Rekonstruksi Paradigma Politik Indonesia
Oleh: Zulfikhar
Pendahuluan
Stagnasi
demokrasi mungkin sedang asyiknya bermanuver di Indonesia satu dekade terakhir. Banyak para sarjana yang berpendapat memang
Indonesia, meskipun mengaku sebagai negara demokrasi, faktanya belum demokrasi.[1]
Demokrasi saat ini masih sebatas wacana ketimbang sebuah sistem yang hidup.
Sebagai
sistem yang mempercayakan rakyat sebagai sumber keberadaan politik, demokrasi
Indonesia kini sedang mencari apparatus yang kompatibel untuk memenuhi hasrat
itu. Pelbagai langkah strategis telah berjalan dan dicoba untuk
diaktualisasikan. Sayangnya, obsesi itu masih jauh dari harapan. Meskipun
beberapa diantaranya sudah berjalan baik.
Adagium
power tend to corrupt[2]
faktanya masih menjadi pseudo tradisi yang subur dalam kehidupan masyarakat
kita. Tanpa bisa disangkal, konsep itu memang benar-benar berakar dan secara
gradual mulai berevolusi menjadi aksioma. Agenda pemilu dan sejenisnya, sebagai
ilustrasi, menjadi bukti yang kuat untuk membenarkan argumentasi tersebut.
Politik tidak lagi menjadi ajang transfer etika, sebaliknya menjadi momentum
transaksi materi.
Politik
Indonesia hari ini krusial untuk dirubah. Masyarakat sudah bosan dan mulai
tidak survive dengan keadaan yang
tidak banyak berubah. Pemerintah saat ini yang sebatas memangkas
masalah-masalah prosedural tidak boleh terus dibiarkan. Padahal kesejahteraan
rakyatlah yang notabene subtansi yang lebih penting dan seharusnya menjadi prioritas
utama.
Wacana
untuk membuat pemilu seperti tahun 1955 dulu, baik untuk kembali digagas ulang.
Tidak penting memikirkan pranata untuk membuat pemilu yang rapi dan teratur. Estetika
penyelenggaraan pemilu tidak akan dilirik sebagai presentase keberhasilan
pemilu. Sebab, yang semestinya dipikirkan adalah bagaimana cara membuat
apparatus yang canggih untuk menghasilkan pemimpin politik dengan kredibilitas
dan political will yang baik. Yaitu
proyek mengkonstruksi sistem yang dalam waktu panjang menghasilkan pemimpin revolusioner.
A.
Akar
Masalah
Sejak
zaman orde lama sistem politik Indonesia sudah banyak terjadi perubahan. Sistem
politik yang tadinya parlementer karena tidak memberikan ekses bagi rakyat, diganti pemerintah pada tahun 1959, dan diubah
menjadi sistem presidensial berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang
diberlakukan kembali. Perubahan ini sebenarnya dilakukan untuk memperkuat
eksekutif –yang tidak mempunyai keluasan dalam melaksanakan kebijakannya. Agar kebijakannya tidak selalu dipengaruhi oleh
parlemen dengan dijamin dengan masa jabatan tertentu.[3]
Jumlah
partai politik saat itu banyak seperti saat ini. Persaingan antara mereka
tampak baik-baik saja, meskipun koalisi antara beberapa partai membuat kondisi
politik semakin memanas. Tetapi tidak lama kontras berbeda ketika orde baru
memimpin. Partai politik yang semula beragam difusikan menjadi tiga pada tahun
1973. Hal ini mensinyalir ada kemajuan dalam berpolitik atau sebaliknya
dekadensi.
Dikatakan
maju jika pada saat itu pemisahan tiga kekuatan suprastruktur politik
–eksekutif, legislative, yudikatif- menjadi jelas. Masing-masing struktur memiliki takaran hak dan kewajiban yang
proporsional. Masing-masing mengelola kinerja kenegarawanannya dengan akuntabel
dan transparan. Namun sebaliknya, akan tidak akomodatif sebab dengan tiga
partai tidak akan cukup untuk menampung aspirasi rakyat yang heterogen. Rakyat
yang masih terendam di dalam mindset etnosentrisme tidak akan begitu saja
mempercayakan aspirasinya kepada partai yang berbeda dengannya.
