Catatan dari DM III Yogyakarta (2)
-Negara Kesatuan vis a vis Federal-
Pemateri:
Iwan Satriawan
Ragam bentuk pemerintahan biasanya merepresentasikan
keadaan sosiolis-demografis rakyatnya. Kebanyakan berbagai sistem lahir dari
kehendak rakyatnya untuk memilih metodologi, sistem, dan tata pemerintahannya. Oleh karena itu tidak
akan hadir sebuah pemerintahan, tanpa izin, kehendak dan kesadaran masyarakat
untuk mau mendirikannya.
Bangsa ini sudah sepakat mengambil
demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Kesatuan sebagai bentuk susunan negara. Negara
berbentuk republik.
Yaitu bentuk negara yang menghajatkan urusan rumah tangganya berada dibawa
kewenangan rakyat. Mendudukan rakyat sebagai mata pisau kebenaran usaha-usaha
menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu berlaku vox populi, vox dei (suara rakyat, suara
Tuhan).
Negara yang memilih demokrasi berarti
telah sepakat dengan kebenaran sejati yang berasal dari rakyat. Percaya bahwa
bersama rakyat, tujuan negara yang termuat dalam preambule uud 1945 pasti tercapai. Bukan berarti mengikuti arus
utama masyarakat dunia yang terlebih dulu memilih demokrasi. Tetapi harapan
dengan demokrasi, harapan untuk beribadah kepada allahu rabbul alamin[*]
semoga bisa tercapai.
Demokrasi ditopang oleh lembaga-lembaga
suprastruktur. Lembaga-lembaga ini merupakan apparatus rakyat untuk memastikan
fungsi negara berjalan dengan baik. Sebagai representasi aspirasi rakyat di
level internasional. Lembaga negara (stake holder) ini terbagi menjadi tiga
dalam peta ketatanegaraan indonesia.yaitu; Presiden, DPR dan DPD.
Tiga lembaga ini menjadi syarat
kehadiran sebuah negara (demokrasi). Presiden (eksekutif) berfungsi sebagai
menjalankan roda pemerintahan. Memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi. Dan kesejahteraannya
terjamin. Sedangkan DPR bertugas membuat UU, mengawasi pekerjaan Presiden dan
mematok pagu anggaran negara. DPD berfungsi mewakili kepentingan rakyat di
daerah.
Sayangnya ketiga lembaga saat ini berjalan tidak pada semestinya. Fungsi dan
eksistensi mereka tersandera oleh sistem dan manusianya.
a. Presiden
Presiden
SBY saat ini memiliki dua kelemahan akut. Kelemahan ini berasal dari satu variable strategis. Yaitu sistem
presidensialisme yang dikombinasikan dengan multi partai.
Sejak
periode pertama kepemimpinannya presiden SBY –dan periode kepemimpinan
sebelumnya, seperti Megawati- tidak bisa menjalankan pekerjaannya dengan
maksimal. Sebab sebelum mengeluarkan kebijakan, ia harus koordinasi terlebih
dulu ke DPR. Menunggu apakah usulannya –dan kabinetnya- diterima. Kalau ditolak
maka kebijakannya batal. Sangat berbeda
dengan periode Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dengan bebasnya
mengganti kabinet dengan bebas. Kebijakannya berjalan lancar tanpa gangguan
dari DPR. Sebab kursi PKB di DPR definitif dan signifikan, meskipun bukan
terbanyak.
Kelemahan
itu disebabkan bargaining position
Partai Demokrat (PD) sebagai partai penguasa tidak definitif dan deteminis. Kursi
PD di DPR hanya 20% (very simple majority)
dari seluruh kursi sehingga terpaksa harus membentuk koalisi dengan
partai-partai besar. Sayangnya koalisi sering berjalan baik –yang sesuai dengan
kesepakatan koalisi, sebab partai-partai yang lain mempunyai kepentingan untuk
menjaga image. Terutama dalam
menyikapi kebijakan kabinet sbyyang tidak populis di mata rakyat. Akhirnya beberapa
partai –seperti Golkar dan PKS- tidak jarang berdiri berseberangan dengan koalisi.
