemimpin yang –diyakini- maksum, dan oleh karena itu rakyat harus taklid
dan taat. Negara Islam yang dimaksud IM sebenarnya negara yang mengakomodasi
kemaslahatan umat (sipil). Bukan atas pertimbangan kemaslahatan dan kehendak
dari ulama. Tetapi negara yang muncul dari akar rumput paling bawah untuk
mewujudkan kemaslahatan. Mengamanatkan kepada rakyat untuk memilih pemimpin dengan
prinsip musyawarah (demokrasi),
IM percaya bahwa negara yang mengandung konsep kebebasan (al-hurriyah),
adalah negara yang kompatibel dan akomodatif bagi umat Islam. Sebab dengan kebebasan
akan mengakomodasi dan melegitimasi semua hasil dinamika politik yang mungkin
terjadi. Seperti hasil pemilu, pembuatan konstitusi, dan lain-lain. Sehingga
gerakan Islam -seperti IM dalam negara yang bebas, memiliki harapan besar untuk
memenangkan konstestasi politik.
Makanya IM menolak negara yang melegitimasi nasab, mistisisme,
kemaksuman, proselitisme politik (agamaisasi kekuasaan), dan aqad sepihak. Sebab langkah tersebut tidak
akan membawa kemaslahatan bagi kebaikan bersama umat. Maka langkah politik yang
moderat dan persuasif menjadi agenda IM. Lagipula dalam tsawabit
gerakannya, IM tidak berkompromi mewujudkan kebaikan dengan cara represif (kekerasan). Hal ini mengaksentuasikan
tujuan negara untuk menjalankan urusan umat
dengan baik (damai) sehingga dapat memperbaiki kehidupan umat di dunia dan
akhirat.
Teori tentang negara menurut IM terbagi menjadi delapan bentuk. Masing-masing
bentuk merupakan sifat dan karakter negara ideal menurut IM. IM percaya, dengan
konsep negara seperti inilah, kemaslahatan umat akan tercapai.
a.
Negara Sipil
Negara
adalah insitutusi yang meletakkan kekuasaannya dibawah kehendak rakyat (sipil)
dan melegitimasinya dengan kehendak Tuhan. Sekilas formula ini mirip dengan
konsep Teodemokrasi yang diciptakan Al-Maududi.[1] Maka
negara Islam tidak bisa dipisahkan dari kedua variabel (Tuhan dan Rakyat) itu. Kehendak kuasa dibawah tangan sipil
menjadi legitimasi dan daya tawar bagi negara Islam. Tanpa ada legitimasi dari
sipil, maka negara tidak akan mencapai tujuannya.
b.
Negara Kontrak
Maksud
sebagai negara kontrak (daulah ta’aqudiyah) adalah negara yang berdiri
atas kehendak rakyat. Pemimpin yang terpilih merupakan pilihan rakyat. Sebab telah terjadi akad (kontrak) antara rakyat dan
pemimpin –yang terpilih- melalui perantara ahl halli wal aqdi. Dalam
kepemimpinannya, sseorang pemimpin diawasi oleh rakyat dan sewaktu-waktu akan diturunkan
kalau melanggar akad.
c.
Negara Warga
Negara
warga adalah negara yang berdasar atas satu warga. Satu komunitas yang terdiri
atas komunitas-komunitas yang berbeda. Maksud warga disini adalah kumpulan dari
suku, ras, afiliasi keagamaan dan kebangsaan. Jadi negara Islam adalah negara
yang pluralis dan membentuk ikatan kewargaan yang satu. Semua warga yang
heterogen tersebut mendapat hak untuk mengisi dan memimpin lembaga-lembaga
tinggi negara kecuali pemimpin tertinggi (Presiden).
d.
Negara Representatif
Negara
representatif adalah negara yang berdiri berdasarkan perwakilan semua kelompok
di dalam negara. Seperti kelompok Islam, Kristen, Yahudi, juga dari suku dan ras manapun. Hal ini berangkat
dari peristiwa baiat aqabah kedua antara Rasulullah dengan perwakilan dari
beberapa suku di Madinah.
Negara representatif
berfungsi sebagai negara yang mengakomodasi perwakilan (legislative) dari
berbagai kelompok masyarakat untuk memilih pemimpin. Tidak hanya sebatas
memilih pemimpin, kebijakan pemimpin dan pembuatan UU juga menjadi perhatian
legislatif. fungsi legilatif disini sama dengan legislatif dalam negara demokrasi.
e.