Orde
lama (orla) dan orde baru (orba) sama-sama memiliki kelemahan yang subtansial.
Orla yang fokus untuk merajut simpul persatuan diantara heterogenitas masyarakat
melupakan musuh dalam selimut yang sudah beberapa kali berulah. PKI misalnya,
masih dilindungi dan dijaga keberadaanya dalam dinamika politik saat itu.
Padahal terhitung sudah beberapa kali kudeta dilancarkan oleh partai ini.
Diantaranya di Madiun dan Surakarta pimpinan Muso dan Amir Syarifudin pada tahun
1948[4],
juga di Cirebon pada tahun 1946 oleh Mohammad Joesoep.[5]
Orla
tidak hanya gagal mempersatukan bangsa Indonesia yang masih baru, Presiden
Soekarno bahkan cenderung untuk menjaga posisinya sebagai pahlawan besar
republik. Setelah kemenangan PNI yang mendukung dirinya pada pemilu 1955, sang
proklamator mengangkat dirinya sendiri menjadi presiden seumur hidup. Barangkali dengan alasan jasa-jasanya yang
besar memerdekakan Indonesia. Aroma totaliter pun mulai tercium, tetapi tidak
lama musnah karena peristiwa G/30/S/PKI, korupsi dan tuntutan mahasiswa untuk
menurunkannya. soekarno turun dengan tenang pada tahun 1968.
Presiden
Soeharto dalam pemerintahan yang baru memposisikan dirinya sebagai kepala
negara yang berbeda. Kepemimpinannya yang semula juga karena didukung mahasiswa
perlahan mulai diragukan. Kemurahan hati pemerintah kepada kapitalis asing
untuk masuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, menjadi presenden yang baru saat itu. Sebab pemerintah
sebelumnya tidak mentolerir manuver tersebut. Akibatnya bermunculan konflik di
daerah yang berjalan terus hingga sekarang.
Indonesia
di zaman orba mirip negara fasis di
Italia dan Jerman sebelum Perang Dunia II –meskipun tidak identik dengan
symbol-simbol romantisme. Kebebasan berkumpul, berbicara dan berpolitik
dikebiri. Jumlah partai difusikan.[6]
Golkar mewakili pemerintah, PDI dipaksa mewakili golongan nasionalis, dan PPP
mewakili golongan Islam. Dengan demikian Indonesia yang tadinya menganut sistem
multipartai bebas, diganti menjadi sistem tiga orsospol, jadi dapat
dikategorikan sebagai sistem multipartai yang terbatas.[7]
Selain
itu terjadi perubahan besar dalam komposisi anggota legislatif. DPR yang semula ada 247 wakil pada zaman orla,
ditambah dengan 75 wakil dari ABRI dan 14 dari KAMI[8],
2 Hindu Bali, 8 Irian Barat, 2 veteran, 2 sipil.[9]
Orba
dengan kebijakannya yang berusaha menampung semua aspirasi dari rakyat faktanya
tidak mampu membendung arus kritik yang terus membesar. Terutama dari mahasiswa
yang menjadi garda depan. Kebijakan yang sarat dengan kepentingan asing –dengan
Amerika dan sekutunya- telah merusak kepercayaan yang semula disematkan
mahasiswa di awal revolusi.
