Kebijakan Fiskal yang Tumpul
Oleh: Zulfikhar
Tidak bisa banyak bereskperimen tentang solusi memberbaiki ekonomi bangsa. Apalagi mengatasnamakan kesejahteraan dan hasrat untuk memperbaiki hidup. Seolah-olah hidup ini bisa selesai dengan selusin teori-teori mutakhir. Apalagi mengambil prototipnya dari negeri asing yang terbukti berhasil, meskipun menyimpan kelemahan yang fundamental dan kealpaan bahwa Indonesia ternyata berbeda.
Hal inilah yang konon tidak disadari oleh banyak pemimpin kita. Eskperimen dan riset ilmiah yang terus bergulir faktanya belum mampu menjadi titik balik. Ekonomi kita terus-menerus tidak signifikan bagi rakyat. Meskipun kita terbiasa diyakinkan dengan pidato-pidato politik tentang pertumbuhan ekonomi yang terus bertumbuh signifikan.
Sayangnya banyak orang percaya dengan data-data tersebut. Tidak saja rakyat, nalar mahasiswa juga tersandera dengan informasi itu. Tidak heran dengan variasi kombinasi data yang up to date dan legitimasi lembaga riset ternama, kesadaran kelompok intelektual ini segera tergadai. Maka benar tesis Freud, kesadaran memang lahir dari ketidaksadaran.
Istilah ‘pertumbuhan ekonomi’ memang menjadi gengsi tersendiri bagi negara-negara yang menikmatinya. Apalagi dengan kebanggan tersebut berdampak banyak dengan kedatangan pengusaha asing berinvestasi. Pertumbuhan ekonomi seperti ini secara tidak langsung telah menjadi senjata ampuh untuk mengembalikan kepercayaan ekonomi.
Selayaknya pertumbuhan ekonomi hadir untuk memperbaiki perekonomian bangsa. Janji tentang kehadirannya sudah tidak perlu diulas kembali. Ada ‘efek menetes ke bawah’ sebagai salah satunya janjinya. Yaitu membantu memperluas persebaran kapital (modal) ke akar rumput. Tetapi alih-alih terpenuhi, efek tersebut malah deras menetes ke atas. Eksesnya sektor riil sampai saat ini berjalan pasang surut.
Keniscayaan pembangunan ekonomi dengan mengatasnamakan pertumbuhan lebih banyak yang menyesatkan. Indeks pertumbuhan faktanya hanya diukur dari perputaran fiskal (pemasukan dan pengeluaran negara) di lingkaran pengusaha-pengusaha besar. Tidak banyak merata ke sektor riil (UKM, industri rumahan, dll). Sehingga penghitungannya dipukul rata secara keseluruhan dari pengusaha-pengusaha sukses itu. Sebab separuh proporsi pertumbuhan ekonomi kita disumbangkan oleh sekelompok kecil pengusaha (dua ratus pengusaha kaya) tersebut. Sehingga dengan kalkulasi parsial itu seolah-olah negeri kita tampak semakin makmur.
Pemerintah kita sekarang lupa bahwa kesejahteraan rakyat tidak bisa dilakukan dengan mengkayakan sekelompok orang (pengusaha). Subsidi yang mudah kepada pengusaha-pengusaha tersebut seharusnya juga berlaku bagi pengusaha-pengusaha dari kelas berbeda. Langkah keliru jika membangun bangsa tanpa meratakannya ke kelompok dan sektor yang berbeda. Akibatnya, sekarang sedikit pengusaha besar mau membantu sesamanya yang masih berjalan tertatih.
Postur APBN yang terus mengalami perubahan merupakan dampak dari kekeliruan ini. Betapa pemerintah tidak mau memilih langkah yang mereka tahu baik. Apakah karena takut terhadap perjanjian terikat dengan modal multinasional -mengutip istilah dari Pramoedya Ananta Toer- yang terus menghasilkan lilitan utang (credit) yang mencekik? Atau karena ketidakmampuan pemerintah untuk mau dan berani mundur ke belakang membangun perekonomian yang kokoh? Kalau ini terus terjadi, maka kenaikan tarif BBM dan TDL akan menjadi agenda musiman. Akibatnya, langkah non populis tersebut sudah terbiasa dipolitisir dengan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai ekses mekanis dari pemerintah untuk mengkonsolidasikan dukungan rakyat. Akhirnya akan terjadi bias antara kepentingan individu/kelompok -presiden- dengan kepentingan nasional (bangsa).