Maka lahirlah dualisme kepentingan partai yang pro dan kontra koalisi yang
disebut ‘politik dua kaki’.
b. DPR
Wajah
DPR juga tidak jauh berbeda dengan presiden. Meskipun dalam wajah dan motif
politik yang lain. Keran reformasi yang bebas dan rentan menimbulkan transgresi
(pelanggaran) konstitusional dan otomatis membuka celah untuk korupsi. Apalagi
sekarang kewenangan DPR sangat besar
untuk memilih pemimpin-pemimpin lembaga strategis negara (eksekutif dan
yudikatif). Seperti; KPK, Komisi Yudisial (KY), MA, MK, Bank Indonesia, dan
lain-lain.
Tidak
hanya berperan signifikan dalam kontestasi kepemimpinan institusi-institusi
diatas. DPR juga berwenang untuk meloloskan atau menggagalkan proyek-proyek
besar negara. Seperti Hambalang dan wisma atlet Palembang. Sehingga rentan
menerima atau meminta kesepakatan (politik dan ekonomi) dengan para calon
pemimpin institusi atau peserta tender. Sehingga fenomena tersebut secara
gradual menjadi kebiasaan dan cenderung menjelma menjadi banalitas politik.
Yaitu politik yang ditempatkan pada fungsi dan urgensi yang keliru
Selain
dengan kewenangan yang besar tersebut. DPR juga kini terpecah dalam faksi-faksi
politik yang tidak sehat. Kubu partai oposisi (PDIP, Hanura dan Gerindra) dan
koalisi berdiri berseberangan. Karena ada koalisi, maka kesempatan untuk
bersatu sikap lebih sulit. Akhirnya terjadi perpecahan di antara kubu reformis
yang dulu kritis terhadap pemerintah. Seperti PPP dan PKS.
Maka
seharunya menyatukan kubu reformis menjadi keniscayaan untuk memperbaiki
demokrasi. Tidak akan mudah jika terjadi split kepentingan dan power diantara
mereka. Negara tidak akan berkembang jika tidak ada dinamika ‘tesis-antitesis-sintesis’
di dalamnya.
c. DPD
Di
Amerika senate (DPD) memiliki bargaining yang kuat diantara institusi
suprastruktur negara. Senat tidak hanya mewakili kepentingan untuk mewakili
kepentingan rakyat di daerah. Mereka tidak saja mempunyai hak berbicara, tetapi
juga mempunyai hak untuk bersuara. Sehingga semua kebijakan yang diputuskan
oleh House of Representative (DPR) tidak
bisa legal sebelum ada persetujuan dari senat. Begitu pun juga sebaliknya. Relasi
keberadaan kedua lembaga legislatif (congress)
ini dinamakan sistem dua kamar (Bicameral
System).
Berbeda
dengan DPD di Indonesia. Tidak mempunyai hak suara. Sehingga mirip dengan
pesrta peninjau dalam pelaksanaan sidang. Akibatnya, kepentingan daerah tidak
terwakili dengan maksimal. Sehingga pernah muncul gagasan untuk menghapuskan institusi
ini. Sebab tidak memiliki peran dan pengaruh yang besar. Hal ini wajar karena Indonesia
bukan negara federal seperti di Amerika. Yang meniscyakan negara bagian memiliki
otonomi penuh untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Oleh karena itu
perwakilannya (senat) otomatis mempunyai power
yang besar.
Dari ketiga institusi diatas sebenarnya
harus memiliki kesepakatan obyektif untuk memandang sistem yang berlaku di
Indonesia. Sebab terbukti sistem presidensil tidak cocok dengan multipartai. Sedikit
negara di dunia yang mengkombinasikan
sistem presidensil dengan multipartai. Di Amerika misalnya hanya ada dua partai
yang eksis, begitu juga di India. Walaupun masih banyak partai yang aktif diluar pemerintah.
Pertanyaannya apakah sistem presidensil kompatibel dengan multipartai? Jawaban
yang banyak mengemuka justeru mengatakan tidak kompatibel. Kewenangan presiden akan tumpul oleh
kewenangan DPR jika posisi partainya tidak definitif di parlemen dan harus
melakukan koalisi untuk memperkuat basis dukungan.