Demokrasi
di zaman orba sebenarnya ideal bagi
negara demokrasi seperti Indonesia. Sistem presidensial dengan tiga partai
–disamping momok yang melemahkan- sebenarnya mampu mewadahi kepentingan semua
kalangan yang berbeda. Pemerintahan ini dibangun atas dasar mekanisme carrot and stick, sehingga dengan
demikian tercipta sebuah stabilitas politik yang sangat mantap.[10]
Tetapi sekali lagi tidak mampu menampung semua aspirasi rakyat seperti
penjelasan diatas. Keuntungan yang lain dapat mengatasi tarik-menarik
sentrifugal –dari pusat ke perifer, seperti yang dialami PDI baru-baru ini,
tetap utuh sebagai satu organisasi dan tidak pecah menjadi dua atau tiga,
seperti sering terjadi pada masa demokrasi parlementer. Dengan demikian
diharapkan orsospol masing-masing dapat lebih mengkonsolidasikan diri.[11]
Format
politik awal yang dibangun Presiden Soeharto sekilas tampak akomodatif dan
sesuai dengan kebutuhan masa itu. Kemiskinan dan buta huruf yang masih menjadi
masalah utama dikendalikan dan diberantas dengan pembangunan ekonomi massif.
Pembangunan pada sektor ini menjadi prioritas utama. Sebab dengan ekonomi yang
berkembang dan maju, maka rakyat akan dijauhkan dari bahaya kemiskinan dan
keterbelakangan.
Sayangnya
niat yang baik itu dibangun atas dasar dua variabel yang tidak mampu dikontrol
pemerintah. Pertama, keran keterbukaan kepada investor asing –sebagai konsekuensi
hutang kepada asing- untuk mengelola bumi Indonesia tidak direservoir dengan
baik. Eksploitasi sumber daya alam berjalan tanpa pertimbangan kebudayaan dan
lokalitas masyarakat yang masih awam dan fanatik. Akibatnya terjadi konflik
lokal di Papua, Sumatra dan Kalimantan serta daerah-daerah lain yang menjadi konsentrasi
eksploitasi. Sayangnya konflik tersebut dikelola oleh pemerintahan dengan
konflik menang-kalah (zero-sum conflict).
Yaitu situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan
tercapainya suatu kompromi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.[12]
Kedua,
pembangunan ekonomi dikawal dengan penjagaan yang terlampau ketat. Hal itu
dapat dilihat dengan dibentuknya lembaga-lembaga yang pada dasarnya mempunyai
karakteristik represif, seperti: Operasi Khusus (Opsus), Badan Koordinasi
Intelijen Negara (Bakin), Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)/Pelaksana
Khusus (Laksus), kemudian ditambah lagi dengan Direktorat Jenderal Sosial
Politik (Dirjen Sospol), dan Ditsospol pada Departemen Dalam Negeri.[13]
B.
Ihwal
Hukum
Ihwal
(masalah) hukum di Indonesia sudah bermula sejak negara ini lahir. Tidak hanya
perbuatan melanggar hukum dengan kebijakan sepihak terhadap keputusan komunal,
seperti perumusan Pancasila dan Piagam Jakarta. Ihwal ini juga sudah terjadi
bahkan ketika Presiden Soekarno ‘mengarang’ tentang Indonesia sebagai negara
kesatuan. Juga konsep penjajahan selama 350 tahun oleh Belanda. Meskipun secara
legal-formal tidak dapat divonis, setidaknya hukum kebenaran sejarah telah
dilanggar.
Selain
pelanggaran konstitusional dan kebenaran sejarah. Pelanggaran yang populis juga
sudah terjadi bahkan ketika negara ini baru saja berdiri: korupsi. Eksistensi
suprastruktur politik bahkan menjadi alat hadirnya penyakit ini.
Tidak
heran korupsi terjadi karena kelemahan suprastruktur politik saat itu.
Pemerintah yang otoriter dan menegasikan ‘akuntabilitas’ dan ‘transparansi’
menjadi variabel kunci dalam hal ini. Apalagi karena perlindungan militer
terjadilah ‘diskresi’, hampir semua kementerian menikmatinya. Setidaknya dengan
tiga variabel diatas korupsi bisa terjadi.