Pertumbuhan idealnya berjalan beriringan dengan pemerataan ekonomi. Kesenjangan ekonomi akan terjadi bila pertumbuhan di prioritaskan. Akibatnya, perburuan rente ekonomi menjadi kompetisi para pejabat untuk melunasi 'ongkos' demokrasi yang mahal. Sebaliknya lingkaran fiskal akan stagnan (tumpul) jika hanya pemerataan diprioritaskan. Untuk melanggengkan ketahanan ekonomi tidak ada cara lain selain kombinasi keduanya.
Hutang negara yang tidak kunjung usai perlu dikendalikan lebih radikal. Maka disini pengedalian fiskal menjadi urgen. Pengeluaran negara yang selalu melebihi pendapatan -dan mengakibatkan selalu terjadi perubahan bobot APBN- harus dialihkan pada konsumsi produk-produk nasional. Maka sudah seharusnya negara harus memulai memproduksi kebutuhannya sendiri.
Proyek produksi massal seperti; transportasi nasional, alat elektronik, komunikasi, dan pangan merupakan kebutuhan negara yang harus segera direalisir. Seperti proyek mobil Esemka kemarin yang sampai sekarang nasibnya tidak jelas. SDM Indonesia saat ini sebenarnya sudah mampu untuk melakukan itu semua. Mereka tinggal menunggu dukungan dan pengakuan negara atas kemampuan mereka.
Keberadaan nasib bangsa ini kini berada di tangan pemerintah. Hanya pemerintahlah yang mempunyai otoritas untuk mengeksekusi semangat bangsa ini untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan. Tetapi kalau kebijakan pemerintah masih stagnan dan berpangkutangan kepada pemodal asing. Menggantungkan nasib bangsa ini kepada para pengusaha-pengusaha itu (IMF, WTO, Bank Dunia, Negara maju). Maka tidak heran kalau kebijakan fiskal negeri ini memang sudah tumpul.
Kasihan, 23 Mei 2013
Tidak bisa banyak bereskperimen tentang solusi memberbaiki ekonomi bangsa. Apalagi mengatasnamakan kesejahteraan dan hasrat untuk memperbaiki hidup. Seolah-olah hidup ini bisa selesai dengan selusin teori-teori mutakhir. Apalagi mengambil prototipnya dari negeri asing yang terbukti berhasil, meskipun menyimpan kelemahan yang fundamental dan kealpaan bahwa Indonesia ternyata berbeda.
Hal inilah yang konon tidak disadari oleh banyak pemimpin kita. Eskperimen dan riset ilmiah yang terus bergulir faktanya belum mampu menjadi titik balik. Ekonomi kita terus-menerus tidak signifikan bagi rakyat. Meskipun kita terbiasa diyakinkan dengan pidato-pidato politik tentang pertumbuhan ekonomi yang terus bertumbuh signifikan.
Sayangnya banyak orang percaya dengan data-data tersebut. Tidak saja rakyat, nalar mahasiswa juga tersandera dengan informasi itu. Tidak heran dengan variasi kombinasi data yang up to date dan legitimasi lembaga riset ternama, kesadaran kelompok intelektual ini segera tergadai. Maka benar tesis Freud, kesadaran memang lahir dari ketidaksadaran.
Istilah ‘pertumbuhan ekonomi’ memang menjadi gengsi tersendiri bagi negara-negara yang menikmatinya. Apalagi dengan kebanggan tersebut berdampak banyak dengan kedatangan pengusaha asing berinvestasi. Pertumbuhan ekonomi seperti ini secara tidak langsung telah menjadi senjata ampuh untuk mengembalikan kepercayaan ekonomi.
Selayaknya pertumbuhan ekonomi hadir untuk memperbaiki perekonomian bangsa. Janji tentang kehadirannya sudah tidak perlu diulas kembali. Ada ‘efek menetes ke bawah’ sebagai salah satunya janjinya. Yaitu membantu memperluas persebaran kapital (modal) ke akar rumput. Tetapi alih-alih terpenuhi, efek tersebut malah deras menetes ke atas. Eksesnya sektor riil sampai saat ini berjalan pasang surut.