Negara Pluralis
Prototip
bentuk negara ini adalah masyarakat
Madinah di masa Rasulullah memimpin. Sebagai masyarakat yang heterogen, yang terdiri dari berbagai
suku dan agama, Rasulullah membuat aturan tertulis (piagam Madinah) yang
mengatur hubungan diantara komunitas yang berbeda itu. Supaya di dala komunitas tersebut
lahir rasa memiliki, persaudaraan, gotong-royong untuk mewujudkan
kebaikan bersama.
Negara
pluralis bermaksud untuk membenarkan keterbukaan di dalam negara. Warga negara
dibebaskan untuk melakukan aktivitasnya secara terbuka. Mereka boleh membentuk paguyuban,
perkumpulan, organisasi atau partai politik –berbasis identitas bersama- untuk mewujudkan kebaikan diantara mereka. Maka di dalam negara, sistem multipartai dikenal dan diperbolehkan.
Masyarakat
juga dibebaskan untuk berdialog dan membahas masalah-masalah mereka. Membahas
isu-isu kebersamaan yang berguna bagi mereka -tetapi belum diakomodasi
pemerintah. Maka dari serangkaian kehendak itu lahirlah ‘ruang publik’ yang
berfungsi untuk mengontrol dan mengawal pemerintahan. Juga memberikan
sumbangsih pemikiran dan ide-ide perbaikan.
f.
Negara Substitutif
Menurut
IM, negara mengenal pergantian (substitusi) kepemimpinan. Tidak dibenarkan
seorang pemimpin berkuasa dalam waktu yang lama. Sebab pemimpin yang berkuasa terlalu
lama akan menurunkan kualitas kepemimpinannya. Maka dalam demokrasi, dikenal
ada pembatasan masa kepemimpinan . Seperti yang dikenal dari filsuf Inggris,
Lord Acton, yang menganjurkan ide itu dengan adagiumnya, ‘power tends to
corrupt. absolute power, corrupt absolutely’.[2] Oleh
karena itu, ide negara substitutif menghapus sistem ‘raja abadi’, yang banyak
bukan dari aspirasi rakyat.
g.
Negara Lembaga
Yang
dimaksud IM dengan negara lembaga adalah negara yang berdiri diatas
prinsip-prinsip musyawarah. Prinsip inilah yang melahirkan tiga suprastruktur
politik yang pada umumnya dikenal hanya dalam negara-negara demokrasi. Yaitu
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masing-masing lembaga memiliki
fungsi dari untuk menjalankan fungsi kelembagaannya dengan baik. Jika tidak
berjalan baik maka akan seperti negara
ini (Indonesia). Dimana prosedur musyawarah sudah terlaksana, tetapi implementasi nilai
substansialnya tidak terwujud.
h.
Negara Hukum
Sistem perundang-undangan
dalam negara yang dicita-citakan IM diambil –salah satunya- dari Islam sebagai
konstitusi tertinggi. Tentunya konstitusi disini sudah melalui serangkaian proses
formulasi Islam
dan modernisasi dengan instrumen ijtihad. Sehingga disparitas dan diskriminasi
terhadap komunitas beragama lain bisa
ditekan. Hukum yang berlaku umum adalah hukum Islam. Umat beragama yang lain
dibolehkan memberlakukan hukum diantara mereka selama tidak bertentangan dan
berbenturan dengan hukum umum.
***
Terang sudah bahwa negara dalam pandangan IM adalah prototip negara
yang mengandung nilai demokrasi yang diformulasikan dengan nilai-nilai Islam. Kekuasaan rakyat yang besar
tidak lantas menempatkan rakyat sebagai basis legitimasi absolut. Sebab perlu dipertimbangkan
dengan kaidah-kaidah Islam. Islam tidak membenarkan orang yang tidak ahli dalam
politik, hukum dan agama untuk memilih pemimpin.
Konstitusi dalam negara berbasis pada nilai-nilai Islam. Sehingga tidak
bisa diganti dengan nilai-nilai yang lain. Hal ini berangkat dari keyakinan IM
yang memandang Islam sebagai konsepsi yang paling tepat bagi umat Islam dan
umat secara umum. Meskipun terjadi perubahan kepimpinan politik di dalam negara
dan negara dipimpin oleh partai yang berbeda, pemimpin negara tetap seorang
muslim dan konstitusi tetap Islami. Wallahul muwaffiq ila aqwamit tharieq.
(Zulfikhar)
Komentar
Posting Komentar