Klitgard
membuat persamaan sederhana tetapi sangat popular untuk menjelaskan pengertian korupsi,
yaitu sebagai berikut:
|
Dimana:
C = Corruption
M = Monopoly
D = Discretion
A = Accountability[14]
Persamaan
diatas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau
pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas pihak tertentu serta ditunjang oleh
diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasannya, sehingga cenderung
menyalahgunakannya, namun lemah dalam pertanggungjawaban kepada publik
(akuntabilitas).[15] Dengan
melihat persamaan diatas, cukuplah mengkategorikan Indonesia saat itu –dan juga sekarang- masuk ke dalam sistem
kenegaraan yang rentan dengan praktik korupsi.
Masa
senja orba terlihat tidak lagi mampu membenahi suprastruktur politiknya yang
korup. Akibatnya banyak para pejabat yang ditangkap pasca keruntuhan rezim. Hal
ini mirip dengan zaman orla dulu. Padahal di awal pemerintahannya, Presiden
Soeharto melakukan berbagai upaya untuk
memberantas korupsi.[16]
Tidak
bisa dipastikan sejak kapan korupsi mulai melanda Indonesia. Sumber yang
dipastikan benar, menuliskan korupsi sudah ada sejak zaman pendudukan Belanda. Khususnya
banyak terjadi saat masa kepemimpinan VOC di Indonesia akhir abad tujuh belas.[17]
Lebih jauh lagi, korupsi juga sudah terjadi saat zaman kerajaan, seperti di Susuhunan
Surakarta.[18]
Korupsi
yang terjadi sejak masa lampau, sekarang terwariskan secara genealogis –kultural-
ke pemerintahan reformasi saat ini. Dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Sebab
meskipun sejak tahun 2000 KPK didirikan –yang sebelumnya juga lembaga serupa
sudah hadir sejak zaman orba, belum ada perubahan signifikan yang bisa
dilakukan lembaga superbody tersebut.
Sebaliknya kehadiran KPK justeru tidak membuat praktik korupsi menurun.
Terungkapnya skandal korupsi para menteri –seperti Menteri Agama, Menteri
Sosial dan Menpora- hanya sedikit kasus korupsi yang dapat diungkap.
Permasalahan
hukum saat ini akhirnya berdampak sistemik sampai ke sistem politik kita. Banyak
diskusi yang mengemukakan apakah sistem presidensil cocok untuk kondisi negara
yang ‘transisi’seperti ini. Pernyataan itu semakin menguat ketika sistem
presidensil disanding dengan sistem multipartai yang akhirnya membuat posisi
eksekutif, khususnya presiden, mengalami kegalauan, khususnya dalam mengeluarkan
kebijakan. Eksesnya kemudian mendudukkan beberapa partai politik dalam koalisi
ke dalam politik dua kaki –seperti aksi PKS dan Golkar beberapa waktu yang
lalu. Maka munculah gagasan yang mempertanyakan formasi
presidensil-multipartai.[19]
C.
Paradigma
Politik Indonesia
Hampir
bisa dikategorikan bahwa masyarakat Indonesia sejak dulu dikenal sangat antusias
dalam partisipasi politik pemilu. Terhitung sejak pemilu 1955 sampai 2009,
presentase pemilih sangat tinggi, yaitu 90% ke atas.[20]
Meskipun saat ini menurun sampai 20%. Artinya, masyarakat Indonesia sebenarnya
masih percaya dan optimis bahwa nasib bangsa ini akan berubah.