Keniscayaan pembangunan ekonomi dengan mengatasnamakan pertumbuhan lebih banyak yang menyesatkan. Indeks pertumbuhan faktanya hanya diukur dari perputaran fiskal (pemasukan dan pengeluaran negara) di lingkaran pengusaha-pengusaha besar. Tidak banyak merata ke sektor riil (UKM, industri rumahan, dll). Sehingga penghitungannya dipukul rata secara keseluruhan dari pengusaha-pengusaha sukses itu. Sebab separuh proporsi pertumbuhan ekonomi kita disumbangkan oleh sekelompok kecil pengusaha (dua ratus pengusaha kaya) tersebut. Sehingga dengan kalkulasi parsial itu seolah-olah negeri kita tampak semakin makmur.
Pemerintah kita sekarang lupa bahwa kesejahteraan rakyat tidak bisa dilakukan dengan mengkayakan sekelompok orang (pengusaha). Subsidi yang mudah kepada pengusaha-pengusaha tersebut seharusnya juga berlaku bagi pengusaha-pengusaha dari kelas berbeda. Langkah keliru jika membangun bangsa tanpa meratakannya ke kelompok dan sektor yang berbeda. Akibatnya, sekarang sedikit pengusaha besar mau membantu sesamanya yang masih berjalan tertatih.
Postur APBN yang terus mengalami perubahan merupakan dampak dari kekeliruan ini. Betapa pemerintah tidak mau memilih langkah yang mereka tahu baik. Apakah karena takut terhadap perjanjian terikat dengan modal multinasional -mengutip istilah dari Pramoedya Ananta Toer- yang terus menghasilkan lilitan utang (credit) yang mencekik? Atau karena ketidakmampuan pemerintah untuk mau dan berani mundur ke belakang membangun perekonomian yang kokoh? Kalau ini terus terjadi, maka kenaikan tarif BBM dan TDL akan menjadi agenda musiman. Akibatnya, langkah non populis tersebut sudah terbiasa dipolitisir dengan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai ekses mekanis dari pemerintah untuk mengkonsolidasikan dukungan rakyat. Akhirnya akan terjadi bias antara kepentingan individu/kelompok -presiden- dengan kepentingan nasional (bangsa).
Pertumbuhan idealnya berjalan beriringan dengan pemerataan ekonomi. Kesenjangan ekonomi akan terjadi bila pertumbuhan di prioritaskan. Akibatnya, perburuan rente ekonomi menjadi kompetisi para pejabat untuk melunasi 'ongkos' demokrasi yang mahal. Sebaliknya lingkaran fiskal akan stagnan (tumpul) jika hanya pemerataan diprioritaskan. Untuk melanggengkan ketahanan ekonomi tidak ada cara lain selain kombinasi keduanya.
Hutang negara yang tidak kunjung usai perlu dikendalikan lebih radikal. Maka disini pengedalian fiskal menjadi urgen. Pengeluaran negara yang selalu melebihi pendapatan -dan mengakibatkan selalu terjadi perubahan bobot APBN- harus dialihkan pada konsumsi produk-produk nasional. Maka sudah seharusnya negara harus memulai memproduksi kebutuhannya sendiri.
Proyek produksi massal seperti; transportasi nasional, alat elektronik, komunikasi, dan pangan merupakan kebutuhan negara yang harus segera direalisir. Seperti proyek mobil Esemka kemarin yang sampai sekarang nasibnya tidak jelas. SDM Indonesia saat ini sebenarnya sudah mampu untuk melakukan itu semua. Mereka tinggal menunggu dukungan dan pengakuan negara atas kemampuan mereka.
Keberadaan nasib bangsa ini kini berada di tangan pemerintah. Hanya pemerintahlah yang mempunyai otoritas untuk mengeksekusi semangat bangsa ini untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan. Tetapi kalau kebijakan pemerintah masih stagnan dan berpangkutangan kepada pemodal asing. Menggantungkan nasib bangsa ini kepada para pengusaha-pengusaha itu (IMF, WTO, Bank Dunia, Negara maju). Maka tidak heran kalau kebijakan fiskal negeri ini memang sudah tumpul.
Kasihan, 23 Mei 2013
Komentar
Posting Komentar