Sehingga kombinasi yang
tepat adalah paket presidensialisme
dengan multipartai terbatas. Sehingga tidak terjadi persebaran (perpecahan) suara yang
terlalu melebar –karena banyak partai yang terlibat pemilu- yang berakibat raihan suara oleh partai
pemenang tidak definitif – dibawah simple
majority (50% + 1).
Kombinasi ini diaktualisasikan dengan
menaikkan standar electoral threshold.
Sebab tidak mungkin mengurangi jumlah partai dengan regulasi represif seperti
zaman orde baru. Sehingga tersaring paling banyak enam partai dari puluhan
partai yang mendaftar. Akhirnya
perolehan suara partai pemenang berpeluang signifikan dan berdampak positif
bagi pengambilan kebijakan oleh presiden nantinya.
***
Otonomi daerah ternyata memperluas
korupsi ke daerah yang sebelumnya di zaman orba
hanya terpusat di Jakarta. Lahirlah presiden-presiden baru di daerah.
Anggaran otonomi
diselewengkan dan berhenti di kantong pejabat daerah. Akibatnya kesejahteraan
menjadi timpang, bahkan sekalipun di daerah dengan Sumber Daya Alam (SDA)
melimpah. Akhirnya muncul gerakan separatis (Papua, Maluku, Aceh) untuk
melepaskan diri dari Indonesia. Yang
sebenarnya kalau ditarik ke akar masalahnya, hanya karena persoalan
kesejahteraan. Dilema ketatanegaraan Indonesia pun menjadi semakin akut.
Tampak bahwa negara berjalan pincang
dengan sistem yang tidak proporsional untuk ukuran sebuah negara kesatuan. Alhasil
kebijakan pemerintah tidak merata di seluruh daerah. Kontrol kepada pemerintah
daerah tidak adekuat. Akhirnya, SDA yang strategis di daerah tetapi tidak mampu
dikelola dipindahkan ke perusahaan asing. Singkatnya, kepentingan rakyat di
daerah tidak mampu terpenuhi.
Ekses buruk seperti ini kemudian membawa
kita untuk berpikir ulang. Apakah otonomi
daerah
itu sudah cukup baik? Atau perlu dilakukan manuver yang lebih radikal (berakar)
lagi. Yaitu daerah sepenuhnya mengkontrol dirinya. Hukum berjalan dalam
lokalitas sehingga kewajiban pemerintah berkurang. Sebaliknya pemerintah daerah
bertanggungjawab atas rumah tangganya masing-masing.
Muncul gagasan negara federal untuk melakukan
dekonstruksi –yang oleh Derrida ditujukan- kepada ‘klaim’ yang membenarkan bahwa
negara kesatuan adalah takaran yang final. Walaupun istilah ini telah terlanjur
menjadi bagian dari empat
pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika).
Padahal sebenarnya Indonesia dahulu
terdiri dari suku bangsa yang hidup mandiri. Beberapa di antara mereka
membentuk negara sendiri (kerajaan). Memiliki wilayah dan pemerintahan sendiri.
Karena hal itulah Indonesia memiliki
keragaman ras, agama, budaya, bahasa dan demografi.
Tetapi setelah merdeka, keragaman dan etnosentris
itu oleh Soekarno dinegasikan menjadi solidaritas bersama. Perkumpulan bangsa-bangsa
yang dulu terjajah oleh penjajah yang sama: Belanda harus sadar dan paham bahwa
mereka bertanah air yang satu. Mereka sebenarnya hadir dan hidup dalam
nusantara sebagai satu bangsa dan ditakdirkan untuk hidup bersama.
Konsep integrasi Soekarno ini meniru
integrasi Mussolini untuk menyatukan Italia dibawa peta Romawi kuno dan Hitler
untuk menyatukan bangsa Jerman (ras Aria) yang terpisah dari Jerman–seperti
Polandia dan Austria. Padahal secara fundamental konsep integrasi Soekarno
tidak memiliki landasan historis yang kuat. Hal ini yang disebut Benedict
Anderson sebagai ‘komunitas terbayang’ (Imagined
Community). Komunitas yang hadir tidak dari alasan historis, tetapi
solidaritas struktural yang disengajakan sama.