Kita
patut bersyukur karena hidup dalam suatu bangsa yang memiliki ketahanan
psikologis yang adekuat. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang
memiliki tingkat partisipasi tinggi –dibawah Jerman- jika dibandingkan dengan
negara-negara maju yang lain dan termasuk nomor dua di Asia setelah Singapura.[21]
Sayangnya
keunggulan partisipatif yang cukup baik itu tidak dimaksimalkan dengan itikad
baik untuk membangun. Masyarakat Indonesia sampai saat ini masih nyaman dengan
stagnasi dan kemunduran di berbagai bidang. Masyarakat masih belum percaya
bahwa negeri ini yang suatu hari bisa berubah. Harapan untuk menggapai negeri
yang gemah ripah loh jinawi masih
terpenjara dibawah alam bawah sadar (unconscious
mind). Keterpenjaraan dalam alam bawah sadar itu kemudian melahirkan
keyakinan bahwa itu yang baik, tepat dan oleh karenanya benar. Akhirnya
kebenaran menjadi wacana dan selanjutnya bahasa. Memang benar kata Jacques
Lacan, bahwa bahasa itu menunjukkan alam bawah sadar seseorang.[22]
Akibatnya,
masyarakat yang partisipatif itu terjebak dalam labirin pragmatisme. Mereka
tidak mencari jalan keluar dari tempat itu. Tetapi menerima keadaan yang belum
tentu membantu mereka untuk keluar –karena kesabaran juga merupakan watak orang
Indonesia. Akhirnya keunggulan itu dimanfaatkan oleh pihak lain yang tidak
bertanggungjawab. Oknum yang bukannya merasa sadar untuk berubah, sebaliknya
semakin menarik ke dalam kubangan dekadensi. Tidak heran politik uang kini
menjadi hadiah yang tidak bisa dilewatkan dari pemilu dari tingkat kecamatan
sampai nasional. Tanpa diberi pun masyarakat akan memintanya. Benarlah yang
disebut filsuf Jerman, Ludwiq Witgenstein, sebagai ‘permainan bahasa’ (Languange Game).[23]
Kebatilan (politik uang) karena sering dilakukan dan dianggap sebagai kebaikan
bersama maka secara perlahan akan menggerus kebenaran.
Perilaku
para pemangku kebijakan juga relatif sama. Terutama mereka yang duduk di
suprastruktur politik (Menteri, DPR, DPD). Kementerian saat ini seringkali
mengeluarkan Undang-Undang yang tidak dibutuhkan masyarakat. Yang keberadaannya
banyak tidak menguntungkan rakyat dan tidak sedikit berasal dari pesanan
pengusaha dan pihak asing. Seperti yang baru-baru ini menjadi kontroversi: UU
tentang Pendidikan Tinggi, RUU Ormas, Kamnas, dan lain-lain yang tidak punya
urgensi besar untuk perbaikan kesejahteraan. Malah sebenarnya kehadiran
pranata-pranata tersebut berkonotasi destruktif.
Nasib
DPR pun tidak jauh berbeda. Korupsi di dalamnya yang mengganas justeru terjadi
ketika keran reformasi mengalir deras. Kesepakatan politik untuk meloloskan
rancangan UU, plesiran ke luar negeri, pengalihan uang reses, perselingkuhan
dengan pemerintah (eksekutif) yudikatif dan pengusaha sudah menjadi fonemena
yang biasa. Kulminasinya, partai politik bahkan membela perilaku kader-kadernya di DPR.
Rekrutmen
poltik sebagaimana fungsi partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak
partai yang gagal –atau mungkin tidak - mendidik kader-kadernya menjadi patuh
dan percaya pada konstitusi partai. Partai politik tidak serius melakukan
perbaikan interiornya. Akibatnya, banyak muncul politisi kutu loncat. Mengejar
karir politik yang lebih baik ke partai lain yang punya harapan hidup lebih besar
atau karena tawaran menggiurkan. Tidak heran banyak pengusaha kaya yang minim
pengalaman politik, tetapi karena memiliki kuasa materi dan media, langsung
diangkat ke posisi strategis ketika bergabung ke sebuah partai.
Gerakan
mahasiswa juga mengalami absurditas yang sama. Sebagai infrastruktur politik
yang bertugas sebagai kawah candradimuka pencetak generasi kepemimpinan masa
depan, saat ini tidak mampu lagi menjaga
independensinya. Sejak dulu gerakan mahasiswa selalu membangun relasi politik
dengan kuasa: partai politik, dan lain-lain. Sebagai gerakan mandiri yang tidak
selamanya mampu membiayai pergerakannya, meniscayakan gerakan untuk mencari
materi ke institusi politik yang terkenal penuh materi. Sehingga status
independensi sebagai bahan jualan rekrutmen ke mahasiswa (obyek perekrutan)
menjadi kebohongan publik yang populis sekarang.
Perubahan
paradigma politik karenanya menjadi wacana yang harus dikampanyekan ke seluruh
struktur dan kelas sosial di masyarakat. Semua elemen bangsa das sollen tahu dan sadar bahwa ini
adalah ihwal krusial yang das sein
dilakukan. Kalau tidak, stagnasi yang terlalu lama akan menjelma menjadi bumerang
destruksi bagi bangsa ini.
Penglihatan
terhadap masa depan Indonesia harus jauh ke depan. Refleksi terhadap sejarah
yang sudah terjadi di masa lampau juga harus diselami lebih mendalam. Sebab
menurut George Santayana, “siapa yang tidak belajar dari sejarah akan dikutuk
untuk mengulanginya”. Bukan berarti kerja kita harus sepenuhnya terpaku kepada kejayaan
masa lampau yang banyak hanya berlaku pada zaman itu. Sebab kembali kepada teks
masa lalu, justeru akan menghegemoni kerja kita yang sebenarnya kontras berbeda
dengan masa itu. Akhirnya kemudian kita terpenjara dalam apologia dan
melahirkan etnosentrisme pada yang berbeda.[24]
Kalaupun
bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai
memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada
takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa
–untuk memulai kemandirian, punya instink dan ketat menjaga martabatnya, untuk
mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya.[25]
D.
Rekonstruksi
Paradigma
Demokrasi
Indonesia masih tidak akan berubah jika tidak ada momentum besar yang akan
memicunya. Apalagi muncul kegamangan dan sikap pesimisme dari masyarakat bahwa
transisi seperti ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Sikap ini mirip
dengan mindset masyarakat di
penghujung orba yang sangat ragu dan gamang untuk mengkritik pemerintah. Tetapi
terbantahkan oleh momentum reformasi
yang digaungkan mahasiswa.
Paradigma
masyarakat dalam menyikapi kondisi perpolitikan saat ini sudah akut dan usang. Pragmatisme
tidak tepat menjadi mindset dalam kondisi transisional seperti ini. Sebab
persatuan dan konsolidasi nasional tidak bisa lahir dengan mental manusianya
yang bergantung kepada keringanan tangan orang lain. Oleh karena itu ada
beberapa upaya untuk merubah paradigma politik bangsa Indonesia sekarang:
- Dekonstruksi
Nilai-nilai
dan logos dalam masyarakat yang menjelma ke dalam pragmatisme politik harus
dihancurkan (deconstruction). Sebab
paradigma politik itu jika dimaknai lebih dalam secara fenomenologis tidak
mendatangkan kebaikan, sebab merupakan transgresi (pelanggaran) terhadap
konstisusi politik dan logosentrisme (kebenaran) yang berlaku dan diakui masyarakat. Permainan bahasa yang memanipulasi
‘politik uang’ dan politik sebagai ‘barang kotor’ menjadi baik dan benar harus
di dekonstruksi.
Dekonstruksi
menurut Barbara Johnson, adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi”
sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata
“analisis”, yang berarti “mengurai, melepaskan, membuka” (to undo) ketimbang pengertian etimologis dari kata “destruksi”. Kalau
kita membuka Webster’s Unabriged Dictionary, akan kita temukan pengertian
analisis sebagai “the separating of any
material or abstract entiry into its constituents elements”. Mirip dengan
pengertian “deconstruct”, yang
berarti “to break down into constituent
parts”. Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih
dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks
itu sendiri. Tujuan dekonstruksi adalah mengungkap oposisi-oposisi hirarkis
yang implisit dalam teks. Karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi, yang
dihancurkan bukanlah makna tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap
teks lebih benar ketimbang pemaknaan
lain yang berbeda.[26]
Oleh
karena itu yang akan dilakukan dekonstruksi adalah menghancurkan klaim
absurditas paradigma apolitik yang menjadi tradisi politik saat ini. Transaksi
politik yang dianggap benar dalam politik –terutama pemilu- dirubah maknanya
dan dikembalikan kepada definisi sebenarnya. Sehingga masyarakat dapat berpikir
benar dan tahu yang dilakukannya keliru.