Indonesia dalam sejarah pernah menjadi negara federal, Republik Indonesia
Serikat (RIS), yang hanya berjalan satu tahun (1949-1950). Kehadiran RIS
sengaja dibuat oleh Belanda supaya terjadi disintegrasi bangsa yang sudah mulai
mapan berdiri. Sehingga mudah dikendalikan dan menjadi boneka (alat) untuk
menghancurkan yang lain. Meskipun konsep ini negatif dan destruktif, tetapi
pada dasarnya benar. Sebab memang Indonesia dulu tidak pernah seutuhnya
menyatu. Maka konsep untuk menjadi negara federal kemudian muncul menjadi
faktualitas sejarah yang bernilai benar.
Negara kesatuan hadir dalam kondisi
masyarakat yang homogen, maka negara federal sebaliknya heterogen. Yaitu masyarakat
yang terdiri dari keragaman antropologis, sosiologis, teologis dan ideologis. Sehingga
kepentingan masing-masing komunitas yang berbeda terpenuhi. Semua itu ada
pada bangsa Indonesia.
Tetapi segara konsep negara federal
menjadi kontroversi. Sebab dihubungkan dengan disintegrasi bangsa dengan
kemunculan RIS.
Di zaman orba ide-ide seperti ini diberangus tanpa ampun. Tetapi bagaimanapun juga
indonesia memang lebih cocok dengan status federal.
Konsep negara federal selanjutnya tidak
sepenuhnya diakui oleh rakyat Indonesia saat ini sebagai kebenaran dan
keniscayaan masyarakat yang heterogen. Sebab ada tiga hal yang masih debatable yang bisa meruntuhkan konsep negara
federal. Pertama, keberhasilan negara federal dan kesatuan di dunia relative
sama. Banyak negara-negara yang berhasil dengan konsep federal dan kesatuan,
meskipun bertentangan dengan kondisi
masyarakatnya (homogen-heterogen). Sehingga tidak kemudian menjadi
kebenaran absolut bahwa negara federal seharusnya berhasil.
Kedua, negara federal mayoritas berasal
dari bangsa-bangsa terpecah yang berkumpul dan membentuk negara bagi kebaikan
bersama mereka. Amerika misalnya semula hanya terdiri dari tujuh belas daerah
terpisah yang berkumpul dan mendirikan negara. Padahal di indonesia fenomena
tersebut tidak terjadi. Negara didirikan oleh para intelektual di jawa yang
tidak kompromi dengan konsep federal. Sehingga konsep itu menjadi sebuah
kebenaran, menjadi pilar utuh negara, dan kepercayaan rakyat yang turun-temurun
(genealogis). Apalagi konsep federal seringkali distigmakan dengan disintegrasi
bangsa (politik pecah belah) yang kerap disetting oleh kepentingan asing.
Ketiga, otonomi
daerah
yang dipusatkan di pemerintah kabupaten/kota dialihkan ke pemerintah provinsi. Sebab ada beberapa hal yang sampai sekarang tidak mampu dikelola pemerintah
daerah dengan kewenangan otonomi daerah yang dimilikinya. Seperti kualitas dan
kemampuan pemerintah daerah yang terbatas, ketimpangan sumber daya daerah, birokrasi
kegiatan lintas kota yang tidak praktis, pelimpahan urusan yang tidak
disertai dengan pelimpahan pembiayaan, dan lain-lain. (Zulfikhar)
Halo bosku , selamat siang
BalasHapusjangan lupa mampir main di ACEPOKER99
jangan hanya di lihat saja bosku :)
di coba main dan menangkan kelipatan permainan
dan anda akan merasa puas jika anda menang
jutaan rupiah , modal cukup 25.000
sudah bisa anda mainkan
yuk daftar saja langsung di http://acepoker99.net/app/login.aspx