- Pendidikan Politik
Masyarakat
pada tahap ini dididik untuk mengetahui hakikat politik. Mereka diajak untuk
melakukan otokritik. Mempertanyakan apa tujuan dan manfaat dari politik yang
menjelma dalam wujud negara? Apa fungsi keberadaan pemimpin politik? Apa
manfaat partisipasi dalam pemilu? Mengapa dalam pemilu dilarang melakukan dan
menerima politik uang (suap)? Mengapa konstitusi dan juga agama melarang suap?
Apa relasi antara politik uang (transaksional) dengan korupsi?
Pertanyaan-pertanyaan
diatas merupakan refleksi untuk menyadarkan masyarakat tentang hakikat
berpartisipasi dalam pemilu. Dalam pendidikan politik paling tidak
pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dijawab oleh masyarakat. Sehingga tidak saja
mengkristal dalam variable kognitif, tetapi lebih radikal menghujam ke dalam
sikap politik masyarakat.
Selanjutnya
masyarakat tidak saja paham dan tahu bahwa politik itu adalah sesuatu yang
suci. Apparatus yang berfungsi untuk menghadirkan keadilan (justice) untuk mewujudkan kesejahteraan
(welfare). Juga masyarakat tahu bahwa
politik –dalam hal ini demokrasi- merupakan
sistem yang menjanjikan kebaikan bersama dan menjamin terjaganya lima
esensial manusia (kulliyat al-khams).
Demokrasi sebagai representasi kontemporer
politik Rasulullah di Madinah pada masa lampau. Bahwa tidak ada keraguan
dalam demokrasi (demokrasi la roiba fih).
E.
Kesimpulan
Keniscayaan
untuk mendekonstruksi paradigma politik Indonesia harus dilakukan. Sudah terlalu
kompleks permasalahan dan krisis politik yang terjadi sejak negara ini berdiri
karena hal itu. Masyarakat sudah saatnya sadar dan paham bahwa tradisi pemilu di
masa lalu gagal menghadirkan pemimpin politik yang berkualitas. Gagal melakukan
pewarisan kepemimpinan dari masa revolusi ke pembangunan dan pembangunan ke
reformasi.
Kaderisasi
politik telah gagal dilakukan oleh banyak partai politik sebagai unsur
strategis dalam demokrasi. Padahal partai politik merupakan rumah kaderisasi
hampir semua politisi. Rumah tersebut sudah dikotori dengan persaingan
kepentingan kader-kadernya. Tidak tumbuh rasa cinta –hanya kepentingan yang
utama- antar sesama kader dan taat kepada konstitusi partai. Lalu kalau sudah
demikian bagaimana mau mencintai rakyat?
Pragmatisme
politik dari para politisi harus disadari baik-baik. Dicerna dengan logika dan
analisa kritis. Bahwa praktik tersebut merupakan langkah awal lahirnya korupsi.
Dengan demikian mengkhianati amanah rakyat dan memperlemah kekuatan finansial
negara. Sudah sepatutnya para politisi menjelma menjadi negarawan. Melepaskan semua
kepentingan pribadi dan kolektifnya untuk berkorban demi kesejahteraan rakyat.
Mengkapitalisasikan
pendidikan politik kepada semua anak bangsa sudah semestinya menjadi kewajiban
negara. Melalui langkah itulah perbaikan politik akan terjadi. Dengan begitu
langkah mewujudkan kebaikan bersama dan mewujudkan negara yang besatu
berdaulat, adil dan makmur, akan terwujud.
Referensi
Afan Gaffar, 2006. Politik
Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Prof. Miriam
Budiarjo, 2001. Demokrasi di Indonesia:
Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Gramedia. Jakarta
Ahmad Mansyur
Suryanegara, 2010. Api Sejarah 2.
Salamadani. Bandung
Ramlan Surbakti,
1992. Memahami Ilmu Politik.
Grasindo. Jakarta
Fahri Hamzah, 2012. Demokrasi Transisi Korupsi: Orkestra
Pemberantasan Korupsi Sistemik. Faham Indonesia
M.C. Ricklefs, 2007. Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Prof. Miriam
Budiarjo, 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Gramedia. Jakarta
Djohan Effendi dan Ismad Natsir,
2003. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan
Harian Ahmad Wahib. LP3ES. Jakarta
Emha Ainun Nadjib, 2010. Demokarasi
La Roiba Fih. Kompas. Jakarta
Muhammad Al-Fayyadl, 2012. Derrida. LKis. Yogyakarta
[1] Lihat Afan Gaffar,
2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju
Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
[2] Kekuasaan cenderung
melakukan korupsi. Adagium dari Lord Acton (1834-1902)
[3] Prof. Miriam
Budiarjo, 2001. Demokrasi di Indonesia:
Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Gramedia. Jakarta, hlm. 215.
[4] Lihat Ahmad Mansyur
Suryanegara, 2010. Api Sejarah 2.
Salamadani. Bandung, hlm. 249.
[5] Ibid., hlm. 232
[6] Lihat Budiarjo, Op.Cit.,
hlm. 235.
[7] Budiarjo, Op.Cit., hlm.
218
[8] Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia
[9] Suryanegara,
Op.Cit., hlm. 457
[10] Gaffar, Op.Cit., hlm.
148.
[11] Budiarjo, Op.Cit., hlm.
241
[12] Ramlan Surbakti,
1992. Memahami Ilmu Politik.
Grasindo. Jakarta, hlm. 154
[13] Ibid., 149
[14] Fahri Hamzah, 2012. Demokrasi Transisi Korupsi: Orkestra
Pemberantasan Korupsi Sistemik. Faham Indonesia, hlm. 36
[15] Hamzah. Loc.Cit
[16] Hamzah, Op.Cit.,
hlm. 33.
[17] Lihat M.C. Ricklefs,
2007. Sejarah Indonesia Modern.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, hlm. 124
[18] Ibid., hlm. 159
[19] Baca lebih lanjut, Hanta
Yuda AR, 2010. Presidensialisme Setengah
Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Gramedia. Jakarta.
[20] Prof. Miriam
Budiarjo, 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Gramedia. Jakarta, hlm. 376.
[21] Ibid., hlm. 377
[22] Awaluddin Marwan, Jacques Lacan: Meraba Konsep Dasar
Psikoanalisis Baru, (Online), (http://komunitasembunpagi.blogspot.com/2009/07/jacques-lacan-meraba-konsep-dasar.html, diakses 5 Mei 2013)
[23] Bagi Wittgenstein language
game bukanlah sebuah definisi rigid, melainkan sebuah analogi. Language
game adalah permainan yang memberikan arti bagi sebuah tindakan tertentu.
Artinya suatu tindakan hanya bisa dimengerti dalam konteks suatu language game
tertentu. Tanpa language game tertentu, tindakan menjadi tidak berarti sama
sekali. Tindakan itu menjadi Chaotic.
Reza A. A Wattimena, Language Game dan Banalitas
Korupsi Indonesia, (online), http://rumahfilsafat.com/2009/06/11/banalitas-korupsi-indonesia/, diakses 14 Maret 2013)
[24] Lihat Djohan Effendi
dan Ismad Natsir, 2003. Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. LP3ES. Jakarta, hlm. 68.
[25] Emha Ainun Nadjib,
2010. Demokarasi La Roiba Fih. Kompas. Jakarta, hlm. 134
[26] Muhammad Al-Fayyadl,
2012. Derrida. LKis. Yogyakarta, hlm.
80